Minggu, 07 Maret 2010

SEJARAH FILM HOROR INDONESIA

FILM HANTU/MISTIK di INDONESIA
Film horor hampir sama tuanya dengan film itu sendiri. Hanya satu tahun dari demontrasi proyektor pada tahun 1895 oleh Robert Paul di London, Lumiere bersaudara di Paris, dan Thomas Alva Edison di Atlanta, Georges Melies membangkitkan hantu-hantu dari kubur dan merekamnya dalam Lc Manoir du Diable (1896). Semenjak itu orang dapat melihat hantu-hantu tanpa memerlukan kekuatan gaib.

MESKIPUN dikenal di Indonesia semenjak tahun 1900-an, butuh waktu 41 tahun bagi rakyat negeri ini untuk menyaksikan hantu-hantu mereka sendiri di layar, melalui film Tengkorak Hidoep (1941). Jika patokannya adalah film Lisa (1971) yang sering disebut sebagai film horor Indonesia pertama maka waktu yang diperlukan adalah 71 tahun.

Patokan itu masih bisa diperdebatkan, namun yang jelas keduanya dibangun di atas subgenre horor yang berbeda. Tengkorak Hidoep menampilkan sebuah demonic horror atau satanic horror (arketip film horor), monster yang bangkit dari kubur dan ingin membalas dendam pada reinkarnasi orang yang telah membunuhnya dalam sebuah pertarungan. Lisa mengetengahkan sebuah psychological horror, seorang Ibu tiri yang dihantui figur fantasmatik anak tirinya yang telah ia binasakan namun sesungguhnya masih hidup dan bersembunyi di suatu tempat.

Berkebalikan dengan Tengkorak Hidoep, Lisa tak begitu sukses di pasaran, tapi telah melakukan lompatan penting. Keberadaan figur fantasmatik yang meneror sang ibu tiri membangun permainan intertekstualitas, yang pada saat itu bahkan belum terpikirkan oleh dedengkot-dedengkot film horor Barat, dan baru muncul di era 90-an lewat film Heavenly Creatures (1994) arahan sutradara New Zealand, Peter Jackson.

Di tahun yang sama muncul film Beranak dalam Kubur. Film ini juga menjual iblis yang bangkit dari kubur demi membalas dendam pada kakak yang membunuhnya untuk menguasai perkebunan milik keluarga, namun anehnya juga menakut-nakuti penduduk.

Sebuah psychological horror lain, berjudul Pemburu Mayat, diproduksi pada tahun 1972, berkisah tentang pencuri mayat yang mengidap nekrofilia (suka menyetubuhi mayat) dalam permainan logika ala Hitchcock yang mengejek metode deduksi.

Kemunculan film dengan subgenre seperti itu diiringi film demonic hor­ror, seakan-akan terjadi sebuah pertarungan antara dua ethos ini. Judul film itu adalah Ratu Ular (1972), mencerilakan scorang janda cantik kaya pemuja setan. Pada tahun-tahun selanjutnya, kita dapat melihat siapa pemenang pertarungan tersebut. Dari 20 judul film horor yang diproduksi selama 1973-1979, semuanya menampilkan kisah-kisah demonic horror yang bercampur dengan okultisme, sadisme, seks, dan komedi: Cincin Berdarah (1973) Mayat Cemburu (1973) Si Comel (1973), Si Manis Jembatan Ancol (1973), Drakula Mantu (1974), Kemasukan Setan (Dukun) (1974), Kuntilanak(1974), Arwah Penasaran (1975), Penghuni BangunanTua, (1975), Setan Kuburan (1975), Ingin Cepat Kaya (1975), Arwah Komersil dalam Kampus(1977), Dewi Malam (1978), Godaan Siluman Perempuan (1978), Pembalasan Guna-guna Istri Muda (1978), Tuyul (1978), Kutukan Nyai Roro Kidul, (1979), Penangkal llmu Teluh, (1979), Tuyul Eee Ketemu Lagi (1979), Tuyul Perempuan (1979).

Kemenangan tersebut agaknya didorong oleh trend film horor global masa itu yang berkiblat pada Rosemary`s Baby (1968) Roman Polanski, film berbudget rendah, namun sukses secara pemasaran dan dipuji-puji kritikus. Film Kemasukan Setan (Dukun) (1974) menunjukan keterpengaruhan yang kuat, jika tak mau dibilang mengadaptasi, The Exorcist (1973), film William Friedkin, salah satu pengikut Polanski. Munculnya klenik seperti dalam Pembalasan Guna-Guna Istri Muda (1978), Cincin Berdarah (1973), Penangkal llmu Teluh (1979), juga menunjukan jejak Polanski. Masuknya monster gothic Eropa untuk pertama kalinya ke dalam film horror Indo­nesia, seperti drakula dalam Drakula Mantu (1974) merupakan hasil sadapan terhadap film-film para sineas Italia seperti Mario Bava, Dario Argento, Lucio Fulci, atau Spanyol seperti lacinto Molina, lesus Franco yang pada tahun 70-an menghadirkan kembali hantu-hantu tradisional Eropa yang sebelumnya, di tahun 50-an digarap oleh Hammer Films. Atavisme orang-orang Eropa itu mengilhami pula naiknya makhluk-makhluk gaib lokal seperti Tuyul dan Nyai Roro Kidul.

Horor Komedi
Kejutan di masa itu diberikan oleh Mayat Cemburu (1973), yang menjadi momen pertama penggarapan horror comedy, bukan hanya di kancah perfilman nasional, tetapi juga internasional. Sayang, sejarah justru mencatat Close Encounters of the Spooky Kind (1980) Sammo Hung sebagai pelopor subgenre ini.

Tahun 80-an merupakan tahun keemasan film horor Indonesia. Tercatat 69 judul film horror yang di suguhkan ke khalayak - jumlah produksi tertinggi genre horor sampai saat ini. Demonic atau satanic horror, masih menjadi favorit. Dari 69 judul tersebut hanya ada satu yang mengambil bentuk psychological horror, yaitu Misteri Sumur Tua (1987).

Maraknya produksi film horor pada masa-masa itu dibarengi den­gan peningkatan kualitas. Ratu Pantai Selatan (1980) mendapatkan piala LPKJ pada FFI 1981 untuk Spesial Efek; Akting Rina Hasyim dalam Genderuwo(1981) masuk unggulan FFI 1981 untuk Pemeran Pembantu Wanita; Dalam FFI tahun yang sama Ratu llmu Hitam (1981) bahkan masuk unggulan dalam lebih banyak kategori, Suzanna untuk Pemeran Utama Wanita, WD Mochtar untuk Pemeran Pembantu Pria, juga editing, fotografi, dan artistik. Pada FFI 1987, 7 Manusia Harimau (1986) masuk unggulan untuk Pemeran Pembantu Pria (Elmanik), sementara Pernikahan Berdarah (1987) diunggulkan untuk kategori Artistik pada FFI 1988.

Antusiasme Penonton
Di lain pihak, penonton juga semakin baik merespon film-film jenis ini. Sundel Bolong (1981) mencapai 301.280 penonton dan menjadi Film Terlaris III di Jakarta pada tahun 1981. Nyi Blorong (1982) menjadi Film Terlaris I di Jakarta pada tahun 1982, dengan jumlah penonton 354.790, jumlah yang membawanya menggondol Piala Antemas FFI untuk Film Terlaris 1982-1983. Pada tahun itu pula Setan Kredit (1982) menjadi Film Terlaris IV di Jakarta dengan 279.446 penonton. Telaga Angker (1984) juga menjadi Film Terlaris IV di Jakarta pada tahun 1986, ia menarik minat 235.491 penonton. Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986) yang dilarang diputar di Lampung karena sadisme dan pornografi, menjadi Film Terlaris IV di Jakarta tahun 1987, mengumpulkan 290.412 penonton. Dengan meraup 325.473 penonton, Santet (1988) menjadi film terlaris V di Jakarta, 1989.

Dekade selanjutnya, jumlah produksi film horor menurun sampai lebih dari separuh. Hanya ada 33 judul. Beberapa adalah sekuel dari film sebelumnya, seperti Misteri dari Gunung Merapi II (Titisan Roh Nyai Kembang) (1990), Misteri dari Gunung Merapi III (Perempuan Berambut Api) ( 1990), yang melanjutkan Misteri dari Gunung Merapi (Penghuni Rumah Tua), (1989) atau versi layar lebar serial televisi yang sukses, seperti Si Manis lembatan Ancol (1994).

Selebihnya hampir semua adalah variasi dari tema-tema sebelumnya. hanya jauh lebih berani dalam pamer tubuh, sebagai bagian dari fenomena film `esek-esek` masa itu, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Gairah Malam (1993), Godaan Perempuan Halus (1933), Misteri di Malam Pengantin (1993), Susuk Nyi Roro Kidul, 1993 Godaan Membara, 1994, Cinta Terlarang (1994), Pawang (1995), Bisikan Nafsu (1996), Mistik Erotik (1996), Rose Merah, (1996), Birahi Perempuan Halus (1997).

Psychological horror tetap kurang dilirik dan terpinggirkan. Seperti periode sebelumnya hanya terdapat satu judul, yaitu Guntur Tengah Malam (1990). Bahkan kali ini, tampak sebuah usaha untuk mensintesiskannya dengan demonic horror. Film ini mengisahkan perebutan harta antara seorang tante dengan dua keponakannya, laki-laki dan perempuan, plus istri sang keponakan laki-laki, yang berkomplot membunuhnya dengan ilmu gaib. Ketiga anggota komplotan itu kemudian dihantui rasa bersalah. Si keponakan perempuan kemudian tewas secara mengerikan, sementara sang keponakan laki-laki terus diburu rasa bersalah, dan akhirnya dibunuh oleh istrinya sendiri yang sebelumnya masuk rumah sakit jiwa dan berubah men­jadi monster.

Biographic Horror
Kisah Nyata Dukun AS (Misteri Kebun Tebu) (1997) dan Misteri Banyuwangi (Dukun Santet) (1998) mencoba memunculkan gagasan segar dengan mengangkat kisah nyata ke dalam film horor dan melahirkan dua subgenre baru, sebut saja biographic horror untuk Kisah Nyata Dukun AS yang meng­angkat pembunuhan berantai yang dilakukan dukun berinisial AS yang mengaku telah membunuh 42 orang, setelah ditemukannya mayat 26 perempuan di Perkebunan Nusantara II, Dusun I, Kelurahan Aman Damai, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, tahun 1997; dan sociohistorical horror bagi Misteri Banyuwangi yang berangkat dari kasus "perbunuhan para dukun" pada tahun 1998 yang hingga kini belum terungkap.

Film horror yang masuk Film Terlaris pada dekade 90-an ini adalah Ajian Ratu Laut Kidul, (1991), Film Terlaris V di Jakarta pada 1992, ditonton oleh 251.089; Skandal Iblis (1992), film Terlaris III lakarta 1993 dengan 216.183 penon­ton; dan Gairah Malam (1993), yang mengumpulkan 269.804 dan menja­di Film Terlaris III di Jakarta tahun 1994.

Dari Narrative Horror ke Visual Horror
Film horor Indonesia pada milenial ke dua ditandai oleh kemunculan Jelangkung (2001) yang memberi nuansa lain, karena kekuatannya dalam fotografi, editing, dan suara. Dari Oktober 2001 sampai Januari 2002 ditonton 748.003 orang di Jabotabek. Pada FFB 2002, ia mendapatkan penghargaan Terpuji untuk Efek Khusus.

Jelangkung, menghadirkan karakter-karakter remaja urban, yang sebelumnya tak pernah disentuh oleh film horror Indonesia, tetapi semenjak Scream (1996) karakter-karakter remaja dalam film horror memang merebak. Film Rizal Mantovani ini juga dipengaruhi film-film J-Horror (horor Jepang) yang menjadi trend internasional semenjak keberhasilan Ringu karya Hideo Nakata di tahun 1997. J-Horror lebih menampilkan adegan-adegan menegangkan dan mengerikan ketimbang gelimangan darah The Sixth Sense (1999) M. Night Shyamalan adalah contoh pal­ing berhasil dari film Barat yang dirasuki ruh Nakata.

