JB Kristanto, kritikus film senior dan penulis Katalog Film Indonesia 1926-2007 (1995)
Sekolah film yang resmi itu dulu, kan, cuma ada satu: IKJ (Jurusan Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta). Sekarang ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta buka jurusan media rekam. ISI Solo, saya enggak yakin betul ada apa enggak. Ini yang formal-formal. Tapi juga, seingat saya, IKJ baru mulai tahun 1970-an dan baru menghasilkan alumni 5-6 setelahnya. Itu pun tidak banyak pengaruh. Artinya, ia menyumbang tenaga, teknisi. Tapi tidak banyak berpengaruh. Sistem yang lebih besar yang berlaku pada “industri” film sejak 1930 adalah magang.
Dan juga tidak berpengaruh pada industri itu sendiri. Tidak banyak yang memberi warna baru di penyutradaran. Kalau teknisinya lain. Mereka, kan, ikut aja. DOP [Director of Photography], editor, art director, tidak terlalu berpengaruh dalam memberi warna atau memberi pemikiran.
Sampai tahun 1990-an, orang belajar bikin film lewat magang, jadi asisten sutradaranya Wim [Umboh], jadi asisten sutradaranya Sjuman [Djaja], Teguh [Karya], Arifin [C. Noer]. Saya lupa ya asisten-asistennya Wim itu ada yang jadi apa enggak. Tapi dari Wim, ada beberapa: Bobby Sandy, misalnya. Dari Teguh jelas ada Slamet [Rahardjo]. Dari Sjuman ada beberapa: ada Jasso Winarto. Ada juga yang seperti Edo [Edward Pesta Sirait] yang jadi asisten beberapa sutradra: ya Sjuman, ya Wim, dan seterusnya.
Enggak seperti Jepang. Jepang itu kalau kamu sudah ikut satu sutradara, kamu akan ikut terus. Misalnya Kurosawa, sampai kamu jadi sutradara, ya kamu akan terus ikut Kurosawa. Di sini enggak seketat itu. Sjuman, kan, ganti-ganti asisten. Dia enggak punya grup. Tapi kalau Teguh Karya, dia punya sanggar: Nano [Riantiarno], Slamet Rahardjo, George Kamarullah. Jadi sistemnya seperti itu. Lalu pernah di KFT (Karyawan Film dan Televisi) dibikin semacam seleksi. Asisten yang mau jadi sutradara harus memenuhi syarat. Misalnya lima kali jadi asisten. Kalau mereka mau jadi sutradara, mereka harus bilang ke KFT: “Gue mau jadi sutradara, nih.” Lalu diuji oleh KFT. Salah satu ujiannya, tiga film yang pernah dia asisteni diputar, terus dia ditanya-tanya. Kalau boleh ya boleh. Kalau enggak ya enggak.
Ada periodenya. Tahun 1980-an kalau enggak salah. Nah, sampai tahun 1990-an, saya tidak melihat ada sumbangan dari IKJ. Lalu tiba-tiba muncul Garin (Nugroho). Garin ini kayak jadi pembatas, antara angkatan di bawahnya dan angkatan sesudahnya.
Garin enggak pernah magang. Sebelum dia bikin film cerita, dia bikin film dokumenter, bikin film pendek. Sejak awal sudah sutradara. Makanya dia jadi pembatas betul. Garin itu juga memberi warna. Bukan hanya karena sekolahnya, tapi karena orangnya, sih. Kan selalu ada yang kayak gitu. Bukan karena sistem. Setelah Garin, muncul generasi yang pernah saya tulis secara pendek: generasi yang enggak ada hubungannya lagi dengan angkatan sebelumnya. Generasi 2000, yang kira-kira mulai berkarya tahun 1995. Tradisi mereka sama sekali lepas dari angkatan sebelumnya.
Nah, kalau kembali ke soal pendidikan tadi, maka orang-orang setelah generasi Garin, seperti Mira dan Riri [Riza] juga jadi pembatas. Setelah Garin ada Riri dan Mira. Di luar mereka ini, ternyata banyak lagi yang sekolah di luar negeri. Mereka sekolah sekitar pertengahan 90-an dan generasi ini bener-bener putus dari generasi sebelumnya. Dari IKJ sekarang hampir kita enggak dengar, ya. Tapi teknisi tetap dari situ: DOP, editor, sound. Tapi sutradara enggak.
Tapi maksud saya begini: Pergaulan antara orang film dan orang sastra juga enggak ada. Padahal dari sejak zaman Usmar [Ismail, 1921-1971], sejak zaman Nyak Abbas Acup [1932-1991], sejak zaman Sjuman [1934-1985], dua komunitas itu akrab. Nyak Abbas itu nongkrongnya di TIM. Sjuman memang sastrawan juga sebelum jadi orang film. Dia termasuk seniman Senen. Misbach [Yusan Biran, 1933-2012]… Asrul [Sani, 1927-2004]… Ini kan orang-orang Perfini semua. Dikumpulin sama Usmar. Generasi yang paling baru ini kayaknya sudah lepas dari sastra dan teater. Bagaimanapun sastra dan teater itu, bukan hanya harus difilmkan, tapi kamu juga bisa menimba estetikanya. Kalau kamu akrab dengan itu, itu akan berpengaruh dalam diri kamu. Itu yang saya maksud. Saya enggak yakin generasi filmmaker sekarang juga baca. Karena kalau baca, kok, enggak ada baunya, ya? Tapi secara pergaulan juga enggak. Garin orang terakhir yang pergaulannya masih luas. Dia ambil tradisi tari ke film, dia bergaul dengan filsuf-filsuf Indonesia. Tapi di luar Garin, kan, enggak ada. Kita boleh enggak suka dengan film Garin. Saya juga belum tentu suka semua film Garin. Tapi, kan, kelihatan ada pemikiran dan apa yang ada di balik filmnya.
Betul. Jadi televisi itu bersisian dengan film. Tahun 1988 stasiun tivi swasta lahir. Waktu itu masih pakai dekoder. Terus tahun 1993, SCTV, TPI, dan seterusnya muncul bareng. Ini yang bikin orang-orang film pindah. Terus ada juga jaringan bioskop XXI, yang kalau enggak salah berdiri tahun 1986, tapi mulai mencengkeram kuat tahun 1990-an. Bersamaan dengan itu pada 1991, 1992, produksi film drop dan membuat orang-orang film pindah ke televisi. Pada waktu yang sama, XXI mulai mencengkeram. Ia mulai dengan monopoli distribusi film impor. Dengan monopoli itu ia bisa mendikte: “Lu mau ikut gue apa enggak?” Lama-lama bioskop-bioskop daerah mulai rontok. Apalagi di XXI, ada kualifikasi tertentu, kursinya harus kayak gini, layarnya harus kayak gini, dan seterusnya. Sehingga bioskop-bioskop di kota kabupaten (Dati II), yang tidak bisa memenuhi syarat-syarat itu, gulung tikar. Padahal di situlah wilayah pasarnya film Indonesia. Jadi itu semua saling pengaruh. Lucunya, sekarang ini semuanya jadi terbalik. Orang-orang yang lari ke tivi sekarang balik ke film. Sebabnya, orang-orang di televisi bikin in-house production sendiri. Multivision, MD, Starvision dulu raja sinetron. Sekarang malah mereka yang menguasai film. Karena mereka sudah enggak punya ladang lagi di televisi. RCTI dan SCTV, misalnya, bikin anak perusahaan yang mensuplai sinetronnya sendiri. Ini yang menurut saya menarik. Karena waktu mereka jadi supplier televisi, mereka dipaksa menjadi industri, frame of thingking-nya, sistem kerjanya. Penulis skenario dikontrak untuk sekian tahun, sekian judul. Supaya produksinya secure. Kalau enggak, nanti di tengah jalan sinetronnya bubar. Keterbiasaan mereka dengan industri sekarang diterapkan ke film. Tadinya film itu kayak industri rumahan. Setahun produksi 1, 2, atau 3 film. Sekarang, Starvision bisa (produksi) sepuluh film per tahun. Jadi meskipun pelopor kembalinya film indonesia itu Mira [Lesmana], tapi yang berjaya ya bukan Mira.
Karena dipaksa. Dan mereka enggak tahu pilihan lainnya. Tahunya cara begini yang bener. Kalau saya lihat data-data penonton, Parwez (Chand Parwez Servia, pemilik Stravision) yang paling produktif, setahun bisa delapan atau sepuluh, kadang-kadang 100 ribu, 200 ribu penonton, tapi tiba-tiba Cek Toko Sebelah dapat 2,5 juta penonton. Nah, itu berarti jackpot-nya dapet. Resepnya Parwez begini: Asal lu produksi kontinyu, lu enggak rugi secara keseluruhan. Jangan lihat judul per judul. Karena kalau dapat 200 ribu penonton, paling cuma dapat Rp3 milyar. Tapi kalau pun dia dapat tiga milyar dari tiket di bioskop, dengan 200 ribu penonton, dia masih punya hak jual untuk stasiun televisi. Itu sekitar satu milyar.
PEMBUAT FILM INDONESIA 1900-1992, Blog ini tentang pembuat film Indonesia, mulai dari Isu, peristiwa, sosok, dibalik layar, berita, bioskop, analisa, kritikus, undang-undang film, film negara, bintang film, sutradara, Cinematographer, produser, sosok yang berpengaruh, sang legend, aktor, aktris, perkembangan film Nasional, jadul, lawas, nostalgia, jaman, kejayaan, keemasan, mereka yang membuat film, penonton, situasi sosial saat itu, perjuangan, kemerdekaan, era Belanda, Jepang, fungsi film dll.
Selasa, 11 Agustus 2020
JB KRISTANTO, melihat film dulu dan sekarang.
Kamis, 06 Agustus 2020
AGUS MULJONO (1951-1961)
Bintang Film yang dalam waktu singkat dapat menduduki peranan utama dalam film “Taufan” produksi Ksatrya Dharma Film Coy, tak lain dan tak bukan adalah Agus Muljono, seorang pemuda yang berasal dari Jogjakarta dan mempunyai semangat besar dan berminat dalam lapangan film Indonesia. Memang dalam mencapai cita-citanya seseorang tidak boleh putus asa dan berkecil hati, justru dapat mengatasi persoalan yang demikian. Inilah Agus Muljono dalam waktu pendek dapat menduduki tempat yang baik.
Tidak sedikit para pemain film Indonesia di Kota Jakarta ini yang hidupnya terkatung-katung, oleh karena beberapa faktor yang tak mungkin dihadapinya dengan tenaga dan pikiran zonder bantuan dan uluran tangan dari para penguasa film. Untuk mendapatkan nama baik sebagai pelaku film, hanyalah dengan ikhtiar dan berusaha ke arah itu. Bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh banyak para pelaku film tetapi buah dan hasilnya tetap tergantung kepada nasib…..
Dalam hal ini, sekolah tinggi tidaklah menjadi syarat mutlak. Tetapi tenaga yang kreatif dan kemauan yang diujudkan dengan kenyataan akan membawanya ke arah kenamaan. Agus Muljono seorang pelawak muda yang menjadi favorit masyarakat yang gemar akan comic, tidak pula menempuh pelajaran tinggi. Akan tetapi toch mempunyai nama baik di kalangan dagelan. Ia hanya menempuh pelajaran di Schakelscool, inipun katanya sudah merupakan keuntungan baginya, karena sejak sekolah biayanya dipikul sendiri. Kesulitan-kesulitan hidup selagi kecil merupakan cambuk jiwanya untuk berbuat sesuatu guna mencapai cita-cita yang membumbung setinggi langit.
Ayahnya telah mendahului selagi masih kanak-kanak, kakaknya yang diharapkan akan dapat membantu dalam memelihara hidupnya, dipecat dari pekerjaannya karena tersangka dalam politik yang benci oleh pemerintah Belanda. Dan tak lama kakaknya inipun meninggal dunia. Mulai saat itulah Agus Muljono yang masih kecil ini belajar hidup sendiri. Justru penderitaan inilah, Agus Muljono menjadi seorang pemuda yang pendiam. Bagaimana juga ia dicetoti oleh ibunya, iapun tak menangis. Sampai ibunyapun ingin mendengarkan bagaimana kalau anaknya, Agus Muljono itu menangis.
Wataknya yang pendiam, ini berlangsung sampai ia tamat belajar. Setelah mengenal masyarakat dan bergaul dengan teman-temannya yang lain yang banyak variasinya, maka Agus Muljono tidak lagi menjadi pemuda yang pendiam. Ia menjadi seorang yang banyak humornya, banyak ceritanya yang lucu, hingga teman-temannya banyak yang mencintainya. Dan lagi iapun senang tertawa. Sejak kecil sampai dewasa kini, ia selalu hidup atas usahanya sendiri.
Sejak banyak humornya inilah ia rupanya bangkit kebakatannya sebagai badut, pelawak, dagelan, atau comic. Bangun dari kesadarannya, bahwa penderitaan tak perlu dipikirkan dengan mengenangkan kesusahan, berdirilah ia menghibur diri sendiri, diisinya kekosongan hatinya itu dengan kata-kata yang aneh dan mentertawakan, ialah dagelan. Mulailah ia melawak pada zaman pemerintahan Belanda yang dulu. Temannya banyak yang menentang, karena pekerjaan demikian rupanya dianggap kurang pada tempatnya untuk Agus Muljono. Pekerjaan rendah dan hina. Namun meskipun demikian, Agus Muljono tetap meneruskan keciptaannya, comic adalah perbuatannya yang dianggap dapat memberikan isi hati dan cita-citanya.
IA MULAI aktif membantu perayaan di kampung-kampung sekitar Jogja, apabila ada peringatan hari Besar dan sebagainya. Ia mendagel, penonton tertawa terbahak-bahak, perutnya keras. Tidak menerima bayaran ia main sandiwara atau dagelan, hanya melulu sumbangan saja. 17 Maret 1950, berdirilah Himpunan Lelucon KAWAN RAKYAT di mana ia menjadi anggotanya, bersama dengan almarhum D. Ariffin, Widjaj, Hardjomuljo. Di sinilah ia menjumpai partner-nya, yang ajaib dan menjadi sahabat karib. Mulailah ia dikenal oleh kampung-kampung sekitar Jogja, disamping Dagelan Mataram yang telah amat populer itu.
Dalam waktu agresi Belanda yang kedua, di mana kota Jogjakarta diduduki oleh militer Belanda, Agus Muljono keluar kota ikut menggabungkan diri dengan gerilja. Namun sayang tak lama ia tertangkap dan dipenjarakan. Aneh, tak lagi ramai ia. Pemuda yang banyak dagelannya ia menjadi pendiam kembali, tak bersuara, jiwanya tertekan oleh 4 dinding yang tebal, doanya setiap hari, semoga lekas keluar dari belenggu penjara ini.
Barangkali takut dan tidak suka, kalau disuruhnya mendagel di muka tentara KNIL dan KL. Benar juga politiknya Agus ini.
Setelah penulis ini juga keluar dati tahanan Belanda, dan tiga hari kemudian Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Jogjakarta, Agus Muljono tampak sebagai Mantri Klantung, mondar-mandir sepanjang Malioboro, mengukur jalan raya dengan kaki, mencari pekerjaan. Cari kerjaan, tak mungkin. Kalau saat itu bukan pegawai atau militer, tetap susah hidupnya. Tetap penganggur sebagaimana halnya penulis ini. Rumahnya di Tukangan, sekampung dengan Mbak Sur yang kulihat beberapa bulan yang lalu menjadi script-girl ffilm PULANG, produksi PFN. Dulu masih pelajar Kino Drama Artilier asuhan Dr. Huyung.
Hasratnya besar untuk ikut menjadi pelajar KDA akan tetapi karena untuk menjadi pelajar KDA diperlukan basis sekolahan menengah, maka ia tak dapat diterima. Berulang-ulang usahanya ini di iktiarkan melalui jalan lain-lain, agar dapat ikut main sandiwara asuhan almarhum Dr Huyung. Hal ini pernah pula diajukan oleh Mbak Sur (Kumala Ratih) pada almarhum Dr. Huyung, tetapi sayang juga, tak dapat diterimanya. Meskipun kemahirannya dalam comic telah dipertunjukkan kebakatannya. Akhirnya ia aktif dengan hardjomuljo main sandiwara dengan Himpunan Lelucon “KAWAN RAKYAT”
Kemudian terkacbul juga cita-citanya, setelah berusaha lama untuk menunjukkan kemahirannya dalam mendagel. Selagi Stichting Hiburan Mataram mengadakan pertunjukan di Gedung Senisono, dengan REVUE FANTASIA-nya, maka Agus Muljono dengan kedua temannya, Hardjomuldjo dan almarhum Dalimin Ariffin, ikut meramaikan. Di dalam muncul di atas panggung besar ini ternyata trio ini tidak mengecewakan khalayak. Para penonton tertarik dengan gaya dan humornya yang tidak menjemukan dan kolot itu. Memang ketiga pelawak muda ini sedang tampak kemahirannya dalam mengeraskan perut penonton.
KEMUDIAN sering terdengar suara mereka itu di Studio RRI Jogjakarta dengan cerita sandiwara yang bersifat comic, dengan menyitir suasana masyarakat. Kejurusan itulah cita-citanya, suatu cara yang tidak menjemukan pendengar radio. Pertama kali main dalam film bersama dengan hardjomuljo pemain comic partner-nya dalam film Perfini “ENAM DJAM DI JOGJA di bawah sutradara Usmar Ismail. Ia bermain sebagai figuran saja dan bukan figuran gagah, tetapi orang yang sedikit ber-comic.
Filmnya yang kedua, EMBUN produksi Perfini juga hanya sebagai figuran. Kasihan ia, perjuangannya di dalam film dimulai dari figuran, tidak seperti bintang film Subono, yang sekaligus memulai dari epranan utama dan mendapat hadiah film…. Tjium.
Tetapi nyatanya, ALON-ALON KELAKON lambat laun tercapailah. Ia tak sombong. Kalau bertemu kawan lama, kemudian ramai, tetapi dengan wajah yang ingat-ingit….. tampak kasihan. Kini gagah dia. Selagi malam silaturahmi artis ia pakai setelan wol kuning muda, gagah, tetapi dasar orang tak senang gagah-gagahan, ya tetap diam, ternayta dengan nyanyiannya yang diucapkan dalam perayaan malam tersebut dalam nomor anak-anak Pak Kasur. Di Jakarta, KAWAN RAKYAT berganti baju dengan nama KAWAN RIA, corak dan aliran sama dan Agus Muljono serta Hardjomuljo sebagai pelopornya, sering terdengar nomornya dalam panggung merdeka Studio RRI Jakarta.
Kini ia sudah berhasil dapat memegang peran utama dalam film “TAUFAN” produksi Ksatrya Dharma dengan sutradara Ali Yugo. Ceritanya cocok dengan dia, comic. Jadi giginya yang ompong ini malahan menambah kocaknya film. Pernah ia mengalami keadaan yang lucu. Selagi latihan meyopir becak, datang seorang ibu menawarkan untuk membawa ke pasar Senen. Dengan hati geli, dibawanya ibu itu meluncur ke Pasar Senen, tetapi setengah jalan nafasnya kembang kempis dua kali. Sang ibu diturunkan, ia minta maaf, dan menerangkan bahwa ia sedang latihan, karena dalam memegang peranan di TAUFAN ia sebagai sopir becak. Ibu ketawa geli, ia ketawa……
Demikianlah Agus Muljono, dagelan, comic ompong, yang semakin lama semakin meningkat baik. Kini ia sedang asyik opname dalam film PULANG sayang tidak pegang peranan pertama lagi. Kapan muncul sebagai leading-man lagi, Bung. Tinggalnya di Menteng, tegalan 109 Jakarta. (***)
MEMBURU MENANTU | 1961 | AGUS MULJONO | Director | |
SI KEMBAR | 1961 | AGUS MULJONO | Director | |
TAMAN HARAPAN | 1957 | TAN SING HWAT | Actor | |
TAUFAN | 1952 | ALI YUGO | Actor | |
MELARAT TAPI SEHAT | 1954 | T.D. TIO JR. | Actor | |
PANGERAN KUMIS | 1961 | AGUS MULJONO | Director | |
ENAM DJAM DI DJOGDJA | 1951 | USMAR ISMAIL | Actor | |
MELATI SENDJA | 1956 | BACHTIAR SIAGIAN | Actor |
Kamis, 30 Juli 2020
SURABAYA DARI KOMEDIE STAMBOEL HINGGA BIOSCOOP
Komedie Stamboel adalah teater hibrida di zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama di tahun 1891 di Surabaya, dengan aktor Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer, seperti kroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas dan representasi.
Julukan “stamboel” diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa.
Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, make-up, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad 19. Pengaruh lain yang tidak kalah pentingnya adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay dan banyak mengelilingi Indonesia semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stamboel sudah punya koleksi drama (repertoire) yang sangat beragam, dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra dan folklor populer Eropa (Dr. Faust, Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899-1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Sejarah awal berdirinya stambul bertepatan dengan banyaknya perubahan pesat di Hindia Belanda. Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, phonograph, lithograph, percetakan, dsb. bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok. Dengan kritis, mendetil dan menarik, buku ini menghadirkan sejarah satu teater hibrida, dari mana kita mendapatkan gambaran hidup, perilaku dan norma sosial saat itu, berikut keresahan dan semangatnya. Dari berbagai potongan arsip koran dan media cetak, Cohen merangkai sejarah suatu ruang publik beserta segala konflik dan gosipnya yang tidak hanya menghibur, tapi juga sangat informatif.
Di bab pertama Cohen menyorot kelahiran Komedie Stamboel di Surabaya, serta hubungannya dengan sifat masyarakatnya yang multikultural dan dinamis. Cohen mencatat berbagai (peng)hiburan di kota ini, misalnya opera dan schouwburg,strijke ,bataljon muziek, wayang kulit, wayang wong, tandakan, ludruk, Tahun Baru Cina, Pudu, Tjap Gouw Meh dan potehi. Asal muasal Komedie Stamboel sendiri tidak terlalu diketahui—yang pasti, didanai oleh kongsi Tionghoa, terkadang disebut “Tangul Angin clique” dan awalnya berfungsi seperti klab sosial pendananya. Secara retrospektif, Yap Gwan Thay, sering diberi kredit sebagai pendirinya dengan keahlian tehnisnya dan komitmen keuangannya. Bisnisnya beraneka ragam, terutama di bidang hiburan dan manufuktur. Juga dikatakan, Yap Gwan Thay sangat piawai dalam mempelajari, mengungkap prinsip kerja dan mengadaptasi sesuatu—termasuk membuat uang palsu
Sementara aktor-aktornya terdiri dari orang-orang Indo yang bermukim di kawasan achterbuurt sekitar Krambangan. Kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tidak mampu berbahasa Belanda dan menggunakan Melayu dalam kesehariannya. Begitu pun dalam pementasannya—Stamboel dipentaskan dalam bahasa Melayu, dan dalam perkembangannya, penonton Belanda kebanyakan harus membeli buku panduan untuk memahami pentas Stamboel. Salah satu dari aktor ini, Auguste Mahieu, dengan pengaruh manajerial dan kepopuleran personanya, kerap disebut sebagai pendiri Komedie Stamboel. Boleh dikatakan, buku ini menelusuri Komedie Stamboel melalui perjalanan hidup Mahieu. Sebagai seorang aktor dan musisi yang handal, Mahieu dipercaya menciptakan melodi standard stambul (“Stambul I”, “Stambul II”, dst.).
Berbagai teknik digunakan untuk menarik pengunjung yang lebih beragam: mulai dari membagikan leaflet, menggunakan ensemble Italia, menggelar tombola(lotre), sampai menerbangkan balon udara yang sebelumnya gagal terbang di depan gedung teater. Dari yang awalnya dipentaskan di tenda di Kampung Doro, Komedie Stamboel dibawa ke Kapasan, dan berbagai schouwburg. Akting dibuat berlebihan, dengan “buang tingkah” dan kaus kaki putih untuk menonjolkan gerakan. Atraksi tableaux vivant, yaitu satu atau beberapa komposisi beku dengan aktor-aktor yang diam tak bergerak (dan seringnya berpakaian minim kalau tidak berkostum luar biasa) dengan panorama realis fantastis dari sejarah atau legenda, tentunya disambut hangat oleh penontonnya. Selain karena noni-noni Indo yang terkenal kecantikannya, fenomena gambar realis juga sedang marak-maraknya di Indonesia, satu hal teknis yang mendapat sumbangan banyak dari keahlian Yap. Teks-teks luar diadaptasi dengan bahasa dan situasi mereka; sebagai contoh, cerita Faust dipentaskan sebagai Fathul Achmat, atau Faust dari Arabia, terdiri dari 80 pantun.
Dari satu teater di Surabaya, Komedie Stamboel melakukan pertunjukan keliling ke luar kota. Ketika mereka melakukan tur panjang di bulan November 1891, Komedie Stamboel masih tampak seperti satu kelompok teater Surabaya. Sekembalinya mereka dari perjalanannya, Stamboel menjadi teater keliling, dengan artis, teknik, bentuk dan ide yang lebih beragam dan inklusif. Sebagai contoh, penyanyi dan musik Kroncong turut bergabung dalam Komedie Stamboel, melodi-melodi standard stambul menjadi kerangka dasar lagu-lagu keroncong, dan juga sering digunakan untuk pentas gambang kromong dan wayang cokek di berbagai soehian di Batavia. Di luar lingkaran teater dan hiburan, irama Stambul I yang menjadi kerangka keroncong bahkan diadaptasi menjadi lagu kebangsaan Malaysia. Dengan cepat mereka menyebar, diadaptasi oleh berbagai kelompok teater (profesional dan amatir).
Di tahun 1893 antusiasme masyarakat mengikuti komedie stamboel bukan lagi sebagai satu kelompok teater, tapi sebagai suatu genre kebudayaan populer, yang timbul melalui proses difusi, bukan melalui “gerakan” yang dibentuk secara sistematis.
Tentunya, bukannya tanpa jatuh bangun. Komedie Stamboel sebagai perusahaan berulang kali bangkrut, dan di tahun 1896 Mahieu berpindah menjadi direktur Sri Stamboel, Komedie Stamboel Bunga Mawar di 1898, dan terus mengalami perpindahan hingga akhir hayatnya.
Bahasa, dan perilaku para artis dan penontonnya, tak jarang dicap vulgar, identik dengan kekerasan dan roman. Sering kali mereka mendapat kritik media dan masyarakat sekitar.
Nama mereka pun pernah diplesetkan sebagai Komedie Janboel dengan segala konotosi seksual-liarnya. Pentas mereka di Mangga Besar—Rode Lamp van Batavia dari mana kita mendapat istilah “sakit mangga” untuk menyebut sipilis—adalah salah satu tur mereka yang dikecam penduduk sekitar. Tapi, selain karena alasan “moral”, ternyata dalam satu kasus ada alasan lain: Komedie Stamboel menolak menjualpastel perkutut dan pastel bajing—produk lokal yang terkenal di kalangan sekitar tapi diragukan kualitasnya—di buffet yang mereka gelar di depan arena pertunjukan! Tidakkah tuwan-tuwan dan njonja-njonja penasaran, seperti apakahpastel perkutut dan pastel bajing ini?
Bagaimana satu teater sederhana di Krambangan dapat melintasi batas-batas sosial, berasosiasi dengan opera Eropa melalui mekanisme legal, promosional dan estetik, dan akhirnya melakukan pentas di Singapura dan Malaysia, sering diatribusikan pada “sihir Mahieu”. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa Komedie Stamboel dan kepopulerannya tidaklah dibentuk oleh satu orang jenius, melainkan dari berbagai khalayak dengan beragam latar belakang ekonomi, etnis dan orientasi, dan melewati jalan panjang menghadapi berbagai percobaan, kegagalan dan persaingan dengan hiburan lainnya. Tapi tidak pula dapat disangkal, Mahieu berjasa besar dengan berbagai inovasinya, perhatiannya terhadap publikasi, serta dedikasinya meningkatkan repertoire, peralatan dan (reputasi) personnelnya.
Di akhir bukunya, Cohen memaparkan “warisan” pengaruh stamboel: bagaimana komedie stamboel mendorong eksperimentasi dan difusi. Stamboel memberi model refleksi dan representasi. Perbedaan, kontras dan konflik antar etnis dan ras dihadirkan—“didramatisasikan” bahkan—di ruang publik, dan menjadi model repertoire yang terasa hingga sekarang jejaknya dalam debat politik, sinetron, teater daerah. Cohen juga menganalisa kajian-kajian dan studi sebelumnya, bagaimana stamboel dibedakan berdasar kategori rasial, atau seni tinggi vs rendah, dan bagaimana stamboel menolak pengotak-ngotakan tersebut. Stambul mengalami pasang surut, dihidupkan dan diimajinasikan ulang, digunakan sebagai salah satu cara mendefinisikan budaya, otonomi dan pengakuan terhadap masyarakat Indo (Eurasia). Dipaparkan juga pengaruh dan peran masyarakat imigran Indo sebagai mediator, dan sisa-sisa kebudayaan tersebut, seperti usaha Jan Boon alias Tjalie Robinson, yang saking kagumnya memakai nama Mahieu sebagai nama penanya. Dengan mengamati posisi satu teater populer dan dampaknya di ruang publik, buku ini menguraikan begitu banyak fakta sejarah, analisa kompleks dan detil dinamika sosial.
Bahwa antusiasme masyarakat Kota Surabaya untuk menonton film di bioskop sangat besar, Surabaya merupakan kota yang banyak memiliki gedung bioskop di Indonesia pada 1936.
Golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu: Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In.
Golongan A, enam bioskop, yakni: Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara. Golongan B, delapan biskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru.
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria.
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
Sekarang bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal “kenangan”. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu. Kadang-kadang ada kerinduan untuk bernostalgia. Tetapi, ah, tentu tidak mungkin. FFI di Surabaya Tahun 1970-an hingga menjelang 1990-an dunia filem di Indonesia juga bangkit. Tidak hanya bangkit dalam memutar filem impor, tetapi juga memproduksi filem-filem nasional. Bahkan, di era ini, aktor dan aktris filem benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, ada FFI (Festival Filem Indonesia). Kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 1981. Pemerintah yang mendirikan TVRI di tahun 1962, terus berkembang dan memancarluaskan tayangan programnya ke seluruh Nusantara. Peran bioskop “diambil sedikit”, karena TVRI mulai memutar filem yang dapat ditonton di rumah. Tetapi kehadiran TVRI tidak banyak pengaruhnya bagi bioskop. Sebab, filem yang diputar di bioskop, berbeda dengan di TV, Deppenpun menetapkan filem yang diputar di TV tidak boleh filem baru. Kemajuan teknologi perfileman terus meningkat, mulai dari ukuran layar, dimensi dan suara. Namun, pengunjung bioskop terus menurun. Pengelola bioskop dengan pola baru membagi ruangan bioskop yang luas itu dengan sekat-sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era “Sineplex 21”. Rata-rata bioskop yang besar dibagi menjadi dua sampai empat ruangan yang lebih kecil tetapi nyaman. Di era ini ada tambahan gedung bioskop sineplex baru yang terletak di Plaza Surabaya bernama “Plaza” dan Plaza Tunjungan bernama “Studio”.
Alhambra adalah sebuah nama kota di Spanyol, tapi menjadi nama gedung bioskop di Surabaya era lama. Lokasi gedung ini ada di Jl. Pegirian No. 116 Surabaya. Sebelumnya bernama “Tiong Hin” (1920).
Tahun 1930-an Alhambra disewakan ke salah seorang Armenia yang tinggal di kota ini. Menyebabkan perubahan nama bioskop dari Alhambra menjadi “Universal”. Kemudian dalam kurun waktu berikutnya disewakan lagi ke orang lain, dan namanya diubah menjadi “Firoz Cinema”, kemudian balik lagi menjadi Alhambra.
Gedung bioskop Capital Concern yang dibangun tahun 1957 ini menjadi bukti pesatnya industri perfilman dan perkembangan bioskop di Surabaya. Lebih unik lagi. Para penonton bioskop di Jalan Bubutan itu bisa menikmati lebih dari satu film dengan hanya satu karcis. Karcisnya tidak hangus meski terlambat masuk bioskop. Sebab, penonton bisa menunggu film yang diputar selanjutnya. Meskipun, jaraknya setengah hari.
Bagi pemirsa yang lahir th 1950-1960an pasti pernah menonton di Bioskop klas satu ini pada jamannya.
Film Ben Hur 1962 pernah diputar disini.
Karena peraturan pemerintah,Di Th 1969 nama Broadway akhirnya diganti ARJUNA. Sekarang jadi Hotel mewah.
BIOSKOP CITY
Disinyalir setelah city berubah menjadi Mitra.
Bioskop Mitra terletak di kompleks Balai Pemuda Surabaya. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra kini dibangun menghadap Jalan Yos Sudarso sebagai Gedung Kesenian Surabaya.
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Pahlawan ini tak begitu besar dan tak begitu mewah. Kadang orang menyebut bioskop ini bisko Pasar Besar. Film yang diputar umumnya film-film Barat. Nama gedung bioskop ini juga mengalami pergantian menjadi bioskop Jaya. Sekarang tidak beroperasi lagi, digusur untuk perluasan kawasan Tugu Pahlawan.
Bioskop yang awalnya bernama Metropole 1940 ini terletak di Jalan Pahlawan Surabaya. Gedungnya tidak begitu luas dan film yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization, Inggris. Karena peraturan pemerintah, nama Metropole akhirnya diganti Bima. Namun saat ini bioskop sudah tidak beroperasi lagi dan menjadi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi (Bappeprov) Jatim.
Bioskop Aurora ini terletak di Jalan Tunjungan atau di pojok Jalan Tanjung Anom. Sekarang bangunan sudah dibongkar dan bakal diganti dengan bangunan bertingkat.
Berbeda dengan gedung bioskop lainnya, bioskop Nusantara berada di dalam kampung di daerah Jalan Jagalan. Karena kawasan Jalan Jagalan kebanyakan warga keturunan Tionghoa, kebanyakan bioskop ini memutar film Mandarin. Tetapi belakangan (sebelum ditutup,red) sering memutar film-film India dan ternyata laris.
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Kertopaten Surabaya ini cukup besar tapi sederhana. Bioskop ini spesialis memutar film India, sesekali film Indonesia atau Malaysia. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop Ratna. Namun sekarang bioskop tidak beroperasi lagi dan sekarang menjadi gudang.
Bioskop ini sekelas bioskop Capitol atau Broadway. Gedungnya sempit dan tidak memiliki halaman. Terletak di pojokan Jalan Kaliasin (sekarang Jalan Basuki Rahmat, red) dan Jalan Kombes M Duryat. Film yang diputar umumnya film-film barat. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop RIA. Namun sekarang tidak beroperasi lagi dan menjadi kafe.
Gedung megah bergaya kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1858.
Lokasi bioskop Sampoerna berada di Jalan Kebalen Surabaya. Bioskop ini konon terbesar se-Asia, gedungnya sangat besar dan sangat mewah. Selain itu, kursinya terbuat dari kayu berukir dan di bagian belakang kursi ada asbak rokok. Di plafon gedung ada ukiran-ukiran kayu yang menggambarkan sio-sio tahun China. Film yang diputar adalah film-film Barat, Indonesia, dan Malaysia. Sampai sekarang gedung ini masih tegar berdiri seperti bentuk aslinya. Setelah tidak dioperasikan lagi, gedung ini dijadikan museum tembakau dan kegiatan produksi rokok kretek Dji Sam Soe.
Pada ruangan yang kedua terdapat koleksi berupa tiga piringan hitam yang merupakan sumbangan seorang warga di Kota Surabaya. Piringan hitam tersebut berisi kisah Roro Mendut Ka-1, Pandjie Remeng Ke 1 dan Ke-2 yang dipentaskan oleh Ketoprak Darmo Tjarito dengan iringan gamelan Sampoerna.
Bioskop ini satu-satunya bioskop di kawasan Wonokromo, pinggiran kota Surabaya. Gedungnya sederhana, kira-kira sekelas bioskop Dana. Film yang diputar campuran namun lebih banyak film Indonesia dan India. Dan saat ini bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi
BIOSKOP PURNAMA
Bioskop Purnama, bioskop yang udah gak beroperasi lagi ini bertempat di jl Dinoyo, Surabaya.
BIOSKOP DARMO
BIOSKOP KALISOSOK
BIOSKOP PRESIDENT
BIOSKOP DUTA
JUMLAH BIOSKOP DI SURABAYA SAAT ITU
1 Bioskop Arjuna, Jl. Embong Malang 39 Tahun : 1969, sekarang sudah beralih fungsi
2 Bioskop President, Jl Embong Malang 43 tahun 1969, sekarang sudah bealih fungsi
3 Bioskop Ria, Jl. Kombes M.Duryat 3 Tahun : 1961, sekarang menjadi restoran
4 Bioskop Kalisosok di Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971
5 Bioskop Star di Taman Remaja Jl. Kusuma Bangsa Tahun : 1972
6 Bioskop Broadway Jl. Embong Malang No. 39-41-43 Tahun : 1951, sama atau berganti nama menjadi President dan Arjuna.
7 Bioskop Capital Concern Alamat Jalan Kranggan: Tahun : 1957
8 Bioskop Rex Jl. Panglima Sudirman Tahun : 1958
9 Bioskop Bima Jl. Pahlawan Tahun : 1961
10 Bioskop Djaja Jalan Tembaan – Tahun : 1961
11 Bioskop Widjaja Jl Bubutan 1-3 Tahun : 1961
12 Bioskop Kusuma Jl Tembaan Tahun : 1961
13 Bioskop Surya Jl. Wonokromo Tahun : 1961
14 Bioskop Purnama Jl. Dinoyo 4 Tahun : 1968
15 Bioskop Mitra di Balai Pemuda Jl. Pemuda (Gubernur Suryo) 15 Tahun : 1968
16 Bioskop Susteran Jl. Kepanjen No. 5 Tahun : 1968
17 Bioscoopprijzen (Bahasa Belanda) Alamat : – Tahun : 1940
18 Bioskop Amelto Jl. Kapasan 88 Tahun : 1954 s/d 1968
19 Bioskop Garuda Jl. Kranggan No 73 Tahun 1955
20 Bioskop India Jl. Jagalan Tahun : 1959
21 Bioskop Alhambra & Nusantara Alamat : – Tahun : 1959
22 Bioskop Rivoli Alamat : – Tahun : 1959
23 Bioskop Maxim (Indra) Jalan Pemuda 42 Tahun : 1959
24 Bioskop Citra Alamat : Jl. Pahlawan Tahun : 1960
25 Bioskop Nusantara Baru Alamat : Tahun : 1961
26 Bioskop Satrya Alamat : – Tahun : 1968
27 Bioskop King & Queen Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1968
28 Bioskop Titra Jaya (Bioskop Sambongan) Jl. Waspada 1 Tahun : 1969
29 Bioskop Ratna Jaya Alamat : – Tahun : 1970
30 Bioskop Ampera Alamat : – Tahun : 1971
31 Bioskop Apollo -Mengganti
32 Bioskop Amura Jl. Tanjung Anom Tahun : 1971
33 Bioskop Bedrijjfsreg Lementering Alamat : Tahun : 1951
34 Bioskop Venus Jl. Panggung III / 27 – 29 Tahun : 1957
35 Bioskop Metropole Jl. Pahlawan No.6 Tahun : 1957
36 Bioskop Gita Jl Gentengkali Tahun 1987
37 Bioskop Istana Jalan Kapasari 5 Tahun 1978
38 Bioskop Surabaya Jalan Pahlawan 118 Tahun 1957
39 Bioskop Ultra Jl Urip Sumahardjo No. 58 Tahun : 1970
40 Bioskop Lucky Alamat : – Tahun : 1951
41 Bioskop Alhambra Jl. Sumatera Tahun : 1951
42 Bioskop Apollo Angkasa Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1970
43 Bioskop Hora Jl Bubutan No. 127 Tahun : 1952
44 Bioskop Dana Pandegiling Tahun : 1971
45 Bioskop Surya Baru di Wonokromo Tahun : 1972
46 Bioskop Darmo Jalan Pandegiling: 1958
47 Bioskop Alhambra Jl. Pegirian No. 116 Tahun : 1959
48 Bioskop Kingdlon Alamat : – Tahun : 1970
49 Bioskop Sampoerna Jl. Taman Sampurna No. 6 Tahun : 1954
50 Bioskop Rama Alamat : Jl. Girilaya Tahun 1968
51 Bioskop Chandra Jl.Kapas Krampung Tahun 1970
52 Bioskop Irama Jalan Kedungdoro Tahun 1979
53 Bioskop Golden Jalan Kapasan Tahun 1985
54 Bioskop ”Drive In Theatre” di Darmo Park Jl.Mayjen Sungkono Tahun 1978, kemudian dipindah ke Pantai Ria Kenjeran 1984 (tetapi tidak pernah aktif).
55 Bioskop Oscar Jl.Mayjen Sungkono 1988
56 Bioskop Delta Jl Pemuda (Plaza Surabaya) Tahun 1996
57 Bioskop Studio Jl Tunjungan (Plaza Tunjungan) tahun 1995
58 Bioskop Kedurus di Kedurus Tahun 1985
59 Bioskop Bayu Jl Basuki Rachmat Tahun 1967
60 Bioskop International Jl Pecindilan Tahun 1968
61 Bioskop Aurora Jl Tunjungan 12 tahun 1972.