LUDRUK MARHAEN
Teater rakyat yang lahir dari semangat revolusi 1945. Pasca peristiwa G30S, Ludruk Marhaen berada di bawah pembinaan militer.
Gelanggang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan memang cukup riuh. Bukan hanya pada ranah sastra, musik atau film, panggung seni pertunjukan pun turut masuk dalam pusaran di mana bangsa Indonesia tengah mencari identitas kebudayaannya.
Salah satunya ludruk, teater rakyat asal Jawa Timur. Dan nama Ludruk Marhaen merupakan yang paling terkenal pada era 1950-an hingga 1965. Tak hanya menyematkan nama Marhaen yang terdengar politis, ludruk ini juga turut andil dalam pergulatan kebudayaan Indonesia saat itu.
Semangat Revolusi
Menurut Henri Supriyanto dalam Lakon Ludruk Jawa Timur, Ludruk Marhaen didirikan oleh pelawak Rukun Astari dan Shamsudin pada 19 Juni 1949. Namun, kelompok ludruk asal Surabaya ini awalnya telah dibentuk sekitar tahun 1945, pasca Proklamasi.
“Dan di jaman bergejolaknya api revolusi 1945 lahirlah sebuah rombongan ludruk yang terdiri dari anak-anak muda dan hidup terus sehingga kini di bawah nama 'Marhaen'. Sandiwara ini terpaksa menghentikan kegiatannya pada tahun 1948 karena terserak-sebarnya para anggota-anggotanya dan pada permulaan tahun 1950 dibentuk kembali dan berkedudukan di Surabaya,” tulis Harian Rakyat, 14 April 1958.
Setelah lahir kembali pada 1950, Ludruk Marhaen mulai aktif mementaskan lakon-lakon terutama terkait revolusi dan patriotisme. Ludruk ini kemudian dikenal luas tak hanya di wilayah Surabaya maupun Jawa Timur.
“Sejak itu sandiwara ludruk membuka tradisi baru dalam sejarah ludruk: drama tragedi dipanggungkan, dan bersamaan dengan zamannya, ia sepenuhnya didukung oleh gelora dan api patriotisme tetapi tanpa kehilangan wataknya yang khas sebagai ludruk yaitu satirenya. Dari saat berdirinya itulah, kini Ludruk Marhaen tetap mempertahankan tradisinya sendiri dan ia tetap memelihara kecintaan dan kesayangan publik terhadapnya, sejak dari Bung Karno sampai rakyat jelata,” tulis Harian Rakyat.
Ludruk Marhaen dan Sukarno
Di antara kelompok ludruk Surabaya, Ludruk Marhaen paling sering mendapat undangan Presiden Sukarno untuk pentas di Istana Negara. “Berdasarkan pengakuan Rukun Astari, tercatat 16 kali Ludruk Marhaen menerima undangan Presiden Sukarno,” kata Supriyanto.
Dalam pidato Sukarno, Tjapailah Bintang-Bintang Di Langit! (Tahun Berdikari) tahun 1965 Ludruk Marhaen juga disebut Bung Besar. Sukarno mengatakan: "Kalau kaum tani menghasratkan tanah, tanah 'senyari bumi', apakah itu tidak masuk akal? Aku teringat kepada seniman-seniman Ludruk Marhaen yang mengatakan, 'Ia kalau punya pacul tapi ndak punya tanah, kemana pacul itu mesti dipaculkan!'"
Beberapa lakon luruk seperti, Kunanti di Djogja, Memburu Menantu, Mawar Merah di Lereng Bukit, dan Pak Sakerah pernah difilmkan. Film Kunanti di Djogja digarap oleh sutradara Lekra, Tan Sing Hwat. Film ini kemudian menerima penghargaan kategori skenario terbaik dan hadiah khusus pada Festival Film Indonesia 1960.
Cerita Sukarno dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya
PADA 1960-an, akan dihelat pagelaran wayang kulit di Istana. Ia salah satu kesenian yang disukai Sukarno. Sukarno memilih sendiri dalang favoritnya, Ki Gitosewoko dari Blitar. Lima hari sebelum pagelaran, Gitosewoko sudah berada di Istana.
“Apakah sudah siap?” tanya Sukarno kepada Gitosewoko. Percakapan pun berlanjut membahas cerita hingga sanggit atau penggarapan. Sukarno berpesan, “Gito, semua mengharapkan pagelaran nanti sukses. Berusahalah tidak mengecewakan penonton.”
Sukarno juga mengarahkan, “Gatotkaca tidak boleh sering memukul. Usahakan sekali memukul lawannya tumbang. Lalu Arjuna lebih tepat jika kau bawakan dengan laras (nada, red) dua atau lima, jadi lebih terkesan jantan. Suaranya harus kau tegaskan! Bukankah ksatria besar macam Arjuna, tidak tepat bila memiliki suara klemak-klemek, tidak bertenaga?”
Kerewelan Bung Karno terhadap pagelaran wayang kulit tidak berhenti di situ. Jelang malam pagelaran, dia kembali memeriksa sendiri tatanan instrumen gamelan. Gamelan harus berada di atas panggung yang sejajar dengan kursi penonton. Lampu penerangan nantinya tidak boleh lebih dari 250 watt. Lalu instrumen gong tidak boleh menutupi penglihatan penonton. Dan terakhir, para pesinden harus berada di belakang dalang.
Soal pesinden, Sukarno pun punya favorit: Nyi Tjondrolukito dari Yogyakarta. Nyi Tjondrolukito, yang bernama kecil Turah, seperti dicatat dalam buku Apa dan Siapa, berguru kepada Larasati dan Madularas di kepatihan Danurejan dan mendapat nama Penilaras. Dia kemudian disunting Ki Tjondrolukito, bangsawan yang ahli tari sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1880-1939).
Pada era Sultan Hamengkubuwono VIII, setiap dia istirahat di Kali Urang, selama dua bulan tanpa henti, diadakan pagelaran karawitan. Ini adalah ujian. Jika seniman itu benar-benar mengabdi kepada seni, maka dia akan tahan dengan padatnya pagelaran. Nyi Tjondrolukito adalah seniman produk zaman Sultan Hamengkubuwono VIII yang tahan uji, baik dari segi mental, moral maupun keterampilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar