DALAM salah satu lawakan di FFI Surabaya, grup S. Bagio menirukan gaya pidato beberapa pejabat. Bagio beraksi sebagai Dirjen RTF Sumadi -- dan wajah kedua orang ini memang ada juga miripnya. Sol Soleh berlagak macam Jenderal M. Yusuf, lengkap dengan tongkat komandonya (dari stik dram). Diran jadi Menmud Abdul Gafur. Dan Darto Helm, mengenakan kacamata hitam, menirukan Menpen Ali Moertopo. Lucu. Orang-orang yang ditirukannya pun -- kecuali Jenderal Yusuf yang tak hadir di sana -- tersenyum-senyum. Tapi kelucuan itu rupanya berbuntut ke luar panggung. Bagio, yang selama di sana banyak dimintai tandatangan oleh penggemarnya, suatu saat ngumpet karena capek. Nah, para penggemarnya rupanya masih banyak yang tak mengenali betul wajah pelawak itu. Dirjen RTF Sumadi lantas jadi "korban". Ia diserbu para pelajar. Meski ia sudah menjelaskan berkali-kali bahwa ia bukan Bagio, tetap saja para pemburu itu menyolek-nyoleknya. Bahkan mereka, dengan yakin, menyerukan "ucapan salam" sebagaimana sering diucapkan Bagio dalam film-film iklan: "Halo Non . ., bakso Non . . . ! " Dalam pada itu, ketika Bagio suatu ketika berada di dekat Ali Moertopo, ia bilang: "Katanya ada anjuran harus berseragam, kenapa Pak Ali nggak seragam?" Dengan kalem, yang ditanya menjawab "Nggak ada yang mau menjahitnya. Takut."
PENTAS penuh asap, lampu-lampu berkedip, dan muncullah Kris Biantoro bersama Koes Hendratmo di pentas. Kedua orang itu konon terlempar ke "masa lalu" -- Surabaya tahun 1942 -- setelah memasuki "mesin waktu". Memang, kabaret Parfi berjudul Nostalgia 10 November itu, dimainkan di Surabaya 28 - 29 Mei dalam rangkaian acara Festival Film Indonesia, meniru film serial televisi The Time Tunnel. Tontonan kolosal yang dimainkan 120 pemain film itu menghabiskan biaya Rp 50 juta, Kris menyusun skenarionya berdasar berbagai catatan tentang peristiwa bersejarah itu. Sutradaranya Sofia W.D. dibantu koreografer Farida Feisol dan Sentot. S. Sepertiga pertunjukan, Rosihan Anwar bangkit dari kursi dan keluar. "Tempo permainannya sangat lamban. Membosankan," katanya. Sisipan banyolan oleh gabungan pelawak Warkop Prambors dan Kwartet S., dan nyanyian Marini serta Hetty Koes Endang -- lagu-lagu pop masa sekarang -- menyebabkan kabaret itu makin tak jelas apa maunya. Salah seorang pemain bahkan menyebutkan, "kabaret ini justru jadi korban semangat partisipasi para artis yang semuanya ingin ambil bagian." Yang agak mengherankan, dalam cerita itu sama sekali tak muncul tokoh Bung Tomo, "Ada kesulitan menampilkan tokoh itu," kilah Sofia W.D. Tokoh-tokoh lain dalam peristiwa itu disebut dengan jelas
06 Juni 1981
Masuk nominasi ffi '81
PEMAIN baru yang masuk dalam nominasi FFI Surabaya untuk kategori pemeran utama wanita, Nungky Kusumastuty, 22 tahun (Perempuan Dalam Pasungan), nampak sangat gembira. Sehari sebelum pengumuman pemenang Citra, 30 Mei, ia merasa perlu menyeterika pakaiannya lebih dulu supaya di malam yang mendebarkan itu tampak necis. Bahkan ia sudah melatih diri bagaimana harus tampil seandainya terpilih sebagai aktris terbaik. Diyan Hasri, 22 tahun, juga pendatang baru yang masuk dalam nominasi pemeran utama pria -- untuk permainannya dalam Usia 18 -- membantu Nungky. Di kamarnya, di Hotel Garden, Surabaya, Diyan berlagak sebagai pejabat yang menyerahkan Piala Citra pada Nungky . "Dia saya ajari bagaimana gaya berjalan menuju panggung untuk terima hadiah," kata Diyan kepada TEMPO. "Ah, dia cuma meledek saja," sahut Nungky. Dan kedua orang muda itu ternyata tak dapat apa-apa. Yang menang untuk kedua kategori itu Maroeli sitompoel dan Mike Wijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar