Jumat, 18 Desember 2009

TJOET NJA DHIEN WOMAN OF COURAGE / 1986



Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia's great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja 'Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Uma is killed in an ambush. 'Dhien's charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. Written by Anonymous .

Another Trax.
Set in 1896, Tjoet Nja Dhien celebrates one of Indonesia’s great heroes who fought for independence from the Dutch. The pious Muslim people of Aceh, a city that had flourished since ancient times as a trade port, enter into a fierce war with the Dutch. Tjoet Nja ‘Dhien, the widow of a rebel leader operating in Aceh in Sumatra, assumes the leadership when her husband Teuku Umar is killed in an ambush. ‘Dhien’s charismatic presence and power of survival motivate the locals to join and later continue their opposition to the Dutch. Despite personal obstacles, she remained in the thick of the struggle for ten years. First Indonesian film ever to be screened in Cannes Film Festival.



Teuku Umar (Slamet Rahardjo) memimpin rakyat Aceh dalam memerangi penjajah Belanda. Teuku Umar didampingi istrinya, Tjoet Nja Dhien (Christine Hakim) dan putrinya, Tjoet Gambang (Hendra Yanuarti). Teuku Umar tewas tertembak oleh musuh. Tjoet Nja Dhien ganti jadi panglima perang. Setelah mengalami berbagai pertempuran dan pengkhianatan, tubuh Tjoet melemah dan akhirnya buta. Film ini ingin menegaskan bahwa kekuatan iman adalah segalanya.

Saya pernah menyebut film ini masterpiece. Dan tetap begitu buat saya. Sebuah film yang dibuat dengan darah dan air mata sineasnya (menghabiskan waktu 2 tahun dan miliaran rupiah). Hasilnya adalah sebuah hikayat perang sebuah kelompok yang tak kenal kata kalah. Lihat bagaimana Tjoet Nja’ (Christine Hakim yang dahsyat!) yang nyaris buta masih menghunuskan pedangnya saat ditangkap Belanda—berkat pengkhiatan seorang pengikutnya yang kasihan padanya. Entah kenapa Eros tidak membuat film lagi, terakhir adalah Kantata Takwa kolaborasi dengan Gatot Prakosa.

Entah kenapa cerita yang dipilih lain dari pada yang lain kebanyakan film perjuangan Indonesia, disini lebih pada menggambarkan kesolitan tentara Aceh, dengan dipadu konflik penghianatan yang dilakukan anak buah Tjoet. Perjuangan Tjoet disini lebih perkasa digambarkan dari pada pahlawan perempuan Indonesia lainnya. Bagaimana ambisiusnya, dan juga ternyata saat tertangkap Belanda Tjoet hanya seorang wanita tua renta yang buta lagi,...sangat tidak disangka, seorang pemimpin pejuang yang bagi Belanda sulit sekali ditaklukan dengan persenjataan dan serdadu mereka, ternyata pasukan Aceh dipimpin seorang wanita tua renta dan buta lagi. Seperti foto asli Tjoet saat tertangkap oleh Belanda.

Gambar yang dilakukan George sangat baik sekali, tetapi kemampuan tehnis saat itu bisa dimaklumi saat ini, beberapa scene out door hujan/ day,...tampak backgraoundnya terang sekali. Tapi terlepas dari itu Christien memang total, dan Eros sangat piawai, dan George Kamaruyllah sangat peka...maka film ini bagus.

Kalau film ini dibuat Black White, mungkin semakin bagus lagi, memiliki arti tersendiri sebagai special, karena memang tidak ada warna yang baik dalam set film itu kecuali hanya hutan, yang sudah pasti warna hijau dan tanah dominan.

P.T. EKAPRAYA FILM
P.T. KANTA INDAH FILM

CHRISTINE HAKIM
SLAMET RAHARDJO
PITRAJAYA BURNAMA
HENDRA YANUARTI
RITA ZAHARA
HERMIN CENTHINI
ROY H. KARYADI
FRITZ G. SCHADT
JOHN ISKANDAR
TUANKU FJALIL
JOES TERPASE
EKO HANDOKO

15 Oktober 1988
Film terbaik, tjoet nya' dhien ?

FILM yang lolos Komite Seleksi tahun ini memang lebih banyak, 18 film. Juri yang kini diketuai Asrul Sani cuma menilai film yang lolos, walau mungkin mutu film ini ada yang lebih rendah dari film yang tidak diloloskan. Ke-18 film itu, menurut abjad, Akibat Kanker Payudara (sutradara Franky Rorimpandey), Ayahku (Agus Ellias), Ayu dan Ayu (Sopkan Sophiaan), Catatan Si Boy I (Nasri Chepy), Cinta Anak Zaman (Buce Malauw), Irisan-lrisan Hati (Djun Saptohadi), Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing), Kasmaran (Slamet Rahardjo), Mekar Diguncang Prahara (Hasmanan), Nada-Nada Rindu (Muklis Raya), Pernikahan Berdarah (Torro Margens), Pernikahan Dini (Yaman Yazid), Saur Sepuh (Imam Tantowi), Selamat Tinggal Jeanette (Bobby Sandi), Seputih Pasir Semerah Luka (Wim Umboh), Tatkala Mimpi Berakhir (Wim Umboh), Terang Bulan di Tengah Hari (Chaerul Umam), Tjoet Nya' Dhien (Eros Jarot). Arifin C. Noer gagal merampungkan Jakarta '66 sampai saat-saat akhir, dan Teguh Karya macet dalam menggarap Pacar Ketinggalan Kereta. Yang tidak jelas Gema Kampus '66, karya Nico Pelamonia, tak lolos komite seleksi atau ada masalah lain. Untuk pertama kalinya film dangdut Rhoma Irama (Nada-Nada Rindu) masuk film pilihan. Dan yang sulit dimengerti, film seperti Catatan Si Boy dan Cinta Anak Zaman bisa lolos. Jika mau dibandingkan, Penginapan Bu Broto masih lumayan juntrungannya, dan toh tak lolos. Dengan peta kekuatan seperti ini -- dan jumlah yang banyak itu agaknya untuk meramaikan pekan film di 11 kota -- bisa dibayangkan Tjoet Nya' Dhien akan memborong Citra. Tak ada aktor baru yang akan muncul. Christine Hakim dan Slamet Rahardjo boleh jadi akan mendapat Citra untuk aktris dan aktor terbaik lewat penampilannya sebagai Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar, sementara Pitrajaya Burnama yang bermain sebagai Pang La'ot dalam film karya pertama Eros Djarot itu bisa meraih Citra untuk peran pembantu pria. Cuma ia dibayangi W.D. Mochtar dalam Ayahku. Peran pembantu wanita mungkin diperebutkan Rita Zaharah (Tjoet Nya' Dhien) dan Ria Irawan -- yang bermain bagus sebagai pembantu dalam Selamat Tinggal Jeanette. Skenario Misbach Yusa Biran cukup menonjol dalam Ayahku. Tapi ia dibayangi dua saudara, Eros Djarot (Tjoet Nya' Dhien) dan Slamet Rahardjo (Kasmaran). Film terbaik? Kalau memang harus ada tak ada lain selain Tjoet Nya' Dhien, dan itu berarti FFI ini hanya melahirkan sutradara: Eros Jarot, yang sebelumnya dikenal sebagai penata musik. Putu Setia

Between 3 Worlds now has rights to distribute this highly acclaimed film internationally on both video and DVD . The video is available in both PAL ( UK & Australia) and NTSC (USA) electronic systems. The DVD is a single layered DVD in PAL system and is Region Coded O. It can be played on computers in most countries or on most recent DVD players connected to PAL compatible TV monitors or to any video projector. A study guide for the film is provided with both videos and DVDs.

One of the most famous films ever made in Indonesia, Tjoet Nja' Dhien tells the epic story of the Indonesian national heroine, Tjoet Nja' Dhien, who led a band of guerrillas fighting against Dutch colonial forces in the mountains of Aceh in Sumatra in the early twentieth century. Despite a series of besetting intrigues caused by changing loyalties among Acehnese chiefs, some of whom were persuaded to side with the colonisers, for six years Tjoet and her group evaded and harassed Dutch forces sent out to capture them, her charismatic presence and her powers of survival stirring the local people to continue opposition to the Dutch.

Tjoet Nja Dhien was the first Indonesian film invited to Cannes and also won nine Citra awards at the nationally prestigious Indonesian Film Festival held in Jakarta in 1988, establishing Eros Djarot as a formidable director. The film stars the internationally acclaimed Indonesian actress Christine Hakim in a remarkable performance that shows the full range of her commitments and skills as an actress. A visually stunning film, some of its most powerful images are based on notorious Dutch photographs of the war in Aceh, the longest continuous war in Dutch history.

Tjoet Nja Dhien was the wife, chief strategist and political mentor of the rebel leader Teuku Umar in the strongly Islamic Aceh region in the north of Sumatra island. After her husband's death in a Dutch ambush in February 1899, Tjoet Nja' Dhien took over leadership of the band of guerrillas. This compelling portrait of Tjoet Nja' Dhien provides insight into Indonesian colonial history, emphasising the historical importance of Islam in the resistance to Western colonialism in Indonesia, and the right to survival of indigenous cultures. This story of a woman as a charismatic rebel leader in a colonial war, and of her daughter, who continued her mother's struggle, exemplifies a politics of cinema that challenges the more stereotyped portraits of women in film in Indonesia.



News
31 Desember 1988
Penyair sebagai penggelinding

FILM Tjoet Nja' Dhien (TND) adalah potret sejarah, juga sebuah puisi bagus. Riset yang teliti, pakaian dan properti yang detail dan akurat, gambarnya sempurna, editingnya prima. TND bukanlah "film" risalah perang, tetapi karya kesenian. Perang Aceh dimulai setelah ultimatum Belanda, Rabu 26 Maret 1873. Ketika ekspedisi pertama, Jenderal J.H.R. Kohler, yang memimpin 7.500 serdadunya, pada 15 April 1873 tewas di depan Masjid Baiturrahman Banda Aceh, 8 hari setelah ia di sana. Waktu itu bertakhta Sultan Mahmudsyah yang berusia 17 tahun. Perang telah membuat Tjoet Nja' Dhien (lahir pada 1857) teguh dengan keyakinannya. Masa kecilnya tak tercermin di dalam film itu. Ia anak ketiga dari Teuku Tjhik Nanta Setia, yang diangkat Sultan Sulaiman Iskandarsyah menjadi uleebalang VI Mukim dari Sagi XXV, Aceh Besar. Suaminya, Teuku Ibrahim Lam Nga, seorang panglima, tewas 29 Juni 1878. Janda muda ini tak bermaksud menikah lagi, kecuali bila ada pemuda yang mampu membalas kematian Teuku Ibrahim. Teuku Umar kemudian muncul di hati Tjoet. Mereka menikah pada tahun itu juga. Padahal, Teuku Umar sudah menikah dengan Tjoet Nja' Alooh binti Teuku Maharaja di Lhokseumawe. Alooh adalah kemanakan Tuanku Hasyim Banta Muda, panglima tertinggi angkatan perang Aceh. Dalam film tak terinformasikan ihwal Tjoet Gambang. Apakah gadis ini anak dari hasil perkawinan Tjoet Nja' Dhien dengan Teuku Ibrahim atau dengan Teuku Umar. Teuku Umar, sebelum tewas, berpesan agar Gambang menikah dengan seorang anak Teungku Tjhik Di Tiro. Kisah tak cepat mengalir ke fokus Tjoet Nya' Dhien. Sutradara Eros Djarot memberi porsi berlebih untuk Teuku Umar, yang menyerah kepada Belanda, 30 September 1893 -- kemudian digelari "Johan Pahlawan" oleh Jenderal Deijkerhoff. Tapi 29 Maret 1896 Teuku Umar aneuk Meulaboh itu kembali bergabung ke tengah pasukan Muslimin di dalam rimba. Dan itu semua, atas bujukan Tjoet sendiri yang sangat benci pada "kaphe". Karena pengkhianatan Teuku Leubee, pada 11 Februari 1899 Teuku Umar tewas di Suak, Ujong Kalak. Mayatnya dilarikan lasykarnya, lalu dikebumikan di Mon Tulang, di udik Meulaboh, Aceh Barat. Leubee -- yang dikawal marsose -- menebus perbuatannya itu di ujung rencong Tjoet Nja' Dhien, dalam satu sergapan ketika ia hendak ke Kutaraja. Seandainya tentang Teuku Umar dipadai hanya sebatas "catatan kaki" melalui beberapa flashback, kisah tentu tidak terasa mendua dalam satu film. Sebab, tentang Teuku Umar, bisa menjadi sebuah film lain. Demikian pula dengan adegan Belanda, porsinya juga terasa berlebihan. Kecuali yang dramatik -- sebagai gambaran keseluruhan tentang perang yang ganas dan panjang itu -- antara lain 561 penduduk, termasuk wanita dan anak-anak, dibunuh. Pembantaian pada Juni 1904 di Kota Reh, Aceh Tengah, itu dilakukan oleh Van Daalen. Yang hidup cuma si cilik Agam. Ia diselamatkan oleh penyair ke tempat persembunyian Tjoet, yang menggantikan almarhum suaminya memimpin pasukan. Dalam film ada penyair, tokoh sisipan.

Dia bagai si pembanyol, seperti dalam kisah Robinhood atau Sinbad. Padahal, hampir di setiap rumah tangga Aceh ada penyair, karena ada hikayat, tembang, amsal, dan satir. Penyair itu ibu-ibu. Ia telah senyawa dalam tradisi sastra lisan -- perempuan yang tidak cuma "penghubung" riwayat. Penyair, perempuan-perempuan itu, narator dalam sejarah hidupnya, yang alami. Apa kala sutradara menampilkan penyairnya sejak awal, sesungguhnya ia terkait utuh sebagai pembawa narasi atau penjalin dalam strory line pada TND. Penyair bukan cuma tempat saluran ekspresi dan suara hati perempuan bangsawan ini, namun sebagai penggelinding cerita, sehingga lebih mengalir ke fokusnya. Bayangan kita: adegan pembukaannya yang siluet itu diteruskan dengan munculnya si penyair menembangkan Didong di atas bukit bersama kornya itu. Lalu diisi musik yang excellent dari Idris Sardi. Sebelum memimpin perang -- seperti dipidatokan Teuku Umar -- Tjoet juga mengingatkan para Bunda yang lain agar mereka mendendangkan anaknya dalam ayunan, dengan syair atau melagukan Hikayat Perang Sabil karangan Teungku Tjhik Pante Koeloe. Hikayat ini telah membangkitkan keyakinan para lasykar untuk berperang fisabilillah dan mencari mati syahid. Hikayat ini, bersama Hikayat Kompeni yang ditulis Do Karim, kata Profesor Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah kolonial Hindia Belanda, ibarat dinamit raksasa yang tak terkendalikan. Tenaga penggeraknya lebih hebat dari dentuman meriam marsose. Lalu dalam bukunya De Atjehers, Snouck mencatat: "Aceh itu fanatik dan mereka terkenal karena siasat tipunya." Dan jangan lupa.

Tjoet sebagai seorang ibu, juga penyair. Dengarkan ia berdendang: Dokuda idi, dokuda idang/ Seulayang blang putoh taloue/ Rayeuek aneuk bah beureujang/ Jak tulong prang bila nanggroeu/ Rayeuek sinyak banta sidi/ Jak prang sabi bila agama. Artinya, Dodoi di dodoi, tidurlah sayang/ Layangan di sawah putus talinya/ Besarlah anak lekaslah sayang/ Ikut berperang membela negeri/ Wahai anak cepatlah besar/ Berperang sabil membela agama. Zakaria M. Passe


31 Desember 1988
Tahun-tahun gerilya tjoet nya'dhien

TJOET NJA' DHIEN Pemain: Christine Hakim, Slamet Rahardjo Djarot, Pietradjaja Burnama, Rudy Wowor, Ibrahim Kadir Skenario & Sutradara: Eros Djarot APAKAH film Tjoet Nja' Dhien bercerita tentang kepahlawanan, atau tentang perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara? Pertanyaan ini timbul karena untuk bercerita semata-mata tentang kepahlawanan Dhien, adegan perang yang kolosal, dan sistem Dolby Stereo agaknya bukanlah keharusan yang mutlak. Mengapa? Sederhana saja masalahnya. Kepahlawanan Dhien baru menyata dan mengkristal dalam perang gerilya yang dipimpinnya, bukan dalam perang terbuka yang frontal dan menuntut penyajian kolosal. Perang gerilya Dhien dengan strategi berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang -- sebenarnya adalah tema yang tidak kurang pekat untuk digarap. Didampingi putri tunggalnya, Tjoet Gambang, entah berapa ratus kilometer yang ditempuh wanita luar biasa ini -- selama lebih kurang lima tahun -- menyeberang dari kampungnya di Lam Padang, menuju Meulaboh, dan berakhir di Beutong. Dan semua itu dilakukan di bawah ancaman pengejaran tentara kaphe Belanda, yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, kekuatan pasukan dan logistik. Andaikan tema itu, misalnya, bisa diperkuat dengan bahan-bahan sejarah, niscaya kisah kepahlawanan Dhien akan lebih kaya, biarpun tentu, kurang bergelora dan kurang darah. Kontak-kontak senjata dengan taktik hit and run yang khas gerilya tentu kurang menggugah. Visualisasi semacam inilah agaknya yang mau dihindari sutradara Eros Djarot. Ia pada dasarnya ingin mengagungkan Dhien, tapi pada saat yang sama berusaha memberi bingkai sejarah yang gegap gempita untuk kepahlawanan wanita bangsawan ini. Maka jadilah sebuah film spektakuler, berkisah tentang Perang Aceh dengan kepahlawanan Dhien sebagai tema pokok. Bila ditilik lebih tajam, sebenarnya ada dua tema yang diangkat bersama-sama: satu episode Perang Aceh (1873-1904) dan profil Tjoet Nja' Dhien.

Tema ganda ini membawa konsekuensi tersendiri: peta dan proses perang menjadi kurang jelas dan fragmentaris, sementara pribadi Dhien kurang tergali. Tak ditemukan cuplikan dari masa kecilnya, katakanlah misalnya momen-momen penting saat ia dibesarkan di sisi seorang ayah yang juga pejuang ternama: Panglima Nanta Setia. Juga tidak terkilas bagaimana corak hidupnya ketika Teuku Umar, suami kedua selama tiga tahun menyeberang ke pihak musuh, dengan tujuan mencuri senjata dan mempelajari siasat perang Belanda. Singkatnya, informasi disajikan terbatas, hingga pemahaman penonton tentang Dhien juga terbatas. Kalaupun semua itu bisa disebut sebagai cacat, maka bagaikan torehan tipis, cacat itu hampir-hampir tak kentara. Sebagian besar kekuatan film ini terutama ada pada suasana yang secara bersama-sama ditunjang oleh pemotretan (George Kamarullah), musik (Idris Sardi), dan penyuntingan gambar (Karsono Hadi). Kendati proses perang Aceh tak terungkap dengan baik, editing yang cermat telah menyajikan jalan cerita yang acap kali membuat penonton menahan napas. Mereka melihat sosok perang yang lain. Musik yang membawa getaran magis, obor-obor yang bergerak semakin cepat dan semakin banyak, kelewang (pedang) yang berkelebatan. Dramatis. Belum lagi adegan dengan teknik gerak lambat, yang melukiskan kebiadaban pasukan Van Dalen di sebuah kampung di Tanah Gayo. Di sini ritme cerita sedemikian terpelihara, hingga dalam adegan slow motion pun, ritme itu mengalami sinkronisasi yang pas. Tak ada ekspresi kengerian atau putus asa -- seperti yang, misalnya, dengan artistik sekali digoreskan oleh Goya dalam lukisannya Tiga Mei -- namun adegan pejuang yang roboh, disusul wanita dan anak-anak yang berlari, tapi juga kemudian roboh, telah amat mencekam.

Gambar-gambar yang bisu itu seakan melukiskan kengerian dan kesakitan, tanpa satu wajah pun -- disorot khusus. Namun, terasa sapuan Goya hadir di sana, lewat bidikan kamera dan gunting editor. Di balik itu semua, tentulah gagasan dan kreativitas sang sutradara yang menentukan. Simak saja dialog dan pidato Teuku Umar -- diperankan dengan baik oleh Slamet Rahardjo Djarot yang dengan alasan artistik terucapkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Aceh campur aduk. Mungkin bagi telinga pribumi Aceh sesekali terkesan janggal, tapi penonton lain menerimanya sebagai hal baru, yang asing namun tidak mengganggu. Eksperimen itu melatih penonton untuk menerima adanya warna lokal, unsur yang memang terbawa dalam eksistensi kita sebagai bangsa. Hal lain yang juga eksperimental adalah menampilkan seorang penyair (Ibrahim Kadir) sebagai tokoh antagonis buat Tjoet Nja' Dhien. Terlepas dari tokoh ini fiktif atau tidak, kehadirannya dipertanyakan. Terkadang ia arif bijaksana, tapi lebih sering tampak konyol. Suatu saat ia mencela perang, tapi kali lain ia berkata, "Tjoet Nja' harus tetap hidup." Celotehnya acap kali membingungkan, hingga bagi Dhien ia merupakan lawan dialog yang serba tanggung, sementara bagi yang lain mirip pelipur lara yang menjengkelkan. Ada kesan, kehadiran penyair dipakai hanya untuk lebih menonjolkan kebesaran Dhien. Fungsinya sama dengan pedagang senjata dan dua pengkhianat: Teuku Leubee dan Fatma. Mereka bukan orang bodoh, tapi oportunistik. Begitu pula dua tentara Belanda, Voorneman dan Veltman (Rudy Wowor dan Roy Hadyanto Karyadi memerankan dengan pas kedua tokoh itu). Mereka hanya dua sekrup dari mesin perang kolonialis Belanda.

Orang-orang semacam ini memberi dimensi manusiawi yang negatif, sementara Dhien begitu sempurna. Tapi Eros cukup jeli untuk tidak "mendewakan" Dhien. Dengan melanjutnya usia, wanita yang tangguh ini mengalami erosi mental. Ia tidak bisa tegas terhadap pengkhianat seperti Fatma, ia juga bersikap mendua terhadap Perang Fisabilillah. "Akhirnya kita hanya saling bunuh," cetusnya suatu kali, ketika mendengar bahwa pasukannya berhasil membantai sejumlah besar marsose Belanda. Ada erosi tipis pada Dhien, sementara erosi yang lebih fatal menimpa Pang Laot (dimainkan dengan sangat baik oleh Pietradjaj Burnama). Tokoh yang selama bertahun-tahun menjaga keselamatan Dhien ini akhirnya menyerahkan sang pahlawan begitu saja ke tangan Kapten Voorneman, dengan membocorkan tempat persembunyiannya. Alasan Pang Laot: kondisi fisik Dhien -- buta dan digerogoti encok -- sudah terlalu parah. Film besar ini diakhiri dengan sebuah adegan besar, yang sulit dilupakan. Christine Hakim telah menghidupkan adegan penangkapan Dhien dalam kemampuan akting yang tidak ada duanya. Posisinya yang membungkuk, ekspresi wajah yang sulit ditebak, dikir yang seakan-akan begitu responsif terhadap penjelasan Pang Laot, dan tusukan rencong yang cepat dan begitu tiba-tiba. Disusul ledakan amarah seoran panglima perang. Itulah Dhien, tak bisa lain. Film ini berakhir ketika rombongan tandu yang membawa sang pahlawan bergerak saat hari mulai gelap.

Di layar ada memo penutup: Tjoet Nja' Dhien wafat tahun 1906 di Sumedang, jauh dari tanah dan rakyat Aceh yang sangat dicintainya. Eros Djarot telah menghidupkan kisah kepahlawanan ini dalam ungkapan keimanan seorang muslim yang kental, dan tekad baja yang tak pernah pudar. Sedangkan Perang Aceh, yang menjadi pentas untuk Dhien, hanya terangkat secara nyata dalam esensinya -- sebagai perang melawan kaphe (Belanda) dan membela tanah air. Perang itu sendiri tak bisa dibandingkan dengan perang mana pun di Indonesia berlangsung paling lama (30 tahun), menewaskan puluhan ribu manusia, dan menguras sampai ke dasar dana pemerintah Hindia Belanda. Kalau saja Eros melengkapi filmnya dengan sedikit narasi dan petunjuk pada peta, denyut perang tentulah akan lebih terasa. Isma Sawitri


26 November 1988
Bustanil bersama tjoet nja' dhien

SENIN malam pekan lalu, (sejumlah artis menyatroni) kediaman Menteri Koperasi Bustanil Arifin, di Jalan Hang Tuah, Jakarta. "Serbuan" dadakan itu ternyata tak mengejutkan tuan rumah. "Kami sedang mengadakan syukuran. Memang sangat mendadak, karena kru film pingin datang ke rumah saya. Jadi, saya buatkan sekalian upacara selamatan," kata Bustanil dengan senyum cerah. Dua hari sebclumnya, Christine Hakim menelepon Nyonya Bustanil. Ia dan rekan-rekannya ingin sowan. "Sebagai ungkapan rasa terima kasih atas bantuan Bustanil Arifin dalam pembuatan film Tjoet Nya' Dhien," kata Eros Djarot, mewakili sejawatnya. Tapi karena hari itu kebetulan seorang cucunya ulang tahun, Bustanil minta mereka datang pada Senin malam. Keberhasilan Tjoet Nya' Dhien sebagai film terbaik FFI 1988 ternyata membahagiakan Bustanil sekeluarga. Sampai-sampai, menteri yang tinggi besar itu perlu menyelenggarakan peusejuk alias tepung tawar. Acara ini khusus dipersembahkan kepada Christine Hakim dan Slamet Rahardjo pemeran Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar. Mengapa Menteri Koperasi yang juga Ketua Bulog ini begitu bersemangat? Tersebutlah ketika Menteri selaku fungsionaris Golkar berkunjung ke Aceh pada tahun 1986. Di sana ia bertemu dengan para pendukung film Tjoet Nya' Dhien yang sedang macet karena kekurangan dana. Kontan sang Menteri membuka pundi-pundi dan memberikan Rp50 juta. Spontanitas itu sempat disemprot nyonya Bustanil. "Kok, seperti sinterklas saja, dalam lima menit mengeluarkan uang Rp50 juta," ujar Bustanil, menirukan ucapan istrinya, sambil tergelak.

Kamis, 17 Desember 2009

TURANG / 1957

TURANG


Kisah perjuangan gerilya melawan Belanda di Tanah Karo (Sumatera Utara), khususnya di Seberaja, kampung yang pernah jadi pusat komando. Wakil komandan Rusli (Omar Bach) yang terluka diserahkan perawatannya kepada Tipi (Nizmah), adik anggota gerilyawan Tuah (Tuahta Perangin-angin), maka terbitlah jalinan cinta antara Rusli dan Tipi, namun keadaan tidak memungkinkan mereka terus bersama. Serangan Belanda, atas petunjuk mata-mata Belanda, Dendam (Hadisjam Tahax), memaksa pasukan terus berpindah-pindah untuk melaksanakan perang bergerilya.
 RENJONG FILM CORP.
JAJASAN GEDUNG PEMUDA MEDAN


NIZMAH
OMAR BACH
AHMADI HAMID
TUAHTA PERANGIN-ANGIN
ZUBIER LELO
HADISJAM TAHAX

Mengapa Ada Film Turang dan Ada Apa dengan Film ini
Film ini terkena masalah pada Isu PKI, Bachtiar sebagai ketua Lekra itu dipenjara di pulau Buru. Tetapi film ini film terbaik FFI'60 sebelum adanya isu PKI, dan setelah itu film ini hilang atau dihilangkan.

Film Turang diproduksi tahun 1958 dan memenangkan piala Citra (Film dan Sutradara terbaik) pada FFI II tahun 1960.Disutradarai oleh Bachtiar Siagian, produksi REFIC (Rencong Film Cooperation). Dibintangi oleh Nimah Zaglulsyah dan beberapa aktor Karo lainnya. Nimah sendiri tidak mendapatkan piala Citra untuk penampilannya. Film ini mengambil lokasi shooting di Seberaya, Kabanjahe dan Tiganderket. Pernah diputar di Bioskop Broadway New York. Film ini sendiri menceritakan tentang perjuangan Karo dalam merebut kemerdekaan. Disamping percintaan tragis yang membumbui film tersebut.

Sebelum Film ini dibuat, awalnya Turang adalah drama 3 babak yang dipentaskan di medan perjuangan. Sebuah lagu berjudul "OH TURANG" diciptakan oleh Sersan Mayor Hasyim Ngalimun, yang mendedikasikan lagu itu untuk para korban ketika tanggal 26 Mei 1949 serangan 6 pesawat Mustang Hagers menerjang tanah Alas (Resimen IV) dibawah pimpinan Djamin Gintings. Dimana menjadi korban adalah Letnan Kerani Tarigan dan Kopral M Zain. Lagu itu sendiri menjadi Movie Soundtrack Film Turang yang dinyanyikan oleh Tuti Daulai.

OH TURANG
Oh Turang Turangku turang
Ijadah deleng erdilo
Megersing Pagena mejile
Ijadah me kap sapo terulang
Kutimai kam Turangku turang
Oh Turang turangku turang
Ijadah me kap kam kutimai
Cirem nari ukurku o turang
Seh ulina o turangku turang
Reff
Kubayu tanda mata mejile
Man inget ingetenta duana
Oh turang turangku turang
Begiken sorangku o turang
Oh turang tedeh kal ateku
Ijadah me kap kam kutimai
Aloi aku turangku turang

Dimana film Turang sekarang ?
Seorang seniman yang saya tanyai mengatakan film itu sudah tidak ada lagi di Indonesia. Konon film itu ada di Belanda. Tersimpan di sebuah museum. Tapi entah dimana. Mungkin Turang/ Senina yang tinggal di Belanda bisa mencoba mencari jejak film Turang di negeri itu.

Sebagai pekerja seni, saya mencoba menjadikan film itu sebagai studi banding agar film-film bertema sama lahir di bumi nusantara ini. Disamping itu adalah kegelisahan kita akan suatu karya yang lahir dari tangan-tangan seniman/sineas asli Karo yang menghasilkan film tentang Karo tapi tidak hanya dikonsumsi untuk Karo tapi untuk skala penonton Nasional.

Rabu, 16 Desember 2009

FILM TERBAIK FFI 1955-1992

DAFTAR FILM TERBAIK FFI


Era 50-an
    •    1955 Lewat Djam Malam dan Tarmina
Era 60-an
    •    1960 Turang
    •    1967 -- Tidak Ada Pemenang --
Era 70-an
    •    1973 Perkawinan
    •    1974 Cinta Pertama (Film Terbaik dengan Penghargaan) dan Si Mamad (Film Terbaik dengan Pujian)
    •    1975 Senyum di Pagi Bulan Desember
    •    1976 Cinta
    •    1977 -- Tidak Ada Pemenang --
    •    1978 Jakarta Jakarta
    •    1979 November 1828
    ◦    Pengemis dan Tukang Becak
    ◦    Binalnya Anak Muda
    ◦    Gara-Gara Istri Muda
    ◦    Kemelut Hidup
Era 80-an
    •    1980 Perawan Desa
    ◦    Harmonikaku
    ◦    Rembulan dan Matahari
    ◦    Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa
    •    1981 Perempuan dalam Pasungan
    ◦    Para Perintis Kemerdekaan
    ◦    Gadis Penakluk
    ◦    Usia 18
    •    1982 Serangan Fajar
    ◦    Bawalah Aku Pergi
    ◦    Jangan Ambil Nyawaku
    •    1983 Di Balik Kelambu
    ◦    R.A. Kartini
    ◦    Roro Mendut
    ◦    Titian Serambut Dibelah Tujuh
    •    1984 -- Tidak Ada Pemenang --
    ◦    Ponirah Terpidana
    ◦    Budak Nafsu (Fatima)
    ◦    Pengkhianatan G 30 S/PKI
    ◦    Sunan Kalijaga
    ◦    Yang (Terlarang Tersayang)
    •    1985 Kembang Kertas
    ◦    Doea Tanda Mata
    ◦    Kerikil-Kerikil Tajam
    ◦    Secangkir Kopi Pahit
    ◦    Serpihan Mutiara Retak
    •    1986 Ibunda
    ◦    Opera Jakarta
    ◦    Matahari-Matahari
    ◦    Kejarlah Daku Kau Kutangkap
    ◦    Bila Saatnya Tiba
    •    1987 Naga Bonar
    ◦    Kodrat
    ◦    Biarkan Bulan Itu
    ◦    Cintaku di Rumah Susun
    ◦    Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat
    •    1988 Tjoet Nja' Dhien
    ◦    Ayahku
    ◦    Istana Kecantikan
    •    1989 Pacar Ketinggalan Kereta
    ◦    Tragedi Bintaro
    ◦    Semua Sayang Kamu
    ◦    Si Badung
    ◦    Noesa Penida (Pelangi Kasih Pandansari)
Era 90-an
    •    1990 Taksi
    ◦    Langitku Rumahku
    ◦    Cas Cis Cus (Sonata di Tengah Kota)
    ◦    Sesaat Dalam Pelukan
    ◦    Joe Turun ke Desa
    •    1991 Cinta dalam Sepotong Roti
    ◦    Lagu untuk Seruni
    ◦    Langit Kembali Biru
    ◦    Potret
    ◦    Soerabaia 45
    •    1992 Ramadhan dan Ramona
    ◦    Bibir Mer
    ◦    Plong (Naik Daun)
    ◦    Nada dan Dakwah
    ◦    Kuberikan Segalanya

Minggu, 13 Desember 2009

RHOMA IRAMA 1977-1993

RHOMA IRAMA


Kenapa saya menggabungkan Rhoma Irama ke dalam Legend?
Banyak faktor yang membuat Rhoma Irama sangat menarik, pertama adalah musik Dangdutnya yang membawa kebajikan, selayaknya lagu-lagu islami yang bukan berirama gambus ketimur tengahan, karena irama itu seringkali menyuarakan kebajikan. Tetapi musik Dangdutnya malah menyuarakan kebajikan. Sangat beda dengan penyanyi dangdut lainnya saat itu yang sangat kental dengan irama India dan keindia-indiaan, yang sejumlah liriknya adalah cinta dan tariannya menjurus ke arah sexy.

Rhoma malah lain, dia mencampur unsur rock dan dangdut kedalam musiknya dengan lirik kebajikan. Walaupun ada cinta, tetapi cinta yang bukan melankolisme...tetapi cinta dengan perjuangan.

Banyak musisi atau penyanyi yang main dalam film, termasuk Bing Slamet, Benyamin dan lainnya. Tetapi sangat sedikit penyanyi menjadi pemain dan sekaligus komposer musik. Film-film Rhoma diangkat dari musik dan lirik lagunya. Sudah pasti akan mengarah pada film musikal.


Raden Oma Irama yang populer dengan nama Rhoma Irama (lahir di Tasikmalaya, 11 Desember 1946; umur 62 tahun) adalah musisi dangdut dari Indonesia yang berjulukan "Raja Dangdut".

Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya.

Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film- film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. "Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas", tulis majalah TEMPO, 30 Juni 1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, "Saya takut publikasi. Ternyata, saya sudah terseret jauh."

Rhoma Irama terhitung sebagai salah satu penghibur yang paling sukses dalam mengumpulkan massa. Rhoma Irama bukan hanya tampil di dalam negeri tapi ia juga pernah tampil di Kuala Lumpur, Singapura, dan Brunei dengan jumlah penonton yang hampir sama ketika ia tampil di Indonesia. Sering dalam konser Rhoma Irama, penonton jatuh pingsan akibat berdesakan. Orang menyebut musik Rhoma adalah musik dangdut, sementara ia sendiri lebih suka bila musiknya disebut sebagai irama Melayu.

Pada 13 Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem" (Suara Muslim) yang bertujuan menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock dalam musik Melayu serta melakukan improvisasi atas aransemen, syair, lirik, kostum, dan penampilan di atas panggung. Menurut Achmad Albar, penyanyi rock Indonesia, "Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes Melayu dengan rock". Tetapi jika kita amati ternyata bukan hanya rock yang dipadu oleh Rhoma Irama tetapi musik pop, India, dan orkestra juga. inilah yang menyebabkan setiap lagu Rhoma memiiki cita rasa yang berbeda.

Bagi para penyanyi dangdut lagu Rhoma mewakili semua suasana ada nuansa agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan lain-lain. "Mustahil mengadakan panggung dangdut tanpa menampilkan lagu Bang Rhoma, karena semua menyukai lagu Rhoma," begitu tanggapan beberapa penyanyi dangdut dalam suatu acara TV.

Rhoma juga sukses di dunia film, setidaknya secara komersial. Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta. Tetapi, "Rhoma tidak pernah makan dari uang film. Ia hidup dari uang kaset," kata Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung.

Ia juga terlibat dalam dunia politik. Di masa awal Orde Baru, ia sempat menjadi maskot penting PPP, setelah terus dimusuhi oleh Pemerintah Orde baru karena menolak untuk bergabung dengan Golkar. Rhoma Sempat tidak aktif berpolitik untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya terpilih sebagai anggota DPR mewakili utusan Golongan yakni mewakili seniman dan artis pada tahun 1993. Pada pemilu 2004 Rhoma Irama tampil pula di panggung kampanye PKS.

Rhoma Irama sempat kuliah di Universitas 17 Agustus Jakarta, tetapi tidak menyelesaikannya. "Ternyata belajar di luar lebih asyik dan menantang," katanya suatu saat. Ia sendiri mengatakan bahwa ia banyak menjadi rujukan penelitian ada kurang lebih 7 skripsi tentang musiknya telah dihasilkan. Selain itu, peneliti asing juga kerap menjadikannya sebagai objek penelitian seperti William H. Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS yang meneliti tentang kekuatan popularitas serta pengaruh Rhoma Irama pada masyarakat.

Pada bulan Februari 2005, dia memperoleh gelar doktor honoris causa dari American University of Hawaii dalam bidang dangdut, namun gelar tersebut dipertanyakan banyak pihak karena universitas ini diketahui tidak mempunyai murid sama sekali di Amerika Serikat sendiri, dan hanya mengeluarkan gelar kepada warga non-AS di luar negeri. Selain itu, universitas ini tidak diakreditasikan oleh pemerintah negara bagian Hawaii.

Sebagai musisi, pencipta lagu, dan bintang layar lebar, Rhoma selama karirnya, seperti yang diungkapkan, telah menciptakan 685 buah lagu dan bermain di lebih 10 film.

Pada tanggal 11 Desember 2007, Rhoma merayakan ulang tahunnya yang ke 61 yang juga merupakan perayaan ultah pertama kali sejak dari orok, sekaligus pertanda peluncuran website pribadinya, rajadangdut.com.

RHOMA dan DUNIA FILM
1. Cinta Segi Tiga
Sutradara: Yung Indrajaya
Pemain: Rhoma Irama, Ricca Rachim, El Malik, Ade Irawan
Produksi: PT Naviri Film Production (Dharmawan Susanto) tehun 1979
Kakak-adik Rhoma dan Dendy sangat rukun. Rhoma sukses sebagai musisi, Dendy menjadi insinyur yang berhasil. Tanpa sepengetahuan keluarga, Rhoma berpacaran dengan Rika, putri sahabat ayahnya. Suatu hari ayah Rhoma melamar Rika untuk Dendy, padahal Rika mengira lamaran itu untuk Rhoma sehingga tanpa ragu menerimanya.

Rhoma yang sedang tour show ke berbagai daerah gembira mendengar kabar rencana pernikahan kakaknya. Tak sabar, dia ingin pulang sejenak menyaksikan kebahagiaan sang kakak. Tapi dalam suatu konsernya, Rhoma mengalami kecelakaan, yaitu matanya terkena sabetan senar gitarnya yang putus dan mengakibatkan matanya buta. Saat bertemu Dendy-Rika, Rhoma bahkan tak mengenali suara kekasihnya yang mengganti nama menjadi Mira. Baru setelah kebutaannya sembuh, Rika tak kuasa menyaksikan keterkejutan Rhoma. Dia lari dan tewas tertabrak mobil.

2. MENGGAPAI MATAHARI
Sutradara : Nurhadie Irawan
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Budi Moccalam, Ikang Fawzi, Rani Soraya
Produksi : PT Firman Abadi Film (Budhi Sutrisno) tahun 1986
Rhoma bersama Kartika kekasihnya tertimpa musibah menabrak seorang wanita hingga tewas. Ternyata wanita itu adik rocker ternama yang sudah lama memendam benci kepada Rhoma. Bendera perang pun ditabuh sang rocker untuk permusuhan berkepanjangan.

3. MENGGAPAI MATAHARI II
Sutradara : Nurhadie Irawan
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Ikang Fawzi, Budi Moccalam, Rani Soraya
Produksi : PT Firman Abadi Film (Budhi Sutrisno) tahun 1986
Kelanjutan film sebelumnya tentang permusuhan musisi Dangdut dan Rock. Meskipun Rhoma telah masuk penjara, Benny Compo belum puas untuk menghancur leburkan grup musik Rhoma. Soneta Group kocar-kacir sementara band hingar-bingar Benny merajalela menghantui masyarakat. Setelah Rhoma keluar dari penjara, persaingan kembali berlanjut. Permusuhan mereka akhirnya diadu lewat kehandalan di atas pentas sepanggung. Rhoma dan Soneta Group-nya dengan Benny dengan grup kerasnya.

4. NADA-NADA RINDU
Sutradara : Muchlis Raya
Pemain : Rhoma Irama, Camelia Malik, Dana Christina, Piet Pagau, S. Bono, Anton Indracaya
Produksi : PT Firman Mercu Alam Film (Budhi Sutrisno) tahun 1987
Rhoma-Mia benar-benar membuat Ramlan, sesama penyanyi yang juga mencintai Mia sakit hati hingga ingin berbuat licik. Awalnya ia tawarkan ke produsernya, Niko untuk menarik Mia dari perusahaan rekaman saingannya. Niko pun setuju. Ramlan mengatur siasat merusak Rhoma dari masyarakat maupun pacarnya. Dengan mengumpan Maya, pacar Ramlan yang kecanduan narkotika, Maya disuruh memasukkan obat bius ke dalam minuman Rhoma. Saat Rhoma terlelap, Maya dan Rhoma dipotret di tempat tidur lalu menyebarkannya ke media massa. Maya ditarik ke perusahaan Niko dan membuat pementasan sendiri, tapi Ramlan yang berkesempatan bersama Mia berusaha memperkosanya. Tindakan ini kepergok Maya yang marah dan membuka topeng kejahatan Ramlan di depan Mia. Ramlan mengancam mereka untuk tutup mulut.

Rhoma yang terpukul memilih menyepi ke tempat gurunya. Rhoma disarankan mengganti nama dan memulai kembali dari bawah. Dia melamar ke Niko sebagai Zulfikar dan diterima untuk diduetkan dengan Mia. Ramlan kembali cemburu dan menghajar Rhoma, tapi Rhoma sanggup mengatasinya dan Mia membuka rahasia Ramlan.

5. BUNGA DESA
Sutradara : A Rachman
Pemain : Rhoma Irama, Jaja Mihardja, Marissa Hosbach, Mang Udel, Ida Iasha
Produksi : PT Firman Mercu Alama (Lukman Susanto) tahun 1988
Rhoma mencoba mengangkat Ratna dari kelamnya kehidupan sebagai seorang pelacur. Tapi germo yang memperkerjakan Ratna sebagai primadona tak merelakannya. Dengan tangan-tangan anak buahnya, mereka menghambat maksud baik Rhoma. Dalam satu perkelahian, Ratna tertusuk pisau. Rhoma terguncang hingga dianjurkan beristirahat di desa. Di desa Rhoma menemukan gadis cantik, Sumi yang dicintainya. Akan tetapi ada pihak yang membenci dan mengguyur Sumi dengan asam belerang sehingga wajah cantiknya rusak berat. Rhoma patah arang dan kembali ke kota, tapi dia terkesima melihat ada sosok yang mirip Ratna dan Sumi.

6. JAKA SWARA
Sutradara : Lilik Sudjio
Pemain : Rhoma Irama, Camelia Malik, Gino Makasutji, Ade Irawan
Produksi : PT Firman Mercu Alam Film (Budhi Sutrisno) tahun 1990
Jaka Swara menyimpan dendam. Di depan matanya, ayah dan keluarganya dibantai seorang keturunan Portugis yang menguasai sebuah daerah terpencil. Rhoma yang selamat lalu belajar keras ilmu bela diri untuk menuntut balas.

Ketika dirasa kemampuannya sudah cukup, ia menemui John da Costa. Rhoma menemukan Fatma sedang disandera kelompok John. Nafsu semakin membara untuk menumpas kelompok jahat ini. Kali ini Rhoma tampil agak berbeda dan filmnya cenderung menjadi film laga. Seperti biasa, lagu-lagu baru Rhoma ditampilkan.

7. NADA DAN DAKWAH
Sutradara : Chaerul Umamt
Pemain : Rhoma Irama, Ida Iasha, Zaenuddin MZ, Deddy Mizwar, Nany Wijaya
Produksi : PT Bola Dunia Film (Hasrat Djoeir) tahun 1991
Warga desa Pandanwangi resah karena tanahnya bakal digusur untuk keperluan bisnis konglomerat Bustomi. Konflik antara warga dengan para antek konglomerat terus terjadi dan mulai meluas dengan munculnya godaan moral berupa tempat minum-minum dan bilyar.

Pemimpin pesantren H. Murad dengan dibantu Rhoma berusaha menyadarkan warga untuk tidak tergoda syetan dan menjual tanahnya. Munculnya ulama kharismatik Zaenuddin MZ. menjernihkan suasana, bahkan sang Kyai juga menyadarkan sang konglomerat.

Lewat film ini meski tidak laris sebagai tontonan, namun menghasilkan Piala Citra FFI 1992 untuk katagori cerita dan suara. Masuk unggulan untuk film, sutradara, pemeran utama (Rhoma Irama), pemeran pembantu pria (KH. Zaenuddin MZ) tapi sang Kyai mundur karena keberatan umat kepada Sang Kyai Sejuta Umat itu yang bermain film. Terpuji untuk skenario, sutradara, aktor (Deddy Mizwar) pada Festival Film Bandung (FFB) 1993.

8. TABIR BIRU
Sutradara : Muchlis Raya
Pemain : Rhoma Irama, Ida Iasha, Rani Soraya, Le Roy Oesman, Ida Leman, Ria Irawan
Produksi : PT Bola Dunia Film (Hasrat Djoeir) tahun 1993
Petualangan Rhoma Irama menemukan gadis muda dipaksa kelompok Santos menjadi pemain film porno. Rhoma berhasil menyelamatkan Maya. Namun keberhasilan itu justru merusak hubungan rumah tangganya. Istrinya salah paham dan cemburu. Rhoma juga sempat diculik Santos dan kawan-kawan untuk menjadi pasangan dalam video porno bersama Maya. Tapi dengan segenap kekuatan Rhoma berhasil menggulung sindikat Santos dan kawan-kawan.

9. MELODY CINTA RHOMA IRAMA
Sutradara : Muchlis Raya
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Soultan Saladin, Rita Sugiarto
Produksi : PT Rhoma Irama Film (Rhoma Irama) tahun 1980
Percintaan Rhoma mendapatkan persaingan dari pomade lain yang juga menginginkan kekasihnya. Berbagai ujian dan percobaan pembunuhan terhadap Rhoma dilaluinya. Sebagai musisi, Rhoma terus mengobarkan bidang musiknya dan akhirnya dia berhasil menyingkirkan semua halangan.

10. PERJUANGAN DAN DOA
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Chitra Dewi, WD Mochtar, Soultan Saladin, Rita Sugiarto
Produksi : PT Rhoma Irama Film (Rhoma Irama) tahun 1980.

Perjuangan Rhoma Irama dengan Soneta Group menjadi Sound of Moslem ke berbagai daerah bukan saja disambut meriah, tetapi juga banyak yang menentang. Ia dituding mengomersilkan agama. Adanya tentangan semakin memacu Rhoma berjuang keras menunjukkan manfaat dakwah melalui musiknya. Dia menginsyafkan teman-temannya dari mabuk-mabukan dan main perempuan. Begitu juga dengan calon mertuanya yang pemabuk dan nyaris memperkosa anak gadisnya sendiri. Calon mertua itu bisa disadarkan dan menjadi insyaf. Rhoma juga meyakinkan kepada perguruan dakwah, bahwa musik bisa menjadi sarana dakwah yang efektif.

11. BADAI DI AWAL BAHAGIA
Sutradara : Muchlis Raya
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Muni Cader, Soultan Saladin, Desy Linasari
Produksi : PT Naviri Film Productions (Dharmawan Susanto) tahun 1981
Kebahagiaan saat berjalan-jalan bersama istrinya, Rhoma menyaksikan aksi perampokan. Melalui radio dari mobilnya, Rhoma mengontak polisi dan melawan aksi perampokan tersebut. Tak lama polisi tiba dan meringkus penjahat. Sindikat perampok marah terhadap Rhoma dan menculik anak Rhoma untuk meminta tebusan. Rhoma tak melapor polisi karena khawatir keselamatan anaknya. Dia membawa sendiri uang tebusan yang dianggap kurang oleh para perampok. Para penculik memaksa Rhoma merampok bank, akibatnya masyarakat kaget atas aksi perampokan idola musik ini sehingga mengecapnya sebagai biang aksi perampokan. Rhoma marah dan bekerja sama dengan polisi menumpas para sindikat perampokan sekaligus membersihkan namanya dari fitnah.

12.PENGABDIAN
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Chintami Atmanegara, Mieke Wijaya
Produksi : PT Naviri Film Productions (Dharmawan Susanto) tahun 1984
Rhoma yang terlalu sibuk dengan urusan musiknya membuat istrinya mengalami tekanan batin. Ani tak pernah menunjukkan tekanan batinnya hingga menderita kebutaan. Menyadari kondisi istrinya, Rhoma alih profesi dan menyepi dengan menjadi peternak di desa. Tapi persoalan tak berhenti, tentangan muncul dari kurang pengetahuannya atas peternakan. Begitu juga peternakan terdekatnya yang merasa bakal tersaing. Perselisihan hingga pertarungan tak terhindarkan, keluarga Rhoma menjadi tak tenteram. Rhoma akhirnya memutuskan kembali ke dunia musik di Jakarta.

13. KEMILAU CINTA DI LANGIT JINGGA
Sutradara : Muchlis Raya
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Netty Hade, Nina Anwar, Hendra Cipta, Harun Syarief
Produksi : PT Firman Abadi Film ( Budhi Sutrisno) tahun 1985

Rhoma dan Pacarnya, Aida dikontrak untuk main film oleh Leo dan anteknya, Richard. Leo dan Richard ternyata mempunyai maksud lain karena bisnis film sesungguhnya cuma untuk menutupi kejahatan yang dilakukan. Richard sangat mencintai Aida sehingga pada satu adegan syuting, Rhoma ditusuk sungguh-sungguh. Saat Rhoma masuk rumah sakit, disusunlah skenario mengalihkan Aida ke pangkuan Richard. Dimunculkan Rhoma palsu yang sesungguhnya bernama Imron dengan kekasih Nina. Saat sembuh Rhoma muncul sebagai Imron lalu menyadarkan Nina dari dunia pelacuran. Melalui pertarungan dan strategi, Rhoma akhirnya bisa membuka tabir kepalsuan Leo dan kawan-kawan serta mengembalikan Aida ke pelukannya.

14. CAMELIA
Sutradara : Yung Indrajaya
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Joice Erna, Marlia Hardy
Produksi : PT Naviri Film Productions (Dharmawan Susanto) tahun 1979
Saat mencari ilham, Rhoma mendapatkan seorang gadis putus asa dan akan bunuh diri. Sang gadis tak tahan atas tekanan ibu tirinya dan dituduh mencuri berlian. Rhoma membawanya pulang dan menyamarkannya dengan pakaian lelaki agar ibunya mengizinkan Camelia bersama mereka. Penyamaran Camelia ketahuan ibunya sehingga diusir. Rhoma meyakinkan ibunya untuk kembali mengajak Camelia ke rumahnya. Camelia yang terusir dibujuk kawan-kawan ibunya untuk menjadi penghuni rumah bordil, tapi di rumah bordil dia melihat ibu tirinya. Camelia berhasil lari dan menemui Rhoma. Peristiwa ini dilaporkan kepada ayah Camelia dan polisi hingga penggerebekan dilakukan dan ibu tiri Camelia dibawa polisi.

15. RAJA DANGDUT
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Rhoma Irama, Ida Royani, Netty Herawaty, Marlia Hardy
Produksi : PT Cipta Permai Indah Film (Lucy Sukardi) tahun 1978
Sebagai musisi sukses, Rhoma kepincut penggemarnya Ida, anak seorang tukang gado-gado miskin. Ibunda Rhoma tak menerima, dia telah menjodohkannya dengan gadis modern dari keluarga ningrat, Mira. Ibunda Rhoma bersama Mira terus berusaha dengan mencemooh Ida dan juga meminta bantuan dukun, tapi Rhoma bergeming. Sikap Mira berubah setelah Ida menolongnya saat kecelakaan, sejak itu pernikahan Rhoma-Ida menjadi mulus.

16. BEGADANG
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Chitra Dewi, Ade Irawan, Soekarno M Noor
Produksi : PT Hanna International Film (Zainal Abidin) tahun 1978
Warung di sebuah kampung menjadi tempat berkumpul anak-anak muda pengangguran. Setiap malam ada saja yang berjudi atau genjrang-genjreng bermusik. Rhoma menjadi salah di antaranya yang sering menyenandungkan lagu-lagunya. Padahal tak jauh dari rumah itu orang tua Ani dan orang tua Herry merasa terganggu. Atas saran seorang teman, Rhoma masuk studio rekaman dan berhasil, nasib pun berubah sehingga Rhoma berani serius berpacaran dengan Ani. Tapi Herry yang anak seorang hakim, juga naksir Ani dan bersama teman-teman berjudinya memfitnah Rhoma telah membunuh seorang hostes. Rhoma masuk penjara hingga kemudian terbuka siapa pembunuh sesungguhnya. Rhoma dibebaskan dan melanjutkan hubungan dengan Ani. Film ini merupakan lanjutan sukses album Begadang yang semakin melambungkan Rhoma Irama, Soneta dan Elvy Sukaesih.

17. OMA IRAMA BERKELANA
Sutradara : Yung Indrajaya
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Rachmat Hidayat, Soekarno M. Noor, Chitra Dewi, Ade Irawan
Produksi : PT Naviri Film Productions (Dharmawan Susanto) tahun 1978
Sebagai anak orang kaya di Bandung, Rhoma diminta ayahnya melanjutkan sekolah dan tak lagi menyentuh dunia musik. Tapi Rhoma kuliah sambil bermusik yang menyebabkan ayahnya marah dan mengusirnya. Rhoma ke Jakarta, bergaul dengan para pengamen jalanan dengan nama samaran Budi. Saat seorang temannya sakit keras, Rhoma pulang dan meminta bantuan ayahnya untuk pengobatan temannya tapi ditolak. Budi balik ke Jakarta dan menjambret tas Ani. Ia berhasil menguras uangnya untuk pengobatan tapi temannya tak tertolong. Rhoma mengembalikan surat-surat berharga kepada Ani, sehingga gadis ini beserta keluarganya simpati. Budi dijadikan sopir untuk Ani hingga tumbuh benih-benih cinta. Di lain sisi ayah Rhoma yang atasan ayah Ani akan melamar Ani untuk anaknya. Ani menolak karena sudah kadung mencintai Budi. Budi alias Rhoma diusir, dia berkelana lagi.

18. OMA IRAMA BERKELANA II
Sutradara : Yung Indrajaya.
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Rachmat Hidayat, Soekarno M. Noor, Chitra Dewi, Ade Irawan
Produksi : PT Naviri Film Productions (Dharmawan Susanto) tahun 1978
Budi yang diusir ditemukan kawan-kawan lamanya terluka tertabrak motor. Kawan-kawan membawanya ke pondokan dan merawatnya. Ani yang terus mencari Budi berjumpa kawan-kawan dan mendapatkan pondokan Budi, percintaan pun berlanjut. Surya curiga dan menemui Ani di pondokan Budi, Ani dibawa pulang dan tak boleh bertemu Budi lagi. Budi mengajak kawan-kawannya bekerja apa saja, ada yang mengemis, menjual Koran, kuli bangunan dan Budi sendiri menjadi sopir taksi. Budi menyamar sebagai guru piano menemui kekasihnya yang dianjurkan belajar piano oleh orang tuanya. Seorang penumpang taksi tertarik suara Rhoma saat menyanyi-nyanyi kecil, lantas memberinya peralatan musik sehingga terbentuklah Soneta yang menjadi popular. Keluarga Rhoma melihat sukses itu lewat berita dan gambar media massa dan meminta Surya mencarinya. Ternyata, Rhoma yang akan dikawinkan dengan Ani juga bernama Budi.

19. OMA IRAMA PENASARAN
Sutradara : A Harris
Pemain : Oma Irama, Yatie Octavia, Aminah Cendrakasih, A Hamid Arief, Netty Herawati, Maruli Sitompul, Aedy Moward
Produksi : PT Sjam Studio Film Production (Jackson) tahun 1976
Penyanyi Dangdut (Oma) pacaran dengan anak pemilik perkebunan (Ani). Ayahnya menentang. Oma ke Jakarta, setelah melewati berbagai rintangan akhirnya sukses sebagai super star. Ani minggat dari rumah sehingga merepotkan orang tua.

20. GITAR TUA OMA IRAMA
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Oma Irama, Yatie Octavia, Aminah Cendrakasih, Netty Herawati, Kelly Kalyubi, A. Hamid Arief
Produksi : PT Sjam Studio Film Productions (Sjamsuddin) tahun 1977
Rencana perkawinan Oma-Ani terganggu kehadiran Ir. Dana, pimpinan perkebunan tempat ayah Ani bekerja. Ayah Ani berhasrat mengawinkan putrinya itu dengan Dana yang memang jatuh cinta pada Ani. Tapi Ani hanya cinta Oma. Oma yang sibuk ternyata tak datang saat ulang tahun Ani, hingga dia menyusul ke studio di Jakarta. Alangkah kecewanya Ani menyaksikan Oma tengah membujuk pasangan menyanyi, Shanty yang ngambek saat rekaman. Ani pulang dan menerima pinangan Dana. Oma kaget menerima surat undangan, lalu menemuinya saat resepsi. Pertengkaran terjadi akhirnya diketahui masalahnya, surat-surat Ani selalu ditahan ayahnya sedang surat Oma ditahan Shanty yang diam-diam mencintainya. Ani jatuh pingsan dan hanya Oma yang bisa menyadarkannya. Dana lalu menyadari cinta Ani sesungguhnya hanya kepada Oma.

21. DARAH MUDA
Sutradara : Maman Firmansjah
Pemain : Rhoma Irama, Yatie Octavia, Ucok AKA
Produksi : PT Sjam Studio Film Productions (Sjamsuddin) tahun 1977
Perbedaan Rhoma Ricky dalam bermusik dan cara hidup mengakibatkan persaingan tajam. Rhoma mengembangkan musik Dangdut dan sikap saleh, sedang Ricky hidup bebas dengan musik Rock. Ricky yang jago tinju panas mendengar Soneta sukses pentas di Jakarta. Ani, vokalis Apache mulai bosan mabuk-mabukan dan menyukai Rhoma. Ricky dan kawan-kawan menghajar Rhoma agar tidak bisa bermusik lagi. Rhoma berguru dan berobat ke dusun terpencil hingga sembuh, saat kembali menyaksikan Ani diperkosa Ricky. Rhoma murka dan menghantam Ricky dan kawan-kawan.

22. PENGORBANAN
Produser : Benny Muharram
Pemain : Rhoma Irama, Ricca Rachim, Yati Ocktavia, Edward Bahar, A. Hamid Arief, Aminah Cendrakasih
Izin Produksi : 027/SIP/FCN/DPF-II/1982
Setelah berhasil melepaskan Ani dari Dana, ternyata Rhoma tidak langsung menikahinya. Rhoma malah berpacaran dengan Ricca yang tak lain adalah sahabat Ani. Hingga mereka bertiga bertemu di pesta ulang tahun Ani. Rhoma dan Ani berusaha menutupi kisah cinta mereka di hadapan Ricca.

Suatu hari mereka bertiga pergi berburu ke hutan. Tenyata di hutan yang mereka tuju merupakan sarang Dana dan kawan-kawannya yang sering melakukan kejahatan. Anak buah Dana berhasil menangkap Ani. Sementara Ricca mencari bantuan polisi, sedagkan Rhoma berusaha menyelamatkannya sendirian. Karena banyak orang, akhirnya Dana dapat menangkap Rhoma. Tapi akhirnya Rhoma dapat meloloskan diri dan dalam pengejaran Rhoma terlibat perkelahian dengan Dana. Perkelahian tersebut Dana tewas.

Suatu ketika Ricca mendengar percakapan antara Rhoma dan Ani tentang hubungan mereka berdua. Akhirnya, Ricca memutuskan pergi ke luar negeri untuk belajar demi mereka berdua agar dapat menjalin cinta lagi

Rhoma Irama lahir tanggal 11 Desember 1947, hari ini tepat 72 silam. Sosok bernama asli Raden Haji Oma Irama dikenal luas sebagai legenda hidup musik dangdut di tanah air. Rhoma juga pernah membintangi berbagai judul film. Gelar raja dangdut pun disematkan kepada pria kelahiran Tasikmalaya ini. Dalam perjalanan kehidupannya, Rhoma Irama mulai terjun ke kancah politik, sejak zaman Orde Baru. Dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, hingga kemudian mendirikan sekaligus memimpin Partai Islam Damai Aman (Idaman). Inilah jejak kisah Rhoma Irama, Sang Raja Dangdut yang juga sosok politisi ulung. 1946 Kelahiran Raden Oma Raden Haji Oma Irama atau yang kemudian dikenal dengan nama Rhoma Irama lahir pada 11 Desember 1946 di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakan putra dari pasangan Raden Irama Burdah Anggawirya dan Tuti Juariah.

1970 Membentuk Soneta Group Pada bulan Desember 1970, Rhoma Irama mendirikan grup musik dangdut yang ia namai Soneta Group. Pada Oktober 1973, Rhoma mencanangkan semboyan "Voice of Moslem" dengan tujuan agar musik Melayu bisa dipadukan dengan aliran musik lainnya. Inilah yang lantas membuat setiap lagu Rhoma Irama memiliki cita-rasa yang berbeda.

1972 Mempersunting Veronica Tahun 1972, Rhoma Irama menikahi seorang wanita bernama Veronica Agustina. Sebelum menikah, Veronica menjadi mualaf. Pasangan ini dikaruniai 3 orang anak, yakni: Debby Verama Sari, Fikri Rhoma Irama, dan Romy Syahrial. Sayangnya, Rhoma bercerai dengan Veronica pada Mei 1985.

1977 Bintang Film Rhoma terjun ke dunia akting sejak 1977 lewat film Jakarta Jakarta. Menyusul kemudian film Salah Kamar (1978), Wadam (1978), Bayang-Bayang Kelabu (1979), Cinta Camelia (1979), Melodi Cinta Rhoma Irama (1980), Perjuangan dan Doa (1980), Sekuntum Mawar Putih (1981), Badai di Awal Bahagia (1981), Sebuah Pengorbanan (1982), Satria Bergitar (1983), Pengabdian (1984), Sunan Gunung Jati (1985), dan lainnya.

1977 Diancam Orde Baru Pada 1977 pula, Rhoma jadi juru kampanye untuk PPP kendati hanya sebagai simpatisan. Kala itu suara PPP di Jakarta mampu mengalahkan Golkar yang didukung penuh rezim Orde Baru. Periode 1970-1980 juga menjadi masa-masa rawan bagi Rhoma. Ia sering mendapatkan ancaman karena lagu-lagunya kerap mengkritisi pemerintah. Selain itu, Rhoma juga dilarang tampil di TVRI.

1984 Menikah Lagi Tahun 1984, Rhoma Irama menikahi Ricca Sukardi atau Ricca Rachim yang berusia 10 tahun lebih muda darinya. Sebelumnya Rhoma sempat beberapa kali terlibat dalam film bersama Ricca, yakni Melodi Cinta, Badai di Awal Bahagia, Camelia, Cinta Segitiga, Pengabdian, Pengorbanan, dan Satria Bergitar. Setelah menikah dengan Rhoma, Ricca mundur dari dunia hiburan.

1985 Raja Musik ASEAN Majalah Asia Week edisi XVI yang terbit pada bulan Agustus 1985, menyebutkan Rhoma Irama sebagai Raja Musik Asia Tenggara. Gelar tersebut disematkan setelah liputan tentang pertunjukan konser Soneta Group yang digelar di Kuala Lumpur, Malaysia.

1992 The Indonesian Rocker Majalah Entertainment edisi Februari 1992 menyebut Rhoma Irama sebagai The Indonesian Rocker. Sorotan dari majalah khusus dunia hiburan yang berbasis di Amerika tersebut, seakan menjadi tanda bahwa Rhoma Irama telah diakui secara internasional.

1993 Masuk MPR Rhoma Irama tercatat sebagai anggota MPR sebagai utusan golongan hingga 1997.

1994 Go Internasional April 1994, Rhoma Irama menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan perusahaan musik Life Record di Jepang. Lewat kesepakatan tersebut, 200 judul lagu milik Rhoma akan direkam ulang ke dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang, dengan tujuan untuk menyasar pasar internasional.

1996 Gabung Golkar Rhoma Irama aktif menjadi juru kampanye Golkar menjelang Pemilu 1997. Keputusan ini tentu saja mengejutkan para pendukungnya.

Menurut Denny Sakrie, Soneta berkibar lewat lagu "Begadang" (1973) yang direkam Yukawi record. “Akibat yang nyata (dari lagu tersebut), irama Melayu memperoleh predikat yang yaitu dangdut—sebuah istilah yang dirujuk dari efek suara kendang yang menjadikan irama ini memiliki ciri khas karena mengundang orang untuk bergoyang.”

Lagu-lagu yang dibuat Rhoma Irama, adalah tonggak sejarah penting bagi musik dangdut di Indonesia. Juga terkait dengan musik melayu juga. Para ahli macam Khrisna Sen dan David Hill dalam Media, Culture and Politics (2000) juga Marle Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa (2013) menyebut nama Rhoma sebagai orang penting dalam musik Indonesia di buku-buku mereka.

“Dia mentrasformasikan orkes Melayu gaya lama dan memadukannya dengan gaya ritmis khas lagu-lagu dalam film India, yang populer di antara audiens kelas pekerja urban, menjadi dangdut yang berirama rancak, dan diterima oleh segala lapisan masyarakat dan didukung oleh menteri-menteri dalam kabinet, tulis Khrisna Sen dan David Hill dikutip oleh Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa.

Rhoma Irama dikenal sering “ melakukan eksplorasi dalam membentuk warna musiknya. Terutama perjuangan untuk memodifikasi bahwa dangdut tak sekedar liukan seruling berimbuh tabuhan gendang belaka. Toch seperti halnya genre musik lain, sebut saja jazz misalnya, dangdut pun toleran terhadap suntikan genre musik lain. Rhoma pun melakukan banyak eksperimen yang memperkaya musik dangdut sendiri,” tulis Denny Sakrie.

Di atas panggung, Rhoma biasa tampil dengan pakaian mirip Elvis Presley. Dia tak pegang mikropon belaka seperti A Rafiq. Rhoma selalu bersama gitar. Dia sering tampil dengan gitar patah tanpa kepalanya. Terkait dirinya dengan gitar patahnya yang khas, lewat filmnya Satria Bergitar (1984), dia seolah mendaulat diri sebagai Satria Bergitar.

Bertepatan dengan jayanya Soneta, dari Inggris band rock raksasa Deep Purple juga sedang jaya. Deep Purple pernah diperkuat gitaris sohor Ritchie Blackmore. Permainan gitar Rhoma, terpengaruh Ritchie Blackmore. Lagu Soneta yang berjudul Ghibah dianggap mirip Child in the Time milik Deep Purple.

Menurut William H. Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio Amerika Serikat dalam Rhoma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture (1982), Rhoma Irama adalah musisi yang sangat cerdas. Baginya Rhoma bukan sekadar superstar, namun benar-benar ikon massa yang sanggup menautkan kelompok elit dan rakyat kecil.

Selain identik dengan gitar patah tanpa kepala, Rhoma Irama dalam lagunya selalu menyisipkan dakwah. Selalu ada pesan moral dari musiknya yang membuat orang bergoyang itu.

Terkait ini, Denny Sakrie juga menulis, “pesan moral serta kritik sosial memang banyak ditemui dalam lirik lagukarya Rhoma Irama seperti Begadang, Darah Muda, Hak Azasi, Adu Domba, Rupiah, Judi dan masih sederet lagu lainnya. Muatan-muatan seperti inilah yang menjadikan sosok Rhoma Irama bukan lagi sebagai superstar yang berjubah arogansi dan segala prilaku rekayasa seperti yang kerap kali diperlihatkan pemusik pop dan rock kita,” tulis Denny Sakrie.

Kaum sekuler boleh saja tidak suka pesan-pesan dakwah penuh seruan moral dalam lirik-lirik Rhoma. Namun secara historis, lirik-lirik itu menjadi penting untuk mengartikulasikan kritik dan protes sosial kepada pemerintah Orde Baru yang sedang kuat-kuatnya berkuasa. Salah satu lagu Soneta yang berjudul "Hak Asasi Manusia" rupanya membuat jengkel Orde Baru.

Rhoma dicekal dari TVRI pada pertengahan 1980an karena lagu yang secara jelas membicarakan kekerasan negara terhadap rakyat. Deretan kekerasan Orde Baru memang memuncak pada dekade itu. Dari mulai horor penembakan misterius hingga Tragedi Tanjung Priok

Rhoma dan Soneta jelas berbahaya karena ia magnet bagi massa. Konser-konsernya berhasil menyedot massa yang tumpah ruah dan itu menjadi momen yang cukup efektif untuk melakukan kritik kepada Orde Baru.

Perlawanan Rhoma kepada Orde Baru ia perlihatkan dengan telanjang saat menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemiu 1977 dan 1982. Pernah juga Rhoma dimusuhi Orde Baru karena sempat enggan bergabung ke partai kesayangan orde baru, Golongan Karya (Golkar).

Menurut Andrew M Weintraub, dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (2010), Rhoma pernah memelesetkan lagu "Begadang" dengan lirik "Menusuk boleh menusuk/ asal yang ada artinya/ Menusuk boleh menusuk/ asal Kabah yang ditusuk". Ka'bah merujuk simbol PPP.

Meski begitu, sikap Rhoma tidak statis dalam persoalan politik. Dia kemudian bersedia menjadi juru kampanye Golkar dan jadi Anggota Dewan wakil seniman di Golongan Karya (Golkar) pada 1993. Hingga kini, Rhoma terus bermusik dan berpolitik, berkat popularitasnya sebagai Raja Dangdut.

Selain lewat lagu-lagunya, Rhoma adalah superstar yang kondang lewat film-film musikalnya. Rhoma tampil sebagai aktor utama dalam film-filmnya. Ia selalu memerankan sosok si jago nyanyi yang berada di jalan yang benar. Sudah pasti ada muatan dakwah dalam filmnya.

Orang-orang pasti kenal film Darah Muda, Berkelana, Satria Bergitar, Nada dan Dakwah. Seperti film populer lain, ada akris-aktris cantik di zamannya, seperti Yati Octavia atau Rica Rachim atau yang lainnya lagi. Film-filmnya, selain terkandung cerita cinta ada pula ada adegan berantemnya.

Dan sudah pasti: Rhoma selalu menjadi pemenang di akhir cerita. Entah sampai kapan. Sebab tampaknya tak ada yang sanggup menggantikan sosoknya sebagai Sang Raja. Apa pun kata orang yang tak suka.

MELODI CINTA RHOMA IRAMA 1980 MACHLIS RAYA
Actor.Composer
NADA DAN DAKWAH 1991 CHAERUL UMAM
Actor
NADA-NADA RINDU 1987 MUCHLIS RAYA
Actor.Composer
BEGADANG 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
BUNGA DESA 1988 A. RACHMAN
Actor.Composer
MENGGAPAI MATAHARI 1986 NURHADIE IRAWAN
Actor.Composer
PENGABDIAN 1984 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
BADAI DI AWAL BAHAGIA 1981 MUCHLIS RAYA
Actor.Composer
JAKA SWARA 1990 LILIK SUDJIO
Actor.Composer
GITAR TUA OMAR IRAMA 1977 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PERJUANGAN DAN DOA 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
PENGORBANAN 1982 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
CINTA SEGI TIGA 1979 YUNG INDRAJAYA
Actor
MENGGAPAL MATAHARI II 1986 NURHADIE IRAWAN
Actor.Composer
RHOMA IRAMA BERKELANA I 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor
RHOMA IRAMA BERKELANA II 1978 YUNG INDRAJAYA
Actor.Composer
CINTA KEMBAR 1984 LILIK SUDJIO
Actor
SATRIA BERGITAR 1983 NURHADIE IRAWAN
Actor.Composer
CAMELIA 1979 YUNG INDRAJAYA
Actor
DARAH MUDA 1977 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
RAJA DANGDUT 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Actor.Composer
TABIR BIRU 1993 MUCHLIS RAYA
Actor.



POSTERS