Senin, 31 Januari 2011

ALBERT BALINK 1937-1935



Balink  dengan cepat dapat modal mendirikan perusahan ANIF karena mendapat  dukungan kerjasama dengan perusahan film Belanda, Profilti dan  perusahaan Amerika, RKO Radio Picture. Siaran ANIF pada akhir 1936  menyebutkan kerja sama tersebut serta nama para penggerak usaha besar  ini. Balink duduk sebagai produser, pimpinan kamera Mannus Franken,  laboratorium dipimpin W.G Sips, sedang kakak beradik Wong berada pada  staff kamera. Bahkan ia mengikut sertakan Nelson yang sedang sakit. Wong  bersaudara ini diajaknya karena ia ingin agar Wong mendapat uang banyak  untuk mengganti rugi uang Wong yang sudah habis sewaktu membuat film Pareh.

Perlengkapan suara yang selama ini  menjadikan film Hindia lemah, dibeli dari Paris dan Amerika. Rencananya  ia akan membuat film dokumentar De Spiegel Van Indie (cermin Hindia),  dan rencana peredarannya di Negeri Belanda, dan pemodal ada Amerika RKO  Radio Pictures untuk peredaran Internationalnya. Dan selain itu juga ada  rencana membuat film cerita diantara lainnya Goa Djin, Tanah Wangi,  Boemi Berapi, Terang Boelan, Gogoda dan Tjandoe. Tetapi Balink malah  tertarik bikin film cerita dari pada orderan film dokumentarnya yang  sebelumnya. Maka proyek film dokumentar itu ia berikan pada Mannus  Franken. Sedangkan ia January-Febuary 1937 sudah mulai membuat film  Terang Boelan yang dia pilih dari rencana film yang lainnya. Dan Mannus  Franken tidak ikut dalam pembuatan Terang Boelan ini. Franken  disingkirkan karena film cerita yang akan dibuat ini tidak sesuai dengan  titik utama perhatiannya, yakini pada segi Etnologi dan Dokumentar.


Film Indonesia dimulai dari sini saja, karena di setiap negara juga tidak pernah tahu dari mana mulai sejarah film sebuah negara, karena ini berhubungan dengan jaman kolonialisme, yang dimana Sinema dibawa oleh kaum kolonialis pertamakali ke tanah jajahan mereka. Dan sudah pasti Belanda lah pertama kali yang memperkenalkan Sinema pada orang Indonesia mengingat jamannya saat itu.

Meski pun ia cuma menghasilkan 2 buah film, tetapi namanya menjaditerkenal di kalangan dunia film Indonesia sebelum perang. Karena filmnya menjadi tonggak baru dalam sejarah perfilman Indonesia.

Albert muncul tahun 1934 orang yang berani membuat film dalam kondisi situasi yang pelik tentang perfilman. Orang Belanda ini bukan tidak gentar menghadapi berbagai masalah dalam industri pembuatan film dengan keyakinan penuh bisa menundukan penonton Hindia. Caranya adalah dengan menggoncangkan penonton Hindia dengan film yang hebat. Targetnya bukan penonton kelas kambing dengan mutu film rendah, tetapi dengan penonton bangsa Barat. Yaitu dengan membuat film Pareh dan Terang Boelan dengan merayap di lumpur. Ini sama dengan yang dilakukan oleh The Ten Chung lewat film silat Cina.

Albert adalah wartawan Soematra Post yang terbit di Medan. Belanda totok ini sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam membuat film. Pengetahuannya, kata Wong hanya dari bacaan saja. Misinya dalam membuat film juga tidak tahu, kenapa ia tertarik. Tetapi ia juga yang melontarkan agar membuat film cerita 1926 sama seperti di Birma saat itu.


Mungkin ia melihat kegagalan film saat itu karena produser dan pembuat filmnya membuat film-film yang berbau picisan. Oleh karena itu ia ingin membuat film yang besar yang berbeda dilakukan oleh The Ten Chung. Sponsor utama dalam proyeknya adalah dari F.F.Buse raja bioskop Bandung. Mungkin kepandaian Balink dalam meyakinkan Buse sehingga Buse mau terlibat. Balink adalah tokoh yang penuh semangat dan yakin terhadap gagasannya itu. Sampai ia meninggal 1976 setelah menyaksikan kenyataan yang pahit. Walaupun ia masih terus mencita-citakan sebuah film yang hebat, yang membuat orang tertawa saja.

Ia bekerja sama dengan Wong dalam menyediakan peralatan Studio primitif di Bojong Loa, bekas pabrik tepung Tapioka. Sangat primitf sekali untuk kamar gelap saja hanya dengan menempelkan kertas hitan dan berteduh di bawah pohon. Seluruh modal datang dari Balink, sehingga ia yang berkuasa. Nama perusahaan yang dipakainya adalah JPF milik Balink.

Cerita yang mereka bikin adalah Pareh (kata Sunda), yang artinya padi. Oleh karena itu harus ditambahi dengan Een Rijslied van Java (Lagu padi dari Jawa), cerita yang diangkat adalah seputar pelarangan perkawinan desa pesisir dengan desa pertanian, ceritanya percintaan antara desa pesisir dan desa pertanian dan ditambahi bumbu action. Jadi mirip film-film Krugers yang berbau Etnologi. Walaupun pendekatannya berbeda. Balink menginginkan semuanya serba sempurna. Ia mau pemainnya betul-betul berpotongan ideal dan tempat lokasinya digunakan harus sesuai dengan kebutuhan cerita. Untuk itu dia harus hunting hampir 2 tahun sampai persediaan ua pribadi keluarga Wong ludes. Karena penelitian dan Hunting seperti itu belum pernah dilakukan sebelumnya.

Wong harus ikut hunting bersamanya kepelosok pasundan untuk menemukan tempat yang cocok, tetapi selalu saja ada yang kurang. Begitu juga dengan pemain, ia menghabiskan banyak calon pemain pribumi yang bertubuh tinggi, tegap dan ganteng. Wong sudah hampir putus asa, membuang waktu dan biaya yang gila. Tetapi Balink tetap bertahan.



Pemain yang diinginkan Balink ditemukan secara tidak sengaja saat ia, Joshua dan Otniel sedang menemani Balink minum kopi di depot. Balink teriak senang sampai Otniel dan Joshua terkejut. Peria itu ia temukan. Tetapi peria itu melintas dewngan sepeda motor, dan mereka mengejarnya dengan mobil. Melihat pemuda itu dikejar oleh orang pakai mobil dan didalamnya ada Belanda totok, maka pemuda itu melarikan diri karena takut akan Homo Seksual (saat itu sedang ramainya homoseksual). Setelah ditemukan, Balink masih kurang puas juga, Mochtar nama pemain itu harus diberi gelar ningrat. Mochtar memang berdarah bangsawan, tetapi orang tuanya meninggalakan masalah darah biru itu karena urusan politis. Dan Balink ingin Mochtar harus memakai gelar ningratnya lagi. Balink sendiri menyelusuri gelar itu dan Mochtar memang berhak menyandang gelar Raden lagi. Dan Balink ingin Mochtar jadi Rd.Mochtar. Jadilah pemuda ini terkenal.

Untuk menjamin artistik film ini Balink mendatangkan Mannus Franken dari negeri Belanda. Franken menyatakan bahwa agar film ini bukan saja menjadi daya tarik orang Pribumi tetapi bagi Bangsa Eropha dan Amerika. Makanya film harus mengungkapkan kehidupan sebuah bangsa, karena sebahagian orang masih merupakan buku/ yang tertutup. Dipihak lain film ini bertujuan untuk membuat pandangan baru bagi bangsa melayu, beda dengan film-film Amerika dan Eropha yang selalu menampilkan percerian, rasa hormat pada Gangser, pesta Coctail, dan kenikmatan berlebihan dari bangsa kulit putih.

Dalam pembuatan film ini Franken jarang hadir. Menurut Joshua, Franken memnguasai kamera hanya tertarik dengan shot-shot yang artistik saja bersifat dokumentar. Franken merundingkannya dengan Balink di rumah, oleh karena itu Balink meneruskan ide itu pada Wong karena Balink tidak menguasai kamera. Shotnya sudah banyak dan tidak Statis lagi sifatnya seperti film Wong sebelumnya, karena ada tangan Franken. Karena itu dititle film Franken dimasukan dalam juru kamera bersama Joshua dan Otniel Wong.

Pencucian film dan editing dilakukan di Belanda, Franken dikirim untuk mengatur semuanya. Dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, juga ilustrasi musik dibuat disana.

Dan demi kepentingan komersial, terutama bagi masyarakat Belanda nama Albert Balink dalam Title film dinomor duakan. Oleh karena itu tidak ada yang disebut sutradara dalam title film tetapi hanya Film Dari Mannus Franken-Albert Balink. Yang dicantumkan dalam penulis cerita Balink.

Film ini dihargai bagi kaum Intelek, mendapat pujian yang paling tinggi bagi film Indonesia. Cuma modalnya terlalu tinggi. Di Belanda sendiri film ini masuk dalam film Klasik, karena berkaitan dengan nama Mannus Franken. Namun tetap saja modal yang dikeluarkan besar sehingga sangat sulit untuk balik modal. Film ini hanya tertarik bagi golongan atas saja, sedangkan Pribumi tidak tertarik karena terasa asing. Bahkan Rd MOchtar sendiri tidak menonmton film ini keseluruhan karena baginya terasa asing dimata Pribumi.

Anggaran film ini 20 kali dari anggaran film yang wajar saat itu. Biaya itu wajar bagi kerja keras Balink yang ingin sempurna. Belum lagi honor Mochtar perbulan yang cukup besar, 3 kali lebih gaji Asisten Wedana/perbulan. Balink melakukan sesuatu yang besar dan juga dengan taruhan yang besar. Walaupun akhirnya keuangan Wong ludes selama 2 tahun berproduksi.
 
Setelah film Pareh JPF bangkrut. Lalu Balink ke Batavia untuk mencari modal lagi. Beberapa kemudian Balink telah berhasil mendapatkan modal dan meyakinkan Escompto Bank dan perusahaan pelayaran Rotterdamsche Lloyd, dengan gagasan membuat film-film dokumentar tentang Hindia terutama untuk diputar di Holland. Dan lalu mendirikan perusahan baru ANIF (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat). Hal ini disebabkan perhatian Belanda terhadap film dokumentar dan upaya untuk menggali banyak objek di Hindia. Sejak dulu belum ada yang betul-betul berhasil. Padahal perusahaan film asing UFA (Jerman) dan Pathe (perancis) atau Universal (Amerika) telah sejak dulu menarik keuntungan dari objek dokumentar yang kaya dan unik di negara tropis jajahan Belanda ini.

Yang menguntungkan Balink dalam meyakinkan pemilik modal ini adalah karena tahun 1934 ia pernah menyajikan film dokumentar yang cukup menarik perhatian pemerintah Belanda, De Merapi Dreigt (Gunung Merapi Mengancam) produksi Java Pasifik Film. SEbelum film Pareh, Balink dan Wong membuat film dokumemntar ini. Film yang disebut sebagai film bicara pertama yang dibuat di Hindia Belanda ini (maksudnya tentu untuk jenis film dokumentar). Banyak yang memuji film dokumentar itu baik, penyuntinganya yang baik, tanpa banyak pretensi, dan skenario yang di rencanakan secara matang. Ia dibantu oleh Mannus Franken juga.


22 Desember 1936, film berita pertama buatan ANIF sudah bisa di putar di Den Haag Belanda. Film ini isinya keramaian dilapangan Waterloo (lapangan banteng sekarang) dibawah pimpinan Indo Eropean Verbond, peserta pertandingan, pawai ke Istana Gubernur Jendral, Pasar Gambir (semacam Pekan Raya), penghormatan Gubernur Jendral baru dan sebagainnya. Film ini dinilai sebagai pengerat persatuan Belanda dan Hindia.

Balink dengan cepat dapat modal mendirikan perusahan ANIF karena mendapat dukungan kerjasama dengan perusahan film Belanda, Profilti dan perusahaan Amerika, RKO Radio Picture. Siaran ANIF pada akhir 1936 menyebutkan kerja sama tersebut serta nama para penggerak usaha besar ini. Balink duduk sebagai produser, pimpinan kamera Mannus Franken, laboratorium dipimpin W.G Sips, sedang kakak beradik Wong berada pada staff kamera. Bahkan ia mengikut sertakan Nelson yang sedang sakit. Wong bersaudara ini diajaknya karena ia ingin agar Wong mendapat uang banyak untuk mengganti rugi uang Wong yang sudah habis sewaktu membuat film Pareh.
 

Sesuai dengan semangatnya, studio didirikan bangunan baru yang hebat diwilayah Jatinegara (sekarang menjadi PFN). Perlengkapan suara yang selama ini menjadikan film Hindia lemah, dibeli dari Paris dan Amerika. Rencananya ia akan membuat film dokumentar De Spiegel Van Indie (cermin Hindia), dan rencana peredarannya di Negeri Belanda, dan pemodal ada Amerika RKO Radio Pictures untuk peredaran Internationalnya. Dan selain itu juga ada rencana membuat film cerita diantara lainnya Goa Djin, Tanah Wangi, Boemi Berapi, Terang Boelan, Gogoda dan Tjandoe. Tetapi Balink malah tertarik bikin film cerita dari pada orderan film dokumentarnya yang sebelumnya. Maka proyek film dokumentar itu ia berikan pada Mannus Franken. Sedangkan ia January-Febuary 1937 sudah mulai membuat film Terang Boelan yang dia pilih dari rencana film yang lainnya. Dan Mannus Franken tidak ikut dalam pembuatan Terang Boelan ini. Franken disingkirkan karena film cerita yang akan dibuat ini tidak sesuai dengan titik utama perhatiannya, yakini pada segi Etnologi dan Dokumentar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar