Senin, 14 Februari 2011

KELAHIRAN PPFI

PPFI
(PERSATUAN PERUSAHAAN FILM INDONESIA)


Produksi film kita melonjak terus, dari 24 film pada tahun 1950 meningkat menjadi 40 dalam tahun berikutnya. Orang-orang sandiwara kembali terpanggil, disamping orang- orang daerah yang mulai terboyong ke ibu kota. Tapi tingkat pengetahuan orang-orang sandiwara yang masih seperti dulu-dulu dan orang-orang baru masih dalam tingkat belajar, membuat hasil film mulai mengendor lagi mutunya. 

Tahun 1952 mulai terlontar kejengkelan masyarakat melihat film Indonesia. Karena dianggap tidak berkembang, merasa seperti dulu-dulu di jaman sebelum perang. Pers Yang berkembang pesat mulai meng- gencarkan kritik-kritik tajam kepada film nasional. Keadaan yang membingung- kan itu membuat orang-orang film kembali putar haluan, membuat film untuk kalangan bawah. Maka bermunculan kembali jenis-jenis film cerita 1001 malam. Para pembuat film yang idealis jadi terhimpit. Kesungguhan mereka membuat film yang baik dengan biaya Rp. 300,000,- disaingi oleh film-film buatan produser Cina yang ngebut dengan separohnya. Film-film murahan ini dalam peredarannya pun berhasil menekan har- ga. 

Keadaan yang sangat buruk ini, lebih diperburuk lagi dengan membanjirnya film-film impor dari Filipina, Malaya, dan India. 

Film-film impor ini lama-kelamaan berhasil menguasai seluruh pasaran, sehingga film nasional hampir-hampir tidak kebagian jadwal pemutaran lagi. Saat itu tempat untuk mengadu tidak ada. Satu-satunya organ pemerintah Yang ada hubungan dengan film hanyalah Badan Sensor Film. 

Konggres Kebudayaan ll tahun 1951 berhasil menggerakkan pemerintah memindahkan Badan sensor dan Kementrian Dalam Negeri ke Kementrian PP&K. Kemudian Dr' Huyung (Enatsu Heitaro) sutradara Antara Bumi dan Langgt yang di-band sensor karena karena ada adegan ciumannya, menyerukan perlunya dibentuk undang-undang perfilman. Tapi tidak ditanggapi. Maka pada detik yang menentukan itulah Djamaludin Malik dan Usmar Usmail mengambil langkah yang lebih kongkrit pada tahun 1954: mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Dengan organisasi PPFI inilah perjuangan menjadi lebih kuat. 

Walikota Jakarta Soediro berhasil diyakinkan untuk mengeluarkan peraturan "Wajib putar film Indonesia kelas 1". Kemudian Kementrian Perdagangan berhasil pula diminta untuk membendung arus masuknya film impor, dengan mengadakan pengurangan quota impor. Tapi peraturan wajib putar ini pelaksanannya tidak seperti diharapkan. Selain hambatan-hambatan yang dilakukan oleh pihak bioskop, juga banyak film nasional yang lebih cocok diputar di bioskop kelas ll. 

Dan sementara itu film India yang jumlahnya ratusan, merupakan momok yang menghantui film nasional. Semula orang hanya merisaukan film Filipina dan Malaysia, sehirqga perlu dilakukan pengurangan. Tapi temyata film India lebih dahsyat lagi. Jumlahnya yang jauh melebihi bioskop-bioskop kelas ll yang menjadi pasaran utama film nasional. 

Perjuarqran PPFl terus ditingkatkan, ditunjang oleh para artis dan para karyawan film. Akhimya Menteri Perekonomian setuju untuk menurunkan qude impor film lndia. Tapi walau janji telah keluar, peraturan pelaksanaanya baru 6 bulan kemudian dikeluarkan. Sehingga jangka waktu itu sempat digunakan orang untuk berlomba rnendatangkan film India sebanyak-banyaknya. 

Pada saat peraturan itu keluar. kira-kira ada sekitar 400 film India yang diperkirakan bisa mernenuhi bioskop kelas ll selama 3 tahun. Sementara itu dalam tahun 1956 ada sekilar 50 film Indonesia yang tertumpuk di gudang tidak memperoleh jadwal pemutaran di bioskop-bioskop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar