Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Nya. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri Nya. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Februari 2011

KASDULLAH 1953-1983



Lahir Minggu, 04 Maret 1923 di Tangerang. Meninggal dunia Selasa, 13 Juli 1993 di Jakarta. Sebelum terjun ke dunia film, pernah menjadi mantri kesehatan (1939-1942), dan pengusaha studio foto (1942-1945). Memasuki dunia film sejak 1951, mula-mula sebagai pembuat foto-foto reproduksi dan pembantu juru kamera dalam Inspektur Rachman (1950), Dosa Tak Berampun (1951), Terimalah Laguku (1952). Menjadi juru kamera sejak Heboh (1954) produksi Perfini. Hingga akhir hayatnya lebih dari lima puluh film telah dikerjakan, antara lain: Habis Gelap Terbitlah Terang (1959), Catatan Harian Seorang GadisPahitnya Cinta Manisnya Dosa (1978) dan lain-lain. Pada 1989 menerima Penghargaan Kesetiaan Profesi dari Dewan Film Nasional. (1972),

LAHIRNJA GATOTKATJA 1960 D. DJAJAKUSUMA Director Of Photography
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL Director Of Photography
DEBU REVOLUSI 1954 SYAMSUDIN SYAFEI Director Of Photography
TJAMBUK API 1958 D. DJAJAKUSUMA Director Of Photography
ILUSIA 1971 S.A. KARIM Director Of Photography
BADAI DI AWAL BAHAGIA 1981 MUCHLIS RAYA Director Of Photography
MAK TJOMBLANG 1960 D. DJAJAKUSUMA Director Of Photography
ISTRIKU SAYANG ISTRIKU MALANG 1977 WAHAB ABDI Director Of Photography
PANASNYA SELIMUT MALAM 1982 WAHAB ABDI Director Of Photography
LUPA DARATAN 1975 TINDRA RENGAT Director Of Photography
KEN AROK - KEN DEDES 1983 DJUN SAPTOHADI Director Of Photography
MATINJA SEORANG BIDADARI 1971 WAHYU SIHOMBING Director Of Photography
ANANDA 1970 USMAR ISMAIL Director Of Photography
PAK PRAWIRO 1958 D. DJAJAKUSUMA Director Of Photography
TIGA BURONAN 1957 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
CINTA BERSEMI 1977 CHRIS PATTIKAWA Director Of Photography
CATATAN HARIAN SEORANG GADIS 1972 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
MISTIK 1981 TJUT DJALIL Director Of Photography
RAKIT 1971 SANDY SUWARDI HASSAN Director Of Photography
DUNIA BELUM KIAMAT 1971 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
MATT DOWER 1969 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
LANGKAH-LANGKAH DIPERSIMPANGAN 1965 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
MALIN KUNDANG 1971 D. DJAJAKUSUMA Director Of Photography
CALON SARJANA 1974 ARTO HADY Director Of Photography
GUGA GULI 1953 MOH SAID HJ Director Of Photography
DJENDRAI KANTJIL 1958 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
HEBOH 1954 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
JANUR KUNING 1979 ALAM SURAWIDJAJA Director Of Photography
DJUARA 1960 1956 NYA ABBAS AKUP Director Of Photography.

Senin, 20 Juni 2011

F.E.S. TARIGAN 1972-1991




Nominasi Best Cinematography FFI'87
    •    F.E.S. Tarigan - Cintaku di Rumah Susun
Nominasi Best Cinematography FFI'90
    •    F.E.S. Tarigan - Cas Cis Cus (Sonata di Tengah Kota)
Best Cinematography FFI'92 1992 F.E.S. Tarigan - Plong (Naik Daun)

Lahir Rabu, 10 September 1941, di Kabanjahe, Sumatra Utara. Pendidikan All Union Institute Of Cinematografi, USSR (Rusia,1970). Setamat dari Rusia, penggemar fotografi sejak SMP ini langsung dapat kepercayaan jadi juru kamera dalam Tanah Gersang (1971) produksi PT Avisarti Film. Hasil pelajaran 6 tahun di Rusia dan pengalamannya sebagai juru kamera kemudian di tularkan ke mahasiswa IKJ. Pada tahun 1988 dan 1989 duduk sebagai anggota komite seleksi pada FFI.

Namanya sendiri FES. Tarigan.MA , dulu saya kira itu Title sekolah semacam ekonomi atau apalah, tetapi ketika dia menjelaskan itu adalah Master of Art dari Moskow itu. Pernah ketemu dia bahkan pernah shootying bareng untuk sinetron di Antv waktu tahun 1995. Awalnya saya tidak tahu siapa kameraman kita ini, yang saya tahu hanyalah dia seorang kameraman lama. Jadi agak segan dikit,.

Karena semua crewnya adalah orang muda, maka dia bilang senang juga bekerja dengan anak muda yang agresif sekali. Bahkan dia senang sekali. Saat saya satu mobil bersama dia dalam jemputan, kita ngobrol di mobil, dari situ saya tahu kalau dia jadi kameramannya film hampir semua filmnya Ateng, dan dia juga yang buat film Jaka Sembung. Saya terus terang langsung salaman sama dia dan bilang, saya pengagum anda kalau begitu. Saya tidak sangka saya sekarang sedang bekerja dengan orang yang saya kagumi. Saat itu saya banyak tanya dengan dia, dan mulailah dia sebagai sumber pantauan saya, hampir semua gerak geriknya saya perhatikan. Juga dalam hal tata lampunya. Kita membuat sinetron dengan kamera video, tetapi dia tetap menggunakan Lightmeter untuk mengukjur lampu-lampunya. Agak sedikit lama memang dia menata lampunya, tetapi dia sangat menata sekali. Bahkan cutteran lampunya banyak sekali sehingga satu lampu membutuhkan cutteran 5 hingga lebih. Mulai menggunakan filter, cuter-cuter, hingga cutter yang menurut saya itu adalah efek. Dia memakai kawat jeruji untuk menghaluskan lampunya. Memang terasa akal-akalan, tetapi saya tahu maksudnya. Walaupun mungkin sudah tersedia alat itu bagi shooting, tapi dia tetap membuatnya sendiri dengan sederhana.

Selain itu juga dia menggunakan stocking atau kain hitam yang ada bordiran bolong-bolongnya untuk ditaruhkan di depan lensa. Ini fungsinya untuk filter diffuser, katanya waktu dulu jarang ada filter itu sehingga dia mengakalinya. Saya pernah coba di kamera foto 35mm, hasilnya memang diffuser. Dan ternyata bisa buat skintone sesuai dengan stoking warna yang komplit bila di cocokan dengan skintone pemain kita. Tetapi untuk mengumpulkan warna-warna skin tone stoking, cukup kewalahan juga mencarinya. TEtapi bila tersedia akan luar biasa sekali bila di telatkan di depan lensa. Yang saya ingat adalah dia bilang cameraman harus jago menari, karena sangat berguna bila ada gerak kamera, pan atau till, atau dolly track. Dan juga berkaitan dengan mendengarkan musik. Sampai sekarang ini saya menggunakan metode itu juga. Dia sangat profesional sekali, saya bingung, kenapa orang dulu sangat paham sekali A-B-C-D-nya saat shoting. Dia masih butuh test camera, dan test semuanya sesuai dengan apa yang saya dapat di bangku kuliah tentang A-B-C-D-nya. Dan itu dia lakukan sampai saat itu. Kadang kita sudah melupakan itu, padahal kalau di pikir sangat fatal sekali bila itu terjadi. Hal sekecil apapun harus di perhatikan, kadang yang kecil ini suka di remehkan, tetapi akan mengacaukan semuannya.

PENANGKAL ILMU TELUH1979S.A. KARIM Director Of Photography
SUNDEL BOLONG1981SISWORO GAUTAMA Director Of Photography
BING SLAMET KOBOI CENGENG1974NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
DOSA SIAPA1972SUSILO SWD Director Of Photography
MARABUNTA1973SISWORO GAUTAMA Director Of Photography
PERKAWINAN NYI BLORONG1983SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
INEM PELAYAN SEXY1976NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
SANGKURIANG1982SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
RATU PANTAI SELATAN1980ACKYL ANWARI Director Of Photography
ATENG MATA KERANJANG1975ASRUL SANI Director Of Photography
ATENG KAYA MENDADAK1975PITRAJAYA BURNAMA Director Of Photography
ATENG MINTA KAWIN1974NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
ATENG RAJA PENYAMUN1974PITRAJAYA BURNAMA Director Of Photography
PENGABDI SETAN1980SISWORO GAUTAMA Director Of Photography
JAKA SEMBUNG SANG PENAKLUK1981SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
SAYANG SAYANGKU SAYANG1978BAY ISBAHI Director Of Photography
PERJANJIAN DI MALAM KERAMAT1991SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
CINTAKU DI RUMAH SUSUN1987NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
SI DOEL ANAK MODERN1977SJUMAN DJAYA Director Of Photography
NAPSU SERAKAH1977BAY ISBAHI Director Of Photography
PLONG1991PUTU WIJAYA Director Of Photography
SRIGALA1981SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
BAWANG PUTIH1974F. SUTRISNO Director Of Photography
KEMELUT HIDUP1977ASRUL SANI Director Of Photography
BONEKA DARI INDIANA1990NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
KIPAS-KIPAS CARI ANGIN1989NYA ABBAS AKUP Director Of Photography
DALAM SINAR MATANYA1972PITRAJAYA BURNAMA Director Of Photography
CAS CIS CUS1989PUTU WIJAYA Director Of Photography
NYI AGENG RATU PEMIKAT1983SISWORO GAUTAMA Director Of Photography
NYI BLORONG1982SISWORO GAUTAMA PUTRA Director Of Photography
TIGA SEKAWAN1975CHAERUL UMAM Director Of Photography
TUYUL PEREMPUAN1979BAY ISBAHI Director Of Photography
TUYUL1978BAY ISBAHI Director Of Photography
CHRISTINA1977I.M. CHANDRA ADI Director Of Photography.

Selasa, 19 Juni 2012

ANTHONY DEPARI /1977-1983




lahir di Kabanjahe, Sumatera Utara, 19 Maret 1953

Pada film "Karminem" yang tayang tahun 1977 merupakan awal mula karir Anthony sebagai juru kamera. Selain itu ia juga menjadi Direktur Utama PT Merga Mehaga production.

Anthony pertama kali terjun ke dunia film langsung menjadi juru kamera dalam Karminem (1977). Lalu dalam lanjutan Inem Pelayan Sexy (1976), yaitu Inem Pelayan Sexy II dan Inem Pelayan Sexy III, keduanya produksi tahun 1977. Jabatannya tetap sebagai juru kamera sampai Semua Karena Ginah (1985). Kegiatannya di luar film ialah adalah menjadi Direktur Utama PT Merga Mehaga production.


DARAH DAN MAHKOTA RONGGENG 1983 YAZMAN YAZID
Director Of Photography
SEKUNTUM MAWAR PUTIH 1981 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Director Of Photography
INEM PELAYAN SEXY II 1977 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
INEM PELAYAN SEXY III 1977 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
KOBOL SUTRA UNGU 1981 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
APANYA DONG 1983 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
KISAH CINTA ROJALI DAN ZULEHA 1979 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
Director Of Photography
GADIS 1980 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography
SEMUA KARENA GINAH 1985 NYA ABBAS AKUP
Director Of Photography.


Sabtu, 29 Januari 2011

MALAM SATU SURO / 1988



Baca juga di film Malam Jumat Kliwon, dan Sundel Bolong.

Dua pemuda kota berburu di hutan Roban. Di situ mereka bertemu wanita cantik, Suketi (Suzanna) yang sebetulnya wujud hidup makhluk halus sundel bolong. Salah satu pemuda itu, Bardo (Fendy Pradana) mengawininya di malam Suro sesuai syarat-syarat yang harus dipenuhinya, memboyongnya ke kota, dan hidup bahagia. Bisnisnya sukses. Ini menimbulkan rasa iri pada saingan-saingan bisnisnya yang lalu membunuh Suketi dan mengembalikan Suketi menjadi sundel bolong. Maka sang sundel bolong ini lalu balas dendam.


P.T. SORAYA INTERCINE FILM

SUZANNA
FENDY PRADANA
JOHNY MATAKENA
SOENDJOTO ADIBROTO
NURNANINGSIH
BELKIEZ RACHMAN
KARSIMAN GADA
EDDY GUNAWAN
BOKIR
DORMAN BORISMAN
RENGGA TAKENGON
RACHELLE
 


Dapat dikatakan bahwa panjang dan luasnya karir indonesian ratu horor Suzzanna adalah, sampai batas tertentu, ditentukan oleh jumlah roh wanita pendendam yang dapat ditemukan dalam cerita rakyat Indonesia. Untungnya untuk dia, ada banyak. Ratu Laut Selatan, Ratu Ular, Ratu Alligator Putih: Suzzanna bermain mereka semua. Dan kemudian, tentu saja, Sundel Bolong ada, yang "Ghost Dengan Lubang". Satu Suro malam datang beberapa tahun setelah aktris yang pertama digambarkan bahwa hantu gruesomely perforasi pada tahun 1982 itu Sundel Bolong, dan menunjukkan tanda-tanda dari pembuat nya - termasuk direktur Sundel Bolong asli dan lama Suzzanna Sisworo Gautama Putra kolaborator - membuat upaya untuk mengguncang formula sedikit.

Halaman Bahasa Indonesia Wikipedia untuk Malam Satu Suro menunjukkan bahwa berdiri terpisah dari yang lain Sundel Bolong dengan memperlakukan film hantu memimpin sebagai protagonis nya. Namun, seperti yang saya katakan di tempat lain, itu tidak lazim untuk roh-roh yang dimainkan oleh Suzzanna yang akan digambarkan dalam cahaya yang simpatik, dalam kesalahan yang dilakukan mereka sering tragis dalam dimensi dan membuat motivasi mereka untuk balas dendam relatable untuk penonton. Dalam Sundel Bolong, hanya yang bersalah yang menderita murka, dan sekali pembalasan dendam selesai dia diletakkan untuk beristirahat sekali lagi. Dalam Malam Satu Suro, hal mengikuti lintasan yang sama, meskipun harus dikatakan dengan meletakkan nyata meningkat pada dari kecengengan. Film dibuka dengan adegan sedikit membengkak ditetapkan di halaman kuburan, di mana seorang dukun tua Sundel Bolong tengah membangkitkan kembali sebuah array dari persis jenis efek khusus yang belum sempurna namun unik mendebarkan kami datang untuk mengandalkan dari Indonesia. Setelah terkekeh Suzzanna lalat di sekitar kawat yang jelas cantik untuk sedikit, dukun tidak kembali flip dan drive lonjakan langsung ke atas kepalanya. Hal ini menyebabkan hantu untuk kembali ke bentuk manusia, bahwa dari Suketi, sebuah dering untuk aktris horor Suzzanna bahasa Indonesia menarik. Kemudian, untuk alasan yang tidak jelas kepada saya, dukun memutuskan untuk membuat Suketi putri angkatnya.Flash maju jumlah tak terbatas waktu, dan Bardo, seorang pengusaha Jakarta pada sebuah ekspedisi berburu di hutan (dan dimainkan oleh Fendi Pradana, yang juga akan membintangi Suzzanna berlawanan di Indo seni bela diri Pusaka Penyebar Maut fantasi) tersandung pada Suketi dan langsung jatuh cinta. Dalam rangka cukup singkat, ayah angkat Bardo meyakinkan Suketi dari niatnya dan dua menikah tengah kontes menari ritual Jawa dan kostum peri aneh.

Flash maju lagi jumlah yang tidak terbatas, tapi mungkin lebih lama, waktu, dan Bardo dan hidup Suketi adalah sebuah model kebahagiaan perkawinan kelas menengah atas, dengan dua moppets manis yang telah dikeluarkan sebagainya untuk melengkapi gambar. Untuk drive semua rumah ini, Suzzanna duduk di piano keluarga dan bibir synchs suatu MOR manis balada sebagai suami dan keturunan terlihat pada memuja. Itu semua datang di seperti video pernikahan sangat cengeng, tapi, seperti yang kita pelajari dari film-film Suzzanna terdahulu, semakin indah gambar, semakin tragis akan itu sewa terpisah.Dan kata menyewa memang berasal, dalam bentuk saingan bisnis yang bengkok Bardo, yang, setelah berkonsultasi dengan Dukun, menyeramkan berwajah merah perempuan, belajar dari mantan kedok spektral Suketi itu. Dia dan preman nya kemudian lanjutkan untuk masuk ke rumah Suketi dalam ketidakhadiran Bardo dan tarik spike dari kepalanya. Sekali lagi, Suketi menjadi Sundel Bolong, lengkap dengan lubang, busuk dgn belatung di punggung bawah yang membedakan spesies tertentu nya mata-mata. Dia hang sekitar cukup lama untuk panik fuck keluar dari anak-anaknya dan pengasuh anak mereka, dan kemudian menghilang dalam kegelapan malam. Namun, orang-orang jahat tidak melalui, dan kemudian kembali ke rumah untuk pembunuhan dan penculikan pengasuh Suketi dan yang termuda Bardo. Sebuah drama penyanderaan tegang berikut, berakhir tragis ketika salah satu dari penculik sengaja membunuh anak saat mencoba menahan tangisannya.

Sejujurnya, seluruh episode film penculikan, tidak merasa seperti Suzzanna adalah mendapatkan semacam superhero build-up. Seolah-olah Sundel Bolong mati berlindung di Benteng-nya Solitude sementara, kembali di Metropolis, kekacauan mengambil memerintah. Setiap saat dia tidak ada adalah satu di mana kita mengantisipasi nya tiba di saat yang tepat untuk mengatur hal-hal yang benar dengan belatung-dimakan-lubang yang berhubungan dengan kekuatan super-nya. Sayangnya, dia tidak berakhir memobilisasi sampai setelah anaknya telah dibunuh, sehingga tindakannya berakhir menjadi, seperti biasa, terbatas pada pengembalian. Tapi pertama, dia duduk sekali lagi pada piano keluarga, sekarang dalam bentuk yang mengerikan spektral, untuk Reprise bahwa MOR manis balada dari awal film.Sekarang mari saya membuat jelas bahwa, sementara Suzzanna tidak berinteraksi dengan keluarganya selama ini bagian dari film, ini bukan "My Wife, Roh Dengan Lubang" hangat potret gaya TV ramah keluarga. Sebagai Sundel Bolong, Suzzanna adalah setiap bit seperti biasa menakutkan, dan mungkin bahkan lebih. Keputusan itu diambil kali ini untuk spackle wajahnya dengan jelas, gaya kabuki make up, yang sering berubah secara dramatis dalam pola dari ditembak ditembak, membuat efek yang mengesankan dingin. Di atas ini, saat dia akhirnya ditetapkan pada pencariannya untuk membalas dendam, dia menggali sampai peti anaknya dan menyeretnya di sepanjang belakangnya, seperti Franco Nero dalam Django, tapi untuk efek yang jauh lebih mengganggu.

Yang mengatakan, adegan membunuh aktual di Malam Satu Suro, ketika mereka datang, terasa Antic, yang menampilkan Suzzanna sangat gembira dan wisecracking. Dengan cara ini, mereka mengingatkan kita pada mimpi buruk yang sangat pada film Elm Street bahwa Putra dan Suzzanna akan kemudian secara eksplisit ditiru dalam tahun 1991 Perjanjian Di Malam keramat. Bahkan ada urutan fantasi aneh yang mendahului kematian satu baddie, sebuah John Lennon jelas peniru, yang membayangkan dirinya bernyanyi sebelum kerumunan memuja dan kemudian berubah menjadi superman dan terbang di sekitar atas kepala mereka. Dalam adegan lain, Sundel Bolong menjiwai favorit anak-nya sudah mati boneka beruang, sehingga berbaris satu pelakunya rawan dan menginjak-injak wajahnya berdarah masukSemua ini mengarah ke finale, klasik hanya-di-Indonesia: berduel dengan berwajah merah dukun perempuan yang melihat dia berubah menjadi seekor katak berukuran suitmation orang sebagai Suzzanna terkekeh - sekarang berubah menjadi kebocoran - lalat sekitar gila di atas. Setelah pertempuran ini telah menyimpulkan, Malam Satu Suro mencoba untuk kembali ratchet up pathos untuk menangis saat Sundel Bolong terakhir antara dan keluarganya yang masih hidup, tapi aku ragu bisa meninggalkan mata apapun tapi kering dalam rumah itu dimainkan. Pada akhirnya, film ini hanya membedakan diri dari Sundel Bolong asli oleh bagaimana ia keluar flat whups Anda terbalik kepala dengan aspek tragis, sedangkan, di bekas, aspek-aspek merasa lebih organik dan, sebagai hasilnya, lebih sah mempengaruhi. Tentu, itu mungkin untuk membuat film sedih tentang seorang wanita hantu terbang dengan lubang busuk, tetapi menambahkan balada daya lekat dan Vaseline-lensanya selingan romantis hanya akan membuat ... baik, sesuatu yang berbeda. Hebatnya, meskipun, bahwa sesuatu yang berbeda masih cukup menghibur.



Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1988, JAKARTA

12 November 1988
FFI 1988, JAKARTA
Citra di antara tanda tanya dan ...



PIALA Citra, lambang supremasi keunggulan karya insan film nasional, baru dibagikan akhir pekan ini namun, sejumlah orang film menyebutkan FFI sudah berakhir Sabtu siang pekan lalu. Yakni, tatkala Sekretaris Dewan Juri, Dr. Salim Said, selesai membacakan keputusan juri tentang sejumlah nominasi di Studio VII TVRI Senayan Tjoet Nya' Dhien seperti yang disebut-sebut sebelumnya, sudah bisa diduga akan muncul sebagai nominasi film terbaik film ini. Film ini meraih 12 nominasi berdasarkan kriteria, atau 13 nominasi berdasarkan jumlah orang. Karena untuk kriteria pemain pembantu pria ada dua yang masuk nominasi sekaligus -- Slamet Raharjo dan Rudy Wowor. Semua kriteria penting untuk menentukan sebuah film menjadi film terbaik masuk nominasi dalam Tjoet Nya' Dhien. Eros Djarot (sutradara, skenario, dan cerita asli), Goerge Kamarullah (penata kamera), Karsono Hadi (penyunting), Idris Sardi (penata musik), Benny Benhardi (artistik), Pitradjaya Burnama (pemain utama pria) dan Christine Hakim (pemain utama wanita). Juri yang diketuai Asrul Sani hanya memilih tiga film nominasi dari lima yang diizinkan. Selain Tjoet Nya' Dhien adalah Istana Kecantikan dan Ayahku. Istana mendapatkan 6 nominasi dan semua penting, yakni Wahyu Sihombing (sutradara) Asrul Sani (skenario dan cerita asli), 

Mathias Muchus (pemeran utama pria), Nurul Arifin (pemain utama wanita) dan sebagai film nominasi. Ayahku hanya merebut 4 nominasi selain sebagai nominasi film terbaik, adalah juga skenario (Misbach Yusa Biran), Deddy Mizwar (pemeran utama pria), dan Darussalam (pemeran pembantu pria). Piala Citra tahun ini akan tetap diboyong pemain-pemain lama. Harapan untuk pemain muda hanya pada Ria Irawan, yang kemungkinan sebagai pemain pembantu wanita terbaik dalam Selamat Tinggal Jeanette. Nurul Arifin, yang banyak membintangi film remaja, mulai menunjukkan kemampuan aktingnya. Ia bermain bagus dalam film Istana -- juga dalam Ayahku. Namun, karena di kelasnya ada Christine Hakim, apa boleh buat, ia harus "tahu diri" Di bagian pria, Didi Petet punya masa depan yang baik -- mungkin menjadi aktor yang akan diperhitungkan kelak. Nasibnya tahun ini sungguh sial. Ia meraih nominasi sebagai pemain pembantu pria dalam film Cinta Anak Zaman dan di kelasnya itu ada Slamet Rahardjo dan Darussalam, yang lebih kuat. Kesialan Didi Petet adalah film Gema Kampus 66 tak diloloskan Komite Seleksi. Padahal, di situ Didi bermain cemerlang sebagai mahasiswa ITB yang punya idealisme tinggi di tahun 1966 tapi akhirnya kehilangan idealisme setelah sukses memimpin sejumlah proyek. Sejumlah pakar film dalam sebuah diskusi melemparkan penyesalan. 

Andai kata film ini lolos Komite Seleksi, cerita bisa berubah Didi akan bersaing dalam barisan nominasi pemain utama pria, dan tak mustahil bisa mengalahkan Deddy Mizwar. Seperti halnya FFI 1987, saat Komite Seleksi menendang film Keluarga Markum -- yang membuat Ikranegara dan Chaerul Umam kehilangan peluang -- meraih Citra -- tak lolosnya Gema Kampus segera menimbulkan gunjingan. Agaknya, tak ada FFI tanpa pergunjingan. Dan syukurlah, Panitia Tetap (Pantap) FFI, mulai tahun ini, ditetapkan dengan masa kerja lima tahun, sehingga punya kesempatan dan "kekuasaan" untuk melakukan perbaikan. Pantap yang diketuai M Johan Tjasmadi ini sudah punya ide untuk mengubah cara penjurian FFI. Sebagaimana yang dikatakan Johan Tjasmadi kepada Gunung Sarjono dari TEMPO, sejumlah perbaikan yang mendasar sudah dipikirkan berdasarkan kelemahan yang lalu-lalu. Termasuk lembaga Komite Seleksi itu. Johan melihat tugas Komite Seleksi cukup berat. Tahun ini, misalnya, Komite Seleksi yang diketuai Sadikin Nataatmaja hanya punya waktu 40 hari untuk menilai 83 film. Itu berarti setiap hari harus melihat 2 film Cara ini jelas tidak sehat "Kayaknya kok terburu-buru, kata Johan Tjasmadi. Karena faktor kelelahan, bisa jadi film yang ditonton lebih awal jadi "lupa" ketika diskusi untuk menentukan film yang lolos dilangsungkan. Begitu pula ketika juri FFI memulai kerjanya. Selain yang dinilai hanya film yang sudah diloloskan Komite Seleksi, para juri ini melakukan penilaian di suatu tempat khusus "Para juri tidak bisa melihat bagaimana reaksi penonton sewaktu film itu diputar," kata Johan. Padahal, itu penting sebagai pertimbangan, apakah sebuah film "menggigit' atau tidak. Johan punya ide, insya Allah, mulai tahun depan yang namanya Komite Seleksi akan bekerja sepanjang tahun. Mereka langsung menonton dan menilai film yang beberapa saat lolos sensor. 

Setiap bulan Komite Seleksi akan mengumumkan film pilihan, berdasar kriteria yang sudah disepakati. Dengan cara kerja seperti ini, film yang ditonton Komite Seleksi dalam keadaan masih baru. Tidak seperti sekarang, banyak film yang menjelang FFI sudah rusak kopinya karena sudah lama beredar. Tahun ini saja, menurut Ilham Bintang, Ketua Bidang Humas, Dokumentasi, dan Publikasi Pantap FFI, ada delapan film yang didiskualifikasi karena kerusakan itu. Dewan juri pun akan ditetapkan jauh sebelum puncak festival. Jika juri penasaran dengan keputusan Komite Seleksi, mereka masih punya kesempatan untuk menonton film-film yang "terdepak" "Semata-mata hanya untuk referensi," kata Johan lagi. Keuntungan sistem ini, kata Johan, produser bergairah memproduksi film sepanjang bulan. Produser dan sutradara tak harus mengulur-ulur penyelesaian filmnya mendekati FFI -- seperti yang terkesan belakangan ini. Kegairahan lain adalah dengan diumumkan film unggulan setiap bulan, seolah-olah sepanjang bulan ada "festival kecil". Produser pun diuntungkan dalam hal promosi. Yang tampak belum dipikirkan Johan Tjasmadi adalah siapakah mereka yang duduk di Komite Seleksi. Apakah tetap insan-insan film, yang punya berbagai kepentingan termasuk kepentingan bisnis, misalnya, menendang pesaing? Kini dipertanyakan (lagi) adakah FFI penting dalam hal meningkatkan mutu film, atau setidak-tidaknya FFI menjadi peristiwa budaya. Seorang pengamat film dan teater menyangsikan hal itu. Kegiatan hura-hura tak sepenuhnya lenyap. Pawai artis masih berlangsung di Surabaya dan di beberapa kota ketika pekan film di daerah. Kampanye Film Nasional tak keruan juntrungannya dengan berbondong-bondongnya penduduk di sekitar gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta untuk melihat bintang. 

Mereka yang berkampanye pun hanya mengucapkan slogan "Saya yakin dapat Citra" atau "Kalau juri serius, Citra di tangan saya" atau "Tontonlah Film Saya", atau yang lebih konyol lagi. Masalahnya adalah pengunjung tak diseleksi dan yang bicara pun asal ngomong "Jangan ditanya apa gunanya kampanye itu. Yang datang pun tidak tertarik pada filmnya tapi bintangnya," kata Arswendo Atmowiloto Pemred Monitor yang sempat menggebrak kampanye hari pertama. Karena itulah, ada yang menilai, FFI ini lebih banyak bobot bisnisnya dalam pengertian tempat produser mengukuhkan bintangnya. Dan bisnis film nasional, seperti diketahui, penuh liku-liku yang tak pernah jalan seiring dengan mutu. Film nasional yang selama ini adalah yang mengandalkan bintang, bukan aktor atau aktris. Namun, Teguh Karya, yang sudah 2 tahun absen dalam pertarungan FFI, tetap menilai penting sebuah festival film. Menurut Teguh, justru melalui festival itu nilai budaya film bisa diukur. "Setidak-tidaknya untuk membandingkan dengan budaya yang lain," ujarnya. "Secara rasional, FFI itu merupakan tantangan bagi perkembangan film di negeri kita. Terutama bagi pencipta film, seperti produser, sutradara, atau pemain" Johan Tjasmadi tentu bisa menyebut sejumlah manfaat festival film. Ia melihatnya dari bagaimana masyarakat mengapresiasi film nasional. 

Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1973 persentase perbandingan antara penonton film asing dan film nasional adalah 90 : 10. Dan tahun 1986, tercatat 64,3 persen penonton film nasional dan 35,7 persen penonton film asing. Namun, diakuinya, dalam kurun waktu 1973-1980, film pemenang Citra bukan film yang laris, malah tergolong film kurang laku. "Setelah dekade 1980 antara pilihan juri dan pilihan masyarakat mulai mendekat," kata Johan. Ia menunjuk contoh film Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat. Dan itulah jasa FFI. Bagi Arswendo, pelaksanaan FFI tahun ini tetap saja mengulang FFI sebelumnya. Tak lebih dari, "ramai-ramai sejenak, dan aste-nya terlalu banyak," katanya. Bahkan tahun ini "Kita sudah kehilangan isu" Dulu, kata langganan juri sinetron ini, ada isu menjadikan film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Isu itu sudah bertahun-tahun dilontarkan tapi keadaan perfilman kita tak beranjak sedikit pun. Mandeknya film nasional menjadi tanda tanya. Padahal, pada pengamatan Arswendo, orang Indonesia lebih suka menonton ketimbang membaca. Tenaga di bidang film pun cukup memadai, dari penulis cerita, skenario, sutradara, pemain "Kalau tetap mandek, mestinya ada yang tidak benar" Ataukah karena insan film terbiasa menggantungkan nasib pada pemerintah? Pemerintah pun kelihatannya belum rela melepaskan campur-tangannya. Misalnya, sejak skenario sebuah film sudah menghadapi "badan sensor". Suatu hal yang, menurut Arswendo sendiri, "tak lazim di negeri lain". 

Begitu pula pelaksanaan FFI, sejak kepanitiaan sampai pengangkatan dewan juri, campur tangan pemerintah sangat menentukan. Bahkan kini bukan saja Departemen Penerangan yang terlibat, tapi juga Departemen Dalam Negeri. Untuk menaikkan produksi, Menteri Dalam Negeri Rudini mengimbau agar pemerintah daerah memproduksi film yang bercorak kedaerahan. Dan itu sudah dilaksanakan di Jawa Barat dengan film Si Kabayan Saba Kota. Selamatan film ini sudah dilakukan Senin pekan lalu. Pemda Ja-Bar menanggung 40% biaya produksi, sisanya PT Kharisma Jabar Film "Biaya diperkirakan Rp 350 juta kendati kami mengharap biaya bisa lebih murah," kata Edison Nainggolan dari PT Kharisma. Film yang disutradarai Maman Firmansyah ini akan dibuat dua bahasa, Indonesia dan Sunda Kabayan diperankan "aktor lucu" Didi Petet -- yang tahun ini memperoleh nominasi Citra. Imbauan Rudini menggembirakan dari angka produksi. Tapi belum tentu menjawab kemandekan mutu itu. Sekarang ini, menurut seorang produser, "Sembilan puluh persen film-film kita masih kacangan, penggarapannya masih di bawah standar film yang seharusnya". Film dibuat asal cepat jadi. Asal ada seorang bintang sebagai pemikat, film akan ditonton di daerah, apa pun ceritanya dan bagaimanapun penggarapannya. Ini membenarkan ucapan Arswendo bahwa film Indonesia tidak dibuat berdasarkan aktor tetapi bintang. Katakanlah bintang itu Meriam Bellina "Tak penting apa peran Mer di situ. Mau ditaruh sebagai sutradara kek sebagai penulis cerita kek, pokoknya ada Meriam Bellina, supaya penonton tertarik," kata Arswendo. Karl G. Heider, guru besar antropologi dari Universitas South Carolina, AS, yang tengah melakukan penelitian antropologis film Indonesia, mengemukakan pendapatnya, antara lain, film Indonesia kebanyakan dibuat dengan formula yang sudah bisa ditebak "Seperti dongeng-dongeng rakyat," ujarnya. "Tapi, ya, yang begitu itu perlu untuk kehidupan sehari-hari. Seperti kita memerlukan nasi goreng. Cuma, nasi gorengnya harus dibuat dengan sebaik-baiknya." Karl Heider menyebutkan sejumlah pembuat "nasi goreng" yang baik seperti Usmar Ismail (almarhum), Asrul Sani, Teguh Karya. Tjoet Nya' Dhien-nya Eros Djarot juga dipuji Heider, seperti pula ia memuji Darah dan Doa-nya Usmar Ismail Putu Setia, Mohammad Cholid, Yusroni Henridewanto

12 November 1988

Komentar ffi 1988 terpaksa pakai bh
ADAKAH oleh-oleh Mutiara Sani sebagai panitia pelaksana Kampanye Film Nasional? Ada, yaitu soal kutang alias BH. Muti -- begitu panggilan istri Asrul Sani ini -- terpancing untuk membuka rahasia soal kutang ketika film Akibat Kanker Payudara masuk jadwal kampanye. "Selama tidak mengganggu pemandangan umum dan tidak mengundang hal yang bukan-bukan, saya lebih senang nggak pakai BH," katanya. Namun, di acara kampanye film itu, Muti tak bisa ber-no bra. Di sana ada "umum". Celakanya, yang bukan-bukan itu datang juga. Yakni keringat, yang membuat punggung bintang televisi ini jadi gatal. "Bayangkan, selama dua jam saya kegerahan. Punggung saya keringatan dan gatal-gatal. Risi sekali," katanya. Dan itulah penyakit Muti. Ini salah satu kekurangan kampanye film 1988. Penduduk di sekitar Kuningan, Jakarta Selatan, dibiarkan menyerbu tempat kampanye. Suasana jadi semrawut. Bob Sadino juga mengeluhkan soal itu. Akhirnya Bob hanya datang sekali, dan itu pun "wajib hukumnya" sebagai aktor dalam film Terang Bulan di Siang Hari. Keluhan Bob lainnya, isi kampanye itu sendiri. "Setiap orang yang berkampanye selalu mengatakan, 'saya yakin menang, saya semestinya dapat Citra.' Saya sendiri heran," kata Bob yang memonitor jalannya kampanye dari siaran televisi. "Kalau semua bilang begitu, lebih baik tidak usah ada juri." Soalnya adalah kampanye di mana-mana begitu, cuma teriak-teriak. Bunga Surawijaya.


15 Oktober 1988
Panitia untuk ekspor film
PUNCAK Festifal Film Indonesia (FFI) tahun ini masih sebulan lagi. Tapi insan film sudah mulai menghitung-hitung, siapa yang kebagian Piala Citra, lambang supermasi keunggulan pekerja film nasional. Senin pekan lalu, Komite Seleksi sudah mengumumkan 18 film filihan untuk dinilai para juri. Dari segi mutu, FFI tahun ini sama saja dengan FFI sebelumnya. Tak ada loncatan yang berarti apalagi dengan absennya sutradara beken seperti Teguh Karya dan Arifin C. Noer. Namun, dari penyelenggaraan, tahun ini memasuki era baru. Kegiatan yang bersifat pemborosan benar-benar ditinggalkan. Dan perubahan yang lebih mendasar adalah sistem kepanitiaan yang ditetapkan lima tahun berdasarkan keputusan Menteri Penerangan. Perubahan yang menyegarkan itu memang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. "Dulu tanggung jawab penyelenggara sebatas asal sukses. Sekarang harus mampu meningkatkan apresiasi masyarakat dan mutu perfilman," kata Johan Tjasmadi, Ketua Umum Pantap (Panitia Tetap) FFI. 

Tugas lain yang diemban panitia tetap ini adalah meningkatkan produksi film, sehingga sampai akhir Pelita V nanti jumlahnya mencapai 120 hingga 140 buah per tahun. Itu berarti kenaikan hampir 100 persen dibanding rata-rata yang sekarang ini bisa dicapai. Karena itu, Pantap ini tak berhenti bekerja setelah Piala Citra dibagikan. Ia tetap menyusun program bulanan untuk mendorong produksi serta mutu film. Baik lewat diskusi, ceramah, maupun pekan-pekan film. Selain itu, mempromosikan film-film Indonesia di luar negeri. Bukan sekadar harus bisa menjual. "Tapi mengenalkan bahwa Indonesia juga punya industri film," kata Johan. Karena itu, dalam Pantap ini ada Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri. Bidang Hubungan Luar Negeri ini menurut Menteri Penerangan Harmoko adalah untuk mamantau seberapa jauh film Indonesia bisa diekspor ke luar negeri. "Arahnya memang ke sana, yakni mengejar ekspor nonmigas di bidang film. Dan saya yakin bisa," katanya. Sebagai bukti, Menteri memberi contoh, setiap bulan TV Malaysia rata-rata memutar dua film Indonesia. "Dan itu dibeli dari kita," kata Harmoko. Nantinya, target pasar tak cuma di kawasan Asia, tapi masuk ke Eropa. Tentang FFI itu sendiri, Menteri memang menekankan agar dibuat sederhana dan tidak membebani masyarakat. Dana FFI '88 sama dengan tahun lalu, berkisar antara Rp 150 dan Rp 200 juta. Sebagian besar dari Dewan Film Nasional dan Departemen Penerangan. Sumbangan dari sponsor tidak berupa uang, tapi barang, misalnya spanduk dan umbul-umbul. Produser juga bebas dari pungutan. Alasannya, menurut Johan, produser sudah mengeluarkan biaya untuk mendatangkan artis ke daerah-daerah dalam pekan film. Jumlah film peserta FFI '88 memang lebih banyak. Tahun lalu yang masuk komite seleksi hanya 53 film. Film pilihan berjumlah 15 buah. Tahun ini masuk komite seleksi 83 film dan film pilihan 18 buah. "Tak semua film bisa dinilai. Ada delapan kopi film yang rusak," kata Ilham Bintang. Yusroni Henridewanto dan Tri Budianto Soekarno.

15 Oktober 1988
Film terbaik, tjoet nya' dhien ?
FILM yang lolos Komite Seleksi tahun ini memang lebih banyak, 18 film. Juri yang kini diketuai Asrul Sani cuma menilai film yang lolos, walau mungkin mutu film ini ada yang lebih rendah dari film yang tidak diloloskan. Ke-18 film itu, menurut abjad, Akibat Kanker Payudara (sutradara Franky Rorimpandey), Ayahku (Agus Ellias), Ayu dan Ayu (Sopkan Sophiaan), Catatan Si Boy I (Nasri Chepy), Cinta Anak Zaman (Buce Malauw), Irisan-lrisan Hati (Djun Saptohadi), Istana Kecantikan (Wahyu Sihombing), Kasmaran (Slamet Rahardjo), Mekar Diguncang Prahara (Hasmanan), Nada-Nada Rindu (Muklis Raya), Pernikahan Berdarah (Torro Margens), Pernikahan Dini (Yaman Yazid), Saur Sepuh (Imam Tantowi), Selamat Tinggal Jeanette (Bobby Sandi), Seputih Pasir Semerah Luka (Wim Umboh), Tatkala Mimpi Berakhir (Wim Umboh), Terang Bulan di Tengah Hari (Chaerul Umam), Tjoet Nya' Dhien (Eros Jarot). Arifin C. Noer gagal merampungkan Jakarta '66 sampai saat-saat akhir, dan Teguh Karya macet dalam menggarap Pacar Ketinggalan Kereta. Yang tidak jelas Gema Kampus '66, karya Nico Pelamonia, tak lolos komite seleksi atau ada masalah lain. Untuk pertama kalinya film dangdut Rhoma Irama (Nada-Nada Rindu) masuk film pilihan. 

Dan yang sulit dimengerti, film seperti Catatan Si Boy dan Cinta Anak Zaman bisa lolos. Jika mau dibandingkan, Penginapan Bu Broto masih lumayan juntrungannya, dan toh tak lolos. Dengan peta kekuatan seperti ini -- dan jumlah yang banyak itu agaknya untuk meramaikan pekan film di 11 kota -- bisa dibayangkan Tjoet Nya' Dhien akan memborong Citra. Tak ada aktor baru yang akan muncul. Christine Hakim dan Slamet Rahardjo boleh jadi akan mendapat Citra untuk aktris dan aktor terbaik lewat penampilannya sebagai Tjoet Nya' Dhien dan Teuku Umar, sementara Pitrajaya Burnama yang bermain sebagai Pang La'ot dalam film karya pertama Eros Djarot itu bisa meraih Citra untuk peran pembantu pria. Cuma ia dibayangi W.D. Mochtar dalam Ayahku. Peran pembantu wanita mungkin diperebutkan Rita Zaharah (Tjoet Nya' Dhien) dan Ria Irawan -- yang bermain bagus sebagai pembantu dalam Selamat Tinggal Jeanette. Skenario Misbach Yusa Biran cukup menonjol dalam Ayahku. Tapi ia dibayangi dua saudara, Eros Djarot (Tjoet Nya' Dhien) dan Slamet Rahardjo (Kasmaran). Film terbaik? Kalau memang harus ada tak ada lain selain Tjoet Nya' Dhien, dan itu berarti FFI ini hanya melahirkan sutradara: Eros Jarot, yang sebelumnya dikenal sebagai penata musik. Putu Setia

Minggu, 06 Februari 2011

BING SLAMET KOBOI CENGENG / 1974

BING SLAMET KOBOI CENGENG

 
Film terakhir Bing Slamet. Berhasil mengumpulkan 530.013 penonton di Jakarta, menurut data Perfin.



Film ini yang paling terlaris diantara semua film seri Bing Slamet, 3 diantaranya, Bing Slamet Setan Jalanan, Bing Slamet Sibuk, Bing Slamet Dukun Palsu. Dan bahkan konon kabarnya, film ini telah menyedot jumlah penonton lebih banyak dari film Ratapan Anak Tiri. Dari dulu Nya sudah banyak membuat film komedi parodi yang akarnya diikuti oleh jenis komedia di Indonesia sampai saat ini. Film ini tentang kehidupan para Koboi, tetapi bagaimana cara Nyaa mencampur adukan budaya Indonesia. Apakah ini menyindir banyaknya film Konoi saat itu sehingga ia membuat film ini. Budaya Koboi bercampur dengan budaya Indonesia. Ada kesan dalam film ini semua yang berbau koboi adalah hanya kebudayaan yang dipaksakan saja sebuah trent zaman. Sehingga biar bagaimana pun terasa aneh dan ganjil bila orang Indonesia berkalu selayaknya koboi, istilahnya tidak pantes lah. Ini yang terasa dalam film itu, dan kalau Nyaa ingin menyindir orang Indonesia yang sedang gandrung dengan budaya asing, maka film ini sangat sempurna. Dibalut komedian adalah khas Nyaa, tapi yang penting adalah pantas apa tidak pantesnya orang Indonesia selaku Koboi dan lebih pantes lagi ketika dimunculkan budaya lokal sendiri. Bagaimana seorang bandit yang masuk Bar, Eddy Sud...dengan tampang dan karakter yang sempurna sekali sebagai penjahan jago tembak, tetapi ia memesan beras kencur dari pada wisky. Bagaimana segerombolan perampok yang kelaparan masuk ke bar dan ingin makan dengan menu petai, dan sedangkan bartendernya sedang mengulek sambel trasi di meja bar. Dalam film ini percampuran itu nyata sekali, oleh karena itu film ini sangat menyindir kita sebenarnya, tetapi penonton tertawa karena sebenarnya mereka mentertawakan diri mereka sendiri. Film ini sangat populer sekali, siapa yang tidak kenal dengan istilah Cicak Bin Kadal sebuah logo dari ancaman penjahat terhadap Bing Slamet. 
Sebuah parodi dan sindiran yang menggunakan dunia koboi. Jago tembak Eddy Sud (Eddy Sud) menyelamatkan Vivi (Vivi Sumanti), anak Bing (Bing Slamet). Bing sendiri yang menerima surat ancaman dari komplotan bandit lalu mengadakan kontrak kerjasama dengan Eddy Sud. Ia juga berlatih menggunakan pestol. Vivi ternyata kemudian diculik. Sherif Ateng lalu mengerahkan warga kota dan memaksa Bing agar tak membayar tebusan. Otak penculikan itu ternyata Eddy Sud sendiri. Vivi berhasil dibebaskan, dan Eddy duel dengan Bing. Kemenangan tentu pada Bing.
 P.T. SAFARI SINAR SAKTI FILM

BING SLAMET
EDDY SUD
ISKAK
ATENG
VIVI SUMANTI
MIEKE WIJAYA
BAMBANG SISWANTO
BENNY GAOK
UCOK HARAHAP
AZWAR AN
ROBIN SIMANJUNTAK
US US


Eddy Sud sebagai pimpinan Kwartet Jaya yang paling menganggap film ini penting selain film Kwartet Jaya lainnya. Nya yang menulis sendiri skenarionya mengatakan Tidak suka membuat film komedi lelucon fisik, tetapi bagaimana lelucon ini saling tali menali dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Lelucon yang seperti ini memang tidak dibuat tuntas, karena pengetahuan penonton mengenai suatu pekara yang menjadi sumber lelucon itu sendirilah yang bakal merampungkan dan sekaligus melahirkan gelak tawa. Contohnya saat Amplop sumbangan Iskak kepada suku Indian yang lagi menyunatkan anaknya. Sumbangan itu tidak iklas, karena setelah menyerahkan amplop itu Iskak menyuarakan maksudnya mohon bantuan untuk menghadapi gerombolan Cicak Bin Kadal. Bagi yang akrab denmgan hal amplop dan sogok menyogok pasti akan tertawa, tetapi bagi yang tidak akrab dengan situasi itu, mungkin mereka tidak akan tertawa. Tetapi yang ditampilkan dalam film ini, adalah hal yang ada dan sering kita lihat di masyarakat (yang paling khas). Seperti juga saat Eddy Sud menanyakan sama anak buahnya. "Kenapa kamu bertindak tanpa menunggu instruksi saya? Koboi Jenggot menjawab, "Kan bapak bilang dari Senin suruh bertindak? Eddy Sud menjawab lagi, Bukan senin ini. Inikan Senin Wage, sedangkan saya bilang senin kliwon." Sangat kontras dengan aksi koboi memasukan unsur kalender jawa dalam hal bertindak, bagi yang bukan orang jawa mungkin tidak tertawa. Ini yang disebut oleh Nyaa tidak mau membuat lelucon fisik, lelucon yang hanya mengelitik, tetapi dampaknya nanti ketika orang paham akan maksud itu akan membuat tawaan yang segar.

27 Juli 1974BING Slamet (yang "asli') masih sakit, tapi Bing Slamet Koboi Cengeng ternyata beringas. Film ini berhasil menarik gelombang penonton sampai dengan pekan lalu di Jakarta, setelah 3 minggu di pasaran yang ramai. Suksesnya bisa ditulis dengan huruf besar. Pertama kali muncul, ia diputar dalam pertunjukan-tengah-malam --ketika orang Jakarta digoda oleh dua hal pergi ke Pekan Raya atau nonton Tbe Godfatber. Ini artinya pemilik bioskop cukup tekad buat melihat Koboi Cengeng berduel menandingi dedengkot "Mafia" Marlon Brando yang lebih siap dengan gemerlapan iklan. Dan ternyata hasilnya memang alhamdulilah: si Koboi tidak kalah. "Hasilnya di luar dugaan", kata produser Bucuk Suharto dari PT Safari Sinar Sakti yang membikin film komedi itu. Barangkali soalnya karena Koboi ini lebih memihak mereka yang kantongnya tidak terlalu tebal, sementara Tbe Godfather memasang karcis dengan harga yang masya Allah: Rp 5000. Tapi di samping itu siapa memangnya yang tidak ingin tahu film yang dibintangi kwartet Jaya ini? Cerita "koboi" cukup dikenal. Koboi cengeng, tentu lebih menarik. Apalagi dengan Bing Slamet, Eddy Sud, Iskak & Ateng .... Dan hitung punya hitung tercapailah kesimpulan: Koboi Cengeng merupakan film terlaris di antara semua film segi "Bing Slamet" (3 yang lain adalah: Bing Slamet Setan Jalanan, Bing Slamet Sibuk dan Bing Slamet dukun Palsu). Berita tidak resmi bahkan menyebutkan film ini telah menyedot jumlah penonton lebih banyak dari Ratapan Anak Tiri, yang dalam Festival Film Indonesia 1974 di Surabaya mendapat piala khusus buat film paling laku. Meskipun fihak PT Safari Sinar Sakti belum bersedia membenarkan, tapi Bucuk Suharto dengan yakin menyebut, bahwa Koboi Cengeng adalah film Indonesia pertama yang terbanyak menarik penonton di bioskop kelas satu di Jakarta. Jungkir-Balik Bisa saja ditafsirkan bahwa sang produser dengan ucapan itu sedang menambah propagandanya. Tapi yang disajikan oleh Koboi memang bisa diperhitungkan sebagai sesuatu yang lebih baik dari film lelucon Indonesia yang lain. Karya Nya' Abbas Akub ini (ia sutradara & penulis skenario) telah menjungkir-balikkan pola umum film Western dan dengan cara itu memperlihatkan bagaimana orang Indonesia membikin sebuah parodi tentang cerita koboi: di sloon si jago tembak bukannya minum wiski tapi beras kencur, dan sang pemilik tanah bicara dengan aksen Batak yang berat. 

Sementara itu orang-orang Indian terima sumbangan uang dalam amplop waktu punya hajat menyunatkan anak, dan kereta kuda yang mogok dilengkapi dengan segitiga pengaman. Parodi atas film Western memang relatif mudah, karena film jenis ini -- sejak zaman Hollywood bisu sampai dengan zaman Jango yang mewah peluru -- punya pola yang praktis cuma itu-itu juga. Maka tak mengherankan bila orang merangsang buat memperolok-olokkannya: dalam film Cat Bellou misalnya kita ketawa karena si jago tembak yang dinanti-nanti, dimainkan Dleh Lee Mervin, ternyata bukan seorang yang gagah perkasa seperti lazimnya, tapi seorang pemabuk & penidur bertampang kere. Bahkan orang Jepang juga pernah bikin parodi Western: sang koboi, sebelum masuk saloon, melepaskan sepatunya di ambang pmtu seperti layaknya seorang Jepang. Tak lama kemudian ia luka terinjak pecahan botol. Dari segi ini, Koboi Cengeng tidak terlalu luarbiasa. Tapi sebuah parodi dalam lelucon film Indonesia sungguh jarang. Di tahun 1954 Perserikatan Artis Film membikin koboi Adios. 

Disutradarai oleh Bambang Sudharto dan dibintangi Roostiaty & Djoni Sundawa, film ini hanya mencoba meniru film Western sungguhan. Dengan kuda kacang dan koboi berambut keriting, Adios toh begitu serius mau berlagak Amerika. Akibatnya penonton cuma ketawa sebal. Dengan Koboi Cengeng, yang tersembur adalah ketawa segar. Orang terbahak, atau tersenyum panjang-lebar, menyaksikan suatu olok-olok terhadap hal-hal yang biasanya distel tegang. Dalam rangka ini pula agaknya gelak & keplok yang sama bisa diberikan kepada karya Kwartet Jaya yang lain. Setelah Koboi, Kwartet ini muncul di TVRI dalam acara peringatan ulang-tahun Jakarta. Sajiannya ialah sebuah parodi singkat atas lakon lenong Si Pitung -- dengan Ateng sebagai Bang Pitung, itu tokoh jagoan yang filmnya diperankan Dicky Zulkarnaen dengan tampang serius. Walaupun tanpa Bing Slamet yang waktu itu sedang dirumah-sakitkan, mutunya toh di atas rata-rata hidangan Kwartet Jaya sebelumnya: Pitung-Ateng bertempur dengan Demang-Iskak dalam gaya silat Betawi sambil sekali-sekali Ateng meminjamkan goloknya kepada lawannya yang kelupaan bawa senjata. Mungkin semua ini pertanda, bahwa gaya parodi akan jadi salah satu unsur yang hidup terus dalam pertunjukan lelucon Indonesia. 

Tapi mungkin pula tidak. Untuk parodi dibutuhkan kecerdasan yang lebih dan kebebasan yang cukup buat berolok-olok. Syarat-syarat ini mungkin belum mapan dan merata dalam dunia film kita. Betapapun, dengan Koboi Cengeng telah kembali sesuatu yang sewajarnya ada dalam humor: ketawa sehat, tanpa terlalu banyak nasihat. Di situ penonton tak dianggap sebagai anak-anak yang perlu diwejang. Di situ kita diperlakukan sebagai sesama yang bisa diajak untuk geli terhadap gambaran stereotip yang itu-itu juga dalam fikiran kita sendiri. Kopkamtib Agaknya karena kembalinya humor murni seperti itu maka Eddy Sud otak & organisator Kwartet Jaya begitu gembira dengan Koboi Cengeng sebelum ia melihat hasilnya di pasaran. Ia menganggap Koboi sebagai film Kwartet Jaya yang paling berarti, dan Nya' Abbas Akub diajaknya lagi buat produksi yang akan datang: Ateng Minta Kawin (maklum, Bing lagi "sibuk" dirawat). Jika diingat kembali film pertama Bing-Eddy-Iskak-Ateng kegembiraan Eddy Sud bisa dimengerti. Film itu, Bing Slamet Setan Jalanan, memang cukup sukses menurut hitung dagang. 

Hasmanan, yang menyutradarai film ini, bahkan sampai sekarang masih tetap menganggap Setan Jalanan sebagai "ijazah"nya untuk mendapatkan kepercayaan dari para produser. Setelah berkali-kali tidak berhasil membuat film yang banyak rezeki, Hasmanan tiba-tiba merasa ketiban pulung ketika Safa-i Film dengan Setan Jalanan sibuk menghitung laba. Meskipun demikian, dari segi mutu film komedi, Hasmanan di situ agaknya tidak terlalu berhasil: sutradara yang banyak membaca ini rupanya takdirkan untuk menanjak dengan film Rio, Anakku -- dan film-film larisnya yang kemudian memang bukan film lelucon. Barangkali karena buat komedi yang enak, Setan Jalanan agak terlalu berat dibebani tugas lain: mendidik Film komedi Indonesia pertama yang berwarna dengan layar lebar ini memang punya hubungan erat dengan instruksi Kopkamtib di iahun 1972 yang membubarkan gang-gang remaja -- para gondrong yang berganja-ganja & berkebut-kebutan di jalan raya. Melihat ini, PT Safari Sinar Sakti dapat ide: Setan Jalanan, menurut Bucuk Suharto, ialah "untuk membantu usaha pemerintah sambil juga menghibur masyarakat". Dan pemerintah memang dibantu dan masyarakat memang terhibur -- tapi untuk mendidik sembari melucu diperlukan teknik yang lebih halus daripada yang terasa dalam Setan Jalanan. Terutama bila dibandingkan dengan Koboi Cengeng. Film ini, meskipun ada juga menyentil dosa di masyarakat (uang suap, amplop), pamrih "pendidikan" nya tak menonjol. Tak terasa ada propaganda apapun, selain propaganda buat ha, ha, ha. 

Tampak lebih ada keleluasaan seni melucu di dalamnya. Mungkin ini karena Koboi ringan tanpa beban, mungkin pula karena Nya' Abbas Akub yang pendiam itu punya kecenderungan untuk tidak perlu berteriak dalam menggurui ataupun dalam menarik ketawa (lihat: "Lelucon Saya Tidlk Fisik"). Itu tidak berarti bahwa Koboi Cengeng hanya punya humor aristokrat. Sebagaimana Asrul Sani pun masih mempergunakan teknik lelucon sandiwara populer dalam komedinya Jembatan Merah (Raden Mochtar terjatuh waktu mau duduk, karena kursinya ditarik), Nya' Abbas juga bersedia untuk kompromi dengan selera penonton -- yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat. Maka ini adalah langkah keduanya setelah A.M.B.l.S.I. (dapat penghargaan dalam FFI 1974 untuk komedi), dan barangkali suatu koreksi terhadap "kegagalan Komersiil" filmnya Matt Dower (1969). Beralih Ke Atas Dan jika pembicaraan tiba pada soal 'kompromi", Nya' Abbas -- sebagai sutradara didikan Perfini -- bisa mengungkapkan pengalaman yang cukup penting. Konon almarhum Usmar Ismail, yang mempelopori masuknya para seniman dan intelektuil ke dalam dunia film di awal tahun 50-an, telah bertekad untuk tidak membikin film yang hanya mau menyenangkan masyarakat untuk dapat duwit mereka. "Anda harus ingat, waktu itu film India dan Malaya merajai pasaran di negeri kita", cerita Nya' Abbas. Dan sebagai lazimnya corak film impor yang merajai pasaran itulah yang menjadi contoh soal bagi pmbuatan film nasional. Tapi, sambung Abbas pula, "ketika Golden Arrow masih membikin film dongeng macam Pangeran Hamid, Bawang Merah Bawang Putih, kita di Perfini sudah tertarik pada neo-realisme Italia". Sayang, uang yang dipertaruhkan oleh Usmar dalam cita-citanya yang mulia itu akhirnya toh juga uang yang harus tunduk pada adat istiadat perdagangan, yang antara lain harus tunduk pada hukum permintaan dan penawaran. Walhasil, Usmar dengan Perfininya terpaksa mundur selangkah dan berkompromi. Dan lahirlah film-film macam Heboh (Cepot & Udel), Tiga Buronan, Juara Tahun Enam Puluh dan sebagainya. Ternyata film-film tersebut menghasilkan uang yang lumayan kepada Perfini, meskipun apa yang sebenarnya mereka sebut dengan "kompromi" itu tidak lain dari "mengisahkan hal sebenarnya yang ringan-ringan yang mudah dicerna publik". Kompromi gaya Perfini yang tetap menghasilkan film bermutu ini rupanya masih tetap dihayati oleh Abbas Akub hingga sekarang. Justeru dalam keadaan masyarakat sedang berubah. Menurut pengamatan sutradara ini, "pengunjung bioskop sekarang ini sudah beralih ke atas". Maksudnya, "kalau di awal tahun lima puluhan yang banyak mengunjungi bioskop adalah para pegawai negeri, tukang becak anak-anak sekolah, maka sekarang ini mereka itu -- akibat penghidupan ekonomi yang merosot -- telah digantikan oleh kelas yang leih atas". Karena itulah pada dasarnya Abbas Akub tidak terlalu merasakan kesukaran untuk kompromi sekarang ini, jika dibandingkan dengan apa yang harus ia lakukan di awal tahun limapuluhan. "Sekarang ini kita tidak perlu turun ke bawah lagi. Tingkat inteligensi penonton kita berada setaraf dengan intelegensi pembuat film", katanya. Berdasar pada konsepnya itulah maka Abbas menuliskan skenario dan menyutradarai Koboi Cengeng dalarm suatu kerangka lelucon yang lebih subtil dari film-film komedi lainnya yang kini juga membanjiri Indonesia. Abbas yang mengaku tidak suka membuat lelucon fsik itu menciptakan sejumlah lelucon yang bertali-temali dengan kehidupan sehari-hari kita. Lelucon-lelucon yang demikian ini memang tidak dibuat selesai. Sebab pengetahuan penonton mengenai satu perkara yang jadi sumber lelucon itu sendirilah yang bakal merampungkan dan sekaligus melahirkan gelak ketawa. Dalam film Koboi Cengeng contoh yang plastis adalah amplop sumbangan Iskak kepada kepala suku Indian yang lagi menyunatkan anaknya. Sumbangan itu tidak bisa disebutikhlas karena dalam beberapa detik saja,ia sudah mengemukakan maksudnya mohon bantuan untuk menghadapi gerombolan bajingan Cicak bin Kadal. Bagi mereka yang tahu persoalan yang sering timbul di sekitar wartawan amplop (tokoh Indian kebetulan dimainkan oleh seorang wartawan), adegan kecil itu sudah merupakan sumbu besar untuk sebuah ketawa gerr. 

Senen Kliwon Lelucon seperti itulah barangkali yang dimaksudkan Abbas ketika ia berbicara tentang "lelucon yang tidak fisik, lelucon yang hanya menggelitik". Kenyataannya, lelucon yang demikian adalah lelucon yang konotatif, karena itu diperlukan pengetahuan dan pengalaman tertentu untuk menikmatinya. Mereka yang tidak pernah berkenalan dengan STNK, SIM dan segi-tiga pengaman tentulah tidak bisa menikmati adegan dengan perlengkapan tersebut dalam Koboi Cengeng. Di sini kelihatan bahaya komersiil lelucon demikian dalam berhadapan dengan publik yang luas dan berbeda-beda daya tangkapnya. Bagian pertama adegan 77: Beberapa bandit menyambut Eddy dengan segan. Eddy menemui Koboi berjenggot. Koboi enggot: Pak Cicak . . . Eddy: Goblok kamu. Kenapa kamu bertindak tanpa menunggu instruksi saya. Koboi: Tapi waktu itu bapak bilang hari Senen suruh bertindak. Eddy: Bukan Senen ini. Ini kan Senen Wage, sedang saya bilang Senen Kliwon. Barangkali hanya orang Jawa dan sejumlah kecil orang yang tahu kalender Jawa yang mengerti kelucuan adegan tersebut. Untungnya jumlah orang Jawa dan mengerti Jawa (termasuk Nya' Abbas, biarpun dia Aceh) di negeri ini cukup berjubel, lelucon madu ini masih punya potensi komersiil. Entah di Malaysia, apalagi Thailand. Tidak semua produser suka mentolerir sutradara macam Abbas Akub ini, terutama setelah Matt Dower dituding sebagai "film seni, tapi tidak komersiil". Jauh setelah Perfini sukses dengan komedi-komedi halusnya di tahun 50-an, komedi-komedi berwarna Indonesia yang bermula dengan sing Slamet Setan Jalanan masih saja melanjutkan kebiasaan komedi kasar yang selesai dan amat fisik. Pengalaman menunjukkan bahwa dalam hal seperti ini orang tidak bisa seluruhnya menyalahkan pemilik modal. Kemampuan & kebebasan sutradara juga harus diperhitungkan. Demikianlah Setan Jalanan, sekedar mengulangi pola banyolan "berkonyol-konyol" Kwartet Jaya -- yang sudah sering memenuhi acara TV. 

Di sana tidak ada ruang tersisa bagi imajinasi penonton, sebab semua lelucon yang dibuat adalah banyolan yang selesai. Kelucuan dipetaruhkan bukan pada keseluruhan suasana film, tapi secara fragmentaris: pada tatarias, pada gerak aneh di sana-sini. Secara komersil, kelihatannya yang demikian hebat, sebab ia bisa menjangkau penonton yang banyak. Tapi kalau benar pengamatan Abbas mengenai penonton yang menggeser ke atas, bisa dimengerti kalau karya Hasmanan yang membuka seri Bing Slamet itu terpaksa mengaku kalah pada hasil kerja Nya' Abbas Akub baik mutu maupun uang yang dihasilkan. Masih seri "Bing Slamet", Motinggo Boesye muncul dengan cerita Bing Slamet Dukun Palsu. Nama-Boesye dan komedi bagi peminat kesusasteraan Indonesia adalah dwi-tunggal yang sulit dilupakan. Semasa jadi penulis drama Boesye adalah yang terbanyak menghasilkan cerita komedi. Drama-dramanya yang mendapatkan ilham dari komedi-kcedi Anton Chekov itu tidak pula jelek. Anehnya, karya Boesye dalam seri "Bing Slamet" adalah yang terjelek. Dalam suasana perdukunan seperti sekarang ini, cerita ciptaan Kwartet Jaya itu sungguh merupakan materi yang amat baik bagi seorang penulis skenario dan sutradara yang kreatif. Apa yang dilakukan Boesye tidak lebih dari mengikuti kemauan kawanan pelawak tersebut, dan hasilnya memang pengulangan hambar dari sejumlah lawakan TV Kwartet Jaya. Dari segi tema -- sebagai juga Hasmanan Boesye tentu saja bisa berbangga telah menghasilkan sebuah karya dengan tema anti-pedukunan dan anti-klenik. Tapi kalau pedukunan yang dihancurkan, nampaknya sia-sia. Sebab yang dibikin Boesye lebih kurang cumalah dukun menurut imajinasi orang kota yang sebagian besar hidupnya diurus oleh dokter praktek umum. Orang Bunting Di tempat lain adalah sutradara Nawi Ismail. Pembuat film yang populer dua seri Si Pitung ini, sejak tahun limapuluhan kabarnya memang terkenal sebagai pembuat komedi. Tidak pernah Nawi membuat film dengan PT Safari, karena itu ia tidak terlibat dalam pengulangan lawakan Kwartet Jaya.

Tapi justru karena itu Nawi Ismail malah makin bebas cuplik kiri kanan, mulai dari lawakan Costello hingga banyolan Jerry Lewis. Bukan cuma itu. Sebagai sutradara yang menilai penonton sebagai "orang yang selalu pingin disuguhi hingga kenyang dan perut membuncit Nawi juga tidak tanggung-tanggung dalam menciptakan lawakan-lawakannya. Orang bunting sekalipun jadi materinya. Demikianlah maka kejadian lahirnya seorang manusia masih juga sempat dijadikan bahan tertawaan oleh Nawi dalam Benyamin Brengsek ketika si tukang becak konyol (Benyamin S) yang membawa perempuan hamil tua (Conny Suteja) mengalami kecelakaan. Adegan-adegan kasar dan klise misalnya kue yang dilempar ke muka, orang jatuh ke dalam kolam lawakan ala Johny Walker dari India, lelucon babu & jongos yang lazim dalam film-film Indonesia tahun 50-an penuh bertaburan dalam karya Nawi anak Betawi ini. Dari seri Benyamin yang betul-betul mengingatkan lawakan dan lelucon India adalah film Benyamin Si Abunawas. Cerita dan skenario ditulis oleh Tindra Rengat. Orang akan mengalami kesulitan untuk mencari hubungan antara jalan cerita dan judul Abunawas. Tokoh 1001 malam itu terkenal cerdik, sehingga raja sekalipun bisa diperdayakannya. Tapi Benyamin dalam film ini bermain sebagai orang bego, sekaligus sebagai tokoh orang kaya. Bisa ditebak bahwa Benyamin memainkan peranan ganda dalam tontonan produksi PT Dipa Jaya Film ini. Tidak salah lagi, suatu hal yang lazim ditemukan dalam film-film India. Sayangnya pengaruh film dari anak benua Asia itu tidak dicernakan dengan baik kecuali mengutip bagian-bagian yang diperkirakan bisa menghasilkan uang saja. Selain mengulangi lawakan-lawakannya dalam film-film sebelumnya, Benyamin juga mendapat beban menyanyi untuk lebih mengkomersilkan tontonan ini. 

Kabar angin memang menyebut film ini cukup menghasilkan uang, meskipun mengalami kesukaan untuk mendapat kesempatan muncul di bioskop-bioskop Jakarta. Masalahnya sudah tentu bagaimana memperkirakan tingkat selera humor para penonton umumnya. Takut mengambil risiko akan tidak laku, biasanya para produser atau sutradara tampak mengambil ancang-ancang untuk menjangkau lapisan masyarakat terbesar -- dengan membayangkan bahwa mereka ini hanya bisa menelan lelucon yang elementer dan tidak berkembang. Kenyataan bahwa dagelan Mataram, lenong, ludruk dan grup Srimulat bisa digemari rakyat banyak tanpa menjadi kasar dan begitu-begitu saja, rupanya tidak masuk hitungan. Agaknya bisa dikatakan, bahwa banyak film lelucon Indonesia menampilkan daya humor yang mandul dibanding dengan para pelawak lokal itu. Kegemukan tubuh Ratmi masih terus saja dipakai buat memancing ketawa dalam kontras dengan si kurus Sam Harto. Atau si Ateng seolah-olah hanya bisa lucu karena ia pendek (Koboi Cengeng masih memanfaatkan faktor ini sedikit: Ateng naik kuda pakai tangga khusus -- tapi kali ini tak ada ejekan verbal dari Iskak. Bahkan di samping soal bentuk tubuh yang tak cukup bisa jadi sumber variasi lelucon itu, terkadang ditampilkan soal kentut atau air seni. Saking kepingin mencari tawa & laba, lelucon hanya berkisar antara yang goblog dan yang konyol, yang jorok dan yang tolol. Sontoloyo Puncak dari pola itu barangkali tercapai secara lengkap dalam pembuatan film Paul Sontoloyo. Ia dibintangi Krisbiantoro, yang entah kenapa bersedia main dalam film ini sementara ia uring-uringan. Adapun film ini ditulis dan disutradarai oleh Cabin Joe, yang kartu namanya penuh dengan keterangan tentang kebolehannya. Meskipun begitu bahasa yang dipakai skenario adalah masih "bahasa Keng Po", kata Krisbiantoro. Maklumlah, Cabin Joe (65 tahun) yang berdomisili di Hongkong itu telah meninggalkan Indonesia 20 tahun yang lalu. 

Tentu saja ia kalangkabut menggambarkan Indonesia sekarang. Menurut yang dikemukakan Krisbiantoro, "Ia menggambarkan orang-orang Indonesia bodoh-bodoh, masih percaya dukun, suka berak di pinggir kali, percaya pada gunung-gunung suci, menyembah kambing. Pokoknya menggambarkan Indonesia seenaknya saja". Walaupun soal percaya dukun dan soal di pinggir kali memang masih umum di sini, toh Kris naik pitam, "Rasa kebangsaan saya jadi meledak". Mungkin bukan rasa kebangsaan yang terutama meledak, tapi rasa humor yag sehat. Krisbiantoro sendiri cukup punya "rasa" itu, maka ia berang karena skenario Sontoloyo ini. Contoh: Life music: Music perkawinan. Paul terkejut melihat naga menyembur air, naga sedang menyembur air dari hidungnya. = Paul merasa geli melihat (naga) tersebut, dari geli jadi histerious sampai ingin kencing, ia berbalik ke belakang (away camera) buka celana dan kencing saja. = Kencingnya (Paul) nyembur seperti naga = Kencingnya Paul menyiram mukanya si penggotong Paul. Nampak mukanya si penggotong itu jadi lucu, karena asin dan baunya kencing Paul. Krisbiantoro, yang bermain sebagai Paul, mengaku kepada Mansur Amin dari TEMPO bahwa ia harus melakukan adegan kencing sampai 2 x. Yang satu lagi, katanya, malahan harus mengencingi muka Ratmi Bomber. Karena protes Krisbiantoro, adegan mengencingi muka Ratmi terpaksa dibatalkan. Tapi Cabin Joe tidak kehilangan akal. Dengan segera diciptakan adegan baru di mana Krisbiantoro harus meniup kondom sebagai ganti balon. "Tidak benar itu", bantah Darwin, produser eksekutif film tersebut. Tapi Krisbiantoro dengan cepat membantah pula "Bagaimana tidak, saksi banyak, kok Lha terang kelihatan kondom disobek dari pembungkusnya, masih berminyak dan saya harus meniupnya", gerutunya kepada Mansur Amin yang mengunjungi tempat lokasi di Toserba Sarinah pekan silam. Entah nasib apa yang menanti film Sontoloyo ini nanti. Skenarionya sudah lolos dari "pemeriksaan" Direktorat Film, pembikinan sudah mulai, tapi kekesalan Kris tak disembunyikannya Cabin Joe sendiri kabarnya terpaksa berisirahat selama 4 bulan di Hongkong -- ia sakit hernia. Produser yang tidak ingin membiarkan modalnya terendam, dengan segala daya membujuk asisten sutradara (yang ternyata juga orang baru) untuk melanjutkan pembuatan film. Mungkin bila kelak selesai dan beredar di pasaran, Sontoloyo akan jadi salah satu contoh bagaimana film lawak Indonesia dewasa ini telah berkembang: Sikap gampangan dalam membuat film bagaimanapun juga tampaknya masih tetap bisa berlaku di Indonesia. Demikian juga sifat latah. Kabar angin yang terdengar sampai di kantor PT Safari Film pekan silam misalnya menyebut adanya sebuah perusahaan film yang akan membuat film koboi, setelah Koboi Cengeng sukses. "Boleh saja" kata Bucu Suharto, "kami tak berkeberatan, asal baik". Tentu saja boleh tidaknya dan baik-tidaknya bukan Bucu Suharto yang menentukan. Tapi syarat "asal baik" memang layak dikemukakan, supaya yang lahir bukanlah film "asal jadi". Sebab sementara membanyaknya film komedi memungkinkan penemuan bakat-bakat baru di samping Kwartet Jaya dan Benyamin, bisa juga nasib buruk berbalik: orang merencanakan membikin film komedi, tapi karena cara kerjanya aneh, hasilnya hanya tragedi. Pertama kali tentu tragedi buat produser, kemudian tragedi buat kwalitas dan pasaran film komedi Indonesia seterusnya.