Pengaruh itu, serta kepercayaan Rizal pada gambar, sebagaimana generasi baru perfilman Indonesia, serta latar belakangnya sebagai pembuat video klip, membuatnya abai pada cerita dan lebih memfokuskan diri visualisasi. Sadar atau tidak, Rizal telah memindahkan film horror Indonesia dari narrative horror ke visual horror.

Beberapa Pertanyaan
Dalam 33 tahun, berangkat dari Lisa (1972), atau 64 tahun dari film Tengkorak Hidoep (1941), sebenarnya satu hal telah terbukti. Yakni bahwa film horror yang kebanyakan berurusan dengan hal-hal supranatural atau hal-hal berbau mistik itu ternyata memiliki dasar pijakan yang kuat dalam kultur kita. Tema mistik adalah bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Ini adalah sebuah tema yang sangat dekat dengan cara berpikir dan memori kultural sebagain besar masyarakat kita.

Ini juga sudah terbukti bahwa film jenis ini dapat meraup penonton yang sangat luas. Dan kini kita masih dapat menyaksikan menjamurnya tema horor-mistik ini di televisi. Dilihat dari segi mana juga, film genre ini tak akan habis-habis jika digali. Jika kita membayangkan suatu strategi pasar di dunia internasional yang cenderung menghargai keunikan dari produk budaya lokal, genre ini memiliki nilai jual yang sangat bagus. Sekarang ini hanya produk-produk yang memiliki karakteristik yang kuat yang dapat bersaing di pasar budaya internasional.

Dunia perfilman Indonesia sebe­narnya memiliki daya jual itu jika mau bersungguh-sungguh menggali khazanah horor-mistik lokal itu. Sayangnya tidak banyak, bahkan nyaris tidak ada sineas handal yang serius menggarap film jenis ini. Kenapa bisa begitu? Tak seorang pun dapat menjawab.

Barangkali diam-diam telah berlaku anggapan bahwa film besar (dan serius) hanya dapat lahir dengan tema-tema besar yang "heroik". Tema-tema mistik dalam genre horor seolah dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai tema kacangan. Seolah-olah film bermutu identik dengan tema-tema kemanusiaan yang "serius" dan soal-soal mistik bukan bagian dari keseriusan semacam itu sehingga jika menggarap tema ini bisa-bisa "jatuh gengsi"

Hal serupa terjadi juga pada sub-kultur yang jelas-jelas sangat berakar dalam masyarakat kita, yakni budaya "dangdut". Bagaimana pun, budaya dangdut adalah fenomena besar (dan barangkali asli Indonesia), dengan masyarakat pendukungnya yang luar biasa besar, tapi para peneliti, ilmuwan, seniman dan sineas yang dianggap "serius" tak ada yang sudi menyentuh tema ini.

Jika kemudian orang mengeluh bahwa film dan sinetron horor-mistik ini kian amburadul, boleh jadi itu akibat salah kaprah cara berpikir semacam itu. Film dan sinetron horor-mistik menjadi kacangan karena dibuat oleh kreator kacangan, dan bukan karena tema tersebut yang kacangan. Celakanya, dalam festival film pun, sebuah film menang bukan lantaran kehebatan penggarapannya melainkan karena temanya.

Mudah-mudahan ini bukan bentuk dari "arogansi" para pencipta budaya kita. Mudah-mudahan ini juga bukan gejala snobisme atau lebih parah lagi suatu phobia akibat rabun dekat ketika melihat fenomena yang seungguhnya berlangsung di sekitar kita.

2 komentar:

  1. "dunia perfilman Indonesia sebe­narnya memiliki daya jual itu jika mau bersungguh-sungguh menggali khazanah horor-mistik lokal".. setuju banget..sepertinya sudah jarang filmaker yang melibatkan unsur tradisional dalam film horrornya,,ga bisa lepas dari cerita urban..hehe dan ketika hanung mengangkat citra film horro tempo dulu lewat sundel bolongpun rupanya gagal..

    BalasHapus
  2. a really keren and full of information article! thanks for the write up!

    BalasHapus