Serang sebagai wilayah Keresidenan Banten sangat ramai. Masa itu, ada sekira 40 persen orang China, 15 persen orang Belanda, dan palancong lainnya. Peluang dibaca dan masuk sebagai strategi pemerintah kolonial dalam menompang investasi pembangunan ekonominya.
Pemerintah pada masa itu menganggap, orang-orang yang lelah berdagang atau bekerja pasti membutuhkan ruang hiburan. Karenanya, perlu wadah sehingga perputaran ekonominya tidak keluar daerah.
BANTEN
BIOSKOP PELITA
Dibangun sekira tahun 1920-an. Dugaannya berdasar arsitektur bangunannya. Juga beberapa arsip dalam pemberitaan di koran De Banten Bode dan koran-koran lokal masa itu.
Pada masa pemerintah kolonial, gedung Pelita bernama Teater Banten. Tempat pertunjukan atau opera yang dibangun pengusaha Tionghoa. Status Banten sebagai residen jadi alasannya. Gedungnya menunjukkan ruang ekspresi budaya. Tak heran, pemerintah
Hindia Belanda mewajibkan adanya gedung pertunjukan. Baik dikelola
swasta atau pemerintah.
Untuk kepentingan, mempropagandakan budaya Belanda. Lalu, menjaga perputaran ekonomi
agar tidak keluar daerah. Terlebih, masa itu banyak pegawai dan pedagang
tinggal di Serang. Dalam aktivitas yang padat, mereka butuh saluran
hiburan.
“Fasilitas itu akan membuat ekonomi berputar di tempat,” Yang tidak kalah penting, gedung pertunjukan menjadi arena
mengekspresikan budaya. Menjadi saluran merawat dan mengembangkan budaya
anak bangsa. Dan, Banten adalah tempat persemaian budaya dari berbagai
belahan dunia. “Gedung pertunjukan bagi sebuah kota itu wajib, sebagai
sarana ekpresi budaya,”
Bahkan sejak masa Sultan Banten, ruang pertunjukan sudah berkembang.
Tempatnya di panayagan (tempat bermain musik) di pelataran Surosowan.
“Dari situ banyak kisah tentang kesatria yang menjadi cikal bakal
pendidikan karakter,”
Saat film mulai menggeliat di era 1932, Banten Teater difungsikan juga sebagai bioskop. Tak hanya tempat pertunjukan, film-film dari Eropa pun mulai diputar. “Banten Teater itu tontonan kelas bangsawan Eropa,”
Pemutaran film dan pertunjukan sempat terhenti pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, gedung Banten Teater dijadikan tempat tahanan politik dalam kurun waktu 1942 sampai 1945. Era itu, masa memudarnya bioskop dan tempat-tempat pertunjukan.
Bioskop kembali beroperasi pada tahun 1953. Hanya saja, sudah berubah dengan nama dari Teater Banten menjadi Banten Park. Sebelum menjadi Pelita, nama Banten Park dan Sampurna lebih dahulu digunakan.
Baru sekira tahun 1960-an, nama Pelita resmi disematkan hingga tutup pada 1997-an. Tak hanya bioskop, pada tahun 1973, Pelita punya sarana bagi kawula muda bermain bola sodok.
Kisah Bioskop Merdeka juga familier di kalangan masyarakat Kota Serang. Bioskop itu berdiri selang lima tahun dari berdirinya Pelita. Mulanya bernama Royal Park. Senasib dengan Teater Banten, gedungnya juga pernah dijadikan rumah tahanan orang Australia hingga Jepang tunduk kepada sekutu.
Gedung yang konon awalnya dijadikan tempat opera itu tak jauh dari jalan raya. Hanya seratus langkah untuk berdiri di muka gedung. Tepatnya, di gang Jalan P Purbaya, belakang Pasar Swalayan atau Departemen Store Serang, Pasar Lama, Kota Serang. “Sudah lama tutup, hampir dua tahun,”
Mengenang seputar masa-masa gedung Pelita sebagai tempat melepas penat warga. Dari sekadar nongkrong, nonton film, sampai bermain biliar atau bola sodok.
gedung Pelita beberapa kali berganti nama. Mulai dari Banten Teater, Banten Park, Sampurna, hingga Pelita, hingga Pelita. “Tahun 1997-an sudah mulai tutup. Enggak dipakai lagi,”
“Dulu tiketnya mulai Rp50 sampai paling mahal Rp200,”
Di samping kanan dan kiri ruang bioskop terdapat anak tangga. Bioskop Pelita dibagi menjadi dua kelas. Kelas I, dengan kursi kayu panjang tiga saf berjajar. Posisinya tepat berada di depan layar. Sedangkan kelas balkon, posisinya berada di atas dekat proyektor. Dalam sehari, hanya satu film yang diputar. Kecuali pada akhir pekan, yang biasanya juga memutar film malam.
“Macem-macem filmnya. Ada film kolosal Spartakus dan film Indonesia seperti Panji Tengkorak. Macam-macamlah,”
Konon, pengusaha Tionghoa muslim yang mendirikan gedung itu. Bioskop Merdeka kelasnya di bawah Banten Teater. Di masa kolonial, di gedung bioskop inilah masyarakat pribumi bisa menikmati film. Juga melakukan pementasan pertunjukan atau opera pada masa itu.
Sayang, nasib Bioskop Merdeka lebih tragis. Tak ada jejak bangunannya yang bisa ditelusuri. Pada 2004, gedung diratakan dengan tanah. Sekarang, hanya ruko-ruko yang berjajar yang berlokasi di kawasan Royal, Kota Serang itu.
Tak jauh dari bekas gedung Bioskop Pelita, juga berdiri bekas gedung Bioskop Plaza Serang. Jaraknya sekira 200 meter dari gedung Pelita, di Jalan Maulana Hasanuddin, Pasar Lama. Bioskop itu, berdiri di lantai dua Plaza Store. Kabarnya, bioskop mulai beroperasi tahun 1980-an dan tutup tahun 1998.
Jejak bangunannya masih terlihat kasat mata. Hanya saja, menjadi ruang kosong tanpa penghuni. Beberapa ruko di bawahnya masih digunakan untuk berdagang. Namun, tampak tak beraturan. Kumuh dan jauh dari kesan rapi, apalagi bersih.
Selain tiga bioskop itu, Bioskop Dewi di Kedalingan melengkapi cerita kisah bioskop di Kota Serang. Nasibnya sama dengan Bioskop Merdeka, tanpa jejak artefak bangunannya.
Bioskop Dewi berdiri tahun 1960-an. Lebih awal daripada Bioskop Plaza Serang. Informasinya, tempat nonton film itu tutup bersamaan permindahan Terminal Kedalingan ke Ciceri, sebelum akhirnya terminal dipindahkan lagi di Pakupatan hingga sekarang. “Dampak dari itu, orang ke bioskop sepi. Bioskop tutup lebih awal sekira 80-an,”
BIOSKOP MERDEKA
Hindia Belanda itu. Padahal, kawasan Royal tidak lepas dari namanya.
Royal Park yang pada tahun 1953 berubah nama menjadi Bioskop Merdeka. Bioskop dibangun pengusaha muslim Tionghoa. Sebagai media hiburan warga
pribumi. Pemberitaan koran De Banten Bode menyebut, bioskop berdiri lima
tahun pasca Banten Teater (Bioskop Pelita) yang dibangun sekira
1920-an.
Tak hanya tempat hiburan, bioskop itu memberikan kontribusi nyata
bagi pendidikan. Penyandang dana pengembangan Holland Indlands School
(HIS) met de Koran Kaloran Serang. Sekolah itu dirintis Perhimpunan
Tirtayasa pada 1931.
Tepatnya, pada Juni 1934. Perkumpulan drama Darnalella menggelar
malam pertunjukan di Royal Park. Hasil penjualan karcisnya disumbangkan
sebagai kas HIS Tirtayasa. Konon, penontonnya membeludak. Mereka datang
dari berbagai daerah di luar Serang.
Perkumpulan Tirtayasa sebagian anggotanya orang Banten yang tinggal
di Batavia dan Bandung. Pemilik Royal Park masuk Perkumpulan Tirtayasa.
Pemilik Royal Park turut mempedulikan pendidikan untuk pribumi. “Hasil
dari bioskop sebagian untuk pembangunan sekolah,”
Pada buku Banten dan Sejarah Pembaratan Sejarah Sekolah 1833-1942
karya sejarawan Mufti Ali tercatat, gedung sekolah itu hibah pengusaha
Tionghoa Serang, Lie Soe Foeng. Gedung sekolahnya bekas tempat tinggal
keluarga Lie. Sebelum akhirnya pindah ke Batavia setelah agresi militer
Belanda.
Senasib dengan Banten Teater, Royal Park tutup saat pendudukan
Jepang. Bekas gedung bioskop menjadi rumah tahanan tentara sekutu.
Gedungnya kembali difungsikan pada 1953. Dan, resmi menyandang nama
Merdeka.
“Banyak film India, Arab, dan Mesir di bioskop ini,”
Film Arab Umi Kulsum, Hamzah, jadi yang favorit masa itu. Kata Yadi,
banyaknya film dan lagu Timur Tengah hingga 1963, berpengaruh pada
bacaan arab di Banten. Masyarakat berbondong-bondong mengubah sistem
nada pembacaan dari langgam Jawa menjadi langgam Arab. “Termasuk sejarah
MTQ mulainya dari film-film dan lagu itu,”
Bioskop Merdeka mulai meredup di era 1980-an. Hingga akhirnya tutup
pada 1997-an. Puncaknya, ketika gedungnya rata dengan tanah pertengahan
tahun 2004. Peristiwanya tercatat dalam pemberitaan media lokal Banten.
Salah satunya edisi September Radar Banten.
Secara beruntun Radar Banten menurunkan peristiwa pembongkaran gedung
cagar budaya di Serang ini. Pada 10 September dengan judul Bangunan
Bersejarah Rata dengan Tanah, Kantor Purbakala Kecolongan. Berita
berikutnya dengan judul Riwayat Bioskop Merdeka yang Rata dengan Tanah.
Gedung bioskop itu menyimpan banyak hal. Secara sosio kultural, Malik
menyebut sebagai jejak awal modernisasi di Serang. Sekaligus tanda
munculnya sejarah perkotaan.
Apalagi, sebutan Royal sebagai kawasan niaga, berawal dari Royal Park
atau Royal Room. “Hancurnya Bioskop Merdeka adalah malapetaka sejarah.
Kota Serang menjadi ahistoris. Disbudpar dan DKB ikut andil hilangnya
jejak sejarah itu,”
Bioskop
Bhumiyamka atau dikenal dengan Bioskop Bumex.
Bioskop ini kerap paling
sering memutar film-film Billywood yang pada saat itu sedang berkibar.
Letaknya di Jl. Raya Serang (sekarang jadi Jl. Merdeka) di Kampung
Gerendeng.
CILEGON
Salah satu tempat yang banyak dikunjungi
pasangan muda mudi atau keluarga pada malam minggu adalah bioskop yang
terdapat di lantai dua sebuah mall di lingkungan Sukmajaya, Cilegon.
Selain bioskop tersebut, ternyata di Kota
Cilegon pernah beroperasi tiga bioskop lainnya, yakni: Bioskop Apollo,
Krakatau Ria (KR) dan Cilegon Theatre.
BIOSKOP APOLLO
Khusus mengenai Bioskop Apollo adalah
bioskop pertama dan tertua di Kota Cilegon. Terletak di Jl. Bioskop
Apollo, Kampung Baru, Jombang Wetan atau di belakang SMP Negeri 1
Cilegon.
Di masa kejayaannya di tahun 1980an,
Bioskop Apollo ini memberi gengsi tersendiri bagi mereka yg pernah
datang menonton. Terlebih jika bisa duduk di kursi balkon (VIP).
Beberapa film yang diputar di bioskop ini
yang dibintangi oleh aktor laga Barry Prima dan Advent Bangun, seperti:
Jaka Sembung Sang Penakluk, Nyi Blorong, Pasukan Berani Mati, Si Buta
Lawan Jaka Sembung, Nyi Ageng Ratu Pemikat, Jaka Sembung Vs Bergola Ijo,
Golok Setan, Bajing Ireng & Jaka Sembung, dsb.
Selain film laga, ada juga film bertema
Romantis Narsis yang dibintangi oleh Rhoma Irama, antara lain: Oma Irama
Penasaran, Gitar Tua, Begadang, Berkelana I, Berkelana II, Perjuangan
dan Doa, Satria Bergitar, Kemilau Cinta di Langit Jingga dan Dawai 2
Asmara.
Atau
beberapa film Bollywood yang dibintangi oleh aktor jadul Amitabh
Bachchan, Sri Devi, Jaya Prada, Sadashiv Amrapurkar, Anil Kapoor, Amrish
Puri, seperti: Saat Hindustani, Barsaat Ki Ek Raat, Roti, Kapda Aur
Makaan, Inquilaab, Shakti dll.
Salah satu hal unik yg pernah ada di
bioskop Apollo ini yakni dalam event tertentu, dengan beberapa lembar
bungkus kosong rokok kretek Djarum Cokelat kita dapat menukar dengan
tiket tanda masuk untuk menonton.
Namun kini Bioskop Apollo tinggal kenangan.
PADA ERA tahun 80 hingga 90-an, Bioskop Apollo yang berada di Kampung
Baru, Kelurahan Jombang, Kecamatan Jombang Kota Cilegon, merupakan
bioskop yang amat terkenal di kalangan warga Cilegon. Terutama saat
perayaan lebaran Idul Fitri tiba, bioskop tersebut amat ramai menjadi
hiburan rakyat dengan menonton film.
Tapi siapa yang tahu, ternyata di bangunan yang kini tidak terpakai
lagi itu adalah bekas makam kuburan orang belanda yang meninggal di Kota
Cilegon, hingga bioskop itu dibangun kuburan tersebut tidak dipindah.
Gedung
bioskop tersebut dibangun sekitar tahun 70-an, dimana sebelumnya saya
sebagai penulis pernah bersekolah di sekolah dasar (SD) Mardiyuana
(1966) yang kini telah menjadi SD Negeri 7 Kota Cilegon. Setiap pulang
sekolah selalu melewati makam tersebut, karena gedung SD tempat sekolah
berseberangan dengan makam belanda yang kini menjadi gedung tidak
terpakai Ex bioskop Apollo.
Diceritakan Nenek saya, yang merupakan
keturunan pejuang Geger Cilegon, Haji Akhiya, bahwa kuburan tersebut
bernama kuburan Kerkhoff atau kuburan khusus bagi orang Belanda.
Mengapa
di Kota Cilegon ada kuburan orang belanda? Hal ini dikarenakan pada
masa lalu Cilegon menjadi pusat pemerintahan afdelingen sehingga
merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamongpraja, baik bangsa Eropa
maupun pribumi. Maka sangat wajar jika di Cilegon terdapat tempat
pemakaman bagi orang-orang Eropa di era pemerintahan kolonial Belanda.
Begitu
juga ketika terjadi peristiwa Geger Cilegon 1888, dan semua pejabat
pemerintah Belanda yang mati dibantai dikuburkan di tempat itu juga.
Diantaranya Asisten Residen Gubbels beserta istri dan kedua anaknya,
Kepala Penjualan Garam Ulrich Bachet, Juru Tulis kantor asisten residen
Hendrik Francois Dumas, dan Kepala Pemboran J. Grondhout.
Kemudian
sebagai penghormatan kepada mereka yang menjadi korban pada tragedi
berdarah 9 Juli 1888, Residen Banten pada masa itu membangun monumen
peringatan berupa tugu, yang tujuannya agar sanak sodara beserta anak
keturunanya kelak dapat datang dan berziarah ke Cilegon.
Namun
ketika bioskop Apollo dibangun di bekas lahan pemakaman itu, semua
kuburan diratakan dan tugu peringatan itu pun dibongkar tanpa sisa.
Sejak saat itu, setiap malam selalu terdengar orang yang bercakap-cakap.
Kebetulan Jarak dari rumah saya memang tidak terlalu jauh, sekitar 10
menit berjalan kaki ke Selatan dan menyebrang jalan raya Cilegon-Serang,
namun masa itu tidak seramai seperti sekarang.
Pada suatu hari, sehabis Isya saya berangkat kesana, tapi tidak
mendatangi loket penjual karcis karena memang saya tidak bawa uang.
Tentu saja tanpa pamit pada orang tua, sebab tak mungkin mengizinkan
anaknya yang masih kelas 5 SD pergi sendiri ke gedung bioskop, terlebih
lagi pada malam hari.
Di bagian kanan gedung bioskop Apollo
terdapat sebuah selokan atau got yang ukurannya cukup besar, apalagi
buat badan saya yang cilik kentring. Sepanjang permukaan selokan itu
ditutupi oleh papan-papan sehingga orang bisa berjalan di atasnya.
Karena saya ingin sekali mengetahui apa yang ada di dalam, maka tanpa
pikir panjang saya langsung masuk ke dalam selokan melalui ujung bagian
depan gedung dan muncul di bagian dalam sana.
Pada saat memasuki
selokan, saya berjalan tanpa menyentuh permukan air kotor. Namun dengan
cara menapakan kedua belah kaki dan tangan pada kedua sisi tembok
selokan yang mempunyai kemiringan tiga puluh derajat.
Dalam
keadaan gelap dan pengap, perlahan tapi pasti saya terus bergerak
menelusuri selokan itu menuju seberkas sinar yang tampak di ujung sana.
Samar-samar terdengar suara jerit dan teriakan yang sangat mengerikan.
Saat itu saya memang tidak merasa ketakutan karena memang tidak
mengetahui kalau tempat ini bekas kuburan.
Apalagi kisah tragis
yang menimpa anak Asisten Residen. Elly dan Dora, gadis kecil, yang mati
dicincang dan kepalanya pecah setelah dihajar oleh batu besar. Mereka
meregang nyawa, ketika gerakan perlawanan yang dipimpin oleh para kiyai
dari seantero Banten meletus, yang kemudian dikenal dengan istilah Geger
Cilegon 1888. Andai saja saya sudah mendengar cerita tragis tentang
peristiwa itu, pasti merinding dan saya juga tidak berani masuk ke
tempat dimana mereka pernah dikuburkan.
Namun di masa kini,
peristiwa sejarah terutama keberadaan kuburan belanda sudah tidak ada
yang tahu, sehingga saya menulis kisah ini untuk mengingatkan kembali
kisah perjuangan para pahlawan Geger Cilegon yang telah gugur demi
merebut kemerdekaan, namun sayangnya jasa-jasa mereka kini terlupakan.
Ada
pepatah yang mengatakan, bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati jasa-jasa para pahlawannya. Dalam tulisan ini kita bisa
melihat bagaimana bangsa Belanda menghormati jasa para pahlawannya yang
meninggal dalam tragedi berdarah dengan membangun sebuah tugu, yang pada
setiap sisi-sisinya bertuliskan nama-nama mereka yang meninggal dalam
tugas.
Namun, apakah bangsa kita juga sudah berbuat hal yang sama
bagi para syuhada yang gugur dalam perjuangannya dalam menumpas
penjajahan Belanda
LEBAK
Antara Lebak, Rangkasbitung, dan film Lebak Membara.
filem Lebak Membara. Filem itu diputar di sebuah bioskop
bernama Apollo. Terletak di sisi selatan pasar Rangkasbitung. Kini
gedungnya sudah tak berbekas karena sudah tergantikan oleh kawasan
pertokoan. Usiaku sekitar 6 tahun memasuki kelas 1, Sekolah Dasar saat
diajak bapak pergi menonton. Kebiasaan seorang bapak mengajak anaknya
untuk menonton sudah sangat wajar di Rangkasbitung. Tempat yang dituju
ialah bioskop kebanggaan masyarakat Lebak, Apollo namanya. Pengunjung
yang berjejal antri karena banyak masyarakat yang mau menonton. Dan aku
melihat jelas kumpulan orang-orang yang mengantri panjang menuju pintu
masuk bioskop. Aku sendiri melihat di atas gendongan bapakku.
Kursi penonton yang terbuat dari kayu, aku dengan bapak mendapat
kursi yang paling depan. Dengan jelas kami melihat layar berukuran
sangat besar memantulkan cahaya putih. Tempat duduk yang leluasa dan
bisa bersandar dengan bebas cukup nyaman untuk anak seusiaku. Sinar
lampu proyektor mulai menyinari layar. Selang beberapa lama mulailah
layar yang besar itu menampakan gambarnya. Suara penonton bergemuruh,
bersorak, dan kegirangan karena filem yang akan diputar adalah filem
tentang pemberontakan penduduk Lebak terhadap penjajah Jepang. Bapakku
menuturkan dengan cakapnya saat itu. Syutingnya dilakukan di Lebak,
sekitar wilayah Labuan. Bapakku menambahkan ia melihat sendiri bagaimana
syutingnya. Ketika adegan pencopotan rel kereta api oleh para penduduk
yang kelaparan, karena pada saat itu seluruh hasil pertanian diambil
oleh penjajah jepang dan dibawa ke pusat, yaitu Jakarta untuk keperluan
perangnya. Akibatnya para penduduk dan para petani jadi kelaparan dan
mengakibatkan pemberontakan. Aku terbayang jika saat itu mereka semua
berpura-pura. Ingatanku tentang filem itu pun selalu pada adegan
tersebut.
Bapakku sering menceritakan adegan itu ketika berada di rumah,
diulang dan diulang terus. Adegan tersebut begitu sangat mengharukan dan
menyedihkan sekaligus juga membanggakan, ujarnya. Aku kira, saat kecil
aku merasakan hal yang sama. Selanjutnya aku memastikan ke sebuah
Sekolah Dasar yang seingatku mewajibkan menonton film itu. Sayang tidak
ada banyak keterangan yang didapat. Ibu guru Yani (45) salah satu guru
sekolahku. Dari hasil obrolan, hanya didapat pemaparan dan pembenaran
tempat shooting filem itu di rumah tua milik Ibu Kania, di
daerah Pasir Waru dan Kadu Agung. Selebihnya mereka menjawab lupa akan
peristiwa yang mewajibkan anak muridnya menonton filem itu. Tetapi
mereka paling tidak memberikan banyak petunjuk sederhana padaku.
Pertama kali aku menonton filem tersebut, aku baru duduk di bangku
Sekolah Dasar. Saat itu, aku benar-benar tidak tahu sama sekali kalau
sebenarnya filem itu ada kaitannya dengan sejarah tempat kelahiranku,
Lebak saat pendudukan Jepang. Waktu itu, aku hanya ingin menonton aksi
laga George Rudy, tokoh utama film Lebak Membara. George Rudy
sebagai pemuda pemberani dari Lebak melawan penjajahan Jepang dengan
peran sebagai Herman, pemuda yang gigih membela rakyat Lebak dari
penderitaan serta penindasan dari tentara Dai-Nippon Jepang yang sangat
kejam. Ia rela mengorbankan nyawanya demi membela tanah air yang
dicintainya. Berikut kira-kira inti dari film Lebak Membara yang masih aku ingat, detailnya aku benar-benar sudah lupa karena memang sudah 25 tahun yang lalu.
Bintang film favoritku saat itu adalah Barry Prima dan Advent Bangun.
Cuaca malam itu sangat dingin, hembusan anginnya yang kencang
sewaktu-waktu membuat orang-orang yang berada di sekitar lapangan
alun-alun kota Rangkasbitung memeluk erat-erat lutut masing-masing.
Berusaha mengusir rasa dingin yang menusuk kulit. Perkiraanku saat itu
menunjukan jam tiga pagi. Keinginan yang besar beserta rombongan
teman-teman dari kampungku rela berjalan sejauh satu kilometer demi
menonton filem layar tancap di alun-alun kota Rangkasbitung.
Tiga minggu yang lalu aku menanyai rumah dinas yang terletak di
samping Taman Makam Pahlawan. Maksud hati mendapat petunjuk lebih jelas
atau minimal mempertegas asumsi pengalaman lampau. Entah penampilanku
yang tidak sopan atau mereka sedang sibuk rapat dinas. Aku hanya
dilayani di pintu masuk saja. Dengan berat hati mereka tidak mengiyakan
pengalamanku. Penelusuranku jelas tidak menghasilkan secuil keterangan,
bahkan arsip tentang kegiatan tahun itu.
Kembali ke masa lampau, layar berukuran besar yang terbuat dari kain
warna putih terbentang. Sesekali layarnya bergoyang-goyang karena
terpaan angin. Pemutaran filem belum juga dimulai padahal ratusan orang
sudah berkumpul di depan dan di belakang layar yang ditancapkan. Aku
lebih senang melihat dari arah yang terbalik karena takut akan
terhimpit, di tengah alun-alun. Hampir semua orang yang ada di situ
sengaja membawa selimut atau kain sarung untuk menutupi badannya dari
hembusan angin malam yang dingin. Dengan bermodalkan kain sarung dan
koran bekas yang aku bawa dari rumah aku berniat menonton filem-filem
itu sampai habis. Dan biasanya alas itu sangat berguna jika aku sudah
mengantuk ataupun kedinginan.
Menonton film Lebak Membara setidaknya akan menyeret aku
pada masa kanak-kanak. Masa yang begitu menggairahkan bagiku. Apapun
itu. Aku mau tahu, dan ingin sekali mencobanya. Di tahun 1989, genap
umurku menginjak usia sembilan tahun. Kursi yang kududuki saat itu
bangku kayu keras yang terbuat dari pohon Jati. Bangku yang disediakan
oleh si pendidik untuk kelas enam Sekolah Dasar. Ibu Marsinem (58) salah
satu guru SDN Leudimar 09. Saat itu, dialah yang aku ingat dan sekarang
masih ada. Dia pula seorang yang mewajibkan aku dan lainnya untuk
menonton filem. Dugaanku saat itu, sudah pasti filem perang Janur Kuning
yang kesohor di masyarakat akar rumput. Satu dari sekian banyak filem
nasional yang harus aku tonton dan menyerahkan rangkuman hasil tontonan.
Ternyata filem itu berjudul Lebak Membara. Produksi 1983 karya
Imam Tantowi. Filem yang diamini sebagai filem kebanggan masyarakat
Lebak. Masyarakat Lebak yang tersebar di berbagai pelosok perbukitan
ataupun di jantung kota sekalipun tahu filem itu. Pengakuan kecil ibu
guru Sekolah Dasar, saat itu guru-guru diinstruksikan untuk mewajibkan
anak didiknya menonton filem. Prasangka muncul atas terjadinya
pengalaman visual. Jelas jika itu semata-mata atas perintah dari Dinas
Pendidikan, tanpa itu aku tidak akan menontonnya. Atau mungkin hanya
menonton di layar tancap saat acara pernikahan atau hajatan. Kami asyik
berbicara masa lampau dan hanya kata “perintah” itu yang terucap dari
orang terpuji yang aku temui. Selebihnya dia banyak menanyakan kabar
terakhir tentang kehidupanku.
Dari tulisan terbata-bata itu, aku coba menemui si pemilik gedung bioskop yang pernah kami datangi saat menonton filem Lebak Membara.
Dengan susah payah aku menelusuri perkampungan bekas jalan kereta
jurusan Bayah. Aku memulai dari kampung Pasir Jati. Perkampungan yang
bisa melihat dengan jelas tempat tinggalku dan rumah orang yang akan aku
temui untuk diajak berbagi. Setelah mendapat petunjuk dari beberapa
kawan di kampung Pasir Jati akupun turun ke kampung Lebak Picung.
Setelah bertanya-tanya lagi, akhirnya aku bisa menemuinya di ruangan
sederhana miliknya. Ika (75) salah satu keluarga pendiri bioskop pertama
di Lebak dengan tegar dan nada keras bertukar cerita di kediamannya
beberapa minggu lalu. Berikut petikan wawancaranya dengan pemilik gedung
bioskop pertama di Lebak.
Fuad (Fd): Apakah bapak tahu bioskop pertama di Lebak?
Ika: Saya tahu bioskop pertama di Lebak. Bioskop
pertama, berbadan swasta satu-satunya dimiliki satu keluarga. Keluarga
Marjuk. Dan itu keluarga saya. Kita memang pemilik tanah itu sejak tahun
1955. Kita pertama kali mendirikan bioskop di tempat itu. Atas nama
bioskop KAMI, KAMI merupakan singkatan dari Kartinah, Afifah, Marjuk,
dan Ika. Bapak Marjuk ketika itu tidak banyak anak.
Ketika itu bioskop
mengalami kemunduran karena masuknya televisi yang berdampak pada
kebangkrutan. Saya kira bukan hanya di Rangkasbitung saja tetapi di
seluruh Indonesia juga. Gedung bioskop seperti gudang. Dengan ukuran dan
bentuk yang sama dengan gudang. Ya kalau nggak ada filem buat apa digunakan gudang itu. Disewakan nggak ada objeknya. Tidak ada yang menyewa. Tidak ada yang nonton. Akhirnya kita jual sajalah. Saat itu saya engga
mau ambil pusing. Ya sekarang baru merasakan pusing. Kalau tidak dijual
mungkin sudah menjadi milyaran uang saya. Pemilik baru juga bernama
Apollo mengalami kebangkrutan. Tidak lama setelah terjadi pembelian.
Fd: Kenapa bapak membuat Bioskop, dan bisa tidak diceritakan proses awal pembuatannya?
Ika: Ya! Kita yang membuatnya. Awalnya kita memulai dari panggung sandiwara.
Fd: Maksud bapak?
Ika: Ya sandiwara, namanya apa yah?. Saat itu kita mendirikan sandiwara.
Fd: Semacam opera?
Ika: Eee…bukan, kalau sekarang disebutnya apa yah?
Fd: Teater!
Ika: Ya..!! Mungkin sekarang namanya teater. Teater lama yang mengacu pada sejarah. Gajah Mada, Hayam Wuruk, terus ini apah..? Lutung
Kasarung. Sejarah lama begitu. Setelah itu, karena mengurus orang lebih
pusing, akhirnya kita mendirikan bioskop di tahun 1955. Sejak tahun
1955, kita terus memulai operasi. Ada kemajuan, terjual, ganti pimpinan,
ya.. Apollo itu. Chow Sun waktu itu dulu. Sekarang dia sudah almarhum.
Chow Sun itu, dulunya kuasa dari rokok Djarum.
Kan, dulu sebelum nonton di Apollo kita harus bayar tiket dengan
menukar dengan bungkus rokok Djarum. Kamu belum pernah mengalami itu?
Usia kamu berapa tahun?
Fd: Benar? Jika Lebak punya bioskop satu-satunya?
Ika: Salah. Rangkasbitung memiliki dua bioskop. Yang
pertama terletak di wilayah pasar dekat stasiun kereta api. Yang kedua
di Jalan Sunan Kali Jaga. Yang sebelah selatan bernama Seminar. Dan yang
sebelah utara namanya KAMI. Bioskop Seminar pada awalnya bernama
bioskop Gembira. Setelah berhenti penguasanya atau manajer digantilah
dengan Seminar. Mereka hanya merombak nama. Karena tanah di situ milik
pemerintah. Hak guna pembangunan barangkali. Habis waktu diambil sama
Pemda. Jadi rupanya diganti rugi saja oleh Pemda. Kemudian dijadikanlah
pasar. Saat itu kami mendirikan bioskop bersamaan. Di Serang juga ada
dua bioskop, yang pertama di Royal dan yang kedua di pasar. Nama bioskop
di Royal bernama Gembira. Yang tidak ada bioskop mungkin hanya daerah
Pandeglang. Masyarakatnya fanatik –agama.red.
Fd: Saya dengar di Labuan ada bioskop?
Ika: Ya memang ada di Labuan. Namanya bioskop Murni.
Pemiliknya kawan saya. Tempatnya dekat stasiun kereta api tempo dulu.
Persisnya yang sekarang dijadikan pangkalan bus Murni. Di situlah
bioskop. Si pemiliknya kenal dengan saya dari awal berdiri. Kalau anda
ke sana terus tanya nama saya. Dia pasti tahu. Umur dia lebih muda dari
saya. Jikalau perbioskopan saya berani jamin. Rangkasbitung lebih ramai
dari Labuan dan yang lainnya. Rangkasbitung punya dua bioskop dan
bersaing ketat antara bioskop KAMI dan Seminar.
Fd: Anda kenal dengan pemilik bioskop Seminar?
Ika: Ya! Saya kenal. Dia itukan orang Jakarta. Dia itu orang Chinese.
Tapi saya hanya kenal saja. Berbeda dengan yang di Labuan. Saya kenal
dekat dengannya. Mungkin karena kami di bawah pengusaha filem yang sama.
Terkadang adiknya disuruh cari filem ke Jakarta. Dan saya sering join dengannya.
Fd: Apakah alat untuk bioskop saat itu mahal?
Ika: Saat itu hanya bikin gedung, bangku, kan pake bangku bukan pake
jok. Kemudian mesin. Filem sewa, listrik PLN. Dulu kursinya kursi kayu.
Masih ada saya contoh kursinya dulu. Ini kursi bioskop dulu semacam
ini. Tapi jati –kayu jati.red– loh. Ini salah satu peninggalan sisa dari
mana saya tidak tahu. Ya semacam begini, terus diikat belakangnya pake bambu. Supaya tidak bisa di geser-geser. Saya masih punya kursi beginian, habisnya antik.
Fd: Bagaimana dengan pajak pemerintah?
Ika: Pemerintah. Ya kitakan bayar pajak. Untuk
bioskop, setiap menjual satu karcis itu. Pemda mendapat pajak sekian
persen dari pada satu nilai karcis. Jadi, kalau satu rol filem harganya
lima ratus rupiah untuk lima ratus orang. Kita masuk ke Pemda. Sebelum
dijual karcis itu haruslah lapor dulu ke Pemda. Stempel tiap karcis lalu
bayar. Dulu mereka enak, maka Pemda banyak duit. Seandainya sekarang
lebih banyak duitnya Pemda. Jelas, sekarang sudah salah sistemnya.
Sekarang toko Alya itu di flat. Toko-toko yang jualan milyaran
itu kan. Ratusan juta semen dan yang lainnya. Ratusan juta itu. Semen,
besi dan sebagainya itu. Itukan di flat oleh pajak. Kamu bayar
dia sekian juta untuk satu tahun misalnya. Kalau dulu itu ada PPN .
barang yang dijual itu diambil sekian persen.
Fd: Siapa yang membeli bioskop Bapak?
Ika: Saat itu, KAMI kesulitan uang dan kawan dari
Jakarta membelinya. Dikarenakan di Lebak tidak ada yang mau membeli.
Kemudian saya mencari pembeli. Kebetulan ada kawan di pasar ikan,
usahanya. Dia ada duit dan join dengan kawannya lalu membeli
bioskop saya. Tetapi tidak lama, dia tidak kuat, akhirnya dia jual lagi.
Pindah tangan lagi. Itu pada Apollo. Apollo juga tidak kuat, akhirnya
dijual lagi. Sekarang. Orang berebut membeli lahan itu buat Rumah Toko
(RUKO). Dibuat sekian pintu menjadi sewa kontrak. Atau dijual. Dan itu
bagi orang-orang yang punya uang.
Fd: Tahun berapa menjualnya?
Ika: Kita jual bioskop tahun 1969.
Fd: Itukan berdekatan dengan tahun pemberontakan?
Ika: Apaan sih..?! orang saat gerakan G30S kita
masih membukanya. Saat itu kita dilempari batu oleh Gerakan Pemuda
Rakyat. Karena saat itu kita putar filem Amerika. Pemuda Rakyat tidak
senang. PKI itu. Kita banyak didemo. Saya tidak banyak mengerti soal
politik. Saya tidak pernah ikut perpolitikan. Hanya saat itu, jika
mereka melihat filem Amerika ditayangkan pasti marah. Marahnya kepada
yang punya bioskop. Yang marah itu warga Lebak yang ikut dalam
organisasi kepartaian. Yang tidak, ya pasti tidak. Ya penonton mereka
terus saja menonton. Kalau misalkan pas lagi mau nonton ribut-ribut,
paling-paling bubar dan tidak jadi filemnya diputar. Kejadian itu sering
terjadi saat perpolitikan PKI. Sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kalau
dihitung dari tahun 1955 sampai 1965 belum pernah terjadi kerusuhan.
1965… mmm, sekitar 1968an lah kita menjualnya. Bioskop itu.
Nah.. Setelah bioskop itu dijual kepada Djarum. Dibangun sedikit.
Dibangun lagi bioskop. Tapi engga berapa lama. Sudah bikin
bioskop, dijual lagi. Ya.. Kemudian jadilah yang sekarang ini. Oleh
saudara Bhun Tiaw. Beruntung dia. Yang sekarang ini. Yang punya hotel
Kharisma. Itu sebelahnya hotel punya saya yang dijual kepada dia. Hotel
KAMI juga. Kita mempunyai bangunan dua. Hotel KAMI, yang sekarang jadi
pertokoan, yang dibuat tingkat, sama yang sekarang dibuat pertokoan
lagi. Yaitu bioskop KAMI. Tanah itu luasnya 1.600 meter. Sudah habis
semuanya. Ya, kita akhirnya pindah ke Lebak Picung. Kira-kira sejak
tahun 1980. Karena inflasi uang. Saat itu kita jual seharga Rp.
17.000.000,-. Hotel sebegitu besarnya sekarang harganya berapa Milyar
itu. Haa…haa..haa..!! kalau ingat ke situ waduuuhhh.. bisa tiring
istilahnya. Tapi ya sudahlah. Benar, dulu kita menjualnya segitu.
Bioskop itu kita jual Rp. 1.000.000,-. Orang dulu di Rangkasbitung
disuruh beli segitu tidak ada yang berani membeli. Seluruh Rangkasbitung
nggak ada yang punya uang. Seluruh Rangkasbitung. Yang beli juga
orang Jakarta. Jadi kuatnya uang dulu dengan kuatnya uang sekarang
bayangkan saja. Sekarang sudah tidak aneh lagi. Di kampung saja uang
sekarang bisa milyaran. Di kota banyak orang susah. Pekerja pabrik dan
sebagainya.
Fd: Filem apa saja yang dipertontonkan tahun 1950an di bioskop KAMI?
Ika: Saat itu filem yang diputar ialah film X Am Pay. Amerika. Itu semua produser orang Amerika. Filem-filem itu masih black and white. Belakangan ini saja color.
Fd: Film eropa tidak ada?
Ika: Ya Eropa termasuknya amerika juga. Ada Eropa
film Italia, Rusia ada, Prancis, ya dunialah..!! Tapi pada umumnya
disatukannya oleh pengusaha Amerika. Yang ada di Jalan Segara Satu.
Dekat istana itu. Dulu. Segara satu, Segara dua, Segara Tiga. Di situ
blok filem semuanya. MGM, Twentieth Century Fox, RKO, Columbia, dan
sebagainya. Itu semua assembling Amerika, hanya pindah kantor-kantor saja. Saya hafal soal filem itu mah.
Fd: Bapak dapat filemnya?
Ika: Kita dapat sewa filemnya dari sana. Kan sistemnya sewa. Sewa tiga hari flat berapa? Rp.500,-. Tiga hari lima ratus perak. Karcisnya hanya seperak dulu. Bayangkan saja. Haa..haaa..!! nonton satu perak, sewanya lima ratus. Itu tiga hari belum tentu banyak orang yang nonton karena kalau orang seneng baru banyak, tapi kalau engga ya rugilah kita. Sewa lima ratus bisa rugi kita.
Fd: Saat itu ramai?
Ika: Weitss.. Jangan salah, ramai lah… Ramai sekali. Kursi lima ratus habis jikalau ramai.
Fd: Emang mereka ngerti bahasanya?
Ika: Orang-orang Indonesia segala bahasa senang kok! Ada filem Cina, orang seneng. Asal filemnya action. Filem yang dia bisa ngerti. Filem India, Italia juga senang. Sejarah itu. Gladiator, Ben Hur itu, kan, Italia.
Fd: Kalau filem Rusia?
Ika: Ya itu..!! Filem Rusia orang kurang seneng. Cara berpakaiannya juga kurang seneng.
Pokoknya urusan filem saya mencari sendiri, dan sewa juga sendiri. Saya
kalau ke Jakarta setiap hari atau dua kali sehari. Saya juga memutar
sendiri. Pekerja bioskop tidak ada lagi. Kami sekeluarga yang
mengerjakannya. Ibu, bapak, anak, dan yang lain-lain hanyalah karyawan
kecil lah. Tapi kalau yang potensi urusan filem saya. Dan sayalah yang
bertugas mengambilnya ke Jakarta. Kantor filem mana saja di Jakarta saat
itu saya tahu.
Fd: Mungkin bapak banyak tinggal di sana?
Ika: Ya..! Saya sering tinggal di Jakarta. Saat itu
saya sekolah. Di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Saya masuk kuliah
tahun 1960 dan tahun 1959 saya sudah lulus dari Sekolah Lanjutan Atas
(SLA), Serang. Dulu SLA di sini tidak ada. Kita sekolah ke Serang, tiap
paginya kita naik kereta. Jam empat pagi, kita sudah jalan naik kereta
yang menggunakan bahan bakar arang. Terkadang perih jika kena mata.
Sekarang saya lihat anak-anak sekolah tinggal enaknya. Kemana-mana pake
angkot. Jarak dekat juga pake angkot, dulu kita tidaklah begitu. Saya
dulu tiga tahun sekolah di Serang. Berangkat pagi pulang siang. Dulu,
kita belum pernah disuruh-suruh sama orang tua untuk sekolah..
sekolah..!! bangun pagi..!! Engga tuh. Bangun dan sekolah
sendiri. Kalau anak-anak sekolah sekarang harus dipukul dan dibangunkan,
kalau tidak, mana mau sekolah. Itu bedanya sekarang. Kita bicara
realitanya saja.
Fd: Saat menyewa filem ke Jakarta apakah tidak mengalami kesulitan transportasi?
Ika: Tidak. Saya terkadang pakai kereta api dan
kendaraan roda dua. Rutenya cukup jauh karena harus ke Serang dulu. Tiga
hari sekali biasanya saya naik motor ke Jakarta. Bayangkan, dari sini
ke Pandeglang saja 20 kilo, dari Pandeglang ke Serang jaraknya 23 kilo.
Dari Serang ke Jakarta jaraknya 91 kilo. Di daerah Lebak Timur tidak ada
jalan menuju Jakarta. Hanya ada satu jalan ke timur, yakni menuju Bogor
saja. Jarak yang jauh saya tempuh puluhan tahun. Di jalanan kecepatan
kendaraan sepeda motor mencapai 100 km/jam, itu tidak ada apa-apanya.
Lari terus ke Jakarta. Kalau saya berangkat dari Rangkasbitung jam 5
pagi, jam 7 saya sudah sampai di jalan Istana Jakarta.
Fd: Bagaimana dengan sensor?
Ika: Dulu sangatlah ketat. Saya harus menyetorkan
terlebih dahulu filem yang akan diputar ke polisi. Tetapi sebelumnya
kami sudah memotong bagian-bagian yang vulgar supaya dipermudah. Saat
pemutaran, biasanya polisi terlibat pemeriksaan secara ketat. Dia
biasanya naik ke tempat proyektor dan menyalakan lampu besar. Anak
buahnya dan saya menelusuri satu persatu kursi bioskop. Pernah ada
kejadian saya dengan polisi terlibat pertengkaran hebat. Gara-garanya
ada sepasang suami istri yang masuk bioskop terus dikeluarkan. Saya
tidak terima. Penonton itu sudah menunjukan KTP dan surat nikah. Mungkin
polisi hanya melihat dari tubuh dan tampang saja. Mereka memiliki tubuh
yang kecil. Pokoknya polisi sering kami kritik saat itu karena biasanya
ada saja masalah.
Fd: Bapak kenal dengan Misbach?
Ika: Kok kamu tahu? Misbach Yusa Biran kan? Kamu tahu darimana si Misbach?
Berapa umurmu?
Fd: Umur saya antara 26 sampai 27 tahun. Saya hanya
kenal sedikit. Itupun hanya dari buku saja dan cerita-cerita kawan
diskusi dari Forum Lenteng. Kalau ada waktu, saya ingin ketemu dia.
Ika: Dia itu kakak kelasku saat SMP. Waktu itu saya
hanya teman bermain dengannya. Tetapi dengan Dorodjatun Kuntjorojakti
saya teman sebangku. Misbach orangnya alim, dan pendiam sekali. Dia
sungguh berbeda dengan kami. Dia tidak senang main bola. Dari
keluarganya ada keturunan darah seni. Sehingga ada adiknya bernama Ida
Farida seorang sutradara juga. Misbach Yusa Biran, foto-fotonya banyak.
Dia sih hobinya memfoto. Minta sama dia saja di studio miliknya. Mungkin
bisa kamu dapatkan di studio Bantam. Kami sering bermain bahkan nonton
bareng di bioskop milik saya. Bilang jika ketemu dia. Ada salam dari
KAMI, pasti dia tahu. Orang waktu kecil kami sering kali bermain. Tetapi
saat itu dia melanjutkan SLA di Jakarta bersama Dorodjatun
Kuntjorojakti. Kabarnya Kuntjoro jadi menteri yah. Benerkan? Katanya sih
begitu. Saya pernah nyari-nyari buku di kediamannya di Gang Tarman.
Tapi saat itu saya tidak mendapat izin oleh penjaga rumahnya.
Fd: Filem apa yang bapak suka?
Ika: Saya jenis filem apa saja suka. Asal ada sifat action.
Walaupun bohong tapi saya senang melihatnya. Saya senang filem yang
bisa membawa hati saya jadi keras. Tekniknya terkadang bagus. Ceritanya
juga bagus. Misalkan perang, penyelundupan, saya hobi yang nonton
begitu-begitu. “Intel dimasukkan ke wilayah terlarang yang tidak aman.
Saya senang walau pada kenyataannya bohong. Semua filem-filem bohong,
tapi kalau action dibohonginya tidak jelas-jelas.
Fd: Bapak tahu filem action Lebak Membara?
Ika: Itu, kan, sejarah. Saya, sih, senang saja. Jadi
meningkatkan pengetahuan kita pada sejarah. Itu sebetulnya bagus.
Tetapi gimana, saya sudah tahu itu filem.
Fd: Apa selanjutnya yang anda lakukan setelah menjual bioskop?
Ika: Saat itu, saya beralih-alih profesi. Dari mulai
jadi pemborong, penjual minyak kelapa, pokoknya ikut segala macam
urusan dengan kawan-kawan yang bernasib baik. Saat itu karena banyak
kawan jadi saya bisa ikut mereka. Sekarang saya berumur 70 tahun lebih.
Bukannya mengurangi kawan malah nambah kawan. Setiap ketemu saya dia
pasti jadi kawan saya, termasuk anda. Di Lebak ini saya tidak memiliki
musuh sepotongpun. Sampai ke selatan sana. Bayah.
Fd: Apakah ada yang tersisa dari dokumentasi atau arsip bioskop KAMI?
Ika: Itu dia..!! Itu kelemahan saya. Dari dulu saya
tidak suka foto-memfoto bahkan mengarsipkan sesuatu. Atau intinya
menyisakan untuk kenangan. Saya tidak hobi.