Rabu, 28 April 2010

SATU ABAD, KESENIAN INDONESIA MODERN

PERJALANAN SATU ABAD, KESENIAN INDONESIA MODERN
Kesenian sebelum modern, Nusantara telah kaya dari jaman dulu sekali. Masuknya moderent dalam seni Indonesia yang awalnya adalah Tradisional, budaya leluhur atau asli.

1841
Kamera fotografi masuk Batavia, dibawa oleh perwira Belanda atas perintah Kementerian Urusan Negara Jajahan di Belanda. Pemotretan yang dilakukan di Jawa Tengah gagal menghasilkan gambar.

1844
Adolph Schaefer menjadi orang pertama yang berhasil membuat gambar foto di Hindia Belanda. Ia mendapat tugas dari pemerintah kolonial di Hindia Belanda untuk untuk membuat foto-foto koleksi Batavia Society of Arts and Sciences. Setahun kemudian, ia memotret Candi Borobudur.
.


1857
Albert Woodbury dan James Page mendirikan studio foto Woodbury and Pages di Batavia, yang menjadi studio foto paling sukses dan bertahan hingga awal abad ke-20.

Sebetulnya Indonesia atau Hindia Belanda saat itu adalah termasuk negara yang paling awal menerima kehadiran teknologi fotografi. Teknologi ini dibawa oleh Juliaan Munnich pada tahun 1841, hanya berselang dua tahun sejak ditemukannya teknologi fotografi oleh Louis Daguerre pada tahun 1839.

Walaupun fotografi sudah masuk sejak tahun 1841, perkembangan secara pesat baru terjadi pada tahun 1857, yaitu saat dua bangsa Inggris Walter Bentley Woodbury dan James Page tiba di Batavia dan mulai membuka studio fotografi pada tanggal 5 Juni 1857. Tanggal 8 Desember 1858, mereka mulai mengiklankan usahanya di harian Java Bode dan menawarkan jasa pemotretan bagi umum. Walter Woodbury dan James Page bekerja sama hingga akhir tahun 1860, pada bulan Desember 1860 James Page pulang ke tanah airnya, sementara Walter tetap menekuni bisnisnya di bidang fotografi komersial bersama dengan saudaranya Henry James.

Tanggal 18 Maret 1861, Walter Woodbury membuka studio foto atas namanya di Batavia dengan nama Photographisch Atelier van Walter Woodbury atau lebih dikenal dengan nama Atelier Woodbury yang berlokasi di sebelah Hotel der Nederlander atau sebelah Bina Graha sekarang. Usaha ini mendatangkan kemakmuran bagi Woodbury bersaudara, dikabarkan bahwa penghasilan mereka dari setiap foto yang dibuat adalah 20 hingga 120 rupiah. Sebagai gambaran, harga beras saat itu adalah 5 rupiah per picol (picol = 62 kilogram). Selain jasa potret, Walter juga menjual album fotografi yang berjudul Gezigten van Batavia atau View of Batavia yang merupakan foto topografis pertama yang dijual secara umum, diiklankan pada harian Java Bode tanggal 31 Agustus 1861.

Studio ini semakin berkembang dan menjadi pusat fotografi terpenting di Batavia . Usahanya bukan saja menjual foto tetapi termasuk album lanskap Pulau Jawa, stereotype photo, kamera, lensa, photographic chemical dan semua hal yang berbau fotografi. Iklan studio ini selalu muncul di koran lokal, setidaknya seminggu sekali. Walter Woodbury meninggalkan Jawa dan kembali ke Inggris pada bulan Januari 1863, dan usahanya diteruskan oleh adiknya Henry James Woodbury bersama dengan James Page yang kembali ke P. Jawa. Tanggal 1 Januari 1863 nama studionya berubah menjadi Woodbury & Page Atelier dan mereka bekerja sama hingga tahun 1864. Pada bulan Agustus 1864, Studio ini dijual kepada bangsa Jerman bernama Carl Kruger. James Page sendiri kembali ke Inggris pada tahun 1864 dan Henry James Woodbury menyusulnya pada tahun 1866.

Pada tanggal 1 Maret 1870, studio Woodbury & Page dibeli lagi oleh saudara ketiga Woodbury yaitu Albert Woodbury (1840-1900). Dan ditangan Albert inilah studio ini berkembang pesat dan mencapai puncak keemasannya. Firma ini bukan saja melayani jasa fotografi di Batavia saja tetapi juga seluruh pelosok Hindia Belanda. Apalagi saat itu Hindia Belanda dibanjiri para pengunjung dari Eropa, akibat dibukanya terusan Suez pada tahun 1869, sehingga Studio Woodbury & Page kebanjiran order. Dan puncak pencapaian Woodbury & Page adalah pada tahun 1879 yaitu mendapatkan penghargaan berupa gelar kebangsawanan dari Raja Belanda Willem III.

Studio Woodbury & Page mengalami kelesuan bisnis sejak tahun 1890, hal ini dikarenakan banyaknya pesaing-pesaing baru yang muncul dengan teknologi kamera terbaru. Selain itu kamera juga mulai dijual massal, sehingga jasa pemotretan berkurang drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya firma ini bangkrut dan bubar pada tahun 1908.

1885
Karmawibangga, relief Candi Borobudur, ditemukan dan fotografer pribumi pertama, Kassian Cephas, menjadi satu-satunya fotografer yang pernah berhasil merekam 164 foto relief itu.

Kassian Cephas (15 Februari 1844 - 1912) dapat dianggap sebagai pelopor fotografi Indonesia. Ia adalah seorang pribumi yang kemudian diangkat anak oleh pasangan Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Nama Kassian Cephas mulai terlacak dengan karya fotografi tertuanya buatan tahun 1875. Cephas lahir dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven. Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar tahun 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
Publikasi luas foto-foto Cephas dimulai pada tahun 1888 ketika ia membantu membuat foto-foto untuk buku karya IsaƤc Groneman, seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang budaya Jawa, yang berjudul: In den Kedaton te Jogjakarta. Pada buku karya Groneman yang lain: De Garebeg's te Ngajogjakarta, karya-karya foto Cephas juga ada disitu.
Dengan kamera barunya yang bisa dipakai untuk membuat "photographe instanee", Cephas mulai menjual karya-karya fotonya. Sejak itu karya-karyanya mulai dikenal dan dipakai sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi para masyarakat elit Belanda ketika mereka akan pergi ke luar kota atau ke Eropa. Misalnya ketika JM. Pijnaker Hordijk, pemilik sewa dan seorang Vrijmetselaar terkemuka akan meninggalkan Yogyakarta, ia diberi hadiah album indah berisi kompilasi karya-karya foto Cephas dengan cover indah yang dilukis oleh Cephas sendiri dan bertuliskan "Souvenir von Jogjakarta". Album-album semacam itu yang berisi foto-foto sultan dan keluarganya juga kerap diberikan sebagai hadiah untuk pejabat pemerintahan seperti residen dan asisten residen. Keadaan seperti ini tentunya membuat Cephas dikenal luas masyarakat kelas tinggi, dan memberinya keleluasaan bergaul di lingkungan mereka.
Cephas mulai bekerja sebagai fotografer kraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengkubuwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak kraton maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di kraton semisal tari-tarian untuk kepentingan buku karya Groneman.
Cephas juga membantu pemotretan untuk penelitian monumen kuno peninggalan zaman Hindu-Jawa yaitu kompleks Candi Loro Jonggrang di Prambanan yang dilakukan oleh Archaeologische Vereeniging di Yogyakarta. Proyek ini berlangsung tahun 1889-1890. Dalam bekerja, Kassian Cephas banyak dibantu Sem, anak laki-lakinya yang paling tertarik pada dunia fotografi seperti ayahnya. Kassian Cephas memotret sementara Sem menggambar profil bangunannya.
Ia juga membantu memotret untuk lembaga yang sama ketika dasar tersembunyi Candi Borobudur mulai ditemukan. Ada sekitar 300 foto yang dibuat Cephas untuk penggalian ini. Pemerintah Belanda mengalokasikan dana 9000 gulden untuk penelitian ini. Cephas dibayar 10 gulden per lembar fotonya. Cephas mengantongi 3000 gulden (sepertiga dari seluruh uang penelitian). Jumlah yang sangat besar untuk ukuran waktu itu.
Cephas adalah pribumi satu-satunya yang berhasil menguasai alat peradaban modern, itu juga yang membuatnya diakui di kalangan golongan masyarakat kelas tinggi. Buktinya ia bisa menjadi anggota istimewa Perkumpulan Batavia yang terkenal itu. Tahun 1896 ia dinominasikan menjadi anggota KITLV15 Juni 1896. Ketika Raja Chulalongkorn dari Thailand1896, ia mendapat hadiah berupa tiga buah kancing permata. Bahkan Ratu Wilhelmina dari Belanda memberi penghargaan berupa medali emas Oranje-Nassau kepada Cephas pada tahun 1901. (Lembaga Linguistik dan Antropologi Kerajaan) atas dedikasinya memotret untuk penelitian Archaeologiche Vereeniging. Ia benar-benar diterima menjadi anggota KITLV pada tanggal berkunjung ke Yogyakarta tahun 
Cephas sendiri sudah sejak tahun 1888 memulai prosedur untuk mendapatkan status "gelijkgesteld met Europeanen" atau "disetarakan dengan kaum Eropa" untuk dirinya sendiri dan anak-anak laki-lakinya: Sem dan Fares; suatu prosedur yang dimungkinkan oleh UU Kewarganegaraan Hindia Belanda pada masa itu.
Baris Waktu Kassian Cephas (Sumber: KNAAP, GERRIT (WITH A CONTRIBUTION BY YUDHI SOERJOATMODJO) Cephas, Yogyakarta. Photography in the service of the Sultan. . Leiden, KITLV Press, 1999)
15 januari 1845 Lahir di Yogyakarta, dari pasangan pribumi Kartrodono dan Minah
Menurut H.J. de Graaf, Cephas adalah keturunan biologis dari Frederik Bernard Franciscus Schalk, warga Belanda yang tinggal di Yogyakarta pada pertengahan abad ke-19. (De Graaf 1981:47)
27 Desember 1860 Usia 15 tahun, dibabtis di gereaja Bagelen- Purworejo dan melengkapi nama belakang keluarga menjadi Cephas; dari bahasa Aramic. Pada masa ini, ia mengabdi sebagai pembantu rumah tangga untuk Christina Petronella Steven (Mrs. Phillips-Steven) di Bagelen.
1860-an Kembali ke Yogyakarta
22 Januari 1886 Menikahi seorang wanita pemeleuk Kristen-Protestan pribumi, bernama Dina Rakijah di gereja Yogyakarta
1861-1871 Belajar fotografi dari Simon Willem Camerik, pelukis dan fotografer untuk sultan HB VI, Yogyakarta (Locomotief 13:29-8-1864)
1860-an Belajar fotografi pada Isidore van Kinsbergen, yang bekerja untuk mendokumentasikan barang antik penginggalan Hindu-Jawa antara tahun 1863 hingga 1875. (De Graaf, 1981:49)
1869 Berkenalan dengan Isaac Groenaman, seorang dokter. Groenaman diangkat menjadi dokter pribadi sultan tahun 1885.
1885 Bergabung di Vereeneging voor Oudheid-, Land-, Taal- en Volkenkunde te Jogjakarta. (Persatuan untuk Arkeologi, Geografi, Bahasa dan Etnograpfi Yogyakarta) yang didirikan oleh Isaac Groenaman.
28 Juni 1866 Lahir anak perempuan pertama Naomi. Pada November 1882, menikah pada Christiaan Beem. Tahun 1868, Lahir anak laki-laki kedua, Jacob dan meninggal pada tahun yang sama.
15 Maret 1870 Lahir anak laki-laki ke-tiga, Sem. Pada tahun berikutnya, mengikuti jejak ayahnya menjadi pelukis dan fotografer istana.
30 Januari 1881 Farez, lahir. Tahun selanjutnya, 4 Juli 1881 Josef, lahir.
1877 Mendirikan studio foto di Lodtji Kecil Wetan (sekarang jalan Mayor Suryotomo) disamping kali Code. Teknik fotografi yang digunakan adalah cetak carbon (carbon print) yang disebut pula Chromo Photographs. Diantaranya menerima foto portrait, jalan dan monumen, bangunan tua.
1884 Melalui artikel yang ditulis Isaac Groeneman di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, atau perhimpunan seni dan ilmu pengetahuan Batavia, memuat karya Kassian Cephas foto bangunan Taman Sari, sebagai fotografer bangsa pribumi (Jawa)
1871 Diangkat menjadi pelukis dan fotografer untuk sultan VI, Yogyakarta
1884 Masuk ke dalam team pemotretan istana air taman sari, untuk royal Batavian society of art and science. (karya pemotretan yg pertama)
1885 Isaac Groeneman membuat draft untuk buku berjudul In den Kedaton dan De garebeg’s te Ngajogyakarta, masing-masing memuat photograpm karya Cephas ke KITLV (Institut Kerajaan untuk Linguistik dan antropologi, yang kini berada di Leiden) di Hague Belanda.
1886 Membeli kamera paling canggih saat itu, “Photographie Instantee”. Tipe kamera seperti ini bisa merekam hingga kecepan 1/400 detik.
1888 Karya pertama yg dapat dilihat oleh publik, buku “ In den Kedaton te Jogjakarta “ oleh issac groneman. Buku itu berisi 16 karya collotype print yang memperlihatkan karya tari klasik Hindu-Jawa yang ditarikan oleh bangsawan keraton di kesultanan Yogyakarta, pada saat pemerintahan Sultan HB VII. Tahun ini pula, Cephas mengajukan prosedur naturlisasi derajat sosialnya, disejajarkan dengan bangsa eropa, yang disebut gelijkteld met Europeanen, untuk Cephas sendiri, Sem dan Fares anaknya.
1890 Groeneman mempublikasikan tulisan dan gambar littograph yang berasal dari foto Cephas, tentang tarian Hindu-Jawa. Tarian ini dilaksanakan pada saat perayaan penobatan Patih, Kanjeng Raden Adipati Danureja V, bulan Agustus 1888.
1889 Perayaan upacara sunatan pangeran Gusti Raden Mas Akhadiyat atau Hamengkunegara I. Cephas mengambil beberapa gambar tarian Hindu-Jawa, namun karyanya tidak pernah dipublikasikan pada saat itu.
1889-1890 Masa-masa paling sibuk bagi Cephas. Dalam rangkaian pengambilan gambar untuk Perhimpunan Arkeologo Yogyakarya, dalam rangka sebagai bahan studi dan pelestarian. Diantaranya monumen, candi Loro Jonggrang, di komplek candi Prambanan. 1890, pemerintah Hindia-Belanda, menyediakan dana sebesar f. 3.000 untuk proyek dokumentasi ini. Kassian Cephas melakukan pemotretan dari tahun 1889 hingga 1890, sedangkan anaknya, Sem Cephas menggambar letak ruang komplek candi. 1891, Isaac Groenaman, mengirimkan karya Cephas ke KITLV di Hague, untuk bahan publikasi, kemudian terbit tahun 1893, terdiri dari 62 Callotype.
1890-1891 Cephas memotret bagian dasar candi Borobudur hingga mendapatkan 164 foto, terdiri dari 160 relief dan 4 foto yang memperlihatkan keseluruhan struktur bangunan. Untuk proyek ini, Cephas memperhitungkan, akan membutuhkan 300 foto untuk memotret keselurhan candi. Karena menggunakan teknik rekam dry plate gelatin, maka dibutuhkan waktu setengah jam untuk setiap kali pemotretan, hingga total keselurhan waktu yang dibutuhkan adalah 150 jam, atau 30 hari pengerjaan, untuk setiap lima jam setiap harinya.
1899 Proyek terakhir bersama Groeneman, mendokumentasikan pada penampilan panggung tari klasik, yang membutuhkan waktu empat hari di keraton. Sendra tari ini berdasarkan karya Gusti Pangeran Harya Surya Mataram, kakak dari HB VII. Lebih dari 150 orang terlibat dan persiapannya membutuhkan waktu setengah tahun, dan menghabsikan biaya f.30,000. Pada saat pementasan, dihadiri lebih dari 36.000 penonton. Peliputan lengkap ini, meliputi sembilan buku dengan teknik proses blok print karya fotografi Cephas, dipublikasikan di Semarang. Tahun 1902, buku ini dipesembahkan sebagai hadiah perkawinan ratu Welhelmina dan pangeran Frederik.
Pada tahun yang sama, mendapatkan anugerah “Orange-Nassau” bersama Isaac Groneman atas hasil karyanya melakukan pemotretan budaya dan antropologi Jawa.
1902 Membuat beberapa foto dokumentasi untuk upacara Wayang Beber, di kampung Gelaran Gunung Kidul.
1903 Cephas pensiun dan menjadi abdi dalem di keraton sebagai mediasi untuk pengiriman pesan surat. Aktifitas memotret dilanjutkan oleh Sem
16 Nopember 1911 Istri Kassian Cephas, Dina meninggal dunia dan karena sakit berkepanjangan, tanggal 16 November 1912 (usia 67) Kassian Cephas tutup usia. Tahun 1918, Sem Cephas meninggal dunia karena terjatuh dari kuda.


1891
Pementasan Teater Bangsawan dari Penang, Malaysia, di Surabaya mendapat sambutan hangat. Pada saat bersamaan, muncul “Komedi Stamboel” yang diprakarsai August Mahicu yang mengangkat tema cerita 1001Malam.

Masih ingat August Mahieu dengan Komedle Stamboer? Mahieu bagai trend setter di Jawa. Ia membuat orang lain meniru tontonan panggung ala Komedle Stamboel atau dkenal sebagai Komedle Bangsawan. Padahal. Mahieu meniru pula dari pertunjukan Abdul Muluk. Banyak orang bilang. Abdul Muluk pun meniru pertunjukan serupa asal Iran. Sepanjang sejarah pergerakan manusia, tentu saja perihal tina meniru. adaptasi, kolaborasi, percampuran. penggabungan, atau pengaruh unsur seni dan budaya tak terelakkan. Mahieu membius masyarakat di Hindia Belanda dan merangsang seniman lain mendirikan komedi alias pertunjukan. Sebut saja Komedie Opera Samboel. Opera Sri Permata. Opera Bangsawan, dan Indra Bangsawan. Tak seperti rombongan Mahieu yang berisi pemain Indo Jawa, rombongan baru tersebut menggunakan pemain yang seluruhnya pribumi. Meski demikian, cita rasa Mahieu tak ditinggalkan, yaitu penampilan dansa tango. kabaret, tablo. waltz. polka. dengan kostum ala bangsawan, pangeran, ratu, putri, pokoknya yang berbau barat. Itu sebabnya Komedie Stamboel dan ikutannya disebut Komedie Bangsawan. Demikianlah tontonan tersebut menghibur banyak Bati wong cilik di masa itu. abad 19. Alun-alun kota seringkali jadi panggung besar bagi rombongan komedi tersebut. Penontonnya? Beragam. Tapi kebanyakan ya wong cilik tadi. Bahkan kuli perkebunan ingin dihibur rombongan tersebut, demikian Misbach Yusa Biran dalam Sejarah FUm 1900-1950Bikin Film di Jawa.Repertoar-repeitoar campuran dari Baghdad. Eropa, India, mereka mainkan tanpa menggunakan naskah. Hanya garis besarnya saja yang dipahami para pemain. Mereka tak kenal naskah panggung, semua percakapan tak lain hanylah improvisasi. Apa pasal? Para pemain Itu umumnya buta huruf.
Itu Juga barangkali, kenapa pertunjukan rombongan komedi tersebut tak mengubah repertoar atau membuat sendiri kisah ala mereka. Hingga akhirnya muncullah Tio Tek Djien dengan Miss FSboet Orion dan Piedro ; dengan Dardanella. Dua rombongan besar ini menelurkan berbagai kisah karangan mereka sendiri dengan kepiawaian Andjar Asmara dan Nyoo Cheong Seng.Perkembangan rombongan komedi ini menentukan perjalanan kesenian bangsa ini. khususnya perfilman. Dari rombongan komedi ini kemudian muncul istilah anak wayang mengikuti istilah yang berkembang di Malaka, di mana Mahieu mencontoh penampilan Abdul Muluk. Pertunjukan mereka disebut wayang panggung.

1900 

Lukisan “Pemandangan Alam” karya Abdullah suriosubroto.
Abdullah Suriosubroto lahir di Semarang, tahun 1878. Ia adalah anak angkat seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia, dr. Wahidin Suriosubroto. Di sisi lain, Abdullah Suriosubroto adalah ayah dari seniman Basoeki Abdullah, Sudjono Abdullah, dan pematung Trijoto Abdullah.

Awalnya, Abdullah masuk di sekolah kedokteran di Batavia atas perintah ayahnya. Karena tak ada ketertarikan dengan dunia pergerakan, ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Belanda. Namun di sana ia beralih ke seni lukis dan masuk di sebuah sekolah seni rupa.



1901
“Lelakon Raden Bei Mas Soerjo Retno” karya F. Wiggers, seorang pengarang Belanda yang diterbitkan oleh penerbit Cina. Ini cerita kontemporer Indonesia pertama mengenai sebuah keluarga Jawa yang anak laki-lakinya badung sehingga mencuri uang negara yang diurus bapaknya. Den Bei akhirnya bunuh diri karena malu.

F.Winggers


Layaknya redaktur koran pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Ferdinand Wiggers juga seorang penulis. Ferdinand Wiggers meneruskan tradisi kepenulisan ayahnya, E.F. Wiggers. Ferdinand Wiggers meneruskan terjemahan dari ayahnya Barang Rahasia dari Astana Konstatinopel dan Graaf de Monte-Cristo. Ia juga masih berhubungan baik dengan Lie Kim Hok yang membantu ayahnya mengerjakan terjemahan Lawah-lawah Merah (1875). Bersama Lie Kim Hok, Wiggers menerjemahkan Graaf de Monte-Cristo.

Sekurang-kurangnya, terdapat 14 judul karya sastra dari Ferdinand Wiggers yang berhasil dikumpulkan atau terlacak, baik terjemahan maupun asli, baik novel, drama, maupun puisi. Angka tersebut dapat saja bertambah jika terdapat temuan-temuan baru.

Catatan mengenai jumlah karya sastra yang ditulis oleh Ferdinand Wiggers sejauh ini telah berhasil dikumpulkan oleh C.W. Watson (1971), Pramoedya Ananta Toer (1982), Ibnu Wahyudi (1988), Doris Jedamski (2010), dan W.V. Sykorsky (1980). Karya-karya tersebut antara lain Barang Rahasia dari astana Konstatinopel; Riwayat waktoe sekarang (1892-1899, meneruskan terjemahan ayahnya, E.F. Wiggers), Graaf de Monte-Cristo; Karangannja Alexander Dumas: Tjeritaken dalam bah. Melajoe rendah dengan menoeroet djalan jang gampang, (1894-99, meneruskan terjemahan ayahnya, E.F. Wiggers), Hikajat 1001 malam ja-itoe tjeritera-tjeritera Arab (1897-1902), dan Dari Boedak sampe Djadi Radja; menoeroet karanganja Melati van Java; tersalin dalem bahasa Melajoe renda 2 Jilid (1898).

Selain itu, novel Djembatan Berdjiwa Jilid 1 dan 2 (1900 dan 1901), Boekoe Lelakon Ondercollecteur Raden Beij Soerio Retno (1901), Tjerita Dokter Legendre atau Mereboet harta (1902), Nona Glatik (1902), Tjerita Njai Isah (1903-05). 5 jilid, Tjerita Doktor Maugers (1904-1905), Boekoe Peringatan: Mentjeritain dari halnja seorang Prampoean Islam Tjeng Kao bernama Fatima (1908), Raden Adjeng Aidali : soeatoe tjerita jang kedjadian di tanah Djawa (1910), Tereosir (1910), serta Sair Java-Bank dirampok tanggal 22 November 1902 (1922).

Wiggers juga aktif menulis karya-karya nonfiksi yang jumlahnya lebih banyak ketimbang sastra. Setidaknya, ada 22 buku nonfiksi yang kebanyakan merupakan undang-undang dan kitab hukum.

Buku-buku tersebut antara lain Peratoeran boewat Instituut Pasteur di Weltevreden dan hal penjakit andjing gila / tersalin oleh F. Wiggers (1895); Boekoe pengoendjoek djalan dalem perkara harta banda (ke hwe) pada wees dan boedelkamer, hal overschrijving, hal failliet, dengan bebrapa katerangan, tjonto tjonto dan rekest dalem perkara begitoe (1901); Sepoeloe oendang-oendang jang perloe boewat orang berdagang dan prijai-prijai terpetik dari boekoe pengadilan (1902).

Tiga vonnis perkara assurantie kebakaran boeat orang-orang dagang jang masoek assurantie perloe ia mengatahoewi boeninja ini vonnis-vonnis soepaja bole berpajoeng seblonnja katimpah oedjan (1902); Residentie-gerecht : tjara sebagimana misti kasi masoek penagian di hadepan residentie gerecht? di terangin boewat orang2 dagang, toekang2 dan laen2 (1902); Wetboek taon 1903: Jang mengandung a.l. Grondwet voor het Koningrijk der Nederlanden (Ned. Stbl. 1887 No. 210) dengan salinan (1903).

Kitab Reglement Burgerlijke Rechtsvordering : Soerat peratoeran Hal menoentoet hoekoem siviel di hadepan Raad Joestisie di tanah Djawa dan di hadepan Raad Besar di Betawi Hof (1904); Boekoe inlandsch-reglement Blanda-Melajoe dengan bebrapa prentah-prentah jang perloe boeat pemarentah anak negri pake tjonto-tjonto (1904); Reglement op de rechterlijke organisatie en het beleid der justitie in Nederlandsch-Indië / Hollandsch – Maleisch door: Algemeene bepalingen van wetgeving en burgerlijk wetboek Koempoelan wet-wet Hindia-Nederland (1906).

Sekalian wet jang paling perloe jang terpake di Hindia-Nederland (1906); Keterangan dari pada boekoe-boekoe keadilan hoekoem di Hindia Nederland (bersama C.W. Margedant, W. de Gelder, W.A.P.F.L. Winckel/1907); Wet-wet Hindia-Nederland. I,1. – II, 1 (1908-1910); Boekoe Boschwezen: Olanda Melajoe: moewat staatsblad-staatsblad jang membitjaraken perkara oetan (1909).

Reglement pertja Timoer dengen lain-lain prentah jang perloe goena residentie itoe (1910); Reglement Borneo Selatan dan Timoer dengen lain-lain prentah jang perloe goena residentie itoe (1910); Agrarische-aangelegenheden: Ja-itoe hal tanah di Hindia Nederland (1910); Wetboek van koophandel: Kitab perniaga’an (1911); Boekoe strafwetboek voor inlander: kitab keadilan hoekoem boewat orang-orang bangsa anak negri (1911).

Boekoe inlandsch reglement dengan segala perobahan sampe jang pengabisan di taon 1911 staatsblad no. 121: bersama daftar hoekoem hoekoeman dari boekoe strafwetboek voor inlanders dan politiereglement voor inlanders dan bebrapa bijblad hal kepolisian (1911); Toerki dan Joenani (Griekenland) (1897); Boekoe almanak prijai dari taon … / karangannja F. Wiggers; djil. Ka-2 (1897); serta Padoman prija dan anak negri (1908-1909).

Jika ditotal, jumlah karya baik sastra maupun nonsastra yang dihasilkan oleh Ferdinand Wiggers sebanyak 36 karya. Angka tersebut tergolong banyak untuk ukuran akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Apalagi, masa kepengarangannya juga tergolong pendek, yakni dari 1898 hingga 1912, atau hanya 14 tahun. Produktivitas F. Wiggers pun lebih tinggi dibandingkan ayahnya, E.F. Wiggers. Padahal, ayahnya punya karier yang lebih panjang di dunia pers, selama 25 tahun.

Selain itu, pandangan Ferdinand Wiggers dalam tulisan-tulisannya juga cukup luas. Karya sastra yang ia tulis tidak hanya karya terjemahan, ia juga menulis karya asli. Karangan asli Ferdinand Wiggers juga tidak sebatas novel saja, ia pun menulis karya drama dan syair.

Pandangan politik Ferdinand Wiggers juga tidak sebatas permasalahan kaum Indo-Eropa saja. Ia juga ikut menyoroti permasalahan kaum peranakan Tionghoa dan pribumi. Bahkan, Ferdinand Wiggers cenderung lebih dekat dengan kaum peranakan Tionghoa dan pribumi.

Karya-karya Ferdinand Wiggers tersimpan di beberapa perpustakaan seperti di perpustakaan KITLV dan Universitas Leiden di Belanda, Perpustakaan Rusia, PDS H.B. Jassin, dan beberapa lagi hilang tak berbekas.

Hikajat 1001 malam ja-itoe tjeritera-tjeritera Arab, Barang Rahasia dari astana Konstatinopel , Graaf de Monte-Cristo, Dari Boedak Sampe Djadi Radja, Tjerita Dokter Legendre atau Mereboet harta, Lelakon Raden Bei Soerio Retno, Raden Adjeng Aidali dan Tjerita Njai Isah tersimpan di Perpustakaan KITLV Belanda (Watson, 1971).

Perpustakaan Rusia menyimpan karya Dari Boedak Sampe Djadi Radja dan Barang Rahasia dari astana Konstatinopel (Sykorsky, 1980). Di PDS H.B. Jassin tersimpan karya Njai Isah (Wahyudi, 1988). Karya Sair Java-Bank Di rampok tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Djembatan Berdjiwa Jilid 1 dan 2 (1900 dan 1901), Nona Glatik (1902), Boekoe Peringatan: Mentjeritain dari halnja seorang Prampoean Islam Tjeng Kao bernama Fatima (1908), dan Tereosir (1910) kemungkinan besar disimpan di perpustakaan pribadi Pramoedya Ananta Toer. Salah satu pendapat yang menguatkan bahwa karya-karya tersebut tersimpan di perpustakaan pribadi Pram adalah dalam pengantar buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, Pramoedya akan menerbitkan tulisan Ferdinand Wiggers lainnya untuk jilid berikutnya (1982: 32). Sayangnya, jilid-jilid berikutnya tidak jadi atau belum juga diterbitkan.

Karya-karya yang dapat dibaca di Indonesia adalah karya yang telah dicetak ulang di dalam bunga rampai seperti Boekoe Lelakon Raden Bei Soerio Retno dalam Antologi Drama Indonesia 1895-1930, Dari Boedak Sampe Djadi Radja dalam Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, dan Tjerita Njai Isah dalam bunga rampai De Njai Moeder van alle Volken; De Roos uit Tjikembang’ en andere verhalen. Untuk Tjerita Njai Isah di dalam buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda. Tjerita Njai Isah, menurut penelitian Ibnu Wahyudi (1988), masih dapat ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Jakarta.

Nah, untuk lebih mengenal lebih dekat karya-karya F. Wiggers, berikut ini ulasan pendek tentang buku-buku sastra yang dikerjakan F. Wiggers. Baik dari karya terjemahan maupun karya asli, baik roman, syair, maupun naskah drama.

Boekoe Lelakon Ondercollecteur Raden Beij Soerio Retno

Boekoe Lelakon Ondercollecteur Raden Beij Soerio Retno merupakan naskah drama asli yang dibuat oleh Ferdinand Wiggers dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Oeij Tjaij Hin pada 1901 di Batavia. Naskah drama ini diterbitkan ulang oleh Yayasan Amanah Lontar pada 2006 ke dalam buku Antologi Drama Indonesia 1895-1930.

Drama Wiggers muncul ketika situasi seni pertunjukan di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 sudah ramai oleh sandiwara, tonil, komedie stamboel, teater, dan drama. Jadi, tidak begitu mengherankan jika pada 1901 karya drama sudah dicetak ke dalam bentuk buku.

Secara garis besar drama tersebut menceritakan kehidupan keluarga Priyayi Raden Bei Soerio Retno di Jawa. Raden Bei Soerio Retno adalah abdi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia menjabat sebagai collecteur (pengumpul pajak) di sebuah kabupaten (regent) di Jawa. Raden Bei mempunyai istri dan dua orang anak, yaitu Raden Ongko yang bersekolah di sekolah kedokteran di Batavia dan anak perempuan bernama Kartani.

Konflik di dalam drama tersebut muncul ketika Raden Ongko kedapatan mencuri uang pajak yang disimpan oleh ayahnya. Raden Ongko mencuri uang tersebut karena ia kehabisan uang dan ayahnya sudah tidak mau lagi memberikan uang lantaran sifatnya yang suka menghamburkan uang.

Raden Ongko memohon kepada ibunya untuk membantu mendapatkan uang tersebut. Ibu Raden Ongko tidak tega melihat anaknya menderita, ia pun membantu anaknya untuk mengambil uang pajak. Ketika mengambil, Raden Bei Soerio Retno melihat. Raden Bei akhirnya memutuskan untuk mengambil uang pajak agar istri dan anaknya tidak terkena kasus. Setelah itu, ia masuk ke kamar dan bunuh diri karena malu.

Tentang drama Ferdinand Wiggers, C.W. Watson dan Sapardi Djoko Damono memberikan catatan menarik. Watson (1971) mengindikasikan bahwa drama Ferdinand Wiggers memiliki kemiripan dengan drama Eropa. Watson menganggap bahwa drama tersebut merupakan gubahan bebas terhadap drama Eropa. Sayangnya, Watson tidak menyebutkan judul drama dan pengarangnya.

Lain halnya dengan Watson, Sapardi Djoko Damono (2005) membandingkan sifat realis yang terdapat di dalam drama Ibsen dan drama Wiggers. Perbedaan mencolok antara realisme drama Ibsen dan drama Wiggers, menurut Sapardi, terlihat pada penunjuk pemanggungan: Ibsen lebih detail dalam menuliskan setting, sedangkan Wiggers tidak terlalu detail.

Meski demikian, Sapardi tetap menggolongkan drama Wiggers sebagai drama realis dengan melihat tokoh-tokohnya yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari pada waktu itu. Ciri lain yang terdapat dalam karya drama Lelakon ondercollecteur Raden Bei Soerio Retno adalah masih adanya pesan didaktik secara eksplisit pada akhir karya drama tersebut.


1907
Komisi bacaan rakyat, Commissie voor de Indlansche School en Volklectuur, didirikan. Belakangan, penerbitan ini bernama Balai Pustaka.
Editor Nur St. Iskandar menerapkan kebijakan Politik Etis Belanda dan cenderung mempunyai bahasa pakem yang menerapkan antipuisi dan tak membolehkan politik agama.
Penerbitan ini melahirkan karya-karya seperti

Azab dan Sengsara (Merari Siregar - 1920),
Sitti Nurbaja”(Marah Rusli -1922), dan
Salah Asuhan (Abdul Muis- 1928).


1917
Teater opera diprakarsai orang-orang Tionghoa. “Tjerita Iboe Tiri jang Pinter Adjar Anak” menyajikan cerita tentang Cina peranakan di Indonesia. Beberapa tahun kemudian, tontonan bioskop mulai masuk Indonesia dan menyebabkan kemunduran kualitas tontonan itu.

1920
Dunia fotografi di Batavia mulai berkembang seiring dengan bermunculannya media yang terbit di Batavia. Salah satu fotografer Indonesia, Anton Najoan, bekerja di majalah berita berbahasa Belanda, Java Bode. Adalah Anton yang menanamkan ide nasionalisme kepada anak didiknya, Alex Mendur yang belakangan mendirikan agen foto Ipphos.
Yudhi Soerjoatmodjo *Batavia, 1841. Sebuah kamera Daguerreotype tiba di ibu kota. Ia dikirim ke Jawa Tengah dengan sebuah misi khusus yang berisi pesan dari Kementerian Urusan Wilayah Koloni Belanda: mengumpulkan foto-foto pemandangan alam yang paling menonjol. Sayangnya, eksperimen itu berujung dengan kegagalan. Bagaimanapun, pada 1850, konsep fotografi sebagai alat inventaris sudah tertanam dengan mantap. Metode pemetaan wilayah koloni dengan menggunakan fotografi sudah mulai terselenggara. Selama 75 tahun berikutnya, praktek tersebut tak hanya menggambarkan realitas para praktisinya—antara lain para penginjil, abdi keraton, tentara, dan para petualang—tapi juga realitas dan fungsi dari gambar-gambar yang dihasilkannya. Lebih jauh lagi, sirkulasi dan presentasi foto-foto itu kepada publik menyiratkan falsafah estetis yang pengaruhnya masih kuat hingga hari ini.

Perjalanan hidup dan karir beberapa fotografer di Indonesia berikut ini mungkin mampu mengilustrasikan argumen itu. 
Salah satu studio foto yang paling penting dan produktif di Hindia Belanda adalah studio Woodbury & Page, yang didirikan oleh dua pria berkebangsaan Inggris dengan nama yang sama. Mereka pindah ke Hindia Belanda setelah usahanya untuk mencari emas di Australia gagal. Datang ke Batavia pada 1857, Woodbury & Page menemukan kembali cinta pertamanya pada fotografi dan mendirikan studio yang ternyata bertahan sampai awal 1900-an. 
Woodbury & Page tak hanya bekerja berdasarkan komisi dari proyek-proyek pemerintah kolonial atau untuk klien-klien yang kaya-raya. Keberhasilan usahanya juga banyak mengandalkan penjualan foto-foto eceran dan carte-de-visite (foto kenang-kenangan). Foto-foto yang merekam pemandangan alam dan warga setempat ini diciptakan untuk dipasang di album cendera mata yang sangat digemari oleh masyarakat kolonial ketika itu. Untuk alasan inilah keduanya sering berkeliling Hindia Belanda mencari obyek foto yang menarik, dari para bangsawan sampai orang biasa. Apa yang dilakukan Woodbury & Page akhirnya memperluas konsep "menaklukkan wilayah dengan menaklukkan gambarnya," sehingga, "Orang-orang biadab yang memegang pentungan, tombak, dan panah beracun tak lagi dianggap sebagai ancaman bagi orang-orang Eropa…. Mereka kini justru dilihat sebagai trofi yang eksotis bagi kamera para fotografer profesional," demikian tulis Groeneveld dalam Toekang Potret. 
Sejarawan kontemporer menganggap Kassian Cephas (1845-1912) sebagai fotografer pribumi pertama. Pria asal Jawa ini adalah seorang figur yang luar biasa karena pada masa itu profesi fotografer hanya dijalani oleh orang-orang berkebangsaan Eropa serta beberapa orang Cina dan Jepang. Hal yang lebih luar biasa dari sosok ini adalah kemampuannya menjembatani dunia Timur dan Barat dengan keahlian dan keanggunan. 
Sejak awal 1870-an, Cephas bekerja untuk Kesultanan Yogyakarta sebagai fotografer dan pelukis di keraton. Melalui koneksinya, seorang dokter berkebangsaan Belanda yang selalu merawat sultan, Cephas berhasil menempatkan foto-foto karyanya di beberapa portofolio yang penting. Sebagai abdi keraton dan arkeolog amatir, Cephas juga banyak membuat foto keluarga sultan, upacara-upacara keramat di keraton, pertunjukan teater kerajaan, atau bahkan reruntuhan candi-candi Hindu dan Buddha. Foto-foto tersebut, di tangan Cephas, seperti yang ditulis dalam buku Cephas, Yogyakarta karya Gerrit Knaap, bukanlah gambar-gambar yang mengekspresikan individualisme, melainkan harga diri dan kehormatan. Daya tarik foto-foto tersebut justru terletak pada kesan misterius yang tampil dari karyanya. 
Ini bisa terlihat, misalnya, dalam sebuah potret, kesan misterius itu bisa saja terpancar dari hiasan kepala yang dipakai, perhiasan, susunan bunga, motif kain batik, atau bahkan pose kaki dan tangan orang tersebut. Singkatnya, karakter itulah yang membuat foto-foto Cephas menyiratkan kontradiksi yang halus tapi sekaligus begitu menonjol: kontras antara kejayaan di masa silam dan apa yang dianggap rendah pada kebudayaan kontemporer. 
Kontradiksi semacam ini ternyata tak mewarnai karya-karya fotografer Indonesia di zaman perjuangan merebut kemerdekaan (1945-1949). Karya pertama dari warga negara Indonesia dibuat persis pada detik bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya. Pukul 10 pagi lewat sedikit, tanggal 17 Agustus 1945, bersamaan dengan rekaman pertama kameranya, lahir pula seorang fotografer berkebangsaan Indonesia. 
Frans Mendur (1913-1971), bersama kakaknya, Alex Mendur, ikut menghadiri detik-detik pembacaan proklamasi dan merekam beberapa foto yang akhirnya menjadi ikon sejarah Indonesia modern. Sebagai wartawan, kakak-adik ini sudah mendengar peristiwa luluh-lantaknya Nagasaki dan Hiroshima di Jepang akibat bom atom. Karena itu, mereka menyadari betul bahwa Jepang akan kehilangan kontrol atas Hindia Belanda. Itu sebabnya para pemimpin nasional memanfaatkan situasi dan mendeklarasikan lahirnya Republik Indonesia, untuk mencegah penguasa Belanda berkuasa kembali. 
Hanya dalam beberapa hari setelah kemerdekaan, para fotografer Indonesia menemukan kembali ruang gerak yang telah hilang. Sejak kemerdekaan, mereka mampu merekam peristiwa dan melihat wajahnya sendiri sebagai orang yang bebas. Para fotografer itu memberikan warna lain pada negara baru Indonesia dan menunjukkan dimensi baru dalam hubungan antarwarganya. Orang Indonesia tidak lagi digambarkan sebagai bayangan gelap yang berjongkok di kaki penguasa kulit putih—inilah visualisasi tipikal masa kolonial—tapi sebagai manusia yang utuh. 
Fotografer Indonesia merekam foto-foto itu dari jarak yang akrab dengan proporsi dan bingkai yang sama untuk orang biasa ataupun para pemimpinnya. Hasilnya? Mereka pun terlihat berstatus sama. 
Fotografer Indonesia juga membuang tipuan-tipuan visual yang membuat foto-foto di era prakemerdekaan terlihat agung dan berjarak. Hampir di setiap frame, foto-foto di era kemerdekaan penuh sesak dengan bunyi, gerak badan, dan ekspresi wajah para obyeknya. Foto-foto itu menjadi luar biasa karena kejujuran dan keluguan yang terpancar. 
Tanpa perintah, tanpa dana, dan nyaris tanpa peralatan, para fotografer Indonesia akhirnya berhimpun. Pekan pertama September 1945, beberapa fotografer muda yang tergabung dalam kantor berita Jepang Domei cabang Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto kantor berita Antara. 
Alex Mendur (1907-1984), yang sebelumnya menjabat kepala biro foto Domei, bergabung dengan Merdeka, harian independen pertama, yang salah satu pendirinya adalah Frans Mendur. Setahun kemudian, mereka mendirikan Ipphos bersama teman-teman lama sejak sebelum perang, yaitu Umbas bersaudara. 
Ada tiga faktor yang mendorong keberhasilan para pemuda ini. Pertama, tersedianya teknologi modern yang memungkinkan fotografer Indonesia di zaman ini merekam dan mencetak foto dalam situasi sesulit apa pun. Lebih jauh lagi, kamera berukuran kecil menghilangkan jarak yang tercipta oleh kamera ukuran besar yang digunakan era sebelumnya. Beberapa foto terpenting pada era ini, termasuk foto-foto pada saat proklamasi, direkam menggunakan kamera compact merek Leica. Kamera ini sudah menggunakan film gulung yang mudah diselundupkan—ini faktor penting di medan perang—dan memungkinkan fotografer merekam foto-foto dalam sekuens dan nuansa berbeda secara cepat. 
Kedua, karena pemerintah Indonesia ketika itu tidak memiliki pengalaman administratif kenegaraan, mereka sangat bergantung pada ideologi dan retorika untuk menjaga kelangsungan hukum dan keteraturan. Foto-foto yang menggambarkan solidaritas dan harmoni di antara sesama bangsa Indonesia, otomatis, mendapatkan dukungan moral dan finansial dari pemerintah. Antara, agen berita yang semula independen, belakangan diletakkan di bawah men teri penerangan. Ipphos tetap memiliki otonomi tapi tetap bergantung pada (waktu itu) perdana menteri dan para pejabat lainnya yang bepergian dengan kereta api khusus untuk menyelundupkan foto-foto itu ke luar wilayah-wilayah konflik. 
Ketiga, latar belakang profesional dan politik para fotografer itu di zaman ini sudah berbeda dengan fotografer abad ke-19. Pada abad ke-19, fotografer profesional adalah fotografer komersial yang memiliki studio foto sendiri. Sebaliknya, para fotografer Antara dan Ipphos sejak awal sudah berprofesi sebagai jurnalis. Ini perbedaan yang sangat penting. Dengan bekerja untuk media (meskipun jika dikontrol oleh musuh), mereka mendapatkan akses untuk melihat keadaan negeri yang sesungguhnya. Mereka juga dapat berdialog dengan calon pemimpin negara dan, karena itu, memiliki kesempatan untuk mengembangkan pola pikir yang kritis. 
Ketika direkrut Domei di tahun-tahun akhir penjajahan Jepang, para fotografer Antara, misalnya, masih berusia muda dan miskin pengalaman. Mereka tak hanya menerima pelajaran fotografi secara formal dari tenaga pengajar asal Jepang, tapi juga sering bertemu dengan para wartawan senior yang dulu mendirikan Antara, yang ketika itu sudah mendukung gerakan kemerdekaan nasional. Sebagai fotografer biro berita Jepang, mereka memiliki izin untuk membuat foto dan, yang lebih penting, untuk berkeliling negeri. Apa yang mereka lihat adalah negeri yang hancur oleh kemiskinan dan kelaparan yang luar biasa. Itu pun masih diperburuk oleh hukum darurat yang diterapkan kekuasaan asing. Bagi mereka, keputusan untuk bergabung dengan kekuatan perang kemerdekaan, dan untuk bergabung dengan Antara, adalah pilihan yang mudah. 
Di sisi lain, para pendiri Ipphos melihat Anton Najoan (1896-1933) sebagai teladan. Dalam struktur masyarakat kolonial yang kaku, Anton berhasil mendapatkan respek sosial dan profesional sebagai seorang fotografer harian Belanda, Java Bode. Toh, ia menolak mengubah statusnya sebagai gelijkgesteld, warga pribumi yang secara hukum dianggap sejajar dengan orang Eropa. Pada 1922, ketika banyak pemuda daerah yang datang belajar ke ibu kota, Alex Mendur, yang baru berusia 15 tahun, magang di bawah Anton Najoan. 
Selama 10 tahun, Alex membina karirnya di Batavia, dari bekerja di studio Luyks dan Charls & Van Es & Co., yang terkenal, sampai menjadi fotojurnalis di harian Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beeld. Pada saat itulah ia menyaksikan bagaimana berbagai kelompok yang berbeda ini menyadari persamaan bahasa, identitas, dan nasib mereka sebagai orang Indonesia. 
Sementara itu, Frans, adik Alex Mendur, telah menjadi buron politik. Setelah berhasil lolos dari kejaran badan intelijen Belanda di Bali, Frans bersembunyi di Surabaya sembari menyamar sebagai penjual rokok. Ia akhirnya diadopsi oleh seorang pedagang garam, masuk agama Islam, dan berkumpul kembali bersama kakaknya di Batavia. Di sanalah, di kota yang dianggap sebagai sarang macan itu, dia menemukan tempat pengungsian sementara, yakni dengan bekerja di Java Bode. 
Perang kemudian menjalar ke Samudra Pasifik dan pada saat itulah Justus Umbas, sahabat Mendur bersaudara, dijebloskan ke penjara. Umbas tak sendirian. Ia dikurung bersama para pemimpin nasionalis yang juga menolak bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Alex dan Frans Mendur ditarik oleh penguasa militer dan dipaksa membuat foto-foto propaganda untuk Domei, Asia Raya, dan Djawa Shimbun Sha. 
Setelah sekian lama berada di garis depan untuk memperjuangkan idealisme yang mendalam dan profesionalisme yang pragmatis, foto-foto Ipphos justru mencerminkan toleransi, harga diri, dan rasa hormat kepada hal-hal yang menyangkut umat manusia. 
Ragam pengalaman yang digali para pendirinya, tampaknya, membuat mereka mampu memandang hidup dalam dimensi yang lebih luas. Pengalaman ini, selain menjadi sumber nasionalisme dan memperkuat karakter independennya, ikut memperdalam karya fotografi mereka. 
Tahun 1841 adalah sebuah awal, yang dimulai dari eksistensi sebuah Daguerreotype. Awal itu ditandai dengan eksistensi fisik kamera yang "ditugaskan". Tapi, selebihnya, Mendur dan Umbas bersaudara adalah awal dari sebuah ekspresi pembebasan jiwa. Adalah mata dan kamera para fotografer ini yang mempersembahkan representasi sejarah Indonesia melalui karya fotografi.

1920
Seniman Barat seperti Walter Spies dan Rudolf Bonnet datang ke Bali.

Walter Spies(Jerman)
Spies, pelukis berkebangsaan Jerman yang lahir di Moskow, Rusia, pada 1895.

Pada 1923, Spies bertolak meninggalkan Eropa dan berlabuh di Hindia Belanda, tempat yang dulu kerap dia kunjungi bersama Murnau. Selama sekira dua tahun dia menetap di Pulau Jawa, dia menjadi teman baik Sultan Djojodipuro, putra mahkota Kesultanan Yogya, dan bahkan tinggal di keraton. Dia memimpin orkes Keraton Yogya dan sesekali menjadi pemain piano pengiring di acara pagelaran musik. Dia juga mempelajari gamelan dan menciptakan notasi khusus yang memungkinkan musik gamelan dimainkan pada piano, dan sebaliknya. Pada 1925 Spies mengunjungi Bali dan kemudian jatuh cinta pada alam dan orang-orang di sana. Dia pun menetap di Bali.

Sejak 1920-an, Bali seolah surga bagi kaum homoseksual kaya-raya dari Eropa. Mark Blasius dalam Sexual Identities, Queer Politics menulis, keindahan alam dan banyaknya pemuda Bali yang terkenal tampan menjadi salah satu alasannya.

Bali juga memberi lingkungan ideal bagi orang-orang kreatif seperti Spies, juga temannya, pelukis asal Belanda, Rudolf Bonnet. Tulis Aldrich: "Laki-laki seperti Spies dan Bonnet dapat melukis, mengambil foto, dan mengarang di luar kungkungan (alam pikiran) Eropa yang saat itu sedang diliputi depresi dan fasisme."

Rumah Spies di Ubud kerap kedatangan seniman dan intelektual Eropa. Antropolog Margaret Mead (asal Amerika), pelukis Miguel Covarrubias (Meksiko), aktor Charlie Chaplin (Amerika), hingga seksolog Magnus Hirschfeld (Jerman) pernah menjadi tamunya.

Spies mengembangkan kesenian Bali. Bersama Beryl de Zoete, Spies menulis Dance & Drama in Bali, salah satu catatan paling awal tentang tari dan drama di luar budaya Barat. Dia juga terlibat dalam pembuatan film The Island of Demons bersama Baron Viktor van Plessen. Spies mendanai pembuatan film itu dari uang warisan pemberian Friederich Murnau yang meninggal pada 1931. Film itu punya pengaruh besar pada persepsi dunia tentang Bali.

Keberadaan Spies mendapat dukungan dari Tjokorda Gde Agung Sukawati, Raja Bali. Tjokorda pula yang menjemput Spies di pelabuhan dan memberikan rumah di Bali agar bisa mengajarkan anak-anak Ubud melukis. Terjadilah kontak budaya antara pelukis Bali yang memiliki teknik tradisional tinggi dan pelukis Barat. Peneliti Jepang Miyuki Soejima dalam Walter Spies and Weimar Culture and The Sultan′s Kapellmeister menulis, "Kepandaiannya yang menakjubkan da hubungannya dengan kebudayaan Jawa dan Bali menggambarkan suatu pertemuan budaya Barat dan Timur yang paling berhasil."

Pada 1936 Spies mendirikan kelompok seniman Pita Maha bersama Rudolf Bonnet, Gusti Nyoman Lempad, dan Tjokorda Gde Agung Sukawati. Kelompok ini mencoba melestarikan seni rupa Bali yang mulai berubah menjadi seni pesanan demi memenuhi permintaan turis. Pita Maha membuka cakrawala bagi para pelukis Bali dalam hal tema, pewarnaan, hingga perspektif dan permainan cahaya.

Namun kontribusi Spies membangun kesenian Bali tak berlangsung lama. Antara Desember 1938 – Mei 1939 polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria, kebanyakan warga Eropa, yang dicurigai bersalah berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah usia 21 tahun). Perbuatan itu bisa dikenai hukuman pidana sesuai ketentuan pasal 292 Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP), yang berlaku sejak 1918. Artinya, aturan itu tak menekankan pada perilaku homoseksual tapi perilaku seksual yang dilakukan dengan anak di bawah umur.

Dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, Marieke Bloembergen menulis bahwa sebelum tahun 1938, ketentuan KUHP itu jarang digunakan. Polisi lebih mengarahkan targetnya pada prostitusi yang berkelindan dengan perdagangan perempuan dewasa dan anak. Polisi nyaris tak memberi perhatian pada pelanggaran yang bernuansa homoseksual. Namun kemudian sangat jelas bahwa sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual. Spies salah satunya.

Residen Bali H.J.E Moll, sebagaimana dikutip Bloembergen, kesal mencermati gaya hidup mereka yang bergaul erat dengan masyarakat bumiputera serta "gaya hidup mereka yang begitu sensual tanpa batas". Namun, ketika kampanye homofobia dilancarkan di Bali, residen tak bisa berbuat apa-apa karena mendapat perlawanan dari masyarakat setempat yang menyulitkan penyidikan polisi. Menurut residen, orang-orang Eropa bersembunyi karena takut diasingkan sebagai paria, sebaliknya masyarakat Bali berdiam diri karena merasa terikat pada kewajiban sosial.

Pada akhirnya Walter Spies ditangkap pada 31 Desember 1938.

Hubungan sesama laki-laki di Bali saat itu tak dianggap sesuatu yang di luar kewajaran. Menyitir antropolog Amerika Jane Belo, Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas menulis bahwa dalam adat tradisional Bali, Spies tak melanggar aturan, karena "yang disebut salah mekoerenan(salah kawin) adalah apabila laki-laki berhubungan dengan binatang, dengan gadis muda di bawah umur, atau dengan perempuan berkasta lebih tinggi."

Sebab itulah apa yang dilakukan Spies dianggap wajar-wajar saja. Ini berbeda dengan tabu-tabu seksualitas yang berlaku di Barat. Ini juga tergambar dalam karya Hans Rhodius dan John Darling, Walter Spies and Balinese Art sebagaimana dikutip George W. Stocking dalam Malinowski, Rivers, Benedict and Others: Essays on Culture and Personality. Dalam persidangan Spies, ketika pengacara menanyakan kepada ayah kekasihnya apakah dia marah atas apa yang telah diperbuat Spies (kepada putranya), dia menjawab: "Kenapa? Dia toh sahabat baik keluarga kami, dan adalah sebuah kehormatan bagi anak saya untuk bisa menemaninya. Kalau keduanya suka sama suka, kenapa harus diributkan?"

Dan meski berbagai argumen diajukan, Spies tetap dijatuhi hukuman. Dia dipenjara hingga 1 September 1939. Teman-teman Bali-nya menggelar pertunjukan gamelan di dekat penjara. Sejumlah pejabat yang bersimpati padanya mengunjungi dan mengizinkannya melukis dan bermain musik. Di penjara Surabaya dia menghasilkan karya terbaiknya, "The Landscape and Its Children". Setelah delapan bulan dia dibebaskan.

Spies sempat beberapa bulan menikmati udara bebas. Memasuki Perang Dunia II, Jerman menginvasi beberapa negara Eropa, termasuk Belanda. Sebagai balasannya, pemerintah Hindia Belanda menangkapi warga Jerman. Selama 20 bulan Spies tinggal di kamp interniran di Jawa dan Sumatra, sebelum dikirim dengan kapal Van Imhoff ke Belanda menuju Ceylon (Srilanka) pada awal 1942. Di tengah perjalanan, di dekat Nias, kapal itu dibombardir sebuah pesawat tempur Jepang. Bersama penumpang lainnya, Spies meninggal pada 19 Januari 1942.

Walter Spies, seorang ahli musik, tari, dan pelukis hebat, memberikan warna bagi perkembangan seni di Bali dan memperkenalkannya pada dunia.


Rudolf Bonnet ( Belanda)


Dia tiba di Bali pada tahun 1929 di mana dia bertemu dengan seniman Jerman Walter Spies dan ahli musik Belanda Jaap Kunst. Bersama Kunst, ia melakukan perjalanan ke Nias, kembali ke Bali pada tahun 1930. Ia diundang untuk tinggal di Ubud oleh Cokorda Gde Raka Sukawati.  Antara 1929 dan 1940 Bonnet tinggal di Ubud. Ketika Spies pindah ke Campuhan, Bonnet mengambil alih istana air Spies di Ubud dan mendirikan studionya. Dia menjadi terlibat dalam masalah masyarakat termasuk perawatan kesehatan dan pendidikan. Dia juga sangat terlibat dalam gerakan Pita Maha, yang mendorong seniman lokal untuk meningkatkan standar artistik mereka. Setelah Jepang tiba di Bali, Bonnet tetap bebas sampai 1942 ketika ia diperintahkan untuk dikirim ke Sulawesi. Dia menghabiskan sisa Perang Dunia II di kamp-kamp interniran di Pare-Pare, Bolong dan Makassar. Pada tahun 1947, Bonnet kembali ke Bali di mana ia membangun rumah dan studionya di Campuan.  Meskipun hubungan antara Republik Indonesia dan Belanda mengalami kemunduran, Bonnet tetap dapat tinggal karena hubungannya dengan Presiden Sukarno yang telah mengumpulkan 14 karyanya. Dia diusir dari Indonesia pada tahun 1957 setelah dia menolak untuk menyelesaikan potret Presiden Sukarno; dia dapat kembali 15 tahun kemudian.

Bonnet, bersama dengan Walter Spies, I Gusti Nyoman Lempad dan Cokorde Gde Agung Sukawati membentuk Pita Maha (Great Spirit, Inspirating Guiding) pada tahun 1936 untuk memilih seniman yang karyanya ditemukan cukup baik untuk dijual di sejumlah galeri dan untuk dimasukkan dalam pameran di tempat lain di Hindia, Belanda dan Amerika Serikat. Pita Maha hancur setelah Spies diusir, karena dinyatakan bersalah atas perilaku tidak senonoh. Bonnet juga pergi dan setelah itu perang pecah.

Setelah pasukan Jepang mendarat tahun 1942 di Hindia Belanda, Bonnet tidak segera dipenjara seperti orang-orang Eropa lainnya. Namun tak lama setelah petugas militer Jepang baru datang di Ubud, Bonnet ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi tahun 1943. Bonnet kemudian menghabiskan hari-hari tawanannya di perkemahan tawanan di wilayah Bolong dan akhirnya di Makassar sampai tahun 1947.

Setelah selesainya Perang Dunia II dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada masa-masa Revolusi Nasional Indonesia Bonnet datang kembali ke Ubud. Seperti orang-orang dalam komunitas Belanda di Bali yang lain, Bonnet memutuskan untuk tinggal dan meneruskan pekerjaan melukisnya. Dalam kondisi ketidakstabilan politik pada masa itu, Bonnet mengadakan pameran lukisan paska-perang pertama di Bali, di bawah bantuan pemerintahan Negara Indonesia Timur saat itu. Saat paska-perang inilah pengaruh seni Bonnet di Bali mencapai puncaknya, dengan populernya Ubud sebagai pusat seni lukis dan adanya organisasi Pita Maha yang didirikannya bersama Walter Spies.

Tahun 1951 Bonnet mencoba mendirikan organisasi Golongan Pelukis Ubud yang serupa Pita Maha namun lebih berpusat pada para pelukis di daerah Ubud. Walaupun didukung seniman terkenal Ubud seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, Golongan Pelukis Ubud tak dapat mencapai kesuksesan yang sama dengan Pita Maha.

Paska masa perang Revolusi Nasional Indonesia dan diakuinya Republik Indonesia Serikat, Presiden Soekarno menjadikan Pulau Bali sebagai pulau kebanggaan dan jendela Indonesia di mata dunia. Soekarno sangat menyukai Bali sehingga dia mendirikan istana presiden di Tampaksiring yang menghadap ke sebuah pemandian Bali. Soekarno adalah seorang pencinta serius seni lukis. Bonnet mengenal presiden pertama RI tersebut karena dia sering datang ke studio Bonnet dan berbincang dengannya. Soekarno sendiri mulai menyukai lukisan Bonnet sejak pameran lukisannya di Jakarta tahun 1951 dimana Soekarno memesan lukisan-lukisan Bonnet ke Istana Negara. Tak ada yang mengetahui kenapa Bonnet tidak menggunakan hubungan dekatnya dengan Soekarno untuk mencari kemudahan diplomatik dan imigrasi, terutama setelah pengusirannya dari Indonesia oleh Direktorat Jenderal Imigrasi.

Rudolf Bonnet terpaksa meninggalkan pulau Bali pada tahun 1957 setelah menolak untuk menjual sebuah karya lukisan tertentu kepada Presiden Soekarno yang sangat gemar mengoleksi lukisan-lukisan Bonnet. Setelah kunjungan singkat ke Italia, Bonnet pulang ke Belanda, mengumpulkan dana untuk museum yang direncanakannya di Bali. Dia kemudian pindah ke Rosa Spier House di Laren, dimana dia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan melukis, lokakarya, dan pameran seni lukis.
Di Eropa, Bonnet menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk mengembangkan warisan budaya Pita Maha. Dia mengumpulkan dan meneliti koleksi-koleksi seni lukis, mengumpulkan dana untuk museum yang nantinya akan menjadi Museum Puri Lukisan yang terkenal di Ubud. Untuk museum tersebut, dia merencanakan pembangunannya, menyusun inventarisasinya, menyiapkan katalognya dan sebagainya. Untuk tujuan ini dia tetap berhubungan baik dengan Tjokorda Gede Agung Soekawati, yang mencoba beberapa kali untuk membawanya kembali ke Pulau Bali.



1923
Pameran Salon Fotografi Internasional pertama di Batavia yang diselenggarakan oleh Asosiasi Fotografer Amatir Hindia Belanda pertama.

1926
Loetoeng Kasaroeng adalah film hitam-putih dan bisu Indonesia yang pertama kali diputar di bioskop, dengan sutradara L. Heuveldorp dan juru kamera G. Krugers.
Muncul kelompok Dardanella. Mereka menampilkan Bebasari dengan menggunakan cerita Ramayana.

1927
Menjamurnya karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, mencapai jumlah 3000 judul. Yang terkenal adalah Bunga Ros dari Cikembang, karya Kwee Tek Hoay yang dibuat dalam bentuk drama, kemudian dinovelkan dan dibuat film. Pada masa ini, sastra Melayu yang ditulis peranakan Cina mencapai jumlah 3.000 judul.
Kwee Tek Hoay (31 Juli 1886 - 4 Juli 1952)
adalah sastrawan Melayu Tionghoa terkenal dan tokoh ajaran Tridharma (Sam Kauw Hwee). Ia banyak menulis karya sastra, kehidupan sosial, dan agama masyarakat Tionghoa peranakan. Karyanya yang terkenal di antaranya adalah Drama di Boven Digoel, Boenga Roos dari Tjikembang, Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia, dan Drama dari Krakatau. Ia menerbitkan majalah berbahasa Indonesia pertama yang berisikan ajaran Agama Buddha dengan nama Moestika Dharma (1932-1934). Dari majalah ini diketahui bahwa telah berdiri sebuah organisasi Buddhis bernama Java Buddhist AssociationE. Power dan Josias van Dienst. Organisasi ini merupakan anggota International Buddhist Mission yang berpusat di Thaton Birma dan mengacu pada aliran Buddha Theravada. di bawah kepemimpinan 
Kwee juga memimpin redaksi Moestika Romans (1932-1942), majalah Tionghoa peranakan yang berbobot pada masa itu. Tulisannya Atsal Moelahnja Timboel Pergerakan Tionghoa jang Modern di Indonesia yang merupakan serial dalam Moestika Romans edisi Agustus 1936 - Januari 1939 telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh sinolog terkemuka Lea E. Williams dengan judul "The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia".


1930
Musik Jazz mulai berkembang dipelopori oleh Tjok Shin Soe. Musik keroncong juga mulai dikenal di Indonesia, tokohnya adalah M. Sagi.

Tjok masih hidup Big band,
kelompok musik jazz pimpinan tjok sinsoe bermain di mirasa. alex yang menggantikan suara almarhum sam saimun belum mengesankan. pemain big band mencomot pemain dari al maupun osd.

Bahwa Tjok tetap hidup walaupun sudah menghilang dari panggung terbuka TIM, memang harus diakui. Tampaknja orang tua pedjuang jazz ini tetap memiliki tenaga jang tjukup bulat setelah sekian lama dibentur kekebewaan karena perhatian orang pada musiknja, belum djuga tjukup memenuhi target hatinja. "Kalau big-band dapat mendjamin hidup kami, tentu sadja kami akan main terus", kata salah seorang anak buah Tjok kepada TEMPO dengan mata jang sungguh-sungguh. Kemudian ia tambahkan. "Bagi kami soal tempat di manapun boleh sadja asal dapat hidup terus di OSD maupun di Big-Band".

Top-form. Sebagaimana diketahui asuhan Tjok jang bernama Big-Band mentjomot pemain dari sana-sini. Ada jang berasal dari Angkatan Laut, ada pula jang merangkap main di Orkes Simpony Djakarta -- OSD. Ini tak dapat disalahkan, karena pemain-pemain musik itu tidak mungkin dipaksa setia untuk suatu perkumpulan sementara imbalan uang jang mereka terima tak tjukup menghangatkan dapur mereka. Tjok rupanja setjara sadar meneruskan "dwi keanggotaan" itu. Hanja belum diketahui bagaimana djawaban Adidharma sebagai pimpinan OSD dalam hal ini. Rasanja dia jang selalu berkeberatan melihat ketidak-disiplinan, kekurang-tjekatan, tidak akan senang djuga konsentrasi pemainnja
harus dibagi untuk dua djeliis musik jang sama-sama sulitnja: jazz dan klasik.

George Rudolf William Sinsoe dengan 25 pemain, telah membukaatjaranja dengan memainkan tjiptaan Joe Garland "In the Mood" jang pernah tersohor lewat rombongan Glenn Miller disaat perang sedjagat masih berketjamuk. Walaupun tidak segesit Miller, Tjok tjukup membuktikan bahwa ia masih bersemangat sebagaimana biasanja, apa lagi kalau mengenang kegagalan kerdja samanja dengan Wajan Supartha di Flamingo. Dalam kesempatan itu ia memainkan antara lain String of Pearl. Temptation, Mood Indigo, Bagsnew Groove jang total hampir 31 buah lagu. Sekali ini Tjok muntjul dengan bantuan Henny Purwonegoro dan Maya Sopha. Tetapi kedua biduanita ini mernang bukan Catharina Valente atau Ella
Fitzgerald meskipun mereka djuga mentjoba membawakan Secret Love dan Hello DOlly. Sedang biduanita Ida Effendi kelihatan lebih kenal dengan irama-irama Indonesia dari pada irama "sana". Kerontjong Bandar Djakarta jang ditjobanja djauh lebih bagus dari Keep on Running jang boleh dikatakan melengking berserakan.

Pertundjukan jang dilangsungkan 18 djam setelah Sam Saimun meninggal ini, sesungguhnja tidak dapat dikatakan berhasil. Ismeth Mochtar "orang dalam" mengaku sendiri bahwa mereka belum mentjapai top-form. Untuk ini banjak djuga alasan jang dikemukakannja antara lain: latihan sering terlambat, instrumen pindjaman atau sound sistem bcgini dan begitulah. Tentu sadja semua itu bukan alasan jang masih patut bila orang ingin membangun musik profesional. KEPERGIAN Sam Saimun bukan sedikit artinja. Disamping tidak ada lagi jang akan menjanjikan Selendang Sutera, Saputangan atau Indonesia Tanah Airku dengan begitu mejakinkan. Radio Republik Indonesia sendiri telah kehilangan salah satu tjontoh jang baik, bila hendak memamerkan musik jang bermutu ke pada penjanji-penjanji muda Lebih dari pada itu, pertundjukan "Big Band "Tjok Sinsoe di Miraca menderita tjukup banjak, karena sejogianja penjanji teladan itu ikut menjumbangkan suaranja. Mengenai pertundjukan ini, tentulah sebagian besar penonton tadinja mengharap kan sekali Sam akan menjampaikan lagu lembut "Misty" dengan interpretasi jang mengesankan. Adapun Alex, jang menggantikan almarhum menjampaikan lagu bersangkutan, disamping harus menerima keketjewaan karena bukan Sam sendiri, memang harus diakui belum tjukup mengesankan.


1931
Periode Angkatan Pujangga Baru dipelopori Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane.


1936
Perkumpulan pelukis Pita Maha didirikan Tjokorda Gede Agung di Bali


1937
Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia (Persagi) didirikan oleh S. Sudjojono dan Agus Djaja untuk melawan gaya lukisan mooi Indie.

Biografi Sindudarsono Sudjojono (1913-1985)
Dia pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja komunitas seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang akrab dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Desember 1913, ini sangat menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobot. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia.
Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak


1935
Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.

Pak Djon
lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke Batavia tahun 1925.
Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya pada awalnya di lebih mempersiapkan diri menjadi guru daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931.
Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang memopulerkan namanya sebagai pelukis.
Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi.
Sudjojono, selain piawai melukis, juga banyak menulis dan berceramah tentang pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada 1957, ia membelot. Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bisa memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon menceraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia dianugerahi 14 anak.
Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon tergabung dalam kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas menteri penerangan dan olah raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar.
Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juga tidak sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara profesional dan halal untuk mendapat uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat bentuk, warna dan komposisi.
Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di Museum DKI Fatahillah.
Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di: Festival of Indonesia (USA, 1990-1992); Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art Museum (1994); Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998).



1940
Musik Klasik mulai berkembang di Indonesia, dengan tokoh Amir Pasaribu.
Amir Pasaribu
lahir tanggal 21 Mei 1915 di Siborong-borong. Dia adalah seorang musisi Indonesia. yang menikmati pendidikan di Sekolah Raja Balige, kemudian sekolah dasar Eropa milik misi Katolik, dan diteruskan ke HIS Hollands Inlandse School di Sibolga. Ia meneruskan sekolah di Mulo (=SMP) di Tarutung, dan diselesaikan di Padang. Pendidikan perguruan tinggi dijalaninya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Bandung (dulu HIK); di sana ia juga mengembangkan pengetahuannya dalam bidang musik piano. Ia mendapat pelajaran musik dari Fr. Paulus dan Fr. Gustianus; selanjutnya cello dari Nicolai Varvolomeyef dan Joan Giessens.


1943
Chairil Anwar bertemu dengan H.B. Jassin. Pertemuan penting bagi kedua orang tokoh sastra Indonesia modern.


17-8-1945
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Alex Mendur dan Frans Mendur memotret peristiwa proklamasi tersebut. Lahir sastrawan-sastrawan seperti Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, dan Rivai Apin, yang karya-karyanya mulai dikenal masyarakat.



1946
    ◦    Seniman Indonesia Moeda (SIM) dengan tokoh Srihadi, Hendra Gunawan, Soedjojono, dan Affandi. Karya fenomenal Sudjojono antara lain adalah Di Balik Kelambu Terbuka, Kawan Revolusi.
    ◦    Agen foto Ipphos (Indonesian Press Photo Service) didirikan oleh Frans dan Alex Mendur serta Yustus dan Frans Umbas. Agen foto ini banyak melahirkan foto-foto seputar revolusi kemerdekaan, termasuk foto-foto Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, dan Bung Hatta hingga pergolakan daerah pada1950-an dan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965.
    ◦    Fotografer Abdoel Wahab memotret peristiwa perobekan bendera Belanda oleh pemuda Surabaya di Hotel Oranye dan pertempuran November 45.
    ◦    R.M. Soetarto mendirikan Berita Film Indonesia yang bertugas di bawah Kementerian Penerangan RI membuat film dokumenter dan foto tentang perjuangan kemerdekaan.
    ◦    Abdoel Wahab dan para fotografer muda Indonesia didikan kantor berita Jepang, Domei, membentuk Biro Foto Antara.



1947
Muncul kelompok “Pelukis Rakyat”, yang banyak membuat poster dan lukisan yang mendokumentasikan revolusi kemerdekaan. Tokohnya antara lain adalah Hendra Gunawan.



1950-an
    ◦    “The Longmarch” (Darah dan Doa) karya Usmar Ismail pertama diproduksi: Perfini dan Spectra Film Exchange. Skenario ditulis oleh Usmar Ismail, sedangkan cerita oleh Sitor Situmorang. Dibintangi bukan oleh pemain film, antara lain Awaloedin Djamin (bekas Kapolri) Del Juzar, Farida, Aedy Moward.
    ◦    Era musik hiburan di radio, dengan bintang-bintangnya: Ismail Marzuki, Sjaiful Bachri, dan Iskandar.
    ◦    Karya-karya sastrawan Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi terbit.



1951
    ◦    Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seniman yang berafiliasi kepada PKI (Partai Komunis Indonesia), didirikan. Programnya adalah: “seni untuk rakyat”.
    ◦    Film Frieda karya Dr. Huyung mengetengahkan adegan berciuman. Film ini tertahan di lembaga sensor selama dua tahun dan beredar kembali setelah dilakukan revisi, dengan judul baru, Antara Bumi dan Langit. Film dibintangi oleh S. Bono, Grace, Sukarno. Skenario dan cerita: Armijn Pane. Produksi: Stichting Hiburan Mataram dan PFN.
    ◦    Studiklub Teater Bandung didirikan oleh Jim Lim dan Suyatna Anirun. Hingga kini, kelompok ini sangat konsisten berproduksi.



1953
Film “Krisis” karya Usmar Ismail membuat sejarah pada masa itu, karena berhasil bertahan selama lima minggu di bioskop elite. Usmar Ismail dikenal sebagai “Bapak Perfilman Indonesia” dengan karyanya antara lain: “Pejuang”, “Asrama Dara” dan “Tiga Dara”.



1960
    ◦    Dunia musik mulai diisi oleh musik pop praindustri, nama-nama yang mencuat antara lain adalah Idris Sardi, Titiek Puspa, Koes Bersaudara.
    ◦    Lekra dianggap mendominasi kegiatan seni dan budaya. Tokoh-tokohnya dalam seni rupa antara lain adalah Joko Pekik dan Trubus. Pada dekade yang sama, di Bandung muncul pelukis non-Lekra. Tokoh-tokohnya Nashar, Rusli, A. Sagali.
    ◦    Teguh Karya mendirikan Teater Populer dan hingga kini sudah mementaskan sekitar 20 lakon, di antaranya naskah adaptasi Moliere, Lorca, Pinter, dan Brecht.



1961
    ◦    Asrul Sani menggarap film Pagar Kawat Berdurii yang ditentang Lekra karena dianggap memiliki nilai humanisme universal. Bagi seniman Lekra, film berpihak pada revolusi.
    ◦    Sendratari Ramayana karya Raden Tumenggung Kusumo Kesowo dipentaskan secara kolosal dengan panggung terbuka di Prambanan. Didukung oleh 150 penari, antara lain Joko Warsito, Marto Pangrawit, dan delapan tokoh seniman dari Yogyakarta dan Solo, antara lain Ki Tjokrowarsito dan Ki Martopangrawit.


1962
    ◦    Televisi Republik Indonesia berdiri menjadi sarana ajang pementasan musik.
    ◦    Muncul penyair muda seperti Sapardi Djoko Damono dengan karyanya Balada Matinya Seorang Pemberontak, dan Goenawan Mohammad dengan eseinya Agama dalam Penciptaan Seni memenangkan hadiah majalah Sastra.
    ◦    Teater realisme mendominasi dunia teater modern Indonesia. Rendra mementaskan Paraguay Tercinta dengan pemain antara lain Parto Tegal, Arifin C. Noer.


1963
Lahir “Manifes Kebudayaan”, yang ditandatangani oleh antara lain H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Arief Budiman, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Goenawan Mohammad, A. Bastari Asnin, Ras Siregar, Djufri Tanisan, Sjahwil, dan D.S. Moeljanto. Tiga garis besar isinya: kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan.


1964
    ◦    Presiden Sukarno secara resmi melarang Manifes Kebudayaan.
    ◦    Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis terbit.


1966
Puisi Taufik Ismail berjudul Karangan Bunga, belakangan terbit dalam kumpulan Tirani dan Benteng, merupakan puisi-puisi yang berlatar belakang gejolak politik saat itu.



1967
Rendra kembali dari AS. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan memperkenalkan teknik latihan baru yang diberi nama improvisasi yang menjelajahi bahasa non-verbal, terutama bahasa tubuh.


1968
    ◦    Taman Ismail Marzuki berdiri, yang kemudian menjadi pusat kegiatan seni dan budaya. Kesenian pertunjukan, teater, tari, musik, menjadi berkembang dengan adanya TIM. Berbagai kelompok dari Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Mandiri, hingga Teater Koma semuanya bersemi,antara lain, karena wadah ini.
    ◦    Cerita pendek Seribu Kunang-Kunang di Manhattan karya Umar Kayam memenangi anugerah cerita pendek terbaik dari majalah Horison.
    ◦    Drama Mini Kata karya Rendra dipentaskan pertamakali di Balai Budaya, Jakarta.
    ◦    Teater Ketjil pimpinan Arifin C. Noer didirikan


1969
    ◦    Film “Apa jang Kau Cari, Palupi” karya Asrul Sani, salah satu film percontohan yang dibuat Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), meraih penghargaan sebagai film terbaik pada Festival Film Asia (FFA) 1970.
    ◦    Lakon Menunggu Godot karya Samuel Beckett dipentaskan di Taman Ismail Marzuki oleh Rendra, Putu Wijaya, dan lainnya.
    ◦    Lakon Aduh karya Putu Wijaya memenangi lomba naskah drama Dewan Kesenian Jakarta, dan setelah itu hampir semua naskah menjadi bertema “absurd” seperti karya Putu Wijaya.
    ◦    Sardono W. Kusumo pertama kali melakukan eksperimen tari dengan melucuti kostum tari Jawa tradisional yang gemerlap, dan menari dengan judul Samgita I-XII. Publik menyambutnya dan budayawan Umar Kayam menyebutnya tari kontemporer Indonesia.


1970-an
    ◦    Keragaman fotografi muncul dengan bermunculannya media massa, dan industri pers menggerakkan banyak hal. Keragaman ini menghasilkan fotografer generasi baru di bidang jurnalistik, fashion, dan iklan,yakni
    ◦    Musik pop Indonesia diramaikan oleh pertunjukan pop-rock dengan menyerap penonton dalam jumlah besar. Bintangnya Achmad Albar, Gito Rollies, Guruh Sukarnoputra, Franky Sahilatua. Saat bersamaan, muncul pula musik urban yang diusung oleh Harry Roesli, Iwan Fals, dan Sapto Rahardjo.
    ◦    G. Sidharta memperkenalkan seni visual kontemporer.


1972
Pemerintah Jepang meminta film “Romusha” karya S.A. Karim ditarik dari peredaran karena memperlihatkan kekejaman pemerintah kolonial Jepang.


1973
    ◦    Film Si Mamad karya Sjumanjaya, yang berkisah tentang korupsi, ditayangkan. Ini dianggap salah satu karyanya yang terbaik.
    ◦    Fotografer Ed Zoelverdi memopulerkan istilah “Mat Kodak” dalam tulisan di harian Sinar Harapan.


1974
Dongeng dari Dirah (The Witch of Dirah) karya Sardono W. Kusumo. Tarian ini merupakan karya kontemporer yang eksperimental dan mempertemukan konsep Jawa dan Bali. Sardono memadukan dari orang-orang tradisi, juga anak-anak Jawa, Bali, Jakarta.


1975
    ◦    Muncul gerakan Seni Rupa Baru, sebuah gerakan yang meniadakan batas tajam antara lukisan, grafis, dan patung sehingga para seniman dapat mengembangkan macam-macam bentuk baru, termasuk yang belakangan berkembang menjadi seni instalasi
    ◦    Film Max Havelaar (Saijah dan Adinda) karya S.A. Karim dilarang dengan alasan terdapat penggambaran arogansi penjajah Belanda. Film ini baru beredar sepuluh tahun kemudian dengan banyak potongan sensor.
    ◦    Semua peredaran videotape, kaset, video disc yang berisi cetak rekaman dialog, dubbing, subtitling, dan reklame berbahasa dan aksara Cina Mandarin dan atau dialek Cina lainnya dilarang pemerintah.
    ◦    Novel pendek Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yang keduanya mengambil setting masa pergolakan PKI di Indonesia, diterbitkan Pustaka Jaya. Novel ini mendapat pujian dari kritikus sastra.


1976
    ◦    Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin berdiri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
    ◦    PDS H.B. Jassin merupakan pendokumentasian sastra terlengkap di Indonesia.
    ◦    Perupa dan penulis cerita pendek Danarto menerbitkan kumpulan cerita pendek Godlob.
    ◦    Penari Jawa terkemuka, Retno Maruti, mendirikan kelompok tari Padneswara, yang tetap mempertahankan konvensi tradisi tari Jawa.


1977
Film Badai Pasti Berlalu garapan Teguh Karya, yang dibuat berdasarkan novel pop Marga T., menjadi box office dengan jumlah penonton sekitar 200.000 orang. Film ini juga menciptakan ikon baru bagi remaja saat itu. Musik latar film ini, yang digarap bersama Eros Djarot, Chrisye, dan Jocky S., tercatat sebagai karya musik film yang masih laku dijual hingga kini.


1979
Sardono W. Kusumo menciptakan dan mementaskan koreografinya yang bertema lingkungan, berjudul Meta-Ekologi.


1980
Muncul seni instalasi, dengan tokohnya Jim Supangkat, F.X. Harsono, Dede Eri Supria.


1984
Film Pengkhianatan G30S-PKI karya Arifin C. Noer tercatat sebagai film terlaris di Jakarta dengan jumlah penonton 699.282, antara lain karena murid-murid sekolah diwajibkan menyaksikan film yang dibuat Pusat Produksi Film Negara (PPFN) ini.

1985
Film terakhir Sjuman Djaja, Opera Jakarta, memperoleh banyak penghargaan pada Festival Film Indonesia.


1986
Christine Hakim memperoleh Piala Citra untuk pemeran wanita terbaik yang kelima kalinya lewat film Tjoet Nja Dhien arahan sutradara Eros Djarot. Sebelumnya, Christine menerima Piala Citra untuk perannya dalam film Sesuatu yang Indah (1977), Pengemis dan Tukang Becak (1979), Di Balik Kelambu (1983), dan Kerikil-Kerikil Tajam (1985). Setelah itu, Christine diganjar banyak penghargaan internasional.


1988
    ◦    “Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik” dilarang terbit.
    ◦    Mahabhuta karya Sardono W. Kusumo dipentaskan di Jenewa dan mendapat pujian.
    ◦    Teguh Karya memperoleh Piala Citra untuk kesekian kalinya, lewat Pacar Ketinggalan Kereta. Sebelumnya, pada 1973, lewat “Cinta Pertama”, “Ranjang Pengantin” (1974), Kawin Lari (1975), Perkawinan dalam Semusim (1976), Badai Pasti Berlalu (1977), “November 1828”, “Di Balik Kelambu” (1983), dan Ibunda (1986) .


1990-an
    ◦    Muncul perupa muda seperti Herry Dono, Tisna Sanjaya, dan Semsar Siahaan.
    ◦    Di bidang fotografi, ada kehancuran sekat-sekat aliran fotografi yang disebabkan oleh munculnya galeri sebagai wadah alternatif. Ini didukung dengan terselenggaranya pendidikan formal fotografi dan kondisi sosial.


1991
 Nya Abbas Akup mendapat penghargaan dewan juri FFI sebagai sutradara yang konsisten membuat film komedi. Film terakhirnya adalah Boneka dari Indiana.


1992
LKBN Antara mendirikan Museum Antara dan Galeri Foto Jurnalistik Antara, galeri fotografi pertama di Indonesia dan Asia Tenggara


1995
Buku “Memoar Oei Tjoe Tat” karya Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo dilarang beredar. Ini adalah pelarangan yang keempat kalinya terhadap buku hasil karya Pram. Sebelumnya, buku-buku karya Pram yang dilarang adalah “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, “Bumi Manusia”, “Anak Semua Bangsa” (1981), “Rumah Kaca”, “Gadis Pantai”, “Siti Mariah” (1988) “Jejak Langkah”, dan “Sang Pemula”.


1996,
INTERNET.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar