Selasa, 08 Februari 2011

SLAMET RAHARDJO / SLAMET RAHARDJO DJAROT / 1971-2004

Foto ini saya dapat dari teman saya, Lono yang juga sepupu dari Mas slamet, pada tahun 1996, ini foto mas Slamet saat shoot Surobuldog, di Jawa Tengah.

Cukup bangga dan senang, dia dosen penyutradaraan saya waktu kuliah di IKJ. Walaupun jarang datang ngajar, tetapi cukup banggalah menjadi murid dia. Tapi sayangnya di kelas penyutradaraan kita diajarkan secara teoritis saja mengenai sutradara. Yang dimana diajarkan karakter penokohan saja. Kita banyak belajar dari sudut sinematography-nya saja dalam penyutradaraan. Tetapi kurang diajarkan bagaimana mengarahkan, mengolah dan memunculkan akting dari pemain kita dilapangan. Seharusnya kelas sutradara harus mengambil 2 atau lebih semester di fakultas teater untuk pengarahan pemain kita. Karena pengalaman saat saya membuat karya akhir untuk ujian, saya terbentur pada persoalan, si pemain bertanya, saya harus bagaimana? Saya bingung untuk hal itu. Karena memang kita tidak diajarkan. Banyak yang harus dipelajari dari seni pengolahan akting ini. Dan ternyata ada trik untuk hal itu, yang secara kurikulum teater itu ada. Jadi sayang saja kita tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu.

Percakapan di atas bukan adegan film. Ini nyata terjadi pada kehidupan Slamet Rahardjo. Aktor gaek ini kerap berurusan dengan petugas imigrasi luar negeri karena wajahnya. "Saya sangat mencintai Jawa, walaupun muka saya mengkhianatinya," katanya tertawa.

Parasnya memang terlihat blasteran. Rambut dan alisnya tebal. Matanya hitam dan dalam. Hidungnya bangir. Ia kerap berkumis rimbun pula. Sekilas memandang, Slamet lebih mirip orang dari Asia Barat. 

Tak heran mendiang sutradara masyhur Teguh Karya memanggilnya Arab. Tapi ketika Slamet tiba di Amerika Serikat, ia dikira orang Amerika Latin. Padahal ayahnya Jawa, ibunya Banten.

Petugas imigrasi asing mungkin tak tahu pria yang lahir di Serang dan besar di Yogyakarta ini adalah seniman dan budayawan mumpuni di tanah air. Di masa jayanya, pada era 1970-1980an, Slamet adalah magnet penonton.

Hampir semua film yang ia bintangi dan sutradarai menjadi box office. Slamet memulai semuanya ketika film nasional sedang booming

Ia memerankan banyak peran. Dari mulai mantan narapidana, laki-laki miskin jatuh cinta pada perempuan kaya, kapten Belanda, gangster, hingga pahlawan nasional. 

Sebenarnya judul film yang ia bintangi banyak. Sebut saja di antaranya, Wadjah Seorang Laki-Laki, Ranjang Pengantin, Di Balik Kelambu, Badai Pasti Berlalu, Ponirah Terpidana, November 1928, Kodrat, dan Tjoet Nja' Dhien.

Tapi jumlah itu sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan tawaran yang ia terima. "Saya orang yang bandel, enggak mau main film sembarangan," katanya. "Saya enggak mau main yang ngaco-ngaco."

Resep kebandelan itu terbukti berhasil mengharumkan namanya. Piala Citra untuk aktor dan sutradara terbaik pernah ia raih. Ia juga pernah menjadi aktor dengan bayaran termahal.

Kesuksesan ini tak hanya membuat namanya harum. Banyak wanita yang menggilai dirinya. Memberi kecupan dari jauh, itu biasa. Memegang pahanya saat duduk berdekatan, juga bukan hal yang aneh. 

Rumah, mobil, perempuan, dan uang sebenarnya bisa ia dapatkan dengan hanya meminta. Tapi ia menolak semua kemudahan itu dan memilih jalan sulit menjadi seniman. Dua kali ia harus menjual cincin kawin untuk menghidupi keluarganya.

"Aku tetap seperti aku. Bintang film yang pakai kaus oblong dan enggak pernah menikmati hidup jadi selebritis," ujar pria yang akrab dipanggil Memet itu.

Saat kecil hidupnya berpindah-pindah. Ayahnya penerbang Angkatan Udara yang sering mendapat tugas ke berbagai tempat di Indonesia. 

Ia masih ingat, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar pernah tinggal di dekat Bandara Udara Polonia, Sumatera Utara. Halaman rumahnya luas. Slamet sering bermain dengan Eros.

Adiknya itu setahun lebih muda. Mereka seperti sepasang anak kembar. "Ukuran badan sama. Baju sama. Main sama-sama," kata pria kelahiran Serang 69 tahun lalu ini.

Di halaman luas itu mereka berkhayal sedang bertualang. Ada burung gereja, ia tembak dan bakar dengan lilin. Slamet lalu menyuruh Eros memakannya. "Aku jadi raja, yang kuperintahkan harus nurut," ujar anak kedua dari 11 bersaudara.

Semua hewan yang mereka temukan langsung dibakar dan dimakan. Hanya kecoa dan kodok saja yang luput dari perburuan mereka. Alasannya karena jijik.

Eros tumbuh menjadi anak pintar dan baik. Ngomong jorok saja tidak pernah. Ia sulit mendapat nilai delapan di sekolah karena selalu sembilan. "Kalau saya sulit dapat nilai delapan karena tujuh terus," kata Slamet.

Saat Eros kena masalah, Slamet pasang badan. "Saya kalau berantem pasti karena belain Eros," ujar suami Mira Djarot itu.

Keduanya sempat terpisah jarak ketika Slamet memutuskan kuliah di Jakarta. Eros ke Jerman. Tapi setelahnya, mereka bersatu kembali.

Eros yang menyandang gelar insinyur kimia mengikuti jejak kakaknya menjadi seniman. Ia bermain band, menjadi pengarah musik film Badai Pasti Berlalu, dan menyutradarai film kolosal Tjoet Nya' Dhien. Piala Citra ia dapatkan dari kedua film tersebut.

Keduanya sukses bersama-sama. Bahkan memiliki mertua yang sama. "Ini teknik ekonomi. Jadi kalau lebaran salah satu lagi tidak ada uang, cukup satu saja yang kasih ke orang tua," ujar Slamet tertawa. 

Tapi Slamet menolak menjawab ketika kami tanya apakah keduanya pernah rebutan pacar atau tidak. "Enggak mau jawab kalau itu. Anakku udah gede-gede, nanti ditiru," katanya. 

Ayahnya demokratis. Anak-anaknya bebas bereksplorasi. Ia juga memberi falsafah hidup dalam hidup Slamet. Misalnya, soal pangkat. Jangan ditaruh di atas kepala. "Taruh di lubang silit," kata Slamet mengingat perkataan ayahnya.

Ajarannya juga termasuk bagaimana laki-laki bersikap. Harus satria. Satu kata dan perbuatan. Tidak boleh mencla-mencle. "Kenapa nama saya Slamet? Supaya jangan mencari selamat hanya untuk mencapai keraharjaan," ujarnya.

Dari ibunya, ia belajar melihat kehidupan dengan pendekatan intelektual. Slamet jadi mengenal buku dan kesenian. Ia masih ingat ibunya jago melukis. 

Umur sembilan tahun orang tuanya bercerai. Slamet kehilangan sosok ibu karena ia ikut ayahnya. Saat dewasa, Slamet merajah tangan kanannya dengan nama sang ibu, Enie.

Masuk Sekolah Menengah Pertama, ia tak mau lagi berpindah-pindah dan memutuskan tinggal di Yogyakarta bersama kakeknya. Di kota ini jiwa berkeseniannya muncul. 

Ia suka nonton ketoprak, teater, dan wayang orang. Kakeknya tak pernah marah walau Slamet kerap absen mengaji. Tapi kalau Eros yang absen, sabetan rotan yang ia terima. "Kakek sepertinya mengerti saya," kata Slamet.

Lulus Sekolah Menengah Atas, ia memutuskan ke Jakarta untuk belajar film. Ayahnya sempat menentang. Tapi Slamet kadung ingin menjadi seniman. Umur 19 tahun ia meninggalkan rumah. 

Slamet menjadi nomad di ibu kota. Ia bisa tidur di mana-mana. Sarinah, Sunda Kelapa, Semanggi hanya sebagian kecil lokasi tempat tinggalnya.

Tidak ada kemewahan kala itu. Ia kerap membayar mandor tukang bangunan untuk bisa tinggal di lokasi proyek. Setelah seminggu, ia cabut dan mencari tempat baru.

Masa kuliahnya tak berjalan lancar. Saat di Akademi Film Nasional, Slamet hanya sempat belajar satu semester. Seluruh staf pengajarnya sibuk mengerjakan berbagai proyek film pascakesuksesan Macan Kemayoran. Akademi ini bubar.

Ia pindah ke Akademi Teater Nasional Indonesia. Sebenarnya kesenian ini tak menarik hatinya. Pernah beberapa kali menonton pertunjukan drama di Yogyakarta, menurut Slamet, kualitasnya jauh dari kata bagus.

Slamet juga bukan anak yang suka tampil. Sosok aslinya adalah pendiam. Selama 12 tahun bersekolah, ia tak pernah percaya diri untuk tampil di depan kelas.

Kalau sudah ujian menyanyi, ia hanya sanggup membawakan satu lagu, yaitu Maju Tak Gentar. Itu pun ia nyanyikan dari balik papan tulis.

Jurusan penata artistik akhirnya ia ambil. Slamet yakin bisa melukis karena mamanya melakukan hal serupa. 

Suatu waktu ia kehabisan uang dan tidak bisa ujian. Sutradara Teguh Karya dan Sjumandjaja bersedia menalangi. Sebagai balasannya, Slamet harus membuat set untuk pertunjukan drama Teguh.

Ia menolak. Tapi Teguh mendesak, malah menyuruhnya tampil. Slamet terpaksa mau. Dengan grogi, ia naik ke atas panggung. Keringat bercucuran dari ujung rambut sampai kaki. 

Ia hafalkan dialog sekuat tenaga, lalu berakting. Satu menit. Dua menit. Akhirnya ia turun kembali ke bawah panggung.

"Eh, Arab, udah makan lu? Mau makan enggak?" tanya Teguh. Slamet menerima tawaran itu. Tiba-tiba Teguh mengatakan Slamet telah lulus dan harus berganti jurusan ke akting. "Padahal itu bukan akting, tapi saya ketakutan," ujar Slamet.

Mata Teguh tidak salah. Slamet memang benar-benar bisa berakting. Ia langsung mendapat pemeran utama di Teater Populer -- bentukan Teguh Karya. Lakon pertamanya berjudul Hantu dan dipentaskan di Hotel Indonesia pada 28 November 1969.

Pentas drama itu sukses dan media menyebut Slamet seorang calon bintang. Wartawan senior Salim Said adalah orang pertama yang mengatakan Slamet aktor berbakat.

Teguh lalu membuat Wadjah Seorang Laki-Laki pada 1971. Slamet menjadi pemeran utamanya. Film ini meraih sukses. Kesuksesan ini terulang kembali tiga tahun kemudian dalam film Cinta Pertama. Kali ini Slamet berpasangan dengan Christine Hakim. 

Sejak saat itu, keduanya ibarat duet maut. Layaknya Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra zaman sekarang, film-film yang mereka bintangi selalu laris-manis di bioskop. Teguh pula yang kerap mengarahkan Christine dan Slamet. 

Kuliah Slamet tak berjalan semulus kariernya. Akademi Teater Nasional Indonesia bubar tak lama setelah ia belajar di sana. Ia jadi hakulyakin pendidikan formal bukan jalan hidupnya. Ia memilih autodidak.

Semua jenis buku ia baca. Sastra, roman, komik, stensilan, psikologi hingga filsafat. Untuk mendalami seni peran, ia juga kerap berdiskusi dengan banyak tokoh film, seperti Sjumandjaja dan Asrul Sani.

Slamet juga rajin ke lembaga-lembaga kebudayaan asing. Referensi filmnya jadi kaya. Ia tidak mau menonton film Hollywood. "Enggak doyan aku," katanya. "Saya lebih kenal film-film seni dari Jepang, Rusia, Slovakia."

Semangat belajarnya ini membuahkan hasil. Aktingnya sebagai Bram, laki-laki frustrasi yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri di Ranjang Pengantin, memberikan Piala Citra pertamanya, kategori aktor terbaik pada 1975. 

Piala itu sempat ia tunjukkan ke ayahnya. "Ayah diam saja, tidak berkomentar apa-apa," kata Slamet tersenyum. 

Ia sempat menjadi aktor dengan bayaran tertinggi. Narkoba, alkohol, uang, dan perempuan bisa dengan mudah ia dapat. Tapi ia menganggap semua itu tak perlu. Tuhan masih sayang kepadanya. "I'm a lucky boy. Pelarian saya adalah pulang ke rumah kakek," katanya.

Selalu merasa punya rumah, hidup Slamet jadi tidak neko-neko. "Persoalannya bukan saya enggak doyan duit, bohong. Bukan saya enggak suka barang bagus, bohong," katanya. "Yang saya tahu, barang saya ini harus berguna untuk orang lain."

Baginya bermain film tak sekadar mengimitasi kehidupan tapi memberi makna di balik peristiwa. Ia menjadi aktor yang pemilih. Tak sembarang film mau ia kerjakan. Hal itu sebenarnya tidak mudah. Kerap kali ia kesulitan keuangan.

Slamet beruntung menemukan istri yang mengerti dengan idealismenya. Mira Djarot adalah satu-satunya orang yang berani mengkritiknya. "Saat saya jadi yang terbaik pada zaman itu, enggak ada yang berani bilang jelek ke saya, kecuali istri saya," katanya.

Mira berhasil membawa Slamet kembali ke bumi. Ia jadi sadar masih punya kelemahan dan apa yang ia kerjakan belum tentu berhasil. "Saya beruntung sekali mendapat istri yang juga bisa menjadi sahabat," ujarnya.

Slamet dan Mira menikah pada 1984 dan memiliki dua anak perempuan, Laras dan Kasih. Di tahun itu pula Slamet membeli rumah di kawasan Bintaro yang sampai sekarang masih ia tinggali.

Mira masih aktif bekerja di bidang jurnalistik. Slamet berkarya di dunia seni dan budaya. Sambil memimpin Teater Populer, Slamet mengajar di IKJ seminggu tiga kali. Sudah lebih 25 tahun ia menjadi dosen di sana.

Gelar Ki sekarang tersemat di depan namanya, menjadi Ki Slamet Rahardjo Djarot. "Ini bukan menunjukkan keilmuan saya, tapi keempuannya," kata Slamet. "Saya senang sekali mendapat gelar itu dari Fakultas Film dan Televisi IKJ."

Ia masih menerima tawaran bermain film. Yang teranyar, A Perfect Husband akan tayang pekan depan. Tapi sampai sekarang ia belum berencana membuat film. Alasannya sepele. Tidak ada yang mau mendanai. Film terakhirnya adalah Marsinah pada 2001.

Resep eksistensinya selama lebih 40 tahun sangat sederhana, hanya kerendahan hati dan kebebasan jiwa. "Makanya, kalau ada anak main film cenanangan (ngawur) dan hanya jual sensasi, itu pasti enggak berbakat," ujar Slamet.


SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA 1980 SLAMET RAHARDJO
Director
BUKIT PERAWAN 1976 OSTIAN MOGALANA
Actor
NOPEMBER 1828 1978 TEGUH KARYA
Actor
LANGITKU RUMAHKU 1989 SLAMET RAHARDJO
Director
KAWIN LARI 1974 TEGUH KARYA
Actor
PERKAWINAN DALAM SEMUSIM 1976 TEGUH KARYA
Actor
KEMBANG KERTAS 1984 SLAMET RAHARDJO
Director
SOUTHERN WINDS 1993 SLAMET RAHARDJO
Director
RANJANG PENGANTIN 1975 TEGUH KARYA
Actor
KODRAT 1986 SLAMET RAHARDJO
Actor Director
KASMARAN 1987 SLAMET RAHARDJO
Director
SANG PENARI 2011 IFA ISFANSYAH Drama Actor
BADAI PASTI BERLALU 1977 TEGUH KARYA
Actor
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Actor
LOST CHILD, THE 1992 SLAMET RAHARDJO Television film Director
TERAN BULAN DI TENGAH HARI 1988 CHAERUL UMAM
Actor
KANTATA TAQWA 1992 EROS DJAROT
Director
DI BALIK KELAMBU 1983 TEGUH KARYA
Actor
TELEGRAM 2001 SLAMET RAHARDJO
Director
INFATUATION 1989 SLAMET RAHARDJO
Director
PUTERI GUNUNG LEDANG 2004 SAW TEONG HIN
Actor
REMBULAN DAN MATAHARI 1979 SLAMET RAHARDJO
Director
CINTA PERTAMA 1974 TEGUH KARYA
Actor
PONIRAH TERPIDANA 1983 SLAMET RAHARDJO
Actor Director
PASIR BERBISIK 2001 NAN T. ACHNAS Drama Actor
MARSINAH 2001 SLAMET RAHARDJO
Director
WADJAH SEORANG LAKILAKI 1971 TEGUH KARYA
Actor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar