Jumat, 04 Februari 2011

SEKUNTUM BUNGA DITEPI DANAU / 1952

 

Cerita dimulai dari masa sebelum RI lahir, di kala adat masih kuat mengungkung di Sumatera barat. Revolusi melunturkan aturan kukuh itu. Ibu Yulizar meninggal dunia, merana karena kawin paksa, maka Yulizar (Risa Umami) menolak cara kuno itu. Apalagi hatinya telah tercantol kepada Burhan (Amran S. Mouna). Hubungan mereka tak lancar oleh revolusi fisik, clash pertama (1947) dan agresi kedua (1948).

Disamping itu Yulizar menyanyi lewat radio (pendudukan) Belanda, sementara Burhan dan kawan-kawan bergerilya di hutan dan gunung. Burhan mengira Yulizar telah berkhianat. Ketika Indonesia berdaulat penuh (1950) diperoleh keterangan dari kapten Suhud (Djauhari Effendi), bahwa Yulizar mendapat tugas sebagai mata-mata dengan profesi sebagai penyanyi di siaran musuh itu.

 
Kalau nanti film PFN yang terbaru, buah pena dari Sdr Nasrun AS, SEKUNTUM BUNGA DI TEPI DANAU selesai, dengan pengasuh dan para artisten tergabung lengkap dalam harmoni ceritu itu, maka nama A.S. Mouna akan muncul sebagai bintang baru.

Regisseur INU PERTABASARI  rupa-rupanya tak segan-segan mengambil langkah sedemikian ini, karena yakin ada manfaatnya, dalam usahanya memelihara dan memupuk bibit baru dalam halaman seni film.

AS MOuna atau lebih terkenal dengan nama Amran saja, dalam cerita tersebut diserahi peranan watak yang penting. Disamping R. Umami, dia tampil di layar putih kini dan untuk pertama kali ini, sebagai “leading-man” yang boleh dibanggakan.

Langkah dan hasilnya ini berarti suatu prestasi bagi kalangan amatir yang baru membuka halaman baru dalam lapangan film.

“Eksperimen” Pak Inu, kali ini boleh kita banggakan. Dan, soal hasil atau tidaknya penonton nanti yang akan menjadi hakim.

AS Mouna atau Bung Amran sebagaimana kita panggil dia sehari-harinya, lahir di Batusangkar Sumatra Tengah pada tanggal 13 Oktober 1923.

Pengalamannya dalam kalangan kesenian menjumpai banyak perobahan dan hasil baginya. Diantara lain ia pernah menjadi staf bagian Pendidikan Kementerian Pertahanan.

Sesudah itu, ia ikut Wellfare Jawa Barat, pada tahun 1947.

Kemudian ia pindah ke Jogjakarta dan terus menggabungkan pada perhimpunan Sandiwara “Raksi Seni” sebagai anggota pengurus.

Dan yang pada akhir-akhir ini (1950) ia menjadi ketuanya.

Disamping ia memegang peranan-peranan penting dalam hampir tiap-tiap kali pertunjukan sandiwara di Jogjakarta, ia juga duduk sebagai anggota Sekretariat  Front Seniman.

Akhir-akhir ini sebelum ia bertolak terjun ke dalam arus Jakarta, setia membantu RRI Jogjakarta dan cabang-cabang daerah lain dengan Sandiwara Radio dan syair-syairnya.

Sekarang di Jakarta terjun bersama kawan-kawannya dari “Raksi Seni” menggabungkan diri dalam rombongan film “Ksatrya Darma”.

Perangai dan kesukaan

Tanda-tanda akan tipe seperti Bung Amran ini ialah jejak hidupnya yang berperasaan “gevoelig” halus dan sopan-santun.

Cinta, dalam arti luas dan erotik memegang peranan penting dalam hidupnya. Estetik, keinginan kepada keindahan dan harmoni adalah faktor-faktor yang memenuhi dahaga hatinya.

Kata orang, semaca kecilnya suka sekali main-main. Tetapi tidak senakal atau sebengal-bengalnya anak-anak lain. Dia tahu batas-batasnya.

Kesukaan main-main ini, sekarang membawa proses juga. Bung Amran lemah, sering-sering tak tahan menghadapi taufan hidup.

Sering sekali ia tertarik oleh bujukan-bujukan teman-temannya dan mudah sekali percaya. Tapi disamping itu, juga membawa proses lain, yaitu, Bung Amran besar sekali dan cinta harmoni hidup dengan teman-temannya.

Dan dia selalu menghindari faktor-faktor yang menyolok mata dalam pandangan teman-temannya.

Dia benci sekali pada suatu percekcokan dan selalu ingin menghindarinya. Suka sekali ia mendamaikan teman-temannya yang sedang berselisih. Tindakan demikian ini ada kalanya menguntungkan dan sering-sering merugikan baginya. Tapi memang tipe seperti Bung Amran ini selalu cinta perdamaian.

Luar dari kelemahan-kelemahan ini, Bung Amran juga mempunyai beberapa faktor kekuatan. Kesabarannya menanti saat yang telah disengaja dinanti. Dan apabila kesempatan itu tiba, maka ia akan tabah menghadapi sesuatu apapun dan menyelesaikannya sampai titik penghabisan.

Dalam eprgaulan sehari-hari, pakaiannya selalu bersih, disetrika licin, sehingga teman-temannya sering menyebut dia “ijdel”.

Tapi tak mengapa, karena soal ini adalah soal individu dan mungkin satu-satunya jalan untuk menjaga kehormatan nama sebagai artis. Bukan begitu, Bung Amran?

Tapi kenyataan membuktikan bahwa tokoh-tokoh seperti dia sangat disukai oleh teman-temannya dan pergaulan pada umumnya.

Dia senang sekali berenang berjam-jam lamanya.

Gerak badan saban pagi berjalan-jalan.

Juga pesiar, hidup mengelana dan tidak lupa menonton film-film baru kesukaannya.

Dan, di luar itu, soal agama, dipegangnya teguh. Dia setia menjalankan kewajiban agamanya.

Dalam cakap-cakap sering saya dijumpai Bung Amran kebingungan dan saya bertanya “Mengapa sampai begini?”

Jawabnya sambil tersenyum: “Bung Djoko, saya selalu percaya pada kebaikan manusia! Sering memudahkan sesuatu. Inilah kelemahan saya,”

Pertanyaan saya yang terakhir:

Tanya:Apabila Bung Amran hidup berdua?

Jawab: (Tersenyum dulu ia) Bung Djoko ada-ada saja! Soal kawin gampang! Soalnya memelihara harmoni perkawinan, itu  yang susah. Dan di Jakarta, jangan lupa, Bung Djoko….. perumahan! (Dia tertawa)

Begitulah sekedar menyelami jejak hidup dan watak artis harapan kita di masa depan.

Soal hasil atau tidaknya perjuangan itu lebih baik saya serahkan pada umum, yang nanti menjadi hakim.

Dan segera, “SEKUNTUM BUNGA DI TEPI DANAU” akan menjadi kenyataan!

Buktikanlah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar