DARI KOMEDIE STAMBOEL HINGGA BIOSCOOP
Komedie Stamboel adalah teater hibrida di zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan dan estetika Eropa dan Asia. Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama di tahun 1891 di Surabaya, dengan aktor Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa. Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu teater musikal Eropa. Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer, seperti kroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas dan representasi.
Julukan “stamboel” diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka. Hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa.
Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional, panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, make-up, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad 19. Pengaruh lain yang tidak kalah pentingnya adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay dan banyak mengelilingi Indonesia semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal). Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stamboel sudah punya koleksi drama (repertoire) yang sangat beragam, dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra dan folklor populer Eropa (Dr. Faust, Putri Salju). Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899-1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.
Sejarah awal berdirinya stambul bertepatan dengan banyaknya perubahan pesat di Hindia Belanda. Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, phonograph, lithograph, percetakan, dsb. bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok. Dengan kritis, mendetil dan menarik, buku ini menghadirkan sejarah satu teater hibrida, dari mana kita mendapatkan gambaran hidup, perilaku dan norma sosial saat itu, berikut keresahan dan semangatnya. Dari berbagai potongan arsip koran dan media cetak, Cohen merangkai sejarah suatu ruang publik beserta segala konflik dan gosipnya yang tidak hanya menghibur, tapi juga sangat informatif.
Di bab pertama Cohen menyorot kelahiran Komedie Stamboel di Surabaya, serta hubungannya dengan sifat masyarakatnya yang multikultural dan dinamis. Cohen mencatat berbagai (peng)hiburan di kota ini, misalnya opera dan schouwburg,strijke ,bataljon muziek, wayang kulit, wayang wong, tandakan, ludruk, Tahun Baru Cina, Pudu, Tjap Gouw Meh dan potehi. Asal muasal Komedie Stamboel sendiri tidak terlalu diketahui—yang pasti, didanai oleh kongsi Tionghoa, terkadang disebut “Tangul Angin clique” dan awalnya berfungsi seperti klab sosial pendananya. Secara retrospektif, Yap Gwan Thay, sering diberi kredit sebagai pendirinya dengan keahlian tehnisnya dan komitmen keuangannya. Bisnisnya beraneka ragam, terutama di bidang hiburan dan manufuktur. Juga dikatakan, Yap Gwan Thay sangat piawai dalam mempelajari, mengungkap prinsip kerja dan mengadaptasi sesuatu—termasuk membuat uang palsu
Sementara aktor-aktornya terdiri dari orang-orang Indo yang bermukim di kawasan achterbuurt sekitar Krambangan. Kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tidak mampu berbahasa Belanda dan menggunakan Melayu dalam kesehariannya. Begitu pun dalam pementasannya—Stamboel dipentaskan dalam bahasa Melayu, dan dalam perkembangannya, penonton Belanda kebanyakan harus membeli buku panduan untuk memahami pentas Stamboel. Salah satu dari aktor ini, Auguste Mahieu, dengan pengaruh manajerial dan kepopuleran personanya, kerap disebut sebagai pendiri Komedie Stamboel. Boleh dikatakan, buku ini menelusuri Komedie Stamboel melalui perjalanan hidup Mahieu. Sebagai seorang aktor dan musisi yang handal, Mahieu dipercaya menciptakan melodi standard stambul (“Stambul I”, “Stambul II”, dst.).
Berbagai teknik digunakan untuk menarik pengunjung yang lebih beragam: mulai dari membagikan leaflet, menggunakan ensemble Italia, menggelar tombola(lotre), sampai menerbangkan balon udara yang sebelumnya gagal terbang di depan gedung teater. Dari yang awalnya dipentaskan di tenda di Kampung Doro, Komedie Stamboel dibawa ke Kapasan, dan berbagai schouwburg. Akting dibuat berlebihan, dengan “buang tingkah” dan kaus kaki putih untuk menonjolkan gerakan. Atraksi tableaux vivant, yaitu satu atau beberapa komposisi beku dengan aktor-aktor yang diam tak bergerak (dan seringnya berpakaian minim kalau tidak berkostum luar biasa) dengan panorama realis fantastis dari sejarah atau legenda, tentunya disambut hangat oleh penontonnya. Selain karena noni-noni Indo yang terkenal kecantikannya, fenomena gambar realis juga sedang marak-maraknya di Indonesia, satu hal teknis yang mendapat sumbangan banyak dari keahlian Yap. Teks-teks luar diadaptasi dengan bahasa dan situasi mereka; sebagai contoh, cerita Faust dipentaskan sebagai Fathul Achmat, atau Faust dari Arabia, terdiri dari 80 pantun.
Dari satu teater di Surabaya, Komedie Stamboel melakukan pertunjukan keliling ke luar kota. Ketika mereka melakukan tur panjang di bulan November 1891, Komedie Stamboel masih tampak seperti satu kelompok teater Surabaya. Sekembalinya mereka dari perjalanannya, Stamboel menjadi teater keliling, dengan artis, teknik, bentuk dan ide yang lebih beragam dan inklusif. Sebagai contoh, penyanyi dan musik Kroncong turut bergabung dalam Komedie Stamboel, melodi-melodi standard stambul menjadi kerangka dasar lagu-lagu keroncong, dan juga sering digunakan untuk pentas gambang kromong dan wayang cokek di berbagai soehian di Batavia. Di luar lingkaran teater dan hiburan, irama Stambul I yang menjadi kerangka keroncong bahkan diadaptasi menjadi lagu kebangsaan Malaysia. Dengan cepat mereka menyebar, diadaptasi oleh berbagai kelompok teater (profesional dan amatir).
Di tahun 1893 antusiasme masyarakat mengikuti komedie stamboel bukan lagi sebagai satu kelompok teater, tapi sebagai suatu genre kebudayaan populer, yang timbul melalui proses difusi, bukan melalui “gerakan” yang dibentuk secara sistematis.
Tentunya, bukannya tanpa jatuh bangun. Komedie Stamboel sebagai perusahaan berulang kali bangkrut, dan di tahun 1896 Mahieu berpindah menjadi direktur Sri Stamboel, Komedie Stamboel Bunga Mawar di 1898, dan terus mengalami perpindahan hingga akhir hayatnya.
Bahasa, dan perilaku para artis dan penontonnya, tak jarang dicap vulgar, identik dengan kekerasan dan roman. Sering kali mereka mendapat kritik media dan masyarakat sekitar.
Nama mereka pun pernah diplesetkan sebagai Komedie Janboel dengan segala konotosi seksual-liarnya. Pentas mereka di Mangga Besar—Rode Lamp van Batavia dari mana kita mendapat istilah “sakit mangga” untuk menyebut sipilis—adalah salah satu tur mereka yang dikecam penduduk sekitar. Tapi, selain karena alasan “moral”, ternyata dalam satu kasus ada alasan lain: Komedie Stamboel menolak menjualpastel perkutut dan pastel bajing—produk lokal yang terkenal di kalangan sekitar tapi diragukan kualitasnya—di buffet yang mereka gelar di depan arena pertunjukan! Tidakkah tuwan-tuwan dan njonja-njonja penasaran, seperti apakahpastel perkutut dan pastel bajing ini?
Bagaimana satu teater sederhana di Krambangan dapat melintasi batas-batas sosial, berasosiasi dengan opera Eropa melalui mekanisme legal, promosional dan estetik, dan akhirnya melakukan pentas di Singapura dan Malaysia, sering diatribusikan pada “sihir Mahieu”. Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa Komedie Stamboel dan kepopulerannya tidaklah dibentuk oleh satu orang jenius, melainkan dari berbagai khalayak dengan beragam latar belakang ekonomi, etnis dan orientasi, dan melewati jalan panjang menghadapi berbagai percobaan, kegagalan dan persaingan dengan hiburan lainnya. Tapi tidak pula dapat disangkal, Mahieu berjasa besar dengan berbagai inovasinya, perhatiannya terhadap publikasi, serta dedikasinya meningkatkan repertoire, peralatan dan (reputasi) personnelnya.
Di akhir bukunya, Cohen memaparkan “warisan” pengaruh stamboel: bagaimana komedie stamboel mendorong eksperimentasi dan difusi. Stamboel memberi model refleksi dan representasi. Perbedaan, kontras dan konflik antar etnis dan ras dihadirkan—“didramatisasikan” bahkan—di ruang publik, dan menjadi model repertoire yang terasa hingga sekarang jejaknya dalam debat politik, sinetron, teater daerah. Cohen juga menganalisa kajian-kajian dan studi sebelumnya, bagaimana stamboel dibedakan berdasar kategori rasial, atau seni tinggi vs rendah, dan bagaimana stamboel menolak pengotak-ngotakan tersebut. Stambul mengalami pasang surut, dihidupkan dan diimajinasikan ulang, digunakan sebagai salah satu cara mendefinisikan budaya, otonomi dan pengakuan terhadap masyarakat Indo (Eurasia). Dipaparkan juga pengaruh dan peran masyarakat imigran Indo sebagai mediator, dan sisa-sisa kebudayaan tersebut, seperti usaha Jan Boon alias Tjalie Robinson, yang saking kagumnya memakai nama Mahieu sebagai nama penanya. Dengan mengamati posisi satu teater populer dan dampaknya di ruang publik, buku ini menguraikan begitu banyak fakta sejarah, analisa kompleks dan detil dinamika sosial.
Gedung Opera Pie Oen KieJl. Panggung
Bahwa antusiasme masyarakat Kota Surabaya untuk menonton film di bioskop sangat besar, Surabaya merupakan kota yang banyak memiliki gedung bioskop di Indonesia pada 1936.
Peran filem di bioskop pada masa lalu, dapat dilihat dari “monopoli”
pemasangan iklan di suratkabar. Suratkabar yang terbit di waktu itu,
sempat pula menjadikan banyaknya iklan filem bioskop yang dipasang di
korannya merupakan prestasi dan prestise. Banyaknya iklan dan besarnya
kolom iklan filem bioskop di suatu suratkabar, dapat pula menjadi
standar oplah atau tiras koran itu.Di Kota Surabaya, zaman keemasan
iklan filem bioskop banyak dinikmati oleh Harian Surabaya Post, menyusul
kemudian koran Jawa Pos dan koran-koran bertiras kecil, serta koran
mingguan. Tidak jarang, Surabaya Post dan Jawa Pos yang waktu itu terbit rata-rata
12 halaman tiap hari, iklan filem bioskopnya mencapai dua sampai tiga
halaman. Begitu hebatnya peran filem sekitar tahun 1970-1980-an di
bioskop-bioskop, Departemen Penerangan (Deppen) waktu itu, membuat
bidang tersendiri untuk mengawasi iklan di koran dan reklame gantung
yang dipajang di dinding gedung bioskop. Deppen yang sekarang sudah
tidak ada itu juga mengendalikan kegiatan BSF (Badan Sensor Filem). Di
daerahpun ada Baperfilda (Badan Pertimbangan Filem Daerah) yang
fungsinya sebagai BSF di daerah. Jumlah bioskop di Surabaya pernah melampaui jumlah 50. Karena luas
gedung dan fasilitas bioskop tidak sama, maka Pemkot Surabaya membagi
gedung bioskop menjadi lima golongan.
Golongannya adalah: AA, A, B, C
dan D.
Golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu: Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In.
Golongan A, enam bioskop, yakni: Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara. Golongan B, delapan biskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru.
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria.
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
Sekarang bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal “kenangan”. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu. Kadang-kadang ada kerinduan untuk bernostalgia. Tetapi, ah, tentu tidak mungkin. FFI di Surabaya Tahun 1970-an hingga menjelang 1990-an dunia filem di Indonesia juga bangkit. Tidak hanya bangkit dalam memutar filem impor, tetapi juga memproduksi filem-filem nasional. Bahkan, di era ini, aktor dan aktris filem benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, ada FFI (Festival Filem Indonesia). Kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 1981. Pemerintah yang mendirikan TVRI di tahun 1962, terus berkembang dan memancarluaskan tayangan programnya ke seluruh Nusantara. Peran bioskop “diambil sedikit”, karena TVRI mulai memutar filem yang dapat ditonton di rumah. Tetapi kehadiran TVRI tidak banyak pengaruhnya bagi bioskop. Sebab, filem yang diputar di bioskop, berbeda dengan di TV, Deppenpun menetapkan filem yang diputar di TV tidak boleh filem baru. Kemajuan teknologi perfileman terus meningkat, mulai dari ukuran layar, dimensi dan suara. Namun, pengunjung bioskop terus menurun. Pengelola bioskop dengan pola baru membagi ruangan bioskop yang luas itu dengan sekat-sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era “Sineplex 21”. Rata-rata bioskop yang besar dibagi menjadi dua sampai empat ruangan yang lebih kecil tetapi nyaman. Di era ini ada tambahan gedung bioskop sineplex baru yang terletak di Plaza Surabaya bernama “Plaza” dan Plaza Tunjungan bernama “Studio”.
Golongan AA, ada 16 bioskop, yaitu: Mitra, President, International, Surabaya, Star, Wijaya, King, Indra, Ria, Intan, Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In.
Golongan A, enam bioskop, yakni: Queen, Bima, Irama, Garuda, Istana dan Nusantara. Golongan B, delapan biskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru.
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan Megah Ria.
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
Sekarang bioskop-bioskop itu banyak yang hanya tinggal “kenangan”. Banyak muda-mudi zaman itu yang kini sudah beranak-cucu punya kesan indah di bioskop itu. Kadang-kadang ada kerinduan untuk bernostalgia. Tetapi, ah, tentu tidak mungkin. FFI di Surabaya Tahun 1970-an hingga menjelang 1990-an dunia filem di Indonesia juga bangkit. Tidak hanya bangkit dalam memutar filem impor, tetapi juga memproduksi filem-filem nasional. Bahkan, di era ini, aktor dan aktris filem benar-benar disanjung, dipuja dan dimanjakan. Puncaknya, ada FFI (Festival Filem Indonesia). Kota Surabaya juga pernah menjadi tuan rumah FFI tahun 1981. Pemerintah yang mendirikan TVRI di tahun 1962, terus berkembang dan memancarluaskan tayangan programnya ke seluruh Nusantara. Peran bioskop “diambil sedikit”, karena TVRI mulai memutar filem yang dapat ditonton di rumah. Tetapi kehadiran TVRI tidak banyak pengaruhnya bagi bioskop. Sebab, filem yang diputar di bioskop, berbeda dengan di TV, Deppenpun menetapkan filem yang diputar di TV tidak boleh filem baru. Kemajuan teknologi perfileman terus meningkat, mulai dari ukuran layar, dimensi dan suara. Namun, pengunjung bioskop terus menurun. Pengelola bioskop dengan pola baru membagi ruangan bioskop yang luas itu dengan sekat-sekat yang lebih kecil. Era ini dikenal dengan era “Sineplex 21”. Rata-rata bioskop yang besar dibagi menjadi dua sampai empat ruangan yang lebih kecil tetapi nyaman. Di era ini ada tambahan gedung bioskop sineplex baru yang terletak di Plaza Surabaya bernama “Plaza” dan Plaza Tunjungan bernama “Studio”.
Primadona pajak begitu hebatnya, di
samping peran bioskop sebagai tempat hiburan, waktu itu, Pemkot Surabaya
menarik hasil yang cukup besar dari pajak tontonan. Bioskop menjadi
penghasil dana PAD (Pendapatan Asli Daerah) antara tahun 1970-an hingga
1980-an. Pemasukan dana yang dihimpun melalui pajak tontonan dan
hiburan, selalu berada pada deretan teratas sumber dana APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah) Kota Surabaya dalam kurun waktu yang
cukup panjang. Selain bioskop menjadi :”primadona” tempat hiburan warga
kota, pajak tontonan juga menjadi “primadona” PAD Kota Surabaya. Itu
adalah masa lalu. Musim berganti dan zamanpun berubah. Kemajuan
teknologi yang begitu cepat mampu pula mengubah segalanya. Kehadiran
televisi diikuti oleh teknologi rekaman video. Filem-filem yang diputar
dan bakal diputar di bioskop juga sudah ada rekaman videonya di pasaran.
Walaupun ada kenetantuan, bahwa rekaman video hanya untuk filem lama,
namun tidak jarang pelanggaran dilakukan. Dan, sepandai-pandainya aparat
melakukan pengawasan, namun tidak mampu membendung banjirnya rekaman
video di pasaran. Terdesak oleh filem-filem rekaman video, gedung
bioskop mulai sepi penonton. Apalagi, kemudian teknologi antena parabola
mulai masuk. Masyarakat berduit yang biasa nonton di bioskop kelas
utama, mulai beralih ke TV luar negeri yang bisa ditonton langsung dari
rumah. Di tanahair, stasiun televisi swasta terus bertambah. Teknologi
video digeser oleh VCD (Video Compack Disc) dan DVD (Digital Video
Disc). Dan, akhirnya penonton bioskop bisa dihitung dengan jari setiap
kali pertonjukan. Kecuali, kalau betul-betul ada filem bagus yang belum
ada VCDnya. Sejak 1990-an, satu-persatu gedung bioskop tutup dan
gedungnya berubah fungsi.
Bioskop kini tidak lagi “primadona”. Tidak popular lagi, keadaan sudah
berubah. Bioskop yang memutar filem nasional dan impor, makin hari makin
sepi. Menonton di bioskop sekarang, juga makin tidak popular. Hal ini
tidak hanya dirasakan di Surabaya, tetapi juga di kota-kota lain di
Indonesia. Selain makin banyaknya jenis tempat hiburan dan santai,
bioskop tersingkir akibat makin maraknya filem yang diputar di berbagai
stasiun televisi. Di samping itu rekaman video, VCD dan DVD, serta aneka
keunggulan teknologi informasi, seperti internet misalnya. Akibatnya
bioskop makin sepi. Banyak bioskop yang terpaksa tutup dan gedungnya
dialihfungsikan untuk kegiatan lain.
Memang masih ada bioskop di Surabaya yang bertahan. Justru di pusat
perbelanjaan, plaza dan mal, bioskop masih digemari pencandu filem layar
lebar. Kalau dulu bioskop favorit terpisah dari pusat perbelanjaan,
sekarang bioskop kelas AA berada di plaza. Di Tunjungan Plaza, ada
bioskop sineplex Studio 1,2,3,4,5 dan Tunjungan 1,2,3. Di Plaza
Surabaya, ada bioskop Delta 1,2,3,4. Di Mal Galaxy ada bioskop Galaxy
1,2,3,4. Bioskop Mitra merupakan bioskop kelas AA yang paling strategis
letaknya di kota Surabaya, di gedung Balai Pemuda Jalan Gubernur Suryo
15. Namun 25 Mei 2004 lalu, bioskop yang terakhir bernama “Mitra 21”
yang terbagi menjadi Mitra 1,2,3,4 “terpaksa” tutup. Bagaimana tidak
gulungtikar, belakangan ini pengunjung yang menonton filem di bioskop
kebanggaan warga kota ini, boleh dihitung dengan jari. Kendati
penontonnya hanya lima hingga sepuluh orang, filem tetap diputar sesuai
jadwal.
Merosotnya penonton itu sudah
terasa sejak tahun 1989. Sejak terjadinya krisis moneter (krismon)
secara nasional tahun 1997, pemasukan bioskop terus menurun. “Kami
benar-benar kesulitan untuk biaya operasional. Biaya yang mutlak
dianggarkan adalah untuk gaji 60 orang karyawan, bayar listrik, air,
sewa filem dan pajak”, katanya. Seharusnya pemasukan minimal itu sekitar
Rp 300 juta per-bulan, namun angka sekian tidak pernah terpenuhi.
Sebenarnya ada pemasukan yang cukup besar, yaitu iklan rokok. Tetapi,
sejak adanya peraturan pemerintah yang membatasi iklan rokok dan harus
disiarkan setelah pukul 22.00, para produsen rokok ramai-ramai
membatalkan kontrak. Dan, sekarang perusahaan rokok beralih ke televisi,
internet dan koran tabloid. Realita yang dialami Mitra 21 ini sebuah
cermin “kelabu” dari nasib dan masa depan bioskop. Sehingga tidak akan
mungkin lagi ada dalam catatan BPS (Biro Pusat Statistik) yang mencatat
secara rutin jumlah penonton bioskop seperti sebelum tahun 2000.
Ternyata bioskop Mitra 21, tidak jadi tutup selamanya, sejak pertengahan
2005, bioskop itu kembali memutar filem seperti biasa. Tetapi, ajal
bioskop Mitra, akhirnya benar-benar habis. Pertengahan tahun 2009,
bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra di Jalan Pemuda 15
atau berubah jadi Jalan Gubernur Suryo 15 – kini dibangun itu menghadap
Jalan Yos Sudarso – sebagai Gedung Kesenian Surabaya. Masa Lalu Sekedar
mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, tahun 1987 misalnya, di
Surabaya ada 54 bioskop. Bioskop kelas AA sebanyak 20 buah dengan 15.353
tempat duduk (td). Bioskop kelas A ada 5 gedung dengan 4.011 td, kelas B
sebanyak 18 gedung dengan 7.802 td, kelas C dengan 9.084 td dan kelas D
1.120 td. Tahun 1993, jumlah bioskop bertambah 20, sehingga jumlah
bioskop di Surabaya waktu itu menjadi 74 buah. Bioskop kelas AA menjadi
26 buah dengan 61.572 td, kelas A naik menjadi 11 buah dengan 2.643 td,
kelas B menjadi 18 gedung dengan 12.130 td, kelas C turun menjdi 10
gedung menjadi 7.246 td dan kleas D menjadi 9 tempat dengan 4.284 td.
Berdasarkan jumlah penonton, tahun 1987, misalnya, penonton filem
Amerika paling banyak di banding penonton filem lainnya, termasuk filem
nasional. Tahun itu tercatat penonton bioskop yang membeli karcis untuk
menyaksikan filem Amerika sebanyak 2,36 juta orang lebih.
Penonton filem
nasional (Indonesia) 1,94 juta orang lebih. Filem Hongkong (waktu itu
istilah untuk filem Cina yang menggunakan bahasa Mandarin, karena banyak
diproduksi di Hongkong, maka disebut filem Hongkong). Penontonnya
mencapai 1,08 juta orang. Menyusul penonton filem India sebanyak 198
ribu orang dan filem Eropa dan lainnya sekitar 30 ribu orang. Tahun 1993
jumlah penonton tetap didominasi penonton filem Amerika yang naik
menjadi 2,57 juta lebih, penonton filem Indonesia 2,03 juta orang dan
filem Hongkong juga naik menjadi 1,33 juta orang. Penonton filem India
turun menjadi 191 ribu orang dan lainnya tidak lebih dari 25 ribu orang.
Sineplex 21 Berakhirnya kejayaan pemerintahan Orde Baru, perbioskopan
di Indonesia, termasuk di Surabaya merosot tajam. Walau ada pembukaan
bioskop baru di beberapa plaza, banyak bioskop lama yang tidak mampu
lagi bertahan dan tutup. Tahun 1997, jumlah bioskop di Surabaya masih
bertahan sebanyak 48 bioskop. Itupun setelah satu bioskop disekat-sekat
menjadi empat sampai lima bagian yang disebut sineplex. Bioskop-bioskop
yang disekat tahun 1997 ini menjadi sineplex, di antaranya: Mitra
(1,2,3,4), Wijaya (1,2), Irama (1,2,3), Surabaya (1,2,3,4,5), Golden
(1,2,3,4), Oscar (1,2,3,4), Arjuna (1,2,3), Studio (1,2,3,4,5), Delta
(1,2,3), Odeon (1,2,3,4) dan Kedurus (1,2,3).
Kembali untuk mengenang masa lalu bioskop di Surabaya, yang umumnya
sudah tidak berbekas lagi, antara lain: bioskop President dan Arjuna di
Jalan Embong Malang 39- 43 dan 45-47. Bioskop Wijaya di Jalan Bubutan
1-3, International di Pecindilan 50, Gita di Gentengkali 97-99, Bioskop
Ultra di Urip Sumoharjo 58, Jaya dan Bima di Jalan Pahlawan, Ria di
Jalan Kombes M.Duryat 2, Indra di Jalan Panglima Sudirman 2, Aurora di
Jalan Tunjungan 12, King dan Queen di Jalan Alun-alun Contong 1, Istana
di jalan Kapasari 1, Drive In di Jalan Mayjen Sungkono (Darmo Park),
Kusuma di Jalan Tembaan, Dana di Jalan Pandegiling, Bayu di Jalan Basuki
Rachmat, Chandra di Jalan Kapas Krampung. Dan masih banyak lagi,
bioskop kelas B,C dan D. Ada beberapa bioskop kecil dan berada di
pinggiran kota, ternyata masih mampu bertahan. Namun, keadaan bioskopnya
sangat memprihatinkan, kumuh dan terkesan asal-asalan. Hanya status
gedungnya yang masih “dianggap” sebagai bioskop. Pemutaran filemnya
sudah tidak rutin, bahkan adakalanya tidak ada pemutaran filem sama
sekali. Tidak hanya itu, gedung yang pengap itupun sering difungsikan
untuk kegiatan lain. Sekedar catatan, jika dulu iklan bioskop menjadi
perhatian pembaca suratkabar harian, sekarang sudah tidak lagi. Koran
Jawa Pos saja misalnya, walau masih memasang iklan filem bioskop,
ditempatkan di halaman dalam ukuran kecil. Pada hari Kamis, 8 Juli 2004
misalnya, iklan bioskop ditempatkan di halaman 24 dari 40 halaman yang
terbit hari itu. Tempatnyapun kurang strategis, di bagian bawah dengan
ukuran kecil. Untuk 24 bioskop sineplex yang memutar delapan filem,
hanya diiklankan dengan menggunakan warna hitam-putih ukuran 7 cm x 7
kolom. Kapling dengan ukuran mini ini dibagi untuk Filem “The Prince
& Me” yang dibintangi Julia Stiles diputar di bioskop Studio 5,
Tunjungan 3, Delta 1, Galaxi 3 dan Surabaya 1, dengan ukuran 7 x 8cm.
Filem “Spiderman-2” yang diputar di tujuh bioskop di Surabaya dan tiga
bioskop di Malang, diiklankan dengan ukuran 5 x 8 cm. Filem “The
Punisher” yang dibintangi Tom Jane dan John Travolta yang diputar di
lima bioskop mendapat kapling iklan 7 x 8 cm. Filem “Harry Potter” yang
diputar di enam bioskop di Surabaya dan tiga bioskop di Malang
diiklankan dengan ukuran 3,5 x 8 cm. Tiga filem lain: “Kill Bill”,
”Troy” dan “Shrek-2” hanya diberi tempat masing-masing dengan ukuran
iklan 2 x 4 cm. Satu lagi, filem “Eiffel I’m In Love” yang dibintangi
Samuel Rizal dan Shandy Aulia yang diputar di tiga bioskop di Surabaya
dan tiga bioskop di Malang, menempati iklan ukuran 4 x 9 cm. Ini sangat
berbeda dengan iklan filem yang tahun 1980-an hingga 1990-an. Di Harian
Sore Surabaya Post dan Harian Pagi Jawa Pos, rata-rata iklan filem
mendominasi satu hingga tiga halaman. Bahkan di antaranya iklan
berwarna. Memang, menonton di bioskop pada zaman sekarang, tidak se
popular masa lalu. Apakah kelak, bioskop masih mampu bertahan. Sekedar
mengingatkan dan bernostalgia bagi yang tua-tua dan sebagai informasi
bagi yang muda-muda, di bawah ini saya coba menelusuri buku-buku lama
tentang nama dan alamat bioskop di Surabaya. Ada 61 bioskop.
Dulu, ada protokol ketat saat masuk bioskop.Para penonton
tidak diperbolehkan memakai baju compang-camping dan bersandal jepit.
Mereka harus memakai sepatu. Masuk bioskop, masyarakat harus berpakaian
rapi. Jika tidak, mereka akan diusir oleh penjaga di depan pintu. Selain
itu, aturan terkait klasifikasi film dan umur penonton sangat jelas dan
tidak seperti sekarang. Anak SD tak boleh menonton film dewasa. Ada
petugas yang menghardik dan memarahinya jika aturan dilanggar. Meski,
tetap ada saja yang nakal. Usianya masih dini, namun mengaku sudah 17
tahun berbekal wajah yang menua.
TIONG HIN - ALHAMBRA – UNIVERSAL – FIROZ CINEMA – ALHAMBRA – SATRYA
Alhambra adalah sebuah nama kota di Spanyol, tapi menjadi nama gedung bioskop di Surabaya era lama. Lokasi gedung ini ada di Jl. Pegirian No. 116 Surabaya. Sebelumnya bernama “Tiong Hin” (1920).
Tahun 1930-an Alhambra disewakan ke salah seorang Armenia yang tinggal di kota ini. Menyebabkan perubahan nama bioskop dari Alhambra menjadi “Universal”. Kemudian dalam kurun waktu berikutnya disewakan lagi ke orang lain, dan namanya diubah menjadi “Firoz Cinema”, kemudian balik lagi menjadi Alhambra.
Sekitar tahun 1960, pemerintah (Bung Karno) melarang gedung bioskop yang
menggunakan nama asing atau berbau imperialis. Maka nama Alhambra
diganti dengan “Satrya”.
Film-film yang sering diputar di bioskop Alhambra adalah film drama dan
aksi, bahkan untuk film yang penggemarnya banyak, sampai diputar selama
satu bulan berturut-turut.
Jangan membayangkan dalamnya gedung bioskop Alhambra (Satrya) ber AC dan
kursinya empuk dll. Tapi gedung Alhambra itu tanpa AC. Jadi udaranya
panas. Untungnya gedung bioskop Alhambra itu dalamnya luas dan atapnya
tinggi, serta ada empat kipas angin ukuran besar. Sehingga tidak terlalu
panas.Terdapat loster-loster di atas dinding bagian kanan kiri berfungsi untuk
sirkulasi udara agar ruangan gedung tidak pengap. Sangat indah sekali
tata ruang gedung bioskop Alhambra yang berarsitektur Eropa itu.
Alhambra punya ciri khas khusus. Yang paling menonjol
adalah adanya dua kubah di samping gedung. di bawah kubah-kubah itu ada pintu masuk khusus untuk penonton bertiket
kelas VIP balkon. Di masing-masing pintu, ada dua lapis kain beludru
gelap (biru tua). Selain sebagai tirai, kain tersebut juga berfungsi
untuk menghalangi sinar menerobos langsung ke ruang pertunjukan. ”Cukup
mewah pada masanya. Proyektornya sudah diimpor dari Eropa, penonton di Bioskop Alhambra berasal dari berbagai golongan. Kebanyakan
para pedagang. ”Sudah ada klasifikasi kursi berdasar kelasnya. Paling
depan kelas III atau embek. Julukan itu ternyata muncul karena sebagian penonton yang duduk di kelas
III berasal dari kalangan bawah. Penontonnya paling gaduh. Saat film
diputar, mereka harus rajin mengelap mata karena saking dekatnya layar
dengan tempat duduk. tak sedikit penonton di kelas III yang pipis di celana karena malas ke toilet. Bioskop Alhambra memutar banyak film Barat (Eropa) yang memiliki banyak
tema. Filmnya selalu update. Karena itu, Alhambra yang pernah berganti
nama menjadi Satriya selalu disesaki penonton setiap minggu.
BIOSKOP GARUDA di Jalan Kranggan. Tempat hiburan tersebut sudah tidak
ada saat ini. Bioskop dirobohkan dan dibangun pusat perbelanjaan. Ada
yang khas dari Bioskop Garuda. Para
penonton di bioskop itu harus banyak bersabar. Sebