Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Krakatau. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Krakatau. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Juli 2020

SERANG - LEBAK - CILEGON - BANTEN BIOSCOOP

Serang sebagai wilayah Keresidenan Banten sangat ramai. Masa itu, ada sekira 40 persen orang China, 15 persen orang Belanda, dan palancong lainnya. Peluang dibaca dan masuk sebagai strategi pemerintah kolonial dalam menompang investasi pembangunan ekonominya.

Pemerintah pada masa itu menganggap, orang-orang yang lelah berdagang atau bekerja pasti membutuhkan ruang hiburan. Karenanya, perlu wadah sehingga perputaran ekonominya tidak keluar daerah.

BANTEN

BIOSKOP PELITA


Dibangun sekira tahun 1920-an. Dugaannya berdasar arsitektur bangunannya. Juga beberapa arsip dalam pemberitaan di koran De Banten Bode dan koran-koran lokal masa itu.

Pada masa pemerintah kolonial, gedung Pelita bernama Teater Banten. Tempat pertunjukan atau opera yang dibangun pengusaha Tionghoa. Status Banten sebagai residen jadi alasannya. Gedungnya menunjukkan ruang ekspresi budaya. Tak heran, pemerintah Hindia Belanda mewajibkan adanya gedung pertunjukan. Baik dikelola swasta atau pemerintah. Untuk kepentingan, mempropagandakan budaya Belanda. Lalu, menjaga perputaran ekonomi agar tidak keluar daerah. Terlebih, masa itu banyak pegawai dan pedagang tinggal di Serang. Dalam aktivitas yang padat, mereka butuh saluran hiburan. “Fasilitas itu akan membuat ekonomi berputar di tempat,” Yang tidak kalah penting, gedung pertunjukan menjadi arena mengekspresikan budaya. Menjadi saluran merawat dan mengembangkan budaya anak bangsa. Dan, Banten adalah tempat persemaian budaya dari berbagai belahan dunia. “Gedung pertunjukan bagi sebuah kota itu wajib, sebagai sarana ekpresi budaya,”

Bahkan sejak masa Sultan Banten, ruang pertunjukan sudah berkembang. Tempatnya di panayagan (tempat bermain musik) di pelataran Surosowan. “Dari situ banyak kisah tentang kesatria yang menjadi cikal bakal pendidikan karakter,”

Saat film mulai menggeliat di era 1932, Banten Teater difungsikan juga sebagai bioskop. Tak hanya tempat pertunjukan, film-film dari Eropa pun mulai diputar. “Banten Teater itu tontonan kelas bangsawan Eropa,”

Pemutaran film dan pertunjukan sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, gedung Banten Teater dijadikan tempat tahanan politik dalam kurun waktu 1942 sampai 1945. Era itu, masa memudarnya bioskop dan tempat-tempat pertunjukan.

Bioskop kembali beroperasi pada tahun 1953. Hanya saja, sudah berubah dengan nama dari Teater Banten menjadi Banten Park. Sebelum menjadi Pelita, nama Banten Park dan Sampurna lebih dahulu digunakan.    
          
Baru sekira tahun 1960-an, nama Pelita resmi disematkan hingga tutup pada 1997-an. Tak hanya bioskop, pada tahun 1973, Pelita punya sarana bagi kawula muda bermain bola sodok.

Kisah Bioskop Merdeka juga familier di kalangan masyarakat Kota Serang. Bioskop itu berdiri selang lima tahun dari berdirinya Pelita. Mulanya bernama Royal Park. Senasib dengan Teater Banten, gedungnya juga pernah dijadikan rumah tahanan orang Australia hingga Jepang tunduk kepada sekutu.

Gedung yang konon awalnya dijadikan tempat opera itu tak jauh dari jalan raya. Hanya seratus langkah untuk berdiri di muka gedung. Tepatnya, di gang Jalan P Purbaya, belakang Pasar Swalayan atau Departemen Store Serang, Pasar Lama, Kota Serang. “Sudah lama tutup, hampir dua tahun,”

Mengenang seputar masa-masa gedung Pelita sebagai tempat melepas penat warga. Dari sekadar nongkrong, nonton film, sampai bermain biliar atau bola sodok.

gedung Pelita beberapa kali berganti nama. Mulai dari Banten Teater, Banten Park, Sampurna, hingga Pelita, hingga Pelita. “Tahun 1997-an sudah mulai tutup. Enggak dipakai lagi,”

“Dulu tiketnya mulai Rp50 sampai paling mahal Rp200,”
Di samping kanan dan kiri ruang bioskop terdapat anak tangga. Bioskop Pelita dibagi menjadi dua kelas. Kelas I, dengan kursi kayu panjang tiga saf berjajar. Posisinya tepat berada di depan layar. Sedangkan kelas balkon, posisinya berada di atas dekat proyektor. Dalam sehari, hanya satu film yang diputar. Kecuali pada akhir pekan, yang biasanya juga memutar film malam.

“Macem-macem filmnya. Ada film kolosal Spartakus dan film Indonesia seperti Panji Tengkorak. Macam-macamlah,”

Konon, pengusaha Tionghoa muslim yang mendirikan gedung itu. Bioskop Merdeka kelasnya di bawah Banten Teater. Di masa kolonial, di gedung bioskop inilah masyarakat pribumi bisa menikmati film. Juga melakukan pementasan pertunjukan atau opera pada masa itu.

Sayang, nasib Bioskop Merdeka lebih tragis. Tak ada jejak bangunannya yang bisa ditelusuri. Pada 2004, gedung diratakan dengan tanah. Sekarang, hanya ruko-ruko yang berjajar yang berlokasi di kawasan Royal, Kota Serang itu.

Tak jauh dari bekas gedung Bioskop Pelita, juga berdiri bekas gedung Bioskop Plaza Serang. Jaraknya sekira 200 meter dari gedung Pelita, di Jalan Maulana Hasanuddin, Pasar Lama. Bioskop itu, berdiri di lantai dua Plaza Store. Kabarnya, bioskop mulai beroperasi tahun 1980-an dan tutup tahun 1998.

Jejak bangunannya masih terlihat kasat mata. Hanya saja, menjadi ruang kosong tanpa penghuni. Beberapa ruko di bawahnya masih digunakan untuk berdagang. Namun, tampak tak beraturan. Kumuh dan jauh dari kesan rapi, apalagi bersih.

Selain tiga bioskop itu, Bioskop Dewi di Kedalingan melengkapi cerita kisah bioskop di Kota Serang. Nasibnya sama dengan Bioskop Merdeka, tanpa jejak artefak bangunannya.

Bioskop Dewi berdiri tahun 1960-an. Lebih awal daripada Bioskop Plaza Serang. Informasinya, tempat nonton film itu tutup bersamaan permindahan Terminal Kedalingan ke Ciceri, sebelum akhirnya terminal dipindahkan lagi di Pakupatan hingga sekarang. “Dampak dari itu, orang ke bioskop sepi. Bioskop tutup lebih awal sekira 80-an,”

BIOSKOP MERDEKA


Hindia Belanda itu. Padahal, kawasan Royal tidak lepas dari namanya. Royal Park yang pada tahun 1953 berubah nama menjadi Bioskop Merdeka. Bioskop dibangun pengusaha muslim Tionghoa. Sebagai media hiburan warga pribumi. Pemberitaan koran De Banten Bode menyebut, bioskop berdiri lima tahun pasca Banten Teater (Bioskop Pelita) yang dibangun sekira 1920-an.

Tak hanya tempat hiburan, bioskop itu memberikan kontribusi nyata bagi pendidikan. Penyandang dana pengembangan Holland Indlands School (HIS) met de Koran Kaloran Serang. Sekolah itu dirintis Perhimpunan Tirtayasa pada 1931. 

Tepatnya, pada Juni 1934. Perkumpulan drama Darnalella menggelar malam pertunjukan di Royal Park. Hasil penjualan karcisnya disumbangkan sebagai kas HIS Tirtayasa. Konon, penontonnya membeludak. Mereka datang dari berbagai daerah di luar Serang.

Perkumpulan Tirtayasa sebagian anggotanya orang Banten yang tinggal di Batavia dan Bandung. Pemilik Royal Park masuk Perkumpulan Tirtayasa. Pemilik Royal Park turut mempedulikan pendidikan untuk pribumi. “Hasil dari bioskop sebagian untuk pembangunan sekolah,”

Pada buku Banten dan Sejarah Pembaratan Sejarah Sekolah 1833-1942 karya sejarawan Mufti Ali tercatat, gedung sekolah itu hibah pengusaha Tionghoa Serang, Lie Soe Foeng. Gedung sekolahnya bekas tempat tinggal keluarga Lie. Sebelum akhirnya pindah ke Batavia setelah agresi militer Belanda.
 
Senasib dengan Banten Teater, Royal Park tutup saat pendudukan Jepang. Bekas gedung bioskop menjadi rumah tahanan tentara sekutu. Gedungnya kembali difungsikan pada 1953. Dan, resmi menyandang nama Merdeka. 

“Banyak film India, Arab, dan Mesir di bioskop ini,”

Film Arab Umi Kulsum, Hamzah, jadi yang favorit masa itu. Kata Yadi, banyaknya film dan lagu Timur Tengah hingga 1963, berpengaruh pada bacaan arab di Banten. Masyarakat berbondong-bondong mengubah sistem nada pembacaan dari langgam Jawa menjadi langgam Arab. “Termasuk sejarah MTQ mulainya dari film-film dan lagu itu,” 

Bioskop Merdeka mulai meredup di era 1980-an. Hingga akhirnya tutup pada 1997-an. Puncaknya, ketika gedungnya rata dengan tanah pertengahan tahun 2004. Peristiwanya tercatat dalam pemberitaan media lokal Banten. Salah satunya edisi September Radar Banten.
Secara beruntun Radar Banten menurunkan peristiwa pembongkaran gedung cagar budaya di Serang ini. Pada 10 September dengan judul Bangunan Bersejarah Rata dengan Tanah, Kantor Purbakala Kecolongan. Berita berikutnya dengan judul Riwayat Bioskop Merdeka yang Rata dengan Tanah.

Gedung bioskop itu menyimpan banyak hal. Secara sosio kultural, Malik menyebut sebagai jejak awal modernisasi di Serang. Sekaligus tanda munculnya sejarah perkotaan.

Apalagi, sebutan Royal sebagai kawasan niaga, berawal dari Royal Park atau Royal Room. “Hancurnya Bioskop Merdeka adalah malapetaka sejarah. Kota Serang menjadi ahistoris. Disbudpar dan DKB ikut andil hilangnya jejak sejarah itu,”

Bioskop Bhumiyamka atau dikenal dengan Bioskop Bumex. 
Bioskop ini kerap paling sering memutar film-film Billywood yang pada saat itu sedang berkibar. Letaknya di Jl. Raya Serang (sekarang jadi Jl. Merdeka) di Kampung Gerendeng.


CILEGON
Salah satu tempat yang banyak dikunjungi pasangan muda mudi atau keluarga pada malam minggu adalah bioskop yang terdapat di lantai dua sebuah mall di lingkungan Sukmajaya, Cilegon.

Selain bioskop tersebut, ternyata di Kota Cilegon pernah beroperasi tiga bioskop lainnya, yakni: Bioskop Apollo, Krakatau Ria (KR) dan Cilegon Theatre.


BIOSKOP APOLLO
Khusus mengenai Bioskop Apollo adalah bioskop pertama dan tertua di Kota Cilegon. Terletak di Jl. Bioskop Apollo, Kampung Baru, Jombang Wetan atau di belakang SMP Negeri 1 Cilegon.



Di masa kejayaannya di tahun 1980an, Bioskop Apollo ini memberi gengsi tersendiri bagi mereka yg pernah datang menonton. Terlebih jika bisa duduk di kursi balkon (VIP).

Beberapa film yang diputar di bioskop ini yang dibintangi oleh aktor laga Barry Prima dan Advent Bangun, seperti: Jaka Sembung Sang Penakluk, Nyi Blorong, Pasukan Berani Mati, Si Buta Lawan Jaka Sembung, Nyi Ageng Ratu Pemikat, Jaka Sembung Vs Bergola Ijo, Golok Setan, Bajing Ireng & Jaka Sembung, dsb.

Selain film laga, ada juga film bertema Romantis Narsis yang dibintangi oleh Rhoma Irama, antara lain: Oma Irama Penasaran, Gitar Tua, Begadang, Berkelana I, Berkelana II, Perjuangan dan Doa, Satria Bergitar, Kemilau Cinta di Langit Jingga dan Dawai 2 Asmara.

Atau beberapa film Bollywood yang dibintangi oleh aktor jadul Amitabh Bachchan, Sri Devi, Jaya Prada, Sadashiv Amrapurkar, Anil Kapoor, Amrish Puri, seperti: Saat Hindustani, Barsaat Ki Ek Raat, Roti, Kapda Aur Makaan, Inquilaab, Shakti dll.

Salah satu hal unik yg pernah ada di bioskop Apollo ini yakni dalam event tertentu, dengan beberapa lembar bungkus kosong rokok kretek Djarum Cokelat kita dapat menukar dengan tiket tanda masuk untuk menonton.

Namun kini Bioskop Apollo tinggal kenangan.

PADA ERA tahun 80 hingga 90-an, Bioskop Apollo yang berada di Kampung Baru, Kelurahan Jombang, Kecamatan Jombang Kota Cilegon, merupakan bioskop yang amat terkenal di kalangan warga Cilegon. Terutama saat perayaan lebaran Idul Fitri tiba, bioskop tersebut amat ramai menjadi hiburan rakyat dengan menonton film.

Tapi siapa yang tahu, ternyata di bangunan yang kini tidak terpakai lagi itu adalah bekas makam kuburan orang belanda yang meninggal di Kota Cilegon, hingga bioskop itu dibangun kuburan tersebut tidak dipindah.

Gedung bioskop tersebut dibangun sekitar tahun 70-an, dimana sebelumnya saya sebagai penulis pernah bersekolah di sekolah dasar (SD) Mardiyuana (1966) yang kini telah menjadi SD Negeri 7 Kota Cilegon. Setiap pulang sekolah selalu melewati makam tersebut, karena gedung SD tempat sekolah berseberangan dengan makam belanda yang kini menjadi gedung tidak terpakai Ex bioskop Apollo.

Diceritakan Nenek saya, yang merupakan keturunan pejuang Geger Cilegon, Haji Akhiya, bahwa kuburan tersebut bernama kuburan Kerkhoff atau kuburan khusus bagi orang Belanda.

Mengapa di Kota Cilegon ada kuburan orang belanda? Hal ini dikarenakan pada masa lalu Cilegon menjadi pusat pemerintahan afdelingen sehingga merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, baik bangsa Eropa maupun pribumi. Maka sangat wajar jika di Cilegon terdapat tempat pemakaman bagi orang-orang Eropa di era pemerintahan kolonial Belanda.

Begitu juga ketika terjadi peristiwa Geger Cilegon 1888, dan semua pejabat pemerintah Belanda yang mati dibantai dikuburkan di tempat itu juga. Diantaranya Asisten Residen Gubbels beserta istri dan kedua anaknya, Kepala Penjualan Garam Ulrich Bachet, Juru Tulis kantor asisten residen Hendrik Francois Dumas, dan Kepala Pemboran J. Grondhout.

Kemudian sebagai penghormatan kepada mereka yang menjadi korban pada tragedi berdarah 9 Juli 1888, Residen Banten pada masa itu membangun monumen peringatan berupa tugu, yang tujuannya agar sanak sodara beserta anak keturunanya kelak dapat datang dan berziarah ke Cilegon.

Namun ketika bioskop Apollo dibangun di bekas lahan pemakaman itu, semua kuburan diratakan dan tugu peringatan itu pun dibongkar tanpa sisa.

Sejak saat itu, setiap malam selalu terdengar orang yang bercakap-cakap. Kebetulan Jarak dari rumah saya memang tidak terlalu jauh, sekitar 10 menit berjalan kaki ke Selatan dan menyebrang jalan raya Cilegon-Serang, namun masa itu tidak seramai seperti sekarang.

Pada suatu hari, sehabis Isya saya berangkat kesana, tapi tidak mendatangi loket penjual karcis karena memang saya tidak bawa uang. Tentu saja tanpa pamit pada orang tua, sebab tak mungkin mengizinkan anaknya yang masih kelas 5 SD pergi sendiri ke gedung bioskop, terlebih lagi pada malam hari.

Di bagian kanan gedung bioskop Apollo terdapat sebuah selokan atau got yang ukurannya cukup besar, apalagi buat badan saya yang cilik kentring. Sepanjang permukaan selokan itu ditutupi oleh papan-papan sehingga orang bisa berjalan di atasnya. Karena saya ingin sekali mengetahui apa yang ada di dalam, maka tanpa pikir panjang saya langsung masuk ke dalam selokan melalui ujung bagian depan gedung dan muncul di bagian dalam sana.

Pada saat memasuki selokan, saya berjalan tanpa menyentuh permukan air kotor. Namun dengan cara menapakan kedua belah kaki dan tangan pada kedua sisi tembok selokan yang mempunyai kemiringan tiga puluh derajat.

Dalam keadaan gelap dan pengap, perlahan tapi pasti saya terus bergerak menelusuri selokan itu menuju seberkas sinar yang tampak di ujung sana. Samar-samar terdengar suara jerit dan teriakan yang sangat mengerikan. Saat itu saya memang tidak merasa ketakutan karena memang tidak mengetahui kalau tempat ini bekas kuburan.

Apalagi kisah tragis yang menimpa anak Asisten Residen. Elly dan Dora, gadis kecil, yang mati dicincang dan kepalanya pecah setelah dihajar oleh batu besar. Mereka meregang nyawa, ketika gerakan perlawanan yang dipimpin oleh para kiyai dari seantero Banten meletus, yang kemudian dikenal dengan istilah Geger Cilegon 1888. Andai saja saya sudah mendengar cerita tragis tentang peristiwa itu, pasti merinding dan saya juga tidak berani masuk ke tempat dimana mereka pernah dikuburkan.

Namun di masa kini, peristiwa sejarah terutama keberadaan kuburan belanda sudah tidak ada yang tahu, sehingga saya menulis kisah ini untuk mengingatkan kembali kisah perjuangan para pahlawan Geger Cilegon yang telah gugur demi merebut kemerdekaan, namun sayangnya jasa-jasa mereka kini terlupakan.

Ada pepatah yang mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa-jasa para pahlawannya. Dalam tulisan ini kita bisa melihat bagaimana bangsa Belanda menghormati jasa para pahlawannya yang meninggal dalam tragedi berdarah dengan membangun sebuah tugu, yang pada setiap sisi-sisinya bertuliskan nama-nama mereka yang meninggal dalam tugas.

Namun, apakah bangsa kita juga sudah berbuat hal yang sama bagi para syuhada yang gugur dalam perjuangannya dalam menumpas penjajahan Belanda


LEBAK

Antara Lebak, Rangkasbitung, dan film Lebak Membara.

filem Lebak Membara. Filem itu diputar di sebuah bioskop bernama Apollo. Terletak di sisi selatan pasar Rangkasbitung. Kini gedungnya sudah tak berbekas karena sudah tergantikan oleh kawasan pertokoan. Usiaku sekitar 6 tahun memasuki kelas 1, Sekolah Dasar saat diajak bapak pergi menonton. Kebiasaan seorang bapak mengajak anaknya untuk menonton sudah sangat wajar di Rangkasbitung. Tempat yang dituju ialah bioskop kebanggaan masyarakat Lebak, Apollo namanya. Pengunjung yang berjejal antri karena banyak masyarakat yang mau menonton. Dan aku melihat jelas kumpulan orang-orang yang mengantri panjang menuju pintu masuk bioskop. Aku sendiri melihat di atas gendongan bapakku.


Kursi penonton yang terbuat dari kayu, aku dengan bapak mendapat kursi yang paling depan. Dengan jelas kami melihat layar berukuran sangat besar memantulkan cahaya putih. Tempat duduk yang leluasa dan bisa bersandar dengan bebas cukup nyaman untuk anak seusiaku. Sinar lampu proyektor mulai menyinari layar. Selang beberapa lama mulailah layar yang besar itu menampakan gambarnya. Suara penonton bergemuruh, bersorak, dan kegirangan karena filem yang akan diputar adalah filem tentang pemberontakan penduduk Lebak terhadap penjajah Jepang. Bapakku menuturkan dengan cakapnya saat itu. Syutingnya dilakukan di Lebak, sekitar wilayah Labuan. Bapakku menambahkan ia melihat sendiri bagaimana syutingnya. Ketika adegan pencopotan rel kereta api oleh para penduduk yang kelaparan, karena pada saat itu seluruh hasil pertanian diambil oleh penjajah jepang dan dibawa ke pusat, yaitu Jakarta untuk keperluan perangnya. Akibatnya para penduduk dan para petani jadi kelaparan dan mengakibatkan pemberontakan. Aku terbayang jika saat itu mereka semua berpura-pura. Ingatanku tentang filem itu pun selalu pada adegan tersebut.

Bapakku sering menceritakan adegan itu ketika berada di rumah, diulang dan diulang terus. Adegan tersebut begitu sangat mengharukan dan menyedihkan sekaligus juga membanggakan, ujarnya. Aku kira, saat kecil aku merasakan hal yang sama. Selanjutnya aku memastikan ke sebuah Sekolah Dasar yang seingatku mewajibkan menonton film itu. Sayang tidak ada banyak keterangan yang didapat. Ibu guru Yani (45) salah satu guru sekolahku. Dari hasil obrolan, hanya didapat pemaparan dan pembenaran tempat shooting filem itu di rumah tua milik Ibu Kania, di daerah Pasir Waru dan Kadu Agung. Selebihnya mereka menjawab lupa akan peristiwa yang mewajibkan anak muridnya menonton filem itu. Tetapi mereka paling tidak memberikan banyak petunjuk sederhana padaku.

Pertama kali aku menonton filem tersebut, aku baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, aku benar-benar tidak tahu sama sekali kalau sebenarnya filem itu ada kaitannya dengan sejarah tempat kelahiranku, Lebak saat pendudukan Jepang. Waktu itu, aku hanya ingin menonton aksi laga George Rudy, tokoh utama film Lebak Membara. George Rudy sebagai pemuda pemberani dari Lebak melawan penjajahan Jepang dengan peran sebagai Herman, pemuda yang gigih membela rakyat Lebak dari penderitaan serta penindasan dari tentara Dai-Nippon Jepang yang sangat kejam. Ia rela mengorbankan nyawanya demi membela tanah air yang dicintainya. Berikut kira-kira inti dari film Lebak Membara yang masih aku ingat, detailnya aku benar-benar sudah lupa karena memang sudah 25 tahun yang lalu.

Bintang film favoritku saat itu adalah Barry  Prima dan Advent Bangun.

Cuaca malam itu sangat dingin, hembusan anginnya yang kencang sewaktu-waktu membuat orang-orang  yang berada di sekitar lapangan alun-alun kota Rangkasbitung memeluk erat-erat lutut masing-masing. Berusaha mengusir rasa dingin yang menusuk kulit. Perkiraanku saat itu menunjukan jam tiga pagi. Keinginan yang besar beserta rombongan teman-teman dari kampungku rela berjalan sejauh satu kilometer demi menonton filem layar tancap di alun-alun kota Rangkasbitung.

Tiga minggu yang lalu aku menanyai rumah dinas yang terletak di samping Taman Makam Pahlawan. Maksud hati mendapat petunjuk lebih  jelas atau minimal mempertegas asumsi pengalaman lampau. Entah penampilanku yang tidak sopan atau mereka sedang sibuk rapat dinas. Aku hanya dilayani di pintu masuk saja. Dengan berat hati mereka tidak mengiyakan pengalamanku. Penelusuranku jelas tidak menghasilkan secuil keterangan, bahkan arsip tentang kegiatan tahun itu.

Kembali ke masa lampau, layar berukuran besar yang terbuat dari kain warna putih terbentang. Sesekali layarnya bergoyang-goyang karena terpaan angin. Pemutaran filem belum juga dimulai padahal ratusan orang sudah berkumpul di depan dan di  belakang layar yang ditancapkan. Aku lebih senang melihat dari arah yang terbalik karena takut akan terhimpit, di tengah alun-alun. Hampir semua orang yang ada di situ sengaja membawa selimut atau kain sarung untuk menutupi badannya dari hembusan angin malam yang dingin. Dengan bermodalkan kain sarung dan koran bekas yang aku bawa dari rumah aku berniat menonton filem-filem itu sampai habis. Dan biasanya alas itu sangat berguna jika aku sudah mengantuk ataupun kedinginan.

Menonton film Lebak Membara setidaknya akan menyeret aku pada masa kanak-kanak. Masa yang begitu menggairahkan bagiku. Apapun itu. Aku mau tahu, dan ingin sekali mencobanya. Di tahun 1989, genap umurku menginjak usia sembilan tahun. Kursi yang kududuki saat itu bangku kayu keras yang terbuat dari pohon Jati. Bangku yang disediakan oleh si pendidik untuk kelas enam Sekolah Dasar. Ibu Marsinem (58) salah satu guru SDN Leudimar 09. Saat itu, dialah yang aku ingat dan sekarang masih ada. Dia pula seorang yang mewajibkan aku dan lainnya untuk menonton filem. Dugaanku saat itu, sudah pasti filem perang Janur Kuning yang kesohor di masyarakat akar rumput. Satu dari sekian banyak filem nasional yang harus aku tonton dan menyerahkan rangkuman hasil tontonan. Ternyata filem itu berjudul Lebak Membara. Produksi 1983 karya Imam Tantowi.  Filem yang diamini sebagai filem kebanggan masyarakat Lebak. Masyarakat Lebak yang tersebar di berbagai pelosok perbukitan ataupun di jantung kota sekalipun tahu filem itu. Pengakuan kecil ibu guru Sekolah Dasar, saat itu guru-guru  diinstruksikan untuk mewajibkan anak didiknya menonton filem. Prasangka muncul atas terjadinya pengalaman visual. Jelas jika itu semata-mata atas perintah dari Dinas Pendidikan, tanpa itu aku tidak akan menontonnya. Atau mungkin hanya menonton di layar tancap saat acara pernikahan atau hajatan. Kami asyik berbicara masa lampau dan hanya kata “perintah” itu yang terucap dari orang terpuji yang aku temui. Selebihnya dia banyak menanyakan kabar terakhir tentang kehidupanku.
 
Dari tulisan terbata-bata itu, aku coba menemui si pemilik gedung bioskop yang pernah kami datangi saat menonton filem Lebak Membara. Dengan susah payah aku menelusuri perkampungan bekas jalan kereta jurusan Bayah. Aku memulai dari kampung Pasir Jati. Perkampungan yang bisa melihat dengan jelas tempat tinggalku dan rumah orang yang akan aku temui untuk diajak berbagi. Setelah mendapat petunjuk dari beberapa kawan di kampung Pasir Jati akupun turun ke kampung Lebak Picung. Setelah bertanya-tanya lagi, akhirnya aku bisa menemuinya di ruangan sederhana miliknya. Ika (75) salah satu keluarga pendiri bioskop pertama di Lebak dengan tegar dan nada keras bertukar cerita di kediamannya beberapa minggu lalu. Berikut petikan wawancaranya dengan pemilik gedung bioskop pertama di Lebak.


Fuad (Fd):  Apakah bapak tahu bioskop pertama di Lebak?
Ika: Saya tahu bioskop pertama di Lebak. Bioskop pertama, berbadan swasta satu-satunya dimiliki satu keluarga. Keluarga Marjuk. Dan itu keluarga saya. Kita memang pemilik tanah itu sejak tahun 1955. Kita pertama kali mendirikan bioskop di tempat itu. Atas nama bioskop KAMI, KAMI merupakan singkatan dari Kartinah, Afifah, Marjuk, dan Ika. Bapak Marjuk ketika itu tidak banyak anak. 

 

Ketika itu bioskop mengalami kemunduran karena masuknya televisi yang berdampak pada kebangkrutan. Saya kira bukan hanya di Rangkasbitung saja tetapi di seluruh Indonesia juga. Gedung bioskop seperti gudang. Dengan ukuran dan bentuk yang sama dengan gudang. Ya kalau nggak ada filem buat apa digunakan gudang itu. Disewakan nggak ada objeknya. Tidak ada yang menyewa. Tidak ada yang nonton. Akhirnya kita jual sajalah. Saat itu saya engga mau ambil pusing. Ya sekarang baru merasakan pusing. Kalau tidak dijual mungkin sudah menjadi milyaran uang saya. Pemilik baru juga bernama Apollo mengalami kebangkrutan. Tidak lama setelah terjadi pembelian.

Fd: Kenapa bapak membuat Bioskop, dan bisa tidak diceritakan proses awal pembuatannya?
Ika: Ya! Kita yang membuatnya. Awalnya kita memulai dari panggung sandiwara.
Fd: Maksud bapak?
Ika: Ya sandiwara, namanya apa yah?. Saat itu kita mendirikan sandiwara.
Fd: Semacam opera?
Ika: Eee…bukan, kalau sekarang disebutnya apa yah?
Fd: Teater!
Ika: Ya..!! Mungkin sekarang namanya teater. Teater lama yang mengacu pada sejarah. Gajah Mada, Hayam Wuruk, terus ini apah..? Lutung Kasarung. Sejarah lama begitu. Setelah itu, karena mengurus orang lebih pusing, akhirnya kita mendirikan bioskop di tahun 1955. Sejak tahun 1955, kita terus memulai operasi. Ada kemajuan, terjual, ganti pimpinan, ya..  Apollo itu. Chow Sun waktu itu dulu. Sekarang dia sudah almarhum. Chow Sun itu, dulunya kuasa dari rokok Djarum.

Kan, dulu sebelum nonton di Apollo kita harus bayar tiket dengan menukar dengan bungkus rokok Djarum. Kamu belum pernah mengalami itu?

Usia kamu berapa tahun?

Fd: Benar? Jika Lebak punya bioskop satu-satunya?
Ika: Salah. Rangkasbitung memiliki dua bioskop. Yang pertama terletak di wilayah pasar dekat stasiun kereta api. Yang kedua di Jalan Sunan Kali Jaga. Yang sebelah selatan bernama Seminar. Dan yang sebelah utara namanya KAMI. Bioskop Seminar pada awalnya bernama bioskop Gembira. Setelah berhenti penguasanya atau manajer digantilah dengan Seminar. Mereka hanya merombak nama. Karena tanah di situ milik pemerintah. Hak guna pembangunan barangkali. Habis waktu diambil sama Pemda. Jadi rupanya diganti rugi saja oleh Pemda. Kemudian dijadikanlah pasar. Saat itu kami mendirikan bioskop bersamaan. Di Serang juga ada dua bioskop, yang pertama di Royal dan yang kedua di pasar. Nama bioskop di Royal bernama Gembira. Yang tidak ada bioskop mungkin hanya daerah Pandeglang. Masyarakatnya fanatik –agama.red.

Fd: Saya dengar di Labuan ada bioskop?
Ika: Ya memang ada di Labuan. Namanya bioskop Murni. Pemiliknya kawan saya. Tempatnya dekat stasiun kereta api tempo dulu. Persisnya yang sekarang dijadikan pangkalan bus Murni. Di situlah bioskop. Si pemiliknya kenal dengan saya dari awal berdiri. Kalau anda ke sana terus tanya nama saya. Dia pasti tahu. Umur dia lebih muda dari saya. Jikalau perbioskopan saya berani jamin. Rangkasbitung lebih ramai dari Labuan dan yang lainnya. Rangkasbitung punya dua bioskop dan bersaing ketat antara bioskop KAMI dan Seminar.


Fd: Anda kenal dengan pemilik bioskop Seminar?
Ika: Ya! Saya kenal. Dia itukan orang Jakarta. Dia itu orang Chinese. Tapi saya hanya kenal saja. Berbeda dengan yang di Labuan. Saya kenal dekat dengannya. Mungkin karena kami di bawah pengusaha filem yang sama. Terkadang adiknya disuruh cari filem ke Jakarta. Dan saya sering join dengannya.
Fd: Apakah alat untuk bioskop saat itu mahal?
Ika: Saat itu hanya bikin gedung, bangku, kan pake bangku bukan pake jok. Kemudian mesin. Filem sewa, listrik PLN. Dulu kursinya kursi kayu. Masih ada saya contoh kursinya dulu. Ini kursi bioskop dulu semacam ini. Tapi jati –kayu jati.red– loh. Ini salah satu peninggalan sisa dari mana saya tidak tahu. Ya semacam begini, terus diikat belakangnya pake bambu. Supaya tidak bisa di geser-geser. Saya masih punya kursi beginian, habisnya antik.

Fd: Bagaimana dengan pajak pemerintah?
Ika:  Pemerintah. Ya kitakan bayar pajak. Untuk bioskop, setiap menjual satu karcis itu. Pemda mendapat pajak sekian persen dari pada satu nilai karcis. Jadi, kalau satu rol filem harganya lima ratus rupiah untuk lima ratus orang. Kita masuk ke Pemda. Sebelum dijual karcis itu haruslah lapor dulu ke Pemda. Stempel tiap karcis lalu bayar. Dulu mereka enak, maka Pemda banyak duit. Seandainya sekarang lebih banyak duitnya Pemda. Jelas, sekarang sudah salah sistemnya. Sekarang toko Alya itu di flat. Toko-toko yang jualan milyaran itu kan. Ratusan juta semen dan yang lainnya. Ratusan juta itu. Semen, besi dan sebagainya itu. Itukan di flat oleh pajak. Kamu bayar dia sekian juta untuk satu tahun misalnya. Kalau dulu itu ada PPN . barang yang dijual itu diambil sekian persen.

Fd: Siapa yang membeli bioskop Bapak?
Ika: Saat itu, KAMI kesulitan uang dan kawan dari Jakarta membelinya. Dikarenakan di Lebak tidak ada yang mau membeli. Kemudian saya mencari pembeli. Kebetulan ada kawan di pasar ikan, usahanya. Dia ada duit dan join dengan kawannya lalu membeli bioskop saya. Tetapi tidak lama, dia tidak kuat, akhirnya dia jual lagi. Pindah tangan lagi. Itu pada Apollo. Apollo juga tidak kuat, akhirnya dijual lagi. Sekarang. Orang berebut membeli lahan itu buat Rumah Toko (RUKO). Dibuat sekian pintu menjadi sewa kontrak. Atau dijual. Dan itu bagi orang-orang yang punya uang.
Fd: Tahun berapa menjualnya?
Ika: Kita jual bioskop tahun 1969.
Fd: Itukan berdekatan dengan tahun pemberontakan?
Ika: Apaan sih..?! orang saat gerakan G30S kita masih membukanya. Saat itu kita dilempari batu oleh Gerakan Pemuda Rakyat. Karena saat itu kita putar filem Amerika. Pemuda Rakyat tidak senang. PKI itu. Kita banyak didemo. Saya tidak banyak mengerti soal politik. Saya tidak pernah ikut perpolitikan. Hanya saat itu, jika mereka melihat filem Amerika ditayangkan pasti marah. Marahnya kepada yang punya bioskop. Yang marah itu warga Lebak yang ikut dalam organisasi kepartaian. Yang tidak, ya pasti tidak. Ya penonton mereka terus saja menonton. Kalau misalkan pas lagi mau nonton ribut-ribut, paling-paling bubar dan tidak jadi filemnya diputar. Kejadian itu sering terjadi saat perpolitikan PKI. Sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kalau dihitung dari tahun 1955 sampai 1965 belum pernah terjadi kerusuhan.

1965… mmm, sekitar 1968an lah kita menjualnya. Bioskop itu. Nah.. Setelah bioskop itu dijual kepada Djarum. Dibangun sedikit. Dibangun lagi bioskop. Tapi engga berapa lama. Sudah bikin bioskop, dijual lagi. Ya.. Kemudian jadilah yang sekarang ini. Oleh saudara Bhun Tiaw. Beruntung dia. Yang sekarang ini. Yang punya hotel Kharisma. Itu sebelahnya hotel punya saya yang dijual kepada dia. Hotel KAMI juga. Kita mempunyai bangunan dua. Hotel KAMI, yang sekarang jadi pertokoan, yang dibuat tingkat, sama yang sekarang dibuat pertokoan lagi. Yaitu bioskop KAMI. Tanah itu luasnya 1.600 meter. Sudah habis semuanya. Ya, kita akhirnya pindah ke Lebak Picung. Kira-kira sejak tahun 1980. Karena inflasi uang. Saat itu kita jual seharga Rp. 17.000.000,-. Hotel sebegitu besarnya sekarang harganya berapa Milyar itu. Haa…haa..haa..!! kalau ingat ke situ waduuuhhh.. bisa tiring istilahnya. Tapi ya sudahlah. Benar, dulu kita menjualnya segitu. Bioskop itu kita jual Rp. 1.000.000,-. Orang dulu di Rangkasbitung disuruh beli segitu tidak ada yang berani membeli. Seluruh Rangkasbitung nggak ada yang punya uang. Seluruh Rangkasbitung. Yang beli juga orang Jakarta. Jadi kuatnya uang dulu dengan kuatnya uang sekarang bayangkan saja. Sekarang sudah tidak aneh lagi. Di kampung saja uang sekarang bisa milyaran. Di kota banyak orang susah. Pekerja pabrik dan sebagainya.
Fd: Filem apa saja yang dipertontonkan tahun 1950an di bioskop KAMI?
Ika: Saat itu filem yang diputar ialah film X Am Pay. Amerika. Itu semua produser orang Amerika. Filem-filem itu masih black and white. Belakangan ini saja color.
Fd: Film eropa tidak ada?
Ika: Ya Eropa termasuknya amerika juga. Ada Eropa film Italia, Rusia ada, Prancis, ya dunialah..!! Tapi pada umumnya disatukannya oleh pengusaha Amerika. Yang ada di Jalan Segara Satu. Dekat istana itu. Dulu. Segara satu, Segara dua, Segara Tiga. Di situ blok filem semuanya. MGM, Twentieth Century Fox, RKO, Columbia, dan sebagainya. Itu semua assembling Amerika, hanya pindah kantor-kantor saja. Saya hafal soal filem itu mah.
Fd: Bapak dapat filemnya?
Ika: Kita dapat sewa filemnya dari sana. Kan sistemnya sewa. Sewa tiga hari flat berapa? Rp.500,-. Tiga hari lima ratus perak. Karcisnya hanya seperak dulu. Bayangkan saja. Haa..haaa..!! nonton satu perak, sewanya lima ratus. Itu tiga hari belum tentu banyak orang yang nonton karena kalau orang seneng baru banyak, tapi kalau engga ya rugilah kita. Sewa lima ratus bisa rugi kita.
Fd: Saat itu ramai?
Ika: Weitss.. Jangan salah, ramai lah… Ramai sekali. Kursi lima ratus habis jikalau ramai.
Fd: Emang mereka ngerti bahasanya?
Ika: Orang-orang Indonesia segala bahasa senang kok! Ada filem Cina, orang seneng. Asal filemnya action. Filem yang dia bisa ngerti. Filem India, Italia juga senang. Sejarah itu. Gladiator, Ben Hur itu, kan, Italia.
Fd: Kalau filem Rusia?
Ika: Ya itu..!! Filem Rusia orang kurang seneng. Cara berpakaiannya juga kurang seneng. Pokoknya urusan filem saya mencari sendiri, dan sewa juga sendiri. Saya kalau ke Jakarta setiap hari atau dua kali sehari. Saya juga memutar sendiri. Pekerja bioskop tidak ada lagi. Kami sekeluarga yang mengerjakannya. Ibu, bapak, anak, dan yang lain-lain hanyalah karyawan kecil lah. Tapi kalau yang potensi urusan filem saya. Dan sayalah yang bertugas mengambilnya ke Jakarta. Kantor filem mana saja di Jakarta saat itu saya tahu.
Fd: Mungkin bapak banyak tinggal di sana?
Ika: Ya..! Saya sering tinggal di Jakarta. Saat itu saya sekolah. Di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Saya masuk kuliah tahun 1960 dan tahun 1959 saya sudah lulus dari Sekolah Lanjutan Atas (SLA), Serang. Dulu SLA di sini tidak ada. Kita sekolah ke Serang, tiap paginya kita naik kereta. Jam empat pagi, kita sudah jalan naik kereta yang menggunakan bahan bakar arang. Terkadang perih jika kena mata. Sekarang saya lihat anak-anak sekolah tinggal enaknya. Kemana-mana pake angkot. Jarak dekat juga pake angkot, dulu kita tidaklah begitu. Saya dulu tiga tahun sekolah di Serang. Berangkat pagi pulang siang. Dulu, kita belum pernah disuruh-suruh sama orang tua untuk sekolah.. sekolah..!! bangun pagi..!! Engga tuh. Bangun dan sekolah sendiri. Kalau anak-anak sekolah sekarang harus dipukul dan dibangunkan, kalau tidak, mana mau sekolah. Itu bedanya sekarang. Kita bicara realitanya saja.
Fd: Saat menyewa filem ke Jakarta apakah tidak mengalami kesulitan transportasi?
Ika: Tidak. Saya terkadang pakai kereta api dan kendaraan roda dua. Rutenya cukup jauh karena harus ke Serang dulu. Tiga hari sekali biasanya saya naik motor ke Jakarta. Bayangkan, dari sini ke Pandeglang saja 20 kilo, dari Pandeglang ke Serang jaraknya 23 kilo. Dari Serang ke Jakarta jaraknya 91 kilo. Di daerah Lebak Timur tidak ada jalan menuju Jakarta. Hanya ada satu jalan ke timur, yakni menuju Bogor saja. Jarak yang jauh saya tempuh puluhan tahun. Di jalanan kecepatan kendaraan sepeda motor mencapai 100 km/jam, itu tidak ada apa-apanya. Lari terus ke Jakarta. Kalau saya berangkat dari Rangkasbitung jam 5 pagi, jam 7 saya sudah sampai di jalan Istana Jakarta.

Fd: Bagaimana dengan sensor?
Ika: Dulu sangatlah ketat. Saya harus menyetorkan terlebih dahulu filem yang akan diputar ke polisi. Tetapi sebelumnya kami sudah memotong bagian-bagian yang vulgar supaya dipermudah. Saat pemutaran, biasanya polisi terlibat pemeriksaan secara ketat. Dia biasanya naik ke tempat proyektor dan menyalakan lampu besar. Anak buahnya dan saya menelusuri satu persatu kursi bioskop. Pernah ada kejadian saya dengan polisi terlibat pertengkaran hebat. Gara-garanya ada sepasang suami istri yang masuk bioskop terus dikeluarkan. Saya tidak terima. Penonton itu sudah menunjukan KTP dan surat nikah. Mungkin polisi hanya melihat dari tubuh dan tampang saja. Mereka memiliki tubuh yang kecil. Pokoknya polisi sering kami kritik saat itu karena biasanya ada saja masalah.

Fd: Bapak kenal dengan Misbach?
Ika: Kok kamu tahu? Misbach Yusa Biran kan? Kamu tahu darimana si Misbach?
Berapa umurmu?
Fd: Umur saya antara 26 sampai 27 tahun. Saya hanya kenal sedikit. Itupun hanya dari buku saja dan cerita-cerita kawan diskusi dari Forum Lenteng. Kalau ada waktu, saya ingin ketemu dia.

Ika: Dia itu kakak kelasku saat SMP. Waktu itu saya hanya teman bermain dengannya. Tetapi dengan Dorodjatun Kuntjorojakti saya teman sebangku. Misbach orangnya alim, dan pendiam sekali. Dia sungguh berbeda dengan kami. Dia tidak senang main bola. Dari keluarganya ada keturunan darah seni. Sehingga ada adiknya bernama Ida Farida seorang sutradara juga. Misbach Yusa Biran, foto-fotonya banyak. Dia sih hobinya memfoto. Minta sama dia saja di studio miliknya. Mungkin bisa kamu dapatkan di studio Bantam. Kami sering bermain bahkan nonton bareng di bioskop milik saya. Bilang jika ketemu dia. Ada salam dari KAMI, pasti dia tahu. Orang waktu kecil kami sering kali bermain. Tetapi saat itu dia melanjutkan SLA di Jakarta bersama Dorodjatun Kuntjorojakti. Kabarnya Kuntjoro jadi menteri yah. Benerkan? Katanya sih begitu. Saya pernah nyari-nyari buku di kediamannya di Gang Tarman. Tapi saat itu saya tidak mendapat izin oleh penjaga rumahnya.

Fd: Filem apa yang bapak suka?
Ika: Saya jenis filem apa saja suka. Asal ada sifat action. Walaupun bohong tapi saya senang melihatnya. Saya senang filem yang bisa membawa hati saya jadi keras. Tekniknya terkadang bagus. Ceritanya juga bagus. Misalkan perang, penyelundupan, saya hobi yang nonton begitu-begitu. “Intel dimasukkan ke wilayah terlarang yang tidak aman. Saya senang walau pada kenyataannya bohong. Semua filem-filem bohong, tapi kalau action dibohonginya tidak jelas-jelas.

Fd: Bapak tahu filem action Lebak Membara?
Ika: Itu, kan, sejarah. Saya, sih, senang saja. Jadi meningkatkan pengetahuan kita pada sejarah. Itu sebetulnya bagus. Tetapi gimana, saya sudah tahu itu filem.
Fd: Apa selanjutnya yang anda lakukan setelah menjual bioskop?
Ika: Saat itu, saya beralih-alih profesi. Dari mulai jadi pemborong, penjual minyak kelapa, pokoknya ikut segala macam urusan dengan kawan-kawan yang bernasib baik. Saat itu karena banyak kawan jadi saya bisa ikut mereka. Sekarang saya berumur 70 tahun lebih. Bukannya mengurangi kawan malah nambah kawan. Setiap ketemu saya dia pasti jadi kawan saya, termasuk anda. Di Lebak ini saya tidak memiliki musuh sepotongpun. Sampai ke selatan sana. Bayah.
Fd: Apakah ada yang tersisa dari dokumentasi atau arsip bioskop KAMI?
Ika: Itu dia..!! Itu kelemahan saya. Dari dulu saya tidak suka foto-memfoto bahkan mengarsipkan sesuatu. Atau intinya menyisakan untuk kenangan. Saya tidak hobi.

Senin, 06 Juli 2020

W.D. MOCHTAR 1953-1994



PEJUANG yang MENJADI AKTOR

Sungai Kapuas di Kalimantan Barat yang mengalir di tengah-tengah kota Pontianak, adalah sebuah sungai yang terbesar setelah Sungai Barito.

Di kota inilah WD Mochtar dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1928 dan di kota ini pula ia tinggal hingga mencapai usia dewasa. Seperti arus permukaan sungai Kapuas yang mengalir dengan tenang, tapi tenang yang menghanyutkan, yang pada saat-saat tertentu arusnya dapat berombak-ombak dengan riak-riak yang lincah dan meriah. Begitu pulalah dengan wajah dan watak WD Mochtar yang dari ketenangannya dapat berobah menjadi seorang periang dengan tertawa yang meriah.

WD Mochtar yang juga adalah seorang peramah, mungkin tidak ada yang menyangka dan meramalkan selama ia berada di kota kelahirannya, bahwa ia akan menjadi seorang artis film, seorang aktor pemain watak dalam tingkatan teratas dalam dunia film Indonesia.

Di kota kelahirannya, tidak ada yang pernah melihat ia aktif dalam suatu organisasi kesenian, baik organisasi kesenian dalam bentuk apapun. Yang diketahui oleh masyarakat Pontianak, WD Mochtar adalah seorang anggota TNI yang berjuang dengan gigih mengenyahkan penjajah dari bumi Pertiwi – Republik Indonesia. Pada awal tahun 1946, ia meninggalkan Kuala Kapuas menuju Jawa Barat dan baru saja WD Mochtar ini berada seminggu di Jakarta, ia langsung ke daerah-daerah pertempuran, antara lain: Kerawang, dan mengikuti aksi polisional ke I di Kerawang dan aksi polisional ke II di Jogja dan Solo dan kemudian mengikuti long march dari Jogja kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki.

Kembali ke ibukota RI pada tahun 1951 dan pada tahun itu juga WD MOchtar memasuki Tan Wong Bros Film Studio dan mendapat kesempatan untuk main film dan memperoleh peranan sebagai figuran I (satu) shoot saja dalam film Tirtonadi. Selesai film itu, menyusul film-film lainnya dengan peranan-peranan yang lebih baik dan lebih besar. Sampai tahun 1954 WD Mochtar adalah pemain tetap dari studio itu sebagai pemain pembantu (supporting role). Tapi dunia film pada waktu itu belumlah menyenangkan hatinya, dan akhir tahun 1954, WD Mochtar meninggalkan dunia film. Dari tahun 1955 hingga tahun 1961 ia bekerja di pelabuhan Tanjung Priok.

Sebagai seorang yang pernah memasuki dunia film, WD Mochtar ini susah dan tidak dapat melepaskan diri dan ingatannya selalu lari ke dunia film. Darah seni dalam tubuhnya yang mengalir sederas arus dalam sungai Kapuas, sederas arus itulah darah seninya mendorong dan membawa akhirnya ia kembali ke dunia film.

Come-back-nya ini adalah pada tahun 1962 dalam film “Badai Selatan” dan “Luka Tiga Kali”  yang selalu mendapat peran utama (leading role), kemudian menyusul film-film lainnya yang memperoleh sukses luar biasa, dan mengagumkan dalam film-film seperti “Matjan Kemajoran”, “Sembilan”, “Susy”, “Djampang Mentjari naga Hitam” dan “Laki-laki Tak Bernama”, yang semuanya adalah film-film yang disenangi WD Mochtar.

PERANAN WD Mochtar sebagai Rausin, anak haji Rainang dalam film “Matjan Kemajoran” sebuah cerita legenda rakyat Betawi sangat mempesona dan merebut simpati dari penonton baik di dalam dan di luar negeri. Karenanya maka gara-gara film itu hingga beberapa waktu lamanya WD Mochtar yang dikenal dengan panggilan Bang Rausin. Ini terjadi di Indonesia. Tapi lain pula yang dialami WD Mochtar dengan penonton di Singapura dan Malaysia. Film “Matjan Kemajoran” memperoleh sukses luar biasa hingga pemutaran yang ke 3 (tiga) kalinya – the third run – tetap bertahan hingga 2 bulan lamanya di Galaxi theatre. Sedemikian fanatiknya publik di sana, hingga film itu diakui sebagai film Singapura dan Malaysia dan WD Mochtar sendiri adalah aktor dari Singapura dan Malaysia. Demikian tulisan A. Mahmood dari The Straits Times.

Dengan film si Djampang serial yang black and White yang diproduksikan sebelum si Djampang Mentjari Naga Hitam, telah pula memberikan WD Mochtar sebagai abang Djampang. Meskipun peranannya diganti sebagai Mat Bendot dalam Si Djampang. Dan dalam film Sembilan, WD Mochtar telah memegang peranan sebagai ksatria dari Kuala Kapuas, seorang hero dari daerah kelahirannya.

Kemudian sebagai Tukimin dalam film “Laki-Laki Tak Bernama”, WD Mochtar telah mengunjungi Singapore Film Festival dalam rangka hari ulang tahun Singapura ke 150. Dalam acara personal appereancedi Galaxi Theatre pada waktu pemutaran film tersebut, WD Mochtar telah menyanyikan lagu “Timang-Timang” sebuah lagu langgam melayu. Begitu selesai ia dengan lagu itu, penonton telah menyerbu ke atas stage Galaxi Theatre dan memberikan berbagai souvenir dan kenang-kenangan pada WD Mochtar  dan yang lain-lainnya baru akan meninggalkan stage itu setelah dapat berjabat tangan dengan bintang pujaannya.

Kemudian oleh TV Singapura, WD Mochtar muncul kembali dengan lagu yang sama, sebuah lagu yang dipersembahkan untuk penggemarnya. Dan keesokan harinya ketika WD Mochtar bangun, iapun mendapat telpon dari receptionis Hotel Singapura Intercontinental, bahwa ada kiriman dari para pirsawan televisi dan para pemujanya berupa ratusan kartu ucapan selamat, 35 buah kue tart dan 27 buah karangan bunga untuk WD Mochtar.

MELIHAT semuanya ini barulah WD Mochtar percaya akan ucapan P Ramlee seorang top aktor dari Malaysia dan juga akan kata dari Yasaini Amir, editor dari Majalah Film Malaysia, bahwa dirinya adalah bintang yang dipuja-puja oleh publik di Singapura dan Malaysia karena permainannya yang mengagumkan.

Juga film-film Indonesia yang mulai banyak diputar di sana adalah film-film yang mempunyai tema cerita dan permainan aktor dan aktris Indonesia yang baik serta teknik film Indonesia yang lebih tinggi daripada film-film yang diproduksi di Singapura dan Malaysia, meskipun studio kedua tempat mempunyai alat modern dan serba lengkap bila dibandingkan dengan alat-alat yang dimiliki oleh studio-studio film Indonesia.

Karena itulah dengan melihat akan apresiasi publik di Singapura dan Malaysia terhadap film-film serta permainan WD Mochtar dan aktor seperti dengan aktor dan aktris Indonesia lainnya diharapkan akan penghargaan dan apresiasinya publik di Indonesia akan film-film Indonesia yang pada masa kini, baik mutu cerita, teknik dan permainan aktor dan aktrisnya telah mengalami kemajuan yang baik.

Tapi menurut WD Mochtar penghargaan dan apresiasi ini tidaklah bisa diperoleh hanya dengan mengharap saja, tetapi dengan suatu kerja keras dari para artis film dan karyawan film yang disertai pula dengan fasilitas dan equipment yang lengkap, pasti akan meningkatkan kualitas akting, teknik dan mutu film-film yang dibuat dan menjadilah sebuah film yang baik. Sebab sebuah film yang baik dan bagus pasti nanti akan menarik publik dan di sinilah datangnya penghargaan dan apresiasi publik itu.

Sehubungan dengan kesemuanya itulah, maka kini WD Mochtar dan Sofia WD suami-istri pasangan artis yang belum ada tandingannya, mempunyai keaktifan lain yang masih berada dalam lingkungan dunia film disamping karier akting, yaitu keaktifan dalam bidang penulisan cerita skenario dan penyutradaraan. Dan kesibukan yang dihadapi oleh WD Mochtar dan Sofia WD kini disamping main film pada perusahaan lain, merekapun sibuk dengan persiapan dari Firma LIBRA FILMS, sebuah perusahaan mereka sendiri, trade marknya ini tadinya adalah dari sebuah group: Libra Shows yang dipimpin oleh Sofia WD, yang terkenal di seluruh Nusantara dengan tour-tournya.

Dalam Libra Film ini terdapat nama-nama yang cukup terkenal akan bekerja keras  untuk membuat film yang kreatif. Mereka adalah WD Mochtar (Aktor dan Penulis cerita), Sofia WD (Aktris dan penulis Skenario), Lilik Sudjio (sutradara dan penulis skenario), H. Sjamsuddin Jusuf (cameramen) dan Sari narulita (Aktris).

Jika tidak ada aral melintang produksi pertamanya, sebuah cerita legenda rakyat betawi akan segera di shoot adalah: “Si Bego dari Muara Tjondet”. Sebuah film yang dibuat dalam bentuk serial untuk televisi dan bioskop.

Sebelum mengakhiri pertemuannya ini WD Mochtar yang segera harus kembali ke-Set untuk shooting terakhir dari film terbarunya … DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN” atas pertanyaan menjelaskan bahwa sukses yang diperolehnya ini adalah karena ia sebagai seseorang yang ingin maju, menyadari keharusan yang harus dimiliki seorang aktor ialah kerelaan untuk menerima peranan apapun yang diberikan oleh sutradara, dan terus belajar dengan tekun dan sekali lagi belajar, karena bagi seorang aktor dan aktris dunia akting , tidak ada batasnya dan tidak akan habis-habisnya untuk dipelajari, dan dunia akting ini mempunyai banyak variasi dan selalu berobah yang mengikuti dan sesuai dengan kemajuan suatu masa. (***)

Mochtar yang akan kuperkenalkan sekarang pada pembaca, bukan Rd. Mochtar bintang Persari yang kini berada di Singapura, Malaya, sedang membuat “Terang Bulan di Malaya”  atau Moch Mochtar itu “jungle-man” yang baru-baru ini bermain dalam film “Timuriana” atau Mochtar Wijaya itu bintang film yang sebelum perang kita sering lihat, tapi WD Mochtar atau lebih terkenal dengan sebutan Wagino, seorang pemain baru yang bintangnya kini mulai naik. Nama lengkapnya ialah Wagino Dachrin Mochtar dan dia dilahirkan di Pontianak pada tanggal 3 Mei 1926.

Sejak kecilnya Wagino berkeinginan keras untuk hisa turut bermain dalam film. Memang cita-cita akant etap tinggal cita-cita bila tak terlaksana. Telah lama beriktiar, diumbang-ambingkan cita-cita bermain film, akhirnya Wagino terdampar di Studio Tan & Wong Bros di Bidaracina dengan mendapat gaji bulanan. Pertama dia berkenalan dengan lensa kamera ialah dengan film “TIRTONADI”

Rupanya bagi pemuda Wagino, tugas membela nusa dan Bangsa adalah lebih penting dari bermain dalam film dan begitulah dia kembali ke “pedaleman”. Seperti juga pemuda-pemuda yang lain, Wagino sebagai Putra Pertiwi tidak mau ketinggalan untukt erjun dalam kancah revolusi dan waktu itu dia masih menjadi anak buah Overste Usman Sumantri.

Setelah penyerahan kedaulatan, Wagino kembali ke Jakarta dengan maksud turut bermain dalam film. Kembali pemuda kita itu bisa turut bermain dalam film dengan Studio Djalan Hayam Wuruk. Tapi sayang di Studio ini Wagino bermain hanya sebagai “Pemain Ekstra”, hingga dia tak berkesempatan untuk bergerak memperlihatkan bakat dan permainannya yang sungguh-sungguh.  Bagi Studio Djalan Hayam Wuruk rupanya tiap pemain baru dianggap enteng saja, padahal kalau aku boleh berterus-terang, permainan Wagino tidak kalah baiknya dengan para “pemain utama” (leading-men) dari Studio Djalan hayam Wuruk.  Malah “suara tenor” Wagino yang merdu pernah dipakai untuk film keluaran studio tersebut.

Studio Tan & Wong Bros terutama S. Waldy sebagai produser dari Ardjuna Film Coy, sedang memberi kesempatan kepada para “new comer” dan mengetahui Wagino berada di Jakarta lagi dengan lekas mengambilnya yang kemudian mengikatnya dengan “kontrak”. Dengan Tan & Wong Bros Film dan Ardjuna Film Coy, Wagino telah turut bermain dalam film-film “LIMA PENDEKAR BUDIMAN”, “MUSTAFA DENGAN CINCIN WASIATNYA”, “BULAN PURNAMA”, ABU NAWAS”, dan “DENDANG SAJANG”. Dalam film-film ini Wagino bermain bukan sebagai pemain ekstra, seperti apa yang pernah diberikan studio Djalan hayam Wuruk padanya, tapi sebagai “bijrol” dan “leading-men”.

Malah dalam film “DENDANG SAJANG”, Wagino mendapat suatu peran yang mulanya akan dimainkan oleh Chatir Harro . Dalam Film “MUSAFIR KELANA” produksi baru dari Ardjuna Film Coy, dibawah pimpinan sutradara muda WISJNU Moeradhy dan produser S. Waldy, Wagino kembali akan muncul  sebagai “peran utama” bersama Ellya. Disamping film-film tersebut di atas, pemuda kita itu pernah turut membantu Ratna Film dalam menyelesaikan film “NELAJAN”.

Selain berkecimpung dalam dunia film Wagino pernah juga turut beraksi di atas panggung sandiwara dengan Rajuan Irama pimpinan Us Sumantri dan Imdaca, dibawah pimpinan I. Damsjik. Sifatnya yang jujur-lemah-lembut dan rupanya yang simpatik/romantik, menyebabkan Wagino disenangi oleh kawan-kawannya pria dan wanita. Mempunyai suara merdu dan kepandaian bermain film sandiwara saja, rupanya belum sempurna bagi pemuda Wagino, kalau tidak pandai mengayunkan langkah di atas lantai dansa. Tak perlu rasanya di sini dituliskan, bagaimana pandainay Wagino mengayunkan kaki dan menggoyangkan tubuh dalam melakukan perlbagai macam dansa. Hal ini aku pernah melihat  Wagino berdansa atau mereka yang mengenalnya lebih dekat.

Sebagai pemuda sehat, tentunya Wagino tidak pula ingin ketinggalan dalam berolah raga. Kegemarannya ialah berenang, badminton, dan bermain anggar. Suatu keanehan yang terdapat pada diri Wagino ialah sebagai pemuda Jawa kelahiran Pontianak dia senang dengan masakan padang.(***)


DOSA SIAPA    
                                           1972SUSILO SWD
                           Actor
DJUBAH HITAM                                           1954WISJNU MOURADHY
                           Actor

TERPESONA1966S. WALDY
Actor
PENANGGALAN 1967 TULSI RAMSAY
Actor
MELAWAN BADAI 1974 ARIFIN C. NOER
Actor
RORO MENDUT 1982 AMI PRIJONO
Actor
UNGGUL KASIH DIMUSIM KEMARAU 1964 AHMADI HAMID
Actor
TAKKAN LARI GUNUNG DIKEDJAR 1965 RD ARIFFIEN
Actor
GUNDALA PUTRA PETIR 1981 LILIK SUDJIO
Actor
LAKI-LAKI DALAM PELUKAN 1977 BOBBY SANDY
Actor
LAKI-LAKI BINAL 1978 ARIZAL
Actor
DENDAM DUA JAGOAN 1986 IMAM PUTRA PILIANG
Actor
DENDANG SAJANG 1953 S. WALDY
Actor
DEWI ANGIN-ANGIN 1994 ACKYL ANWARI
Actor
TEROR TENGAH MALAM 1972 WILLY WILIANTO
Actor
MALU-MALU KUTJING 1954 S. WALDY
Actor
PERTARUNGAN UNTUK HIDUP 1986 IMAM PUTRA PILIANG
Actor
BANTENG BETAWAI 1971 NAWI ISMAIL
Actor
DARI PINTU KE PINTU 1991 B.Z. KADARYONO
Actor
SAAT-SAAT KAU BERBARING DI DADAKU 1984 DJUN SAPTOHADI
Actor
BATAS IMPIAN 1974 M. ABNAR ROMLI
Actor
MILIKKU 1979 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
KALI BRANTAS 1954 S. WALDY
Actor
PENDEKAR PEDANG SERIBU BAYANGAN 1992 DASRI YACOB
Actor
PENDEKAR TANGAN HITAM 1977 A. HARRIS
Actor
IBU MERTUA 1960 REMPO URIP
Actor
DJAMPANG MENCARI NAGA HITAM 1968 LILIK SUDJIO
Actor
DJAMPANG 1968 LILIK SUDJIO
Actor
ANAK-ANAK GASS... 1988 ACHIEL NASRUN
Actor
PENDEKAR CABE RAWIT 1990 ABDUL KADIR
Actor
PETUALANG-PETUALANG 1978 ARIFIN C. NOER
Actor
TIRAI KASIH 1984 AGUS ELLYAS
Actor
BENGAWAN SOLO 1971 WILLY WILIANTO
Actor
BAYI AJAIB 1982 TINDRA RENGAT
Actor
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN 1984 HELMUT ASHLEY Adventure Actor
TANAH HARAPAN 1976 SOFIA WD
Actor
MALAM PENGANTIN 1975 LUKMAN HAKIM NAIN
Actor
ANAK YANG MENDERITA 1974 DJAMAL HARPUTRA
Actor
CINTAKU DI WAY KAMBAS 1990 IWAN WAHAB
Actor
LARA JONGGRANG 1983 JIMMY ATMAJA
Actor
SI AYUB DARI TELUK NAGA 1979 NAWI ISMAIL
Actor
SI BEGO MENUMPAS KUTJING HITAM 1970 LILIK SUDJIO
Actor
SERITI EMAS, KIPAS SUTRA 1971 BAY ISBAHI
Actor
TIMANG-TIMANG ANAKKU SAYANG 1973 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
BERSEMI DI AKHIR BADAI 1978 PITTY P. PRATOMO
Actor
PUKULAN BERANTAI 1977 SYAMSUL FUAD
Actor
TJINTA DI BATAS PERON 1971 H.S. SAMIDI
Actor
MATA DUITAN 1955 MOH ARIEF
Actor
KABUT DI KINTAMANI 1972 KURNAEN SUHARDIMAN
Actor
TURANGGA 1990 EDDY SAJOEDIE
Actor
ANAK BINTANG 1974 RATNO TIMOER
Actor
PENGANTIN REMAJA 1971 WIM UMBOH
Actor
MISTRI DARI GUNUNG MERAPI III 1990 LILIK SUDJIO
Actor
LUKA TIGA KALI 1965 ALAM SURAWIDJAJA
Actor
API DIBUKIT MENORAH 1971 D. DJAJAKUSUMA
Actor
SI PITUNG 1970 NAWI ISMAIL
Actor
LAKI-LAKI TAK BERNAMA 1969 WIM UMBOH
Actor
PENGABDI SETAN 1980 SISWORO GAUTAMA
Actor
KERETA API TERAKHIR 1981 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Actor
PASUKAN BERANI MATI 1982 IMAM TANTOWI
Actor
BALADA TIGA JAGOAN 1990 IMAM PUTRA PILIANG
Actor
RANJAU-RANJAU CINTA 1984 NASRI CHEPPY
Actor
BIOLA 1957 S. WALDY
Actor
MIMPI SEDIH 1974 WILLY WILIANTO
Actor
MEMBURU MAKELAR MAYAT 1986 LILIK SUDJIO
Actor
SI PANDIR 1992 DASRI YACOB
Actor
RINA 1971 ABUBAKAR DJUNAEDI
Actor
MISTRI RUMAH TUA 1987 LILIK SUDJIO
Actor
MUSAFIR KELANA 1953 S. WALDY
Actor
BADAI SELATAN 1960 SOFIA WD
Actor
DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD 1954 OTHNIEL WONG
Actor
JAKA SEMBUNG SANG PENAKLUK 1981 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Actor
JAKA SEMBUNG VS SI BUTA 1983 WOROD SUMA
Actor
TAKDIR 1973 FRITZ G. SCHADT
Actor
MEMBINA DUNIA BARU 1964 LILIK SUDJIO
Actor
PENCULIKAN PENGANTIN 1983 M. ABNAR ROMLI
Actor
KEBAJA FANTASI 1954

Actor
LIMA SAHABAT 1981 C.M. NAS
Actor
DUKUN ILMU HITAM 1981 A. HARRIS
Actor
DUKUN BERANAK 1977 BAY ISBAHI
Actor
PERMAINAN DI BALIK TIRAL 1988 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
SATU MAWAR TIGA DURI 1986 FRANK RORIMPANDEY
Actor
KUNTILANAK 1974 RATNO TIMOER
Actor
RATAPAN DAN RINTIHAN 1974 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
PERJUANGAN DAN DOA 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
GENDING SRIWIDJAJA 1958 S. WALDY
Actor
MENUDJU BINTANG 1960 REMPO URIP
Actor
KUTUKAN 1970 NAWI ISMAIL
Actor
ANGKARA MURKA 1972 CHAIDIR RACHMAN
Actor
SEGENGGAM HARAPAN 1973 WAHAB ABDI
Actor
MATJAN KEMAJORAN 1965 WIM UMBOH
Actor
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Actor
NAPSU SERAKAH 1977 BAY ISBAHI
Actor
SI BUTA LAWAN JAKA SEMBUNG 1983 DASRI YACOB
Actor
BERCANDA DALAM DUKA 1981 ISMAIL SOEBARDJO
Actor
BALADA CEWEK JAGOAN 1986 EDDY G. BAKKER
Actor
OPERASI TINOMBALA 1977 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
OPERASI X 1968 MISBACH JUSA BIRAN
Actor
AYAHKU 1987 AGUS ELLYAS
Actor
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Actor
KRAKATAU 1977 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
SENEN RAJA 1954 S. WALDY
Actor
GARA-GARA 1973 WISJNU MOURADHY
Actor
SAMIUN DAN DASIMA 1970 HASMANAN
Actor
RATU ILMU HITAM 1981 LILIK SUDJIO
Actor
TOKOH 1973 WIM UMBOH
Actor
KISAH CINTA NYI BLORONG 1989 NORMAN BENNY
Actor
CINTA KASIH MAMA 1976 SISWORO GAUTAMA
Actor
KHANA 1980 YUNG INDRAJAYA
Actor
PATAH HATI SEORANG IBU 1985 AGUS ELLYAS
Actor
SATRIA BERGITAR 1983 NURHADIE IRAWAN
Actor
WARISAN TERLARANG 1990 ABDUL KADIR
Actor
BILA CINTA BERSEMI 1972 JOSHUA WONG
Actor
HONOUR 1974 BOBBY SANDY
Actor
ABUNAWAS 1953 RD DADANG ISMAIL
Actor
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
YANG KEMBALI BERSEMI 1980 SUKARNO M. NOOR
Actor
PAK SAKERAH 1982 B.Z. KADARYONO
Actor
SEMBILAN 1967 WIM UMBOH
Actor
TAK TERDUGA 1960 L. INATA
Actor
MUSTAFA DAN TJINTJIN WASIATNJA 1953 RD DADANG ISMAIL
Actor
TITISAN SI PITUNG 1989 TOMMY BURNAMA
Actor
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN 1970 WIM UMBOH
Actor
INTAN MENDULANG CINTA 1981 DJAMAL HARPUTRA
Actor
KARINA 1954 HENRY L. DUARTE
Actor
PEDANG NAGA PASA 1990 SLAMET RIYADI
Actor
MISTIK 1981 TJUT DJALIL
Actor
RAKIT 1971 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
RAHASIA GADIS 1975 B.Z. KADARYONO
Actor
GADIS BERWAJAH SERIBU 1984 RATNO TIMOER
Actor
DETIK-DETIK CINTA MENYENTUH 1981 ALI SHAHAB
Actor
TANGKUBAN PERAHU 1982 LILIK SUDJIO
Actor
USIA 18 1980 TEGUH KARYA
Actor
DALAM PELUKAN DOSA 1984 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
RIO SANG JUARA 1989 MUCHLIS RAYA
Actor
KRISTAL-KRISTAL CINTA 1989 WIM UMBOH
Actor
NYI LAMPED 1990 CHARLES ANAKOTTA
Actor
HARMONIKAKU 1979 ARIFIN C. NOER
Actor
JANGAN SAKITI HATINYA 1980 RACHMAT KARTOLO
Actor
RAJAWALI SAKTI 1976 SISWORO GAUTAMA
Actor
YUYUN PASIEN RUMAH SAKIT JIWA 1979 ARIFIN C. NOER
Actor
DIMADU 1973 M. ABNAR ROMLI
Actor
DUA PENDEKAR PEMBELAH LANGIT 1977 SISWORO GAUTAMA
Actor
TUYUL 1978 BAY ISBAHI
Actor
SINGA LODAYA 1978 YUDHI DH
Actor
SETITIK NODA 1974 M. ABNAR ROMLI
Actor
SENJA DI PANTAI LOSARI 1975 CHAIDAR DJAFAR
Actor
SENJA DI PULO PUTIH 1978 FRED WETIK
Actor
BUNGALOW DI LERENG BUKIT 1976 TURINO DJUNAIDY
Actor
SENTUHAN CINTA 1976 BOBBY SANDY
Actor
SENTUHAN KASIH 1982 WILLY WILIANTO
Actor
JARINGAN ANTAR BENUA 1978 FRED WETIK
Actor
SINGA BETINA DARI MARUNDA 1971 SOFIA WD
Actor
MUTIARA DALAM LUMPUR 1972 WAHYU SIHOMBING
Actor
SANREGO 1971 BAY ISBAHI
Actor
PENASARAN 1977 A. HARRIS
Actor
SERBUAN HALILINTAR 1982 ARIZAL
Actor
EMBUN PAGI 1976 CHAIDAR DJAFAR
Actor
BUJANG JELIHIN 1991 DASRI YACOB
Actor
AMALIA S.H. 1981 BOBBY SANDY
Actor
CHRISTINA 1977 I.M. CHANDRA ADI
Actor Actor
NENEK GRONDONG 1982 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
SUMPAH KERAMAT 1988 ISMAIL SOEBARDJO
Actor
DILERENG GUNUNG KAWI 1961 TAN SING HWAT
Actor
KOMEDI LAWAK 88 1986 SYAMSUL FUAD
Actor
DEMI CINTA BELAHLAH DADAKU 1991 NASRI CHEPPY
Actor
MATAHARI-MATAHARI 1985 ARIFIN C. NOER
Actor
NINI TOWOK 1982 B.Z. KADARYONO
Actor
JAUH DI MATA 1973 WILLY WILIANTO
Actor
CANTIK 1980 FRITZ G. SCHADT
Actor
WADJAH SEORANG LAKILAKI 1971 TEGUH KARYA
Actor
SUNAN GUNUNG JATI 1985 BAY ISBAHI
Actor
SUNAN KALIJAGA 1983 SOFYAN SHARNA
Actor
KUTUKAN IBU 1973 TURINO DJUNAIDY
Actor
PENGORABANAN 1974 SUSILO SWD
Actor
KETIKA MUSIM SEMI TIBA1986BOBBY SANDY
Actor