Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Bumi Bundar Bulat. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Bumi Bundar Bulat. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

Selasa, 07 Juli 2020

GATOT SUDARTO (Komposer)


Satu lagi penata musik film Indonesia. Ia bisa dibilang setelah Idris Sardi, dan stylenya juga beda. Idris mencampur unsur klasik dan musik trend saat itu. Tapi Gatoto justru di era modern, dimana dia memakai Electronic Instrumen dengan synthesizer. Tapi kiprahnya cukup banyak musik film yang di hasilkannya, ada 138 Film.


Lahir di Mojokerto. Pendidikan : Akademi Seni Rupa (tk. II) IKIP Surabaya, Akademi Musik (tk. I) LPKJ/TIM Jakarta. Ayahnya yang pemusik semula tidak menghendaki Gatot Sudarto menjadi pemusik pula, sebab si Bapak tidak bisa hidup enak dari musik. Tapi Gatot jadi pemusik juga, dan bisa hidup enak dari musik. Tentu saja baru tahun-tahun belakangan ini. Tadinya Gatot adalah "anak band" yang memulai karirnya di "Bhatara" Surabaya pada 1967, lalu hijrah ke Jakarta pada 1969. Setelah berpindah-pindah dari band yang satu ke band yang lain, Gatot menetap pada The Beibs (sejak 1973) dan Irama Nada (sejak 1974) sampai sekarang, 1978. Sejak 1973 itu pula Gatot mulai ditarik untuk menangani illustrasi musik film "bing Slamet Dukun Palsu", atas ajakan Sutradara Motinggo Busye. Sejak itu hampir 40 film telah ditanganinya. Diantaranya "Ateng Minta Kawin" (1974), "Sayangilah Daku" (1974), "Tarzan Kota" (1975), "Sebelum Usia 17" (1975), "Buaye Gile" (1975), "Tiga Cewek Indian" (1976), "Inem Pelayan Sexy" (1976), "Menanti Kelahiran" (1976), "Cinta Abadi" (1977), "Ateng Bikin Pusing" (1977), "Akibat Pergaulan Bebas" ('77), "Sejuta Duka Ibu" (1977), "Si Genit Poppy" (1978), dll.


SALAH PENCET1992ARIZAL
Composer
BEGADANG KARENA PENASARAN 1980 LILIK SUDJIO
Composer
DIA YANG TERCINTA 1984 GATOT SUDARTO
Composer
SALAH KAMAR 1978 LILIK SUDJIO
Composer
MALU-MALU KUCING 1980 ISHAQ ISKANDAR
Composer
MUSUH BEBUYUTAN 1974 SYAMSUL FUAD
Composer
PINTAR-PINTAR BODOH 1980 ARIZAL
Composer
GAYA MERAYU 1980 WISJNU MOURADHY
Composer
SUNDEL BOLONG 1981 SISWORO GAUTAMA
Composer
DAMARWULAN - MINAKJINGGO 1983 LILIK SUDJIO
Composer
PRIMITIF 1978 SISWORO GAUTAMA
Composer
GAWANG GAWAT 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
DARI MATA TURUN KE HATI 1979 JOPI BURNAMA
Composer
KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN 1985 ARIZAL
Composer
NIKMATNYA CINTA 1980 ARIZAL
Composer
MENANTI KELAHIRAN 1976 S.A. KARIM
Composer
JANGAN PAKSA DONG 1990 CHRIST HELWELDERY
Composer
JANGAN COBA RABA-RABA 1980 JOPI BURNAMA
Composer
PELAJARAN CINTA 1979 MATNOOR TINDAON
Composer
KARMINEM 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
BUNG KECIL 1978 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
BUNGA CINTA KASIH 1981 DANU UMBARA
Composer
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN 1984 HELMUT ASHLEY Adventure Composer
BERGOLA IJO 1983 ARIZAL
Composer
KAWIN KONTRAK 1983 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PINTAR-PINTARAN 1992 YAZMAN YAZID
Composer
TANTE SUN 1977 BUDI SCHWARZKRONE
Composer
PERKAWINAN NYI BLORONG 1983 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
SEMUA KARENA GINAH 1985 NYA ABBAS AKUP
Composer
DONGKRAK ANTIK 1982 ARIZAL
Composer
LARA JONGGRANG 1983 JIMMY ATMAJA
Composer
KESAN PERTAMA 1985 M.T. RISYAF
Composer
MERANGKUL LANGIT 1986 M.T. RISYAF
Composer
DANG DING DONG 1978 HASMANAN
Composer
SEBELUM USIA 17 1975 MOTINGGO BOESJE
Composer
INEM PELAYAN SEXY 1976 NYA ABBAS AKUP
Composer
PENGINAPAN BU BROTO 1987 WAHYU SIHOMBING
Composer
PENGANTIN BARU 1986 ARIZAL
Composer
SANGKURIANG 1982 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
LEMBAH DUKA 1981 JOPI BURNAMA
Composer
WAROK SINGO KOBRA 1982 NAWI ISMAIL
Composer
LUKA HATI SANG BIDADARI 1983 NICO PELAMONIA
Composer
ATENG BIKIN PUSING 1977 HASMANAN
Composer
ATENG MATA KERANJANG 1975 ASRUL SANI
Composer
ATENG KAYA MENDADAK 1975 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
ATENG PENDEKAR ANEH 1977 HASMANAN
Composer
ATENG SOK AKSI 1977 HASMANAN
Composer
ATENG RAJA PENYAMUN 1974 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
CEWEK JAGOAN BERAKSI KEMBALI 1981 DANU UMBARA
Composer
PLIN PLAN 1992 YAZMAN YAZID
Composer
MAJU KENA MUNDUR KENA 1983 ARIZAL
Composer
JAKA GELEDEK 1983 FRITZ G. SCHADT
Composer
ATENG SOK TAU 1976 HASMANAN
Composer
ATENG THE GODFATHER 1976 HASMANAN
Composer
PEMBALASAN RAMBU 1985 JOPI BURNAMA
Composer
INEM PELAYAN SEXY II 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
INEM PELAYAN SEXY III 1977 NYA ABBAS AKUP
Composer
TAHU BERES 1993 ARIZAL
Composer
TAHU DIRI DONG 1984 ARIZAL
Composer
JAKA SEMBUNG DAN BAJING IRENG 1983 TJUT DJALIL
Composer
JAKA SEMBUNG SANG PENAKLUK 1981 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
DARAH PERJAKA 1985 ACKYL ANWARI
Composer
SAYANGILAH DAKU 1974 MOTINGGO BOESJE
Composer
SEGI TIGA EMAS 1986 ARIZAL
Composer
PENCURI 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
HAMIL MUDA 1977 S.A. KARIM
Composer
BUAH HATI MAMA 1980 SOPHAN SOPHIAAN
Composer
GANTIAN DONG 1985 ARIZAL
Composer
GOLOK SETAN 1983 RATNO TIMOER
Composer
KOBOL SUTRA UNGU 1981 NYA ABBAS AKUP
Composer
MERINDUKAN KASIH SAYANG 1984 C.M. NAS
Composer
LIMA CEWEK JAGOAN 1980 DANU UMBARA
Composer
GURUKU CANTIK SEKALI 1979 IDA FARIDA
Composer
MEMBAKAR MATAHARI 1981 ARIZAL
Composer
TUAN BESAR 1977 MOCHTAR SOEMODIMEDJO
Composer
SATU MAWAR TIGA DURI 1986 FRANK RORIMPANDEY
Composer
KECUPAN PERTAMA 1979 ARIZAL
Composer
JERITAN SI BUYUNG 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
KEJAMNYA IBU TIRI TAK SEKEJAM IBU KOTA 1981 AZWAR AN
Composer
TARSAN KOTA 1974 LILIK SUDJIO
Composer
BISIKAN SETAN 1985 B.Z. KADARYONO
Composer
BINALNYA ANAK MUDA 1978 ISMAIL SOEBARDJO
Composer
SI GENIT POPPY 1978 JOPI BURNAMA
Composer
AKIBAT GODAAN 1978 MATNOOR TINDAON
Composer
AKIBAT PERAULAN BEBAS 1977 MATNOOR TINDAON
Composer
TRAGEDI TANTE SEX 1976 BAY ISBAHI
Composer
NONA MANIS 1990 YAZMAN YAZID
Composer
SI BUTA LAWAN JAKA SEMBUNG 1983 DASRI YACOB
Composer
PERHITUNGAN TERAKHIR 1982 DANU UMBARA
Composer
BUNGA-BUNGA PERKAWINAN 1981 ISHAQ ISKANDAR
Composer
APANYA DONG 1983 NYA ABBAS AKUP
Composer
SRIGALA 1981 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
RATU ILMU HITAM 1981 LILIK SUDJIO
Composer
BODOH-BODOH MUJUR 1981 ARIZAL
Composer
KISAH CINTA ROJALI DAN ZULEHA 1979 NYA ABBAS AKUP
Composer
SI BONEKA KAYU, PINOKIO 1979 WILLY WILIANTO
Composer
SENGGOL-SENGGOLAN 1980 DANU UMBARA
Composer
BILA HATI PEREMPUAN MENJERIT 1981 ARIZAL
Composer
TEMPATMU DI SISIKU 1980 JOPI BURNAMA
Composer
BANG KOJAK 1977 FRITZ G. SCHADT
Composer
BARANG TERLARANG 1983 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
PAK SAKERAH 1982 B.Z. KADARYONO
Composer
SEMBILAN JANDA GENIT 1977 IKSAN LAHARDI
Composer
TIGA CEWEK INDIAN 1976 AZWAR AN
Composer
TIGA COWOK BLOON 1977 AMIN KERTARAHARDJA
Composer
CINTA ABADI 1976 WAHYU SIHOMBING
Composer
FAJAR YANG KELABU 1981 SANDY SUWARDI HASSAN
Composer
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Composer
JALAL KOJAK PALSU 1977 MOTINGGO BOESJE
Composer
JALAL KAWIN LAGI 1977 MOTINGGO BOESJE
Composer
NUANSA BIRUNYA RINJANI 1989 JIMMY ATMAJA
Composer
MISTIK 1981 TJUT DJALIL
Composer
DI LUAR BATAS 1984 JOPI BURNAMA
Composer
KEMELUT HIDUP 1977 ASRUL SANI
Composer
RAHASIA PERKAWINAN 1978 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
BUSANA DALAM MIMPI 1980 IDA FARIDA
Composer
GADIS BERWAJAH SERIBU 1984 RATNO TIMOER
Composer
PEREMPUAN BERGAIRAH 1982 JOPI BURNAMA
Composer
BUMI BULAT BUNDAR 1983 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
ITU BISA DIATUR 1984 ARIZAL
Composer
TANGKUBAN PERAHU 1982 LILIK SUDJIO
Composer
LENONG RUMPI II 1992 YAZMAN YAZID
Composer
LENONG RUMPI 1991 YAZMAN YAZID
Composer
DALAM PELUKAN DOSA 1984 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
TANTANGAN 1969 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
NYI BLORONG 1982 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
TIGA SEKAWAN 1975 CHAERUL UMAM
Composer
BIRAHI DALAM KEHIDUPAN 1987 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
ALADIN DAN LAMPU WASIAT 1980 SISWORO GAUTAMA
Composer
BENYAMIN SI ABUNAWAS 1974 FRITZ G. SCHADT
Composer
BENYAMIN TUKANG NGIBUL 1975 NAWI ISMAIL
Composer
PUTRI GIOK 1980 MAMAN FIRMANSJAH
Composer
ROMANTIKA REMAJA 1979 JOPI BURNAMA
Composer
MUMPUNG ADA KESEMPATAN 1993 ARIZAL
Composer
IRA MAYA PUTRI CINDERELLA 1981 WILLY WILIANTO
Composer
USIA DALAM GEJOLAK 1984 SISWORO GAUTAMA PUTRA
Composer
POKOKNYA BERES 1983 ARIZAL
Composer
NASIB SI MISKIN 1977 JOPI BURNAMA
Composer
BAYAR TAPI NYICIL 1988 ARIZAL
Composer
DILIHAT BOLEH DIPEGANG JANGAN 1983 DANU UMBARA
Composer
SERBUAN HALILINTAR 1982 ARIZAL
Composer
JOHNY INDO 1987 JIMMY ATMAJA
Composer
BUKAN MAIN 1991 YAZMAN YAZID
Composer
GENTA PERTARUNGAN 1989 ACKYL ANWARI
Composer
BAHAYA PENYAKIT KELAMIN 1978 MOTINGGO BOESJE
Composer
KAMP TAWANAN WANITA 1983 JOPI BURNAMA
Composer
TANGAN-TANGAN MUNGIL 1981 YAZMAN YAZID
Composer
BOLEH DONG UNTUNG TERUS 1992 YAZMAN YAZID
Composer
MODAL DENGKUL KAYA RAYA 1978 PITRAJAYA BURNAMA
Composer
SENYUM NONA ANNA 1977 SOEGIMAN DJAJAPRAWIRA
Composer
SUNAN KALIJAGA 1983 SOFYAN SHARNA
Composer
KAMPUS BIRU 1976 AMI PRIJONO
Composer
GEJOLAK KAWULA MUDA 1985 MAMAN FIRMANSJAH
Composer

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1987 JAKARTA

22 Agustus 1987
FFI 1987, JAKARTA
Membajak Blitar selatan

SEJUMLAH gembong PKI pelarian dari Jakarta menelusup ke Blitar Selatan, Jawa Timur, lewat pantai. Mereka tiba di sebuah kecamatan berbukit kapur, terpencil, dan gersang. Mereka bermaksud menghimpun kekuatan, dan berhasil mempengaruhi penduduk desa dengan terlebih dahulu meneror sejumlah ulama dan tokoh masyarakat. Kekejaman sisa-sisa PKI itu luar biasa, misalnya menembaki orang-orang yang lagi sembahyang. Kejadian pada tahun 1968 itu, sehari sebelum FFI 1987 ditutup, Jumat dua pekan lalu, dipertunjukkan di sebuah hotel di Jakarta. Itu memang hanya sebuah kaset video, yang diputar sebagai bagian dari pelayanan hotel. Kebetulan di antara tamu-tamu hotel adalah peserta Musyawarah Besar PPBSI (Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), yang datang dan berbagai daerah. Mereka kaget, film itu tentu hasil rekaman kaset video dari film asli. Akan tetapi, film itu sendiri baru beberapa yang beredar. Artinya, ini pasti bajakan. Lalu PPFN (Pusat Produksi Film Negara), yang memproduksi film itu, dilapori. Memang, menurut pengamatan beberapa wartawan TEMPO film video itu sudah ada di beberapa toko penyewaan kaset video, menjelang FFI dibuka. Direktur PPFN, G. Dwipayana, pun sudah tahu. 

"Pembajakan itu mestinya dilakukan di Jakarta," katanya. Kasus ini menjadi bukti bahwa bukan hanya film laris yang dibajak. Bukan hanya film yang masuk nominasi FFI, lalu diduplikat ke dalam kaset video secara tak sah, kemudian dijual-belikan. Soalnya, film Penumpasan Sisa-sisa PKI di Blitar Selatan, yang punya judul lain Operasi Trisula itu, menurut sejumlah video rental, tidak laku. Juga, dalam peredarannya di gedung bioskop di Jakarta, film yang disutradarai B.Z Kadaryono ini tak menggembirakan. Tapi memang, film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya ini punya misi. Yakni memberi penerangan kepada masyarakat bahwa PKI itu berbahaya. Ini kata Direktur PPFN, Dwipayana, sendiri. Itu sebabnya, "Masalah keuntungan tak terlalu dipikirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Gatot Triyanto. Jadi, memang berbeda misinya dengan film PPFN sejenis, misalnya Serangan Fajar, yang disutradarai Arifin C. Noer. Dalam film ini, PPFN punya misi, selain menanamkan jiwa patriotik, juga mengharap keuntungan -- dan itu memang dicapai. "Jadi, dibandingkan Serangan Fajar, film Operasi Trisula ini kecil sekali. Apalagi kalau dibandingkan film Pemberontakan G-30-S/PKI," kata Dwipayana pula. "Sutradara Operasi Trisula juga relatif masih yunior." Operasi Trisula yang sebenarnya itu sendiri cukup bersejarah dari sudut militer. 

Di situ terlibat Kolonel Witarmin, yang di kemudian hari menjadi Pangdam Brawijaya, Jawa Timur. (Kini sudah almarhum karena serangan jantung). Di awal-awal film malah sempat disisipi film dokumentasi, ketika Kolonel Witarmin memberikan instruksi-instruksi operasi. Toh, meski diangkat dari kisah sebenarnya, meski kekejaman PKI juga dicoba digambarkan, dari awal hingga akhir ketegangan tak hadir di gedung bioskop. Dilukiskan bagaimana sisa-sisa PKI ini memeras, merampok, membunuh, dan sebagainya. Lalu, teror itu tercium oleh aparat keamanan. Operasi pembersihan pun dilakukan dengan nama sandi, itu tadi, Trisula. Ada sedikit kesempatan untuk menyuguhkan adegan action menarik, sebenarnya. Yakni ketika tentara menyeberang Kali Brantas dengan rakit yang ditembaki PKI. Sayang, ini pun tak tampil secara baik. Dengan singkat dan gampang, PKI dilumpuhkan. Sebuah film yang diangkat dari peristiwa sebenarnya, dan lalu setia pada kejadian itu, biasanya memang menjadi tidak menarik. B.Z. Kadaryono, sutradara, tampaknya memahami hal ini pula. Ia pun telah berusaha "mengembangkan" cerita. Hasilnya, sejumlah adegan fiktif -- maksudnya, hal itu pada tahun 1968 tak benar-benar terjadi. Umpamanya, sebuah adegan dialog antara seorang bapak yang antikomunis dan anaknya yang ikut Gerwani, Gerakan Wanita Indonesia, organ di bawah PKI. Mestinya ini bisa menyentuh hal-hal yang sifatnya manusiawi. Bagaimana "Politik sebagai Panglima" bisa memporak-porandakan sebuah keluarga, umpamanya. Tapi itulah, hal tersebut tidak hadir. Yang penting di sini tampaknya cuma dar-der-dor kekejaman PKI, lalu dar-der-dor penumpasan PKI. Dari sudut seni akting pun, permainan Rachmat Kartolo, Hassan Sanusi, Yati Surachman, Lina Budiarti, dan sejumlah artis dari Surabaya itu sama sekali tak berkembang. Ini sebuah contoh film yang lebih mementingkan misi, tanpa penggarapan memadai. Menjadi terasa scdikit penting karena kisahnya benar-benar terjadi. Itu saja. Maka, agak aneh bahwa film seperti ini pun dibajak. Untung tidak laris.

15 Agustus 1987
TERJADINYA sedikit kesalahan teknis 
-- keputusan juri salah masuk amplop yang mengganggu kelancaran upacara, untunglah tak sampai merusakkan suasana gembira malam penutupan Festival Film Indonesia 1987, Sabtu malam pekan lalu. Dan sesudah Nagabonar dinyatakan memenangkan 6 Piala Citra, bisa ditebak bahwa komedi itu pastilah dipilih sebagai film terbaik. Sebelumnya banyak yang menduga, Citra untuk film terbaik akan jatuh pada Biarkan Bulan Itu. Sebab, film ini mencatat 12 nominasi, sementara Nagabonar, dan Kodrat, masing-masing hanya sembilan. Tapi rupanya Bulan karya Arifin C. Noer tak beruntung alias gagal. Tak satu pun Citra diperolehnya. Sementara itu film yang tak lolos nominasi, seperti Secawan Anggur Kebimbangan karya Wim Umboh, memperoleh Citra untuk editing. Apa yang terjadi? Ada sejumlah hal yang menimbulkan pertanyaan. Umpamanya, Citra untuk penyutradaraan -- unsur terkuat yang menentukan sebuah film sebagai terbaik -- tidak dimenangkan oleh M.T. Risyaf, sutradara Nagabonar. Citra untuk penata fotografi juga tidak diperoleh film yang menang ini. 

Padahal, fotografi termasuk unsur penting dalam menentukan sebuah film menjadi baik atau sebaliknya. Kalau dikaji lebih jauh, kekuatan Nagabonar hanya terkumpul pada tiga aspek: cerita dan skenario, akting, musik dan tata suara. Bandingkan umpamanya dengan film terbaik dalam FFI tahun lalu, Ibunda yang juga memenangkan sejumlah aspek penting dalam sebuah film. Dari sembilan Citra yang diraih oleh film Teguh Karya itu di antaranya adalah unsur-unsur penting: penyutradaraan, pemeran utama, fotografi, editing, cerita. Tentu saja, mutu sebuah film tidak ditentukan oleh tiap-tiap unsurnya, tapi keterpaduan dan keserasian kesemuanya: bobot artistik, teknis, kematangan penggarapan. Di samping itu, masih ada faktor x, yang membuat sebuah karya dipandang punya nilai lebih daripada karya lainnya. Mungkin di situlah keistimewaan Nagabonar -- menurut dewan Juri, tentu. Adapun susunan lengkap pemenang: Film: Nagabonar sutradara: Slamet Rahardjo (Kodrat) pemeran utama wanita: Widyawati (Arini) pemeran pria: Deddy Mizwar (Nagabonar) pemeran pembantu wanita: Rodiah Matulessy (Nagabonar) pemeran pembantu pria: Darussalam (Kodrat) skenario: Asrul Sani (Nagabonar) cerita asli: Asrul Sani (Nagabonar) editing: Emile Callebout (Secawan Anggur Kebimbangan) penata fotografi: M. Soleh (Kodrat), penata artistik: A. Affandy S.M. (Cintaku di Rumah Susun) penata suara: Hadi Artomo (Nagabonar) penata musik: Franki Raden (Nagabonar).

15 Agustus 1987
FESTIVAL artinya hura-hura. 
Dan bagaimana berhura-hura dengan baik, tampaknya, makin disadari oleh dunia perfilman Indonesia. Tahun lalu umpamanya, pawai-pawai oleh mereka yang menamakan diri "insan film" yang biasanya selalu diadakan dengan biaya mahal -- sudah ditiadakan. Juga soal tempat mulai tahun lalu Festival Film Indonesia (FFI) diputuskan hanya dilangsungkan di Jakarta. Tak lagi digilir ke daerah. Tak berarti acara gemerlap dalam penutupan, ketika pengumuman para pemenang Citra dilaksanakan, juga dihapus. Sabtu malam pekan lalu di Balai Sidang, Jakarta, misalnya, para bintang dengan kostum yang byar-byar menghadiri malam penutupan FFI 1987. Toh, dalam acara panggung gembira ini pun terasa ada peningkatan selera. Ada selingan lagu dari Kelompok Suara Impola pimpinan Gordon Tobing. Yakni, jenis musik yang, pinjam istilah pengamat musik pop Remy Silado, tidak merengek-rengekkan cinta. Lebih dari itu, suguhan Lintasan Sejarah Perfilman Indonesia oleh Teguh Karya (sutradara), Idris Sardi (musik), dan Misbach Yusa Biran (naskah) memberikan warna tersendiri untuk pesta penutupan FFI kali ini. Tontonan ini, sesuai dengan namanya, mengajak penonton mengenang perjalanan film Indonesia dari zaman Belanda sampai FFI tahun lalu, ketika Tuti Indra Malaon dan Deddy Mizwar memenangkan Citra. Dengan pengalaman Teguh berteater selama ini, sajian ini memang cukup memikat, dan informatif. Bagaimana dulu kita cuma jadi kuli tukang mengangkat-angkat kamera, bagaimana film Indonesia pernah menyontek gaya India, menarik ditonton. Juga, di sana-sini banyak lucunya, umpamanya ketika menceritakan bahwa Indonesia dulu juga ikut-ikutan bikin film Tarzan. Lebih kurang, teater Teguh agak komplet. 

Ada adegan film Zorro Indonesia, ada Untuk Sang Merah-Putih, Enam Jam di Yogya, sampai Pemberontakan G-30-S/ PKI. Tentu, masih ada kasak-kusuk siapa pemenang Citra. Dan, setelah pengumuman usal, masih pula terdengar diperbincangkan mengapa Nagabonar seperti "dipaksakan" dijadikan film terbaik (lihat Citra itu untuk Nagabonar). Banyak pengamat film yang menatakan kesannya bahwa film peserta FFI kali ini dari segi mutu merosot. Soal mutu ini secara tak langsung malah dilontarkan sendiri oleh Slamet Rahardjo, yang meraih Citra untuk sutradara dalam film Kodrat. "Kita terlalu banyak disuguhi film-film yang tidak pas. Sebaiknya kita tidak lagi melahirkan film-film yang asal jadi. Saya sendiri selalu berkarya dengan sebaik mungkin dan mempunyai rasa tanggung jawab demi kemajuan film Indonesia," katanya. Kalau ditilik lebih jauh, FFI 87 juga merosot dalam berbagai hal, termasuk acara-acara penunjangnya. Kampanye film unggulan yang berlangsung di Pusat Perfilman Usmar Ismail (22 sampai 31 Juli), memang dihadiri lebih banyak pengunjung. Tetapi hasilnya tak lebih dari temu-muka para artis dan penggemarnya. Peningkatan apresiasi? Mungkin masih jauh -- sementara kenyataannya film Indonesia memang belum jadi tuan rumah di bioskop sendiri.
 
Diskusi yang lebih serius memang ada. Di Jakarta tak tanggung-tanggung diskusi itu diselenggarakan di gedung LIPI (16-17 Juli) dengan pembicara Dr. Alfian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan LIPI, dan Dr. Ninuk Kleden Probonegoro, staf peneliti LIPI. Diskusi ini membicarakan, sebagaimana judul makalah Alfian, Manusia Indonesia dalam Film Indonesia. Diskusi lain terjadi di dua kota luar Jakarta, Padang dan Ujungpandang, dikaitkan dengan kampanye film unggulan. Di Padang tampil Drs. Mursal Esten, dosen IKIP Padang yang juga Kepala Taman Budaya Padang. Di Ujungpandang berbicara Dr. Salim Said, penulis buku Profil Dunia Film Indonesia, tentang Revolsi Indonesia dalam Film-Film Indonesia. Diskusi ini tak mencuat ke permukaan lantaran tak banyak tokoh film yang hadir. Lagi pula, yang dibicarakan bukanlah sesuatu yang langsung berkaitan dengan mutu film atau pemasaran film atau pembajakan film ke video, masalah yang mendesak untuk dipecahkan -- meskipun topik itu penting. Bazar film yang juga diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail (31 Juli - 7 Agustus) jauh beda dengan acara yang pernah diadakan di daerah-daerah sebagai pelengkap FFI. Soetomo Ganda Subrata, Dekan Fakultas Sinemaografi Institut Kesenian Jakarta, mengeluhkan soal tempat. "Tempat bazar tidak strategis, dan jauh dari kendaraan umum, apalagi malam hari," katanya. 

Dalam bazar ini, Fakultas Sinematografi memamerkan film-film pendek dan beberapa program video. Soetomo kemudlan membandingkan dengan FFI Yogya. "Tempatnya di kampus UGM Bulaksumur, pengunjung mencapai targct. Kebanyakan mahasiswa, dan mereka banyak bertanya, kami pun memberikan informasi," kata Soetomo. Di Jakarta tak diperoleh semua itu. Padahal, di pameran FFI Jakarta kali ini, sinematografi IKJ menyediakan 15 film pendek yang cukup berbobot. "Bagaimana pameran ini bisa berhasil kalau yang datang ibu-ibu gendong bayi dan anak-anak ingusan yang tak mengerti film apa-apa?" keluh Nana, seorang mahasiswa IKJ. Nana tentu tak bermaksud bahwa ibu-ibu itu tak layak nonton. Tapi bahwa para insan film sedikit saja perhatiannya terhadap pameran penting ini, kira-kira ini menunjukkan seberapa jauh niat mereka mengatrol mutu film sendiri. Bagaimana FFI tahun depan? Mestinya lebih baik, termasuk persaingan di tingkat film dengan turunnya Teguh Karya dan munculnya film Arifin tentang Supersemar yang kini sedang dikerjakan. Pestanya meningkat, mestinya mutu filmnya bisa pula naik. Barang dagangan, 'kan bisa juga bermutu. Putu Setia, Laporan Biro Jakarta

25 Juli 1987

Ketika musim revisi tiba
DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. 

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya. Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. 

Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. 

Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

01 Agustus 1987
Pemeran kirana dalam nagabonar
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?


01 Agustus 1987
Berperan orang gila
BAGAIMANA rasanya menjadi orang gila? Tanyalah kepada Dewi Yull, si "Jeng Sri" dalam Losmen. "Menjadi orang gila itu enak. Dan sungguh nikmat. Pikiran saya menjadi kosong, tanpa beban," kata Dewi pekan lalu di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, sehabis mengampanyekan filmnya. Penyesalan Seumur Hidup. Dalam film yang masuk nominasi Festival Film Indonesia 1987 itulah, "Saya menjadi gila, setelah anak saya meninggal." Anak yang dimaksud, ya, dalam film itu. Konon, ia menghayati perannya tak tanggung-tanggung. Banyak yang memuji-muji Dewi pantas mendapat Piala Citra. "Bila ada yang mengatakan saya akan memperoleh Citra, saya selalu menjawab, Amin," katanya. "Film itu bukan olah raga. Misalkan saya ikut lomba lompat jauh, selesai melompat jarak langsung diukur, hasilnya langsung bisa dilihat. Lha, dalam ibn, setiap orang penilaiannya berbeda," tutur ibu satu anak yang pernah bekerja di kantor Menpora itu. Saingan Dewi Yull kali ini, unara lain, seorang artis muda yang juga tak suka "issue". Dialah Nurul Arifin, 21 tahun pemeran Kirana dalam film yang diduuga bakal muncul sebagai film terbaik, Nagabonar. "Saya tak pernah mimpi mendapatkan Piala Citra," kata Nurul. Sebabnya, "Saya sungguh risi kalau disebut bintang film. Saya ini belum bintang, masih hanya pemain". Kalau pemain yang bintang bagaimana?

Rabu, 02 Februari 2011

KETIKA MUSIM SEMI TIBA / 1986

KETIKA MUSIM SEMI TIBA


Awang (Rico Tampatty)atas bantuan ayah Margie (Paramitha Rusady), mengikuti latihan pertelevisian di Roma. Awang mulai bercinta dengan Margie meskipun Margie sudah dipertunangkan oleh orangtuanya. Orangtua Margie secara halus mendesak agar Awang meninggalkan Margie. Dalam keadaan frustasi, Awang mengalihkan perhatiannya ke seorang penari, Vivienne (Meriam Bellina)yang memegang prinsip bahwa waktu yang menentukan pertemuan, percintaan dan perpisahan.
P.T. VIRGO PUTRA FILM

PARAMITHA RUSADY
MERIAM BELLINA
RICO TAMPATTY
LEROY OSMANI
W.D. MOCHTAR
NYOMAN AYU LENORA
SRI LESTARI
H.I.M. DAMSJIK
TEDDY MALA
AGUS SIRAN
NANANG DURACHMAN
S. NARYO HADI

25 Juli 1987
Ketika musim revisi tiba

DUA orang petugas Kanwil Departemen Penerangan Jawa Barat mendatangi Bioskop Vanda di Bandung, menjelang pukul sepuluh malam, Kamis pekan lalu. Mereka tidak menuju loket, tetapi masuk ke kantor bioskop, lalu menyodorkan selembar "surat sakti". Isi surat, yang ditandatangani Kepala Kanwil Deppen Ja-Bar, Drs. Asep Saefudin, meminta agar film yang diputar saat itu bisa dihentikan secepatnya. Peristiwa yang sama terjadi di Yogyakarta, Tegal, dan berbagai kota lain di Indonesia. Perintah itu datang dari Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF), Thomas Soegito, lewat telepon. 

Maka, untuk sementara, peredaran film nasional yang agaknya bisa menjadi film terlaris tahun ini terganggu. Film itu tak lain Ketika Musim Semi Tiba (KMST). Larangan terhadap film yang sedang dalam masa putar di bioskop agaknya baru sekali ini terjadi. Dan larangan terhadap KMST itu dikeluarkan sesudah BSF menyelenggarakan sidang pleno Senin pekan lalu. "BSF mempertimbangkan banyaknya imbauan dari masyarakat," kata Thomas Soegito. "Film itu akan disensor ulang." Dibintangi Meriam Bellina dan Rico Tampatty, KMST mendapat sambutan di mana-mana. Ketika diambil dari Bioskop Vanda Bandung, KMST sudah memasuki hari putar ke-56, dan sudah ditonton lebih dari 40 ribu orang. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, film ini pun diserbu penonton begitu juga di Jawa Timur, Bali, Sumatera. KMST sudah menghilang dari bioskop Jakarta, tapi kaset videonya menyebar sampai ke rental paling kecil. Kabar terakhir, video KMST sudah beredar pula di Denpasar, dan bukan mustahil di kota-kota lain juga. Dalam situasi beginilah, BSF mau merevisi. Amboi! Lalu bagaimana dengan videonya yang mewabah itu? Adakah BSF, ketika melepas film ini Maret lalu -- juga lewat sidang pleno -- tidak memperhitungkan reaksi masyarakat? Tampaknya begitu. BSF hanya melaksanakan tugasnya yang biasa, tapi khusus dalam kasus KMST, kejelian sensornya diragukan banyak orang. Memang, di Yogyakarta yang terkenal rewel itu -- film ini tidak dipersoalkan Bapfida setempat. Hanya ada catatan, film boleh diputar cuma di Kota Madya Yogyakarta. Berarti di Kabupaten Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul, KMST tak laik putar. Apalah artinya itu kalau jarak tempuh ke Yogya bisa dicapai dengan mengayuh sepeda tanpa lelah? Lalu, di Jawa Tengah, yang sudah terbiasa agak longgar, tokoh-tokoh seperti Haji Karmani dan Haji Wahab Djaelani mengakui bahwa KMST "agak mengejutkan" tetapi toh dapat menerima, karena film tetap sebuah film dan urusan porno tergantung dari mana melihatnya.

 Baru di Jawa Barat KMST kesandung, itu pun setelah masa putarnya mendekati 60 hari. Salah seorang pimpinan MUI Ja-Bar, Endang Rahmat, berkata, menonton KMST adalah haram hukumnya. Dikutip harian Pikiran Rakyat, Endang berucap, "Majelis Ulama Jawa Barat tak perlu lagi mengeluarkan fatwa. Film ini amat pornografis." Sejak itu, protes dari masyarakat bermunculan. Di Indonesia, perdebatan tentang pornografi memang seperti tak 'kan habis-habisnya. Film KMST yang sudah lolos sensor itu di mata BSF tetap tidak porno. "Pokoknya, BSF menilai film itu sudah pas," kata Thomas Soegito, akhir pekan lalu. Pertimbangan BSF: film diangkat dari novel yang sudah beredar luas, cerita film terjadi di Roma, dan untuk 17 tahun ke atas. Sampai sekarang BSF sudah berkali-kali melepas film-film panas, tapi baru dalam kasus KMST, lembaga ini dikecam keras. "Karena masyarakat punya pandangan lain, BSF harus peka terhadap imbauan masyarakat," ujar Thomas. Sikap BSF yang cenderung reaktif inilah agaknya, yang membuat Bobby Sandy (sutradara) dan Ferry Angriawan (produser KMST) berang. "Saya jadi tak tahu lagi apa kriteria BSF," kata Ferry. Ia pun menuding media massa. "Sebelum media massa meresensi film itu, tak ada komentar dari masyarakat yang negatif. Oknum-oknum tertentu kemudian memanfaatkannya," umpat pimpinan PT Virgo Putra Film ini. Bobby Sandy ikut menimpali. "Ketika saya membuat film itu, tidak terniat sama sekali menonjolkan hal-hal yang porno. 

Kalau mau membuat film begitu, kenapa jauh-jauh mencari tempat romantis sepert Roma?" ujarnya, seperti yang sudah diucapkannya berkali-kali sebelum ini. Ia sepakat dengan Ferry, film ini ditarik karena dikerjain. Tapi cobalah KMST dikaji sekali lagi. Kostum Meriem dalam adegan tari, sesungguhnya, tak polos betul. Bahkan mirip dengan film Cinta di balik Noda, yang menyebabkan ia memperoleh Citra, FFI 1984 di Yogyakarta. Kesintalan tubuh Mer ketika menari dan diangkat-angkatnya tubuh itu oleh penari lelaki pun pernah muncul dalam film Mer yang lain. Atau mengingatkan pada drama musikal Waktunya Sudah Dekat yang dipentaskan di Balai Sidang, Senayan, November 1985. Tarian dalam KMST pun dari segi artistik tak jatuh betul. Cuma, adegan berciuman dan lagi-lagi berciuman itu apa porsinya tidak terlalu berlebihan? Apa maunya, Bobby? Di sini pula gunting BSF mendadak tumpul, membiarkan adegan ciuman panjang yang sampai kulum-mengulum lidah. Kalau ini digunting dan disisakan cipokan beberapa detik, lalu membiarkan adegan pelukan untuk tak memotong dialog, jalan cerita toh masih tetap bisa diikuti. Kontinuitas tetap terjaga. Selain gunting BSF tak bekerja di bagian ini, KMST bernasib sial karena diputar menjelang FFI 1987. Film ini dijadikan salah satu bahan untuk lomba kritik FFI. 

Bandingkanlah dengan film-film lain yang terang-terangan mengeksploitasi seks, seperti Permainan yang Nakal, Bukit Berdarah, Bumi Bulat Bundar, Nyi Blorong, yang luput dari pengamatan media massa. Dan aman. Akankah KMST ini mengendap lama di BSF? Thomas Soegito menjanjikan dalam waktu dekat, setelah direvisi penyensorannya, KMST akan dilepas kembali. "Semua film nasional yang direvisi, termasuk Bung Kecil, Petualang-Petualang, Saidja dan Adinda akan dilepas menjelang pergantian anggota BSF ini," katanya. Berita menarik untuk ditunggu, karena keanggotaan BSF itu diganti akhir bulan ini juga. Putu Setia, Laporan Happy S. & Moebanoe Moera

Minggu, 23 Januari 2011

PITRAJAYA BURNAMA 1963-2004

PITRAJAYA BURNAMA



Foto ini saya ambil 2 hari sebelum beliau meninggal 6/nov/2010, sedang melalukan reading untuk main film. Om piet (kiri) - Norman Dorisman (tengah) - Surya (kanan)

Pitrajaya Burnama lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 8 Agustus 1934, ia lebih dikenal dengan panggilan Piet Burnama. Ia adalah seorang aktor sekaligus sutradara Indonesia yang populer di era tahun 1960 hingga tahun 1990-an.

Film-film yang ia bintangi kebanyakan bertema komedi dan laga. Seangkatan dengan aktor senior seperti Rachmat Hidayat, Kusno Sudjarwadi, Maruli Sitompul, dan W.D. Mochtar. Sedangkan film-film yang disutradarai olehnya banyak dimainkan oleh aktor kawakan seperti Bambang Irawan, Ratno Timoer, dan Rachmat Kartolo.

Dalam pementasan ATNI, Yogyakarta, di tahun 1950-an, Piet lebih banyak berrada di belakang layar, antara lain sebagai penata lampu. Tapi pernah juga mendapat peran utama dalam pementasan Montserrat sebagai kolonel yang kejam. Pertama kali terjun ke dunia layar perak dalam film Aku Hanya Bajangan (1963). Setelah itu, ia bolak-balik antara bermain dan menjadi sutradara film.

Ia juga seorang penulis skenario. Tapi prestasinya lebih menonjol sebagai aktor film. Lima kali masuk nominasi FFI, antaranya dalam film : Nilai di Gaun Putih (FFI 1982), Serpihan Mutiara Retak (FFI 1985), Beri Aku Waktu (FFI 1986), Tjoet Nja ’Dhien (FFI 1988) dan Langitku Rumahku (FFI 1990). Dalam FFI 2004, ia masuk menjadi nomimator peraih pemeran pria terbaik lewat FTV Perayaan Besar produksi Miles Production.

Nyong Ambon ini lahir jauh dari kampung nenek-moyangnya, ketika orang tuanya sedang jauh merantau di Cirebon. Dia lahir pada 8 Agustus 1934. Tapi sulung dari 13 bersaudara ini kemudian dibawa pulang ke Kepulauan Maluku, tanah leluhurnya. Setelah menghabiskan masa remaja di Amahai, dia merantau ke Jakarta pada 1956.

Penampilannya di masa muda tergolong menarik. Tapi di tahun 1950-an, ternyata modal tampang saja tidak cukup untuk jadi bintang di film. Pieter Mozes Burnama pun rela jadi tukang dekor dan penata lampu dalam syuting film. Waktu seorang sutradara butuh aktor, maka jadilah dia aktor. Dia membuang bau Belanda dalam namanya dengan memakai nama panggung Pietrajaya Burnama alias Piet Burnama. Wajahnya kerap muncul dalam film-film Indonesia, termasuk dalam film Warkop DKI,

Beberapa penikmat teater tak lupa bagaimana akting Piet dalam pegelaran teater di masa mudanya. “Permainannya sebagai Kolonel Izquerdo dalam drama Montserrat karya Emmanuel Robles, pada 1960, menempatkan Piet sebagai 'pemain watak' yang sangat diperhitungkan,” tulis Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis dalam obituari Piet, "Perginya Pemain Watak Terakhir", di majalah Tempo (16/11/2010).

“Sukses yang dicapai lewat Monserrat ternyata tidak hanya mengangkat nama ATNI tapi nama beberapa siswa ATNI pun terangkat ke atas. Dan barangtentu diantaranya adalah Pitradjaja Burnama aktor pentas yang kita hidangkan dalam rubrik 'Dari kehidupan Seniman' minggu ini,” tulis J. As di surat kabar Minggu Pagi (25/11/1962) yang menampilkan Pietrajaya Burnama.

Di tahun 1960 itu, selain bermain dalam Montserrat, Piet juga tampil dalam film. Meski bukan peran utama.

Sutradara Wim Umboh (1933-1986), seperti disebut dalam Minggu Pagi (25/11/1962), adalah orang yang menariknya terjun ke dunia film. Mula-mula di film Istana Yang Hilang (1960) produksi Aris Film. Lalu Mendung Sendja Hari, di tahun dan rumah produksi yang sama. Selain itu dia juga tampil dalam film Pedjuang. Lagi-lagi bukan peran utama. Sebagai pemuda yang pernah belajar teater di ATNI, Piet tidak kaku berakting bersama orang-orang film yang sudah berpengalaman.

Tahun 1960 adalah tahun pentingnya terjun di dunia film. “Sejak saat itu Piet mengukuhkan diri di dunia sinema Indonesia sebagai pekerja keras yang sederhana, lembut, dan bermartabat,” tulis Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis.

Putra sulung dari pasangan Orpha Burnama dan Teofillus Burnama ini bukan aktor yang melulu tampil sebagai peran utama protagonis. Apa saja dia bisa. Tak heran jika dia tergolong salah satu aktor watak Indonesia yang pernah ada.

J. As pernah bertemu dengan Piet pada 1962 di Studio Infico Rawasari Kebayoran Lama, Jakarta. J. As tak menyangka bahwa Piet Burnama, yang sudah sering ditulis di media-media terkait film kala itu, “Orangnya ramah tamah. Senyumnya manis seperti senyum wanita.”


Kala diwawancarai J. As, Piet yang biasanya berkumis terlihat berjenggot.

“Kenapa berjenggot?” tanya J As.

“Saya baru saja menyamun anak perawannya Oom Usmar,” jawab Piet sambil tersenyum.

Kala itu, seperti dicatat J. As, Perfini pimpinan Usmar Ismail telah merampungkan syuting Anak Perawan di Sarang Penyamun yang berlokasi di Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam film yang ceritanya diambil dari novel karya Sutan Takdir Alisjahbana ini, bermain pula Bambang Hermanto, Bambang Irawan, dan Nurbany Jusuf. Seperti Piet, dua Bambang berperan sebagai penyamun dan Nurbany Jusuf sebagai anak perawan.

Piet rela tak berkumis demi perannya. Dalam film Max Havelaar yang diproduksi 1976, Piet berperan sebagai jaksa yang diam-diam membantu Max Havelaar untuk menghadapi Bupati Lebak yang lalim. Di film ini, kita bisa melihat Piet Burnama tampil tanpa kumis.

Dalam film-film lainnya, maupun dalam foto-foto yang beredar, Piet terlihat berkumis. Di film Max Havelaar kita serasa melihat Piet Burnama tidak ada dalam film—yang ada hanya jaksa yang diperankannya. Begitulah seharusnya aktor watak: menghidupkan film dengan perannya. Bila perlu, karakter yang diperankannya menenggelamkan diri si aktor.

Pada zaman Orde Baru, Piet tetap main film. Kumis dan wajahnya biasa muncul di layar perak. Ia bermain dalam film Warkop DKI seperti Dongkrak Antik (1982) dan Mana Bisa Tahan (1990). Piet Burnama pernah juga beradu akting dengan Dedy Mizwar dalam Irisan-irisan Hati (1988) yang berlatar hubungan Indonesia-Malaysia pada masa konfrontasi.

Piet berperan sebagai bapak mertua dari seorang sukarelawan Dwikora yang diperankan Dedy Mizwar. Di film itu, mertua dan menantu berdebat terkait revolusi.

Piet dapat pujian dalam film itu. “Saya terkesan permainan Pitrajaya Burnama. Di situ Pitrajaya (aktor didikan ATNI) bermain sebagai bekas pejuang yang berhadapan dengan seorang mahasiswa,” tulis Salim Said dalam Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar (1991: 260).

Dari sekian banyak peran yang dilakoninya, sosok yang diperankan Piet yang paling diingat adalah Pang Laot dalam film Tjoet Nja' Dhien (1986).

Pang Laot yang diperankan Piet merupakan sosok yang di mata orang awam dianggap jahat. Pang Laot adalah pembantu penting dari Cut Nyak Dien dalam gerilya melawan Belanda. Ia yang diam-diam bekerjasama dengan Belanda ternyata tidak tega melihat Cut Nyak Dien yang terus menua dan terganggu matanya jika terus bergerilya. Hingga dia pun bikin perjanjian dengan Kapten Veltman—yang diperankan Rudy Wowor—agar jika Cut Nyak Dien tertangkap, istri Teuku Umar itu diperlakukan dengan baik oleh pemerintah kolonial.

Pernah juga Piet memerankan tokoh protagonis di mata orang-orang Indonesia. Piet memerankan sosok Daeng Azis, nakhoda kapal asal Makassar sekaligus penyelundup senjata bagi orang-orang Lombok yang sedang berperang melawan tentara KNIL Belanda. Piet berusaha keras meniru cara bicara dan logat orang Makassar.

Di film, Piet ternyata tak hanya berakting, ia juga pernah duduk di kursi sutradara. Sejak berkarier di zaman Sukarno jadi presiden, setidaknya, menurut Leila S. Chudori dan Amarzan Loebis, Piet Burnama telah bermain dalam lebih dari 102 film dan telah menyutradarai lebih dari 34 film.

Di tahun-tahun terakhir hidupnya, Piet Burnama terlibat dalam film Serdadu Kumbang. Setelah tutup usia pada 6 November 2010, tepat hari ini delapan tahun lalu, dia dimasukkan dalam satu liang kubur bersama Maria Burnama Monoarfa, istrinya, yang lebih dahulu pergi. Piet dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Perwira, Bekasi Barat.

GOYANG SAMPAL TUA 1978 RATNO TIMOER
Actor
DIAMBANG FADJAR 1964 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SUSANA-SUSANA BUKTIKAN CINTAMU 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Actor.Director
JANIN AJAIB 1989 TONNY BURNAMA
Actor
MALU-MALU KUCING 1980 ISHAQ ISKANDAR
Actor
MANDI DALAM LUMPUR 1984 SUSILO SWD
Actor
TERGODA 1994 ABDI WIYONO
Actor
TAPAK-TAPAK KAKI WOLTER MONGINSIDI 1982 FRANK RORIMPANDEY
Actor
GAWANG GAWAT 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Director
GERHANA 1985 BUCE MALAWAU
Actor
SAAT-SAAT YANG INDAH 1984 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
TAKSI JUGA 1991 ISMAIL SOEBARDJO
Actor
KARMA 1965 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SI PAHIT LIDAH DANS SI MATA EMPAT 1989 LILIK SUDJIO
Actor
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Actor
JANGAN BIARKAN MEREKA LAPAR 1974 CHRIS PATTIKAWA
Actor
JANGAN BILANG SIAPA-SIAPA 1990 CHAERUL UMAM
Actor
GODAAN MEMBARA 1994 DHANY FIRDAUS
Actor
GODAAN PEREMPUAN HALUS 1993 JOPI BURNAMA
Actor
SEJUTA SERAT SUTRA 1981 DASRI YACOB
Actor
YANG 1983 AMI PRIJONO
Actor
GUNDALA PUTRA PETIR 1981 LILIK SUDJIO
Actor
TONGKAT SAKTI 1982 WILLY WILIANTO
Actor
PENDEKAR BUKIT TENGKORAK 1987 PITRAJAYA BURNAMA
Director
BUNGA DESA 1988 A. RACHMAN
Actor
DANGER -KEINE ZEIT ZUM STERBEN 1984 HELMUT ASHLEY
Actor
BERGOLA IJO 1983 ARIZAL
Actor
PINTAR-PINTARAN 1992 YAZMAN YAZID
Actor
AJIAN MACAN PUTIH 1982 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
DONGKRAK ANTIK 1982 ARIZAL
Actor
ANTARA TIMUR DAN BARAT 1963 TURINO DJUNAIDY
Actor
SORGA YANG HILANG 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Director
RAJA PUNGLI 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Director
MERANGKUL LANGIT 1986 M.T. RISYAF
Actor
NILA DI GAUN PUTIH 1981 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
BERI AKU WAKTU 1986 BUCE MALAWAU
Actor
KULIHAT CINTA DI MATANYA 1985 BOBBY SANDY
Actor
KABUT PERKAWINAN 1984 WIM UMBOH
Actor
PENGINAPAN BU BROTO 1987 WAHYU SIHOMBING
Actor
PENGANTIN 1990 WIM UMBOH
Actor
MEI LAN, AKU CINTA PADAMU 1974 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SI BUTA DARI GUA HANTU 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Director
BILUR-BILUR PENYESALAN 1987 NASRI CHEPPY
Actor
MISTRI DI BOROBUDUR 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Director
ARWAH ANAK AJIAB 1988 TOMMY BURNAMA
Actor
ATENG KAYA MENDADAK 1975 PITRAJAYA BURNAMA
Director
ATENG RAJA PENYAMUN 1974 PITRAJAYA BURNAMA
Director
LEMBAH HIDJAU 1963 HASMANAN
Actor.Director
RANJAU-RANJAU CINTA 1984 NASRI CHEPPY
Actor
PLIN PLAN 1992 YAZMAN YAZID
Actor
DUEL NAGA WULUNG 1982 DASRI YACOB
Actor
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Actor
PENCURI 1984 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SEJOLI CINTA BINTANG REMAJA 1980 DASRI YACOB
Actor
MUSANG BERJANGGUT 1983 PITRAJAYA BURNAMA
Director
KUNANTI DJAWABMU 1964 WIM UMBOH
Actor
DIA BUKAN BAYIKU 1988 HASMANAN
Actor
MENDUNG SENDJA HARI 1960 WIM UMBOH
Actor
PREMAN 1985 TORRO MARGENS
Actor
DI DADAKU ADA CINTA 1986 NASRI CHEPPY
Actor
BISIKAN ARWAH 1988 JOPI BURNAMA
Actor
DON AUFAR 1986 PITRAJAYA BURNAMA
Director
PENDEKAR BAMBU KUNING 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Director
JERITAN SI BUYUNG 1977 PITRAJAYA BURNAMA
Director
RATAPAN ANAK TIRI II 1980 SANDY SUWARDI HASSAN
Actor
PERAWAN RIMBA 1982 DANU UMBARA
Actor
LIMA HARIMAU NUSANTARA 1991 PITRAJAYA BURNAMA
Director
LANGITKU RUMAHKU 1989 SLAMET RAHARDJO
Actor
SERPIHAN MUTIARA RETAK 1985 WIM UMBOH
Actor
PERCINTAAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Director
NOESA PENIDA 1988 GALEB HUSEIN
Actor
WANITA SEGALA ZAMAN 1979 HASMANAN
Actor
AKCE KALIMANTAN 1961 VLADIMIR SIS Drama Actor
APA JANG KAU TJARI, PALUPI? 1969 ASRUL SANI
Actor
CINTA PUNYA MAU 1989 CHRIST HELWELDERY
Actor
TIADA TITIK BALIK 1991 ACKYL ANWARI
Actor
PACAR KEDUA 1989 JOPI BURNAMA
Actor
GARA-GARA 1993 ARIZAL
Actor
AKU HANJA BAYANGAN 1963 PITRAJAYA BURNAMA
Director
OPERA JAKARTA 1986 SJUMAN DJAYA
Actor
MALAM JAHANAM 1971 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SI BUTA DARI GUA HANTU 1985 RATNO TIMOER
Actor
UNTUKMU KUSERAHKAN SEGALANYA 1984 YAZMAN YAZID
Actor
IMPIAN PERAWAN 1976 CHRIS PATTIKAWA
Actor
GADIS METROPOLIS 1992 SLAMET RIYADI
Actor
BARANG TITIPAN 1991 IDA FARIDA
Actor
TAK SEINDAH KASIH MAMA 1986 HASMANAN
Actor
CINTA ANAK MUDA 1990 HADI POERNOMO
Actor
CINTA 1975 WIM UMBOH
Actor
BALLADA KOTA BESAR 1963 WAHYU SIHOMBING
Actor
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN 1970 WIM UMBOH
Actor
RIMBA PANAS 1988 RATNO TIMOER
Actor
PEDANG NAGA PASA 1990 SLAMET RIYADI
Actor
KEMESRAAN 1989 PITRAJAYA BURNAMA
Director
PEREMPUAN 1973 PITRAJAYA BURNAMA
Director
PEREMPUAN BERGAIRAH 1982 JOPI BURNAMA
Actor
BUMI BULAT BUNDAR 1983 PITRAJAYA BURNAMA
Actor.Director
TANGKUBAN PERAHU 1982 LILIK SUDJIO
Actor
DUEL 1970 PITRAJAYA BURNAMA
Director
PEMBURU HARTA KARUN 1984 DASRI YACOB
Actor
PEMBURU NYAWA 1990 JOPI BURNAMA
Actor
DALAM SINAR MATANYA 1972 PITRAJAYA BURNAMA
Actor.Director
IRISAN-IRISAN HATI 1988 DJUN SAPTOHADI
Actor
GADIS HITAM PUTIH 1985 WAHYU SIHOMBING
Actor
TANTANGAN 1969 PITRAJAYA BURNAMA
Director
NYI MAS GANDASARI 1989 M. SHARIEFFUDIN A
Actor
PUTRI KEMBANG DADAR 1990 DASRI YACOB
Actor
MANA BISA TAHAN 1990 ARIZAL
Actor
DUA KEKASIH 1990 AGUS ELLYAS
Actor
SEMUA KARENA GINAH 1985 NYA ABBAS AKUP
Actor
POKOKNYA BERES 1983 ARIZAL
Actor
LEBAK MEMBARA 1982 IMAM TANTOWI
Actor
SENTUHAN KASIH 1982 WILLY WILIANTO
Actor
DETEKTIF DANGDUT 1976 PITRAJAYA BURNAMA
Director
JANJI SARINAH 1976 ARIZAL
Actor
SENYUM DAN TANGIS 1974 ARIZAL
Actor
SIMPHONY YANG INDAH 1981 PITRAJAYA BURNAMA
Actor.Director
DEMI ANAKKU 1979 PITRAJAYA BURNAMA
Director
RANJANG PEMIKAT 1993 PITRAJAYA BURNAMA
Director
MODAL DENGKUL KAYA RAYA 1978 PITRAJAYA BURNAMA
Director
SESAAT DALAM PELUKAN 1989 SOPHAN SOPHIAAN
Actor
GITA TARUNA 1966 PITRAJAYA BURNAMA
Director
AJIAN PAMUNGKAS 1990 SLAMET RIYADI
Actor
GEJOLAK KAWULA MUDA 1985 MAMAN FIRMANSJAH
Actor
GEJOLAK CINTA PERTAMA 1985 TOMMY BURNAMA
Actor.