Sabtu, 29 Januari 2011

MINAH GADIS DUSUN / 1966

MINAH GADIS DUSUN

Judul film diambil dari judul lagu "Minah Gadis Dusun", yang dipopulerkan oleh Titiek Puspa.


PERNAHKAH Anda mencium Titiek Puspa? Saya pernah. Lho kok bisa? Begini ceritanya: 
Awal Januari tepat 50 tahun yang lalu, saya bersama tiga orang remaja asal Surabaya berangkat ke Jakarta naik KA Gaya Baru. Ketiga teman saya masing-masing Ali Bas, Untung Risa dan Hadi Baya. Kami berempat yang rata-rata berusia antara 21- 23 tahun ini bertekad mengadu nasib di Jakarta.

Kebetulan kami termasuk para calon artis yang terpilih di antara 50 siswa Pensitrafi (Pendidikan Seni Teater & Film ) untuk memulai debutnya sebagai pemeran pembantu dalam flm "Minah Gadis Dusun" yang dibintangi Titiek Puspa, Dicky Zulkarnaen, Rachmad Kartolo, Tuti S, Farouk Afero, S. Efendy dan masih banyak lainnya. Di antaranya kami berempat tadi. Sungguh casting yang diberikan oleh sutradara S. Waldy (mantan suami Sofia WD ) termasuk luar biasa ketika itu. Karena siapa pun pasti bangga bisa main film bersama artis-artis top di zamannya.

Apalagi kami terpilih atas penunjukan langsung dari S. Waldy yang saat itu merangkap sebagai direktur Pensitrafi. Pensitrafi sendiri berdiri di pertengahan 1965 di Jalan Pemuda Surabaya ( lokasinya jadi satu dengan SMA Tri Murti). Sehingga selepas SMA, saya yang sejak masih SMP sudah bercita-cita menjadi sutradara film itu, langsung melangkahkan kaki belajar acting dan penyutradaraan. Gayung pun bersambut. S. Waldy secara khusus menularkan ilmunya ke mereka-mereka yang dinilai punya bakat tinggi.

Tapi tak  sampai lima bulan nengajar, S. Waldy yang Indo Jerman ini, mendapat telepon untuk segera kembali ke Jakarta, karena sinopsis cerita "Minah Gadis Dusun" yang diadopsi dari lagu hit Titiek Puspa akhir 1965 disetujui oleh I. Harun, produser "Berdikari Film" untuk diangkat ke layar putih. Tapi tolong jangan dibayangkan fim yang akan digarap sutradara kelahiran tahun 1919 ini berwarna plus cinemascope. Sama sekali belum ke situ, karena film "Minah Gadis Dusun" adalah salah satu dari empat film hitam putih terakhir diproduksi di awal tahun 1966. Setelah itu barulah Film "Sembilan" yang disutradarai Wim Umboh, tercatat sebagai film Indonesia berwarna pertama.

Terus terang waktu itu kami tak ada rasa menuntut mengapa main di film hitam putih. Dapat peran sudah alhamdulillah, apalagi bukan figuran numpang lewat. Kami semua dapat peran, ada yang berperan sebagai staf  kantor, lurah. Saya sendiri mendapat peran sopir. Lumayan sekitar 12 scene dan sudah barang tentu itu membanggakan.

Pada akhirnya setelah menunggu dua minggu dan diseling enam hari lima malam tidur di teras studio "Tan Wong Bross" di Jalan BIdara Tjina ( kini Jalan Otto Iskandar Dinata Jatinegara ), saya pun mulai merasakan getarnya nadi ini ketika syuting pertama kali. Bayangkan anak udik yang baru berusia 21 tahun harus berhadapan dengan kamera untuk pertama kalinya. Wah apalagi disaksikan bintang-bintang besar antara lain Titiek Puspa dan Dicky Zulkarnaen. Kalau saja tidak teringat sudah mendapat sepertiga nilai kontrak sebesar Rp.300.000 yang bakal saya terima, pasti saya sudah retake berulang-ulang.

Memang syuting film "Minah Gadis Dusun":ini tidak cuma di seputar Jakarta, tapi juga sampai ke Sukabumi, Pelabuhan Ratu, Tagog Apu kawasan bukit kapur di Padalarang, Banten dan di sekitar Bandung. Tentu ini merupakan pengalaman baru bagi kami berempat, karena jarang sekali Arek Surabaya bisa bersama artis-artis top "tour" selama satu bulan di kawasan Kabupaten Bandung dan sekitarnya. 

Tapi di balik itu semua ternyata ada hal-hal yang  kurang saya perhitungkan. Tak bisa ditolak saya terlalu royal, mulai dari makan sampai beli busana maunya yang lagi tren. Tak pelak lagi, uang kontrak film mulai menipis, sehingga sering nebeng teman dan bintang. Inilah awal dari  sebuah ""bencana", ketika Hadi salah seorang teman menantang saya, kalau berani menciumTitiek Puspa ysng ketika itu usia baru 28 tahun, maka dia akan memberi saya uang    ketika itu senilai makan selama dua hari. Pokoknya mencium pipi walaupun sekedar nempel,  maka tanpa pikir panjang saya lawan tantangannya. 

Di saat Titiek lagi syuting memanen padi di kawasan Sukabumi. Bisa dibayangkan khan, jika ada artis syuting tentu penontonnya meluber bahkan sampai berdesak-desakan. Inilah momen  yang pas kata saya dalam hati, itu pun setelah bersiasat dengan Ali dengan janji memberinya fee. Yang peting bisa mencium pipi bintang cantik Titiek Puspa. Nah, -setelah satu jam action memanen, sutradara pun berteriak: Cut..ayo break..!

Inilah saya mulai action juga, apalagi penonton semakin berdesakan di pematang, sehingga jalannya Titiek terhadang. Saya yang juga bertugas rangkap menjadi pengatur penonton juga sibuk. Sementara teman yang berjanji membantu saya supaya bisa mencium sang artis Titiek sudah mulai bersiap siap, satu..dua ..tiga, tiba-tiba tangan teman saya serasa sangat kuat mendorong  punggung saya.

Ya..ampun bukan pipi Titiek yang saya cium "sak nyuk-an" tapi kondenya. Benar saya mencium konde Titiek. Tak pelak lagi konde pemeran utama film yang menghabiskan masa syuting tiga bulan ini jadi agak berantakan. " Piye toh iki..arek Surabaya iki...!!, ujarnya agak cemberut. 

Saya pun langsung minta maaf. Begitulah belakangan si teman yang saya tugasi mendorong pelan di saat suasana penonton berdesakan, mengaku, di detik detik persis akan mendorong, tiba tiba kakinya terperosok. Jadi kebablasan. Sial sungguh memang,  sudah gagal mencium pipi seklebatan, bibir pun tergores tusuk konde.

TENTANG MINAH GADIS DUSUN.
Sekitar tahun 1960 an Titik Puspa punya cerita tentang seorang gadis dusun yang datang ke kota jakarta dan terkagum-kagum kepada kemegahan kota Jakarta, kekaguman seorang gadis lugu itu dibuatkan dalam sebuah lirik lagu dan diberi judul MINAH GADIS DUSUN, liriknya seperti dibawah ini :

Inginkah kawan tahu

Siapa daku

Minah gadis dari

Dusun di gunung

Jauh daku berjalan menuruninya

hanya ingin menjenguk indahnya kota

Amboi indah dah megah

Kotamu kawan

Rasa daku mimpi

Didalam surga

Jejaka dan gadisnya tampan dan cantik

Gedung tugu dan mobil oh amboi-amboi

Tapi maaf kawan, daku tak tinggal lama

Kekasih hatiku rindu menanti

Tunggu saja kiriman

Hasil panenku

Daku orang dusun

pandai bertani

Hanya pesanku kawan

Jaga negerimu

Sampai berjumpa lagi

Salam manisku, salam manisku

Andaikata Minah datang kembali hari ini ke Jakarta, apakah dia masih terkagum-kagum atau mungkin jauh lebih kagum dibanding 50 tahun yang lalu, atau bisa jadi malah sebaliknya Minah semakin prihatin.

Dia mungkin makin kagum dengan makin banyaknya gedung-gedung tinggi, tapi dibalik kekagumannya bisa jadi dia prihatin, gedung yang menjulang tinggi-tinggi tapi bila musim hujan tiba jalan-jalan yang melingkari dan melewati gedung-gedung itu digenangi air tinggi-tinggi alias banjir, sehingga penghuni gedung bisa jadi untuk beberapa hari tidak bisa beraktivitas.    Makin prihatin lagi, bila dia melihat dibalik gedung yang tinggi masih terlihat deretan rumah-rumah kumuh, becek,  sesak dan bau sampah yang menyengat.

Minah mungkin semakin bingung, begitu makin banyaknya mobil- mobil mewah berseliweran, memacetkan lalu lintas dan asap knalpon bisa membuat napas sesak, dan dia merasa miris ditengah-tengah kemacetan lalu lintas, berseliweran lah tukang minta-minta menengadahkan tangan meminta belas kasih kepada para pengendara mobil, dengan pakaian compang camping beda jauh dengan pakain yang dikenakan orang-orang yang ada dalam mobil-mobil sedan itu.

Masya Allah, gadis dan jejakanya memang cantik dan tampan,  tapi mereka bukan suami isteri bebas berpelukan ditenah keramaian, bahkan dari balik kaca restaurant sepasang muda-mudi asyik berciuman, oh amboi-amboi.... apakah ini serasa di surga atau neraka.

50 tahun yang lalu memang dari segi phisik kota jakarta jauh lebih megah, tetapi 50 tahun yang lalu berita tentang jakarta banjir nyaris tidak ada, udara juga masih segar, hanya ada satu dua peminta-minta dan pemulung, gadis dan jejakanya masih cukup sopan berprilaku di jalan  dan tidak ada cerita macet, dimana dari Pancoran Kota ke Kebayoran Baru yang asri waktu itu bisa ditempuh dalam bilang menit, sekarang bukan tidak mungkin harus ditempuh dalam hitungan jam.

Mobil mewah banyak, tapi yang berhimpitan di bus kota tidak kalah banyak pula.   Tahun 60 an Minah naik bis kota merk ROBUR tidah harus berhimpitan dan tidak ada kemacetan seperti sekarang, Minah masih bingung, apakah ini yang namanya tanda-tanda kemajuan atau tanda-tanda kehancuran.

Akh, Minah tak perlu waktu berlama-lama di Jakarta, dia berpikir sebaiknya cepat-cepat pulang kedesa, disana masih ada ketenangan.

Tapi Minah tetap Minah, dibalik keprihatinannya dia masih bisa berpesan seperti 50 tahun yang lalu :"Jaga negerimu kawan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar