Senin, 14 Februari 2011

DARI TONIL KE FILM HINGGA CIKAL BAKAL PPFI

Balink dan Wong diajak menggunakan resep "tonil'. Dalam belasan tahun para penonton tonil tersebut telah memberikan kuntungan tidak kecil, sehingga panggung-panggung sandiwara dan para pemainnya dapat hidup makmur dengan penghasilan yang menggirahkan. Dan hasilnya adalah merupakan "panen' besar yang dimulai tahun 1940 dengan menggunakan resep Terang Bulan tersebut. Dari sanalah lahir bintang cemerlang Rukiah dan Raden Mochtar. 

Sayangnya ANIF dengan tokohnya Balink tidak menerusken pembuatan film cerita, karena tidak sejalan dengan policy ANIF. Maka musim panen selanjutnya banyak Pembuatan film Terang Bulan karya Albert Balink dan Wong bersaudara, tepat sepuluh tahun kemudian setelah film cerita mulai dibuat temyata cukup menarik perhatian orang di negeri ini. 

Produksi Algemeene Nederland lndische Film Syndicat (ANIF) itu ketika beredar di tahun 1982. telah menarik perhatian penonton begitu hebat. Bahkan konon dalam peredarannya di Malaya waktu itu dalam waktu singkat telah berhasil mengeruk keuntungan St.$.200.000,-. 

Hal ini telah membuka mata orang-orang film lainnya yang sebelumnya meraba-raba, apa yang harus dilakukan untuk mencapai penonton. Atas anjuran wartawan Saerun yang menjadi penasehatnya, kemudian dinikmati oleh golongan Tionghoa. Selain Wong bersaudara yang unggul dalam pengetahuan dan Pengalaman serta memiliki Rukiah dan Rd. Mochtar, yang lainnya adalah Tionghoa peranakan yang lebih sigap dalam berlomba memboyongi orang- orang tonil. Yang terunggul dalam perlombaan ini adalah The Teng Chun yang mendirikan Java Industrial Film (JlD). 

The Teng Chun yang telah menerjuni dunia film sejak 1931 terus berusaha meningkatkan sarana tehnis. Dengan berprinsip bahwa film merupakan "industri' sejak tahun 1935 ia telah berhasil memperbesar studionya dengan mengerahkan orang- orang tonil dan Dardanella.

Dimulai dengan menarik dedengkotnya Andjar Asmara. Sehingga dengan peningkatan itu dari 45 produksi yang dihasilkan lndonesia dalam tahun 1940 - 1941 sepertiganya adalah adalah hasil JlF. 

The Long March


Suasana pejuangan kemerdekaan yang menghangat telah mendorong pula naluri cinta dari bangsa ini kepada hasil bangsanya sendiri, termasuk film. Tokoh peqerakan Dr. Adnan K. Gani pun terpanggil untuk ikut main film, demi untuk mengangkat harkat pemain film di mata kalangan terpelajar yang merasa kurang senang dengan latar belakang "anak-anak wayang". 

Langkah A. K. Gani ini mendapat kecaman keras, bahkan dituduh mencemari kesucian Per- juangan. Tapi usaha pemuda-pemudi pejuang itu telah membantu semakin lajunya produksi film. Konsekwensinya kemudian, kalangan terpelajar yang semakin kritis banyak menuntut film yang lebih baik. Maka cerita film kita pun mulai berkisar di kalangan atas, terpelajar, keluarga bertitel, atau tentang mahasiswa. 

Bagi penonton kalangan bawah, film yang serba tinggi" ini terasa asing. Sedang kalangan terpelajar semakin tajam menilainya. Pekerja film jadi terhimpit oleh dua lapisan ini. Cerita tonil karya baru yang termasuk top adalah Dr. Samsl atau Gagak Solo. 

Percobaan untuk membuat film agak berbobot misalnya Siti Nurbaya dan Melati van Agam karya Parada Herahap, jadinya malah kalang kabut. Tidak menarik lagi kalangan atas maupun kalangan bawah. Maka tak ada jalan lain, para pembuat film berputar arah, menuju ke penonton bawahan saja. 

Mulailah bermunculan film-film yang ceritanya diambil dari cerita-oerita tonil, berupa cerita 1001 malam dan lain-lain. Kedatangan Jepang telah menghentikan pembuatan film film dinegeri ini. 

Orang-orang film banyak yang hijrah ke tonil kembali. Satu-satunya peruahaan film yang ada hanya milik Jepang Nippon Eiga Sha, yang menjadikan film sebagai alat propaganda. Tapi di sini berpangkal sentuhan baru, bahwa kenyataannya film bukan cuma alat hiburan semata, melainkan juga menjadi alat pengucapan ide yang penting. Maka pada masa itulah tiba- tiba muncul perhatian besar dari kalangan seniman kita terhadap film. 

Di Jogya para seniman muda seperti Usmar Ismail, Gayus Siagian dan D. Djajakusuma membentuk ketompok diskusi film bersama tokoh-tokoh tua yang ada pengalaman film. Bahkan kemudian dibentuk sekolah film yang mendapat animo cukup besar. tapi beberapa bulan saja kemudian ditutup karena keadaan yang rusuh.



Setelah keadaan keamanan pulih kembati, bangkil kembati perusahaan-perusahaan fitm milik oreng- orang Tionghoa. Bahkan produser pribumi dengan modal sendiri yang sangat terbatas ikut tampil, yakni Usmar lsmail dengan perusahaannya PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dan Djamatudin Malik dengan perusahaannya PERSARI (Perusahaan Artis Film Indonesia). Usmar yang lebih mengandalkan modal utama bakat dan kemauan dalam serba bagai kesulitan berhasil melahirkan filmnya pertama Darah dan Doa (The Long March) pada tahun 1950. Film inilah yang menandai dibuatnya film nasional pertama dengan menggunakan modal pribumi, dan dengan tema yang murni memperlihatkan perjuangan nasional. Film yang shooting pertamanya pada 30 Maret 1950 itu, kini dicatat dan disepakati orang-orang film sebagai hari film nasional. 

Usmar berharap film pertama yang dibuatnya itu dapat ikut dalam Festival Film lntemasional di Cannes. Hasil perdananya tidak mengecewakan, karena nasionalisme yang sedarg meluap ikut ambil peranan dalam menanggapi usaha bangsa sendiri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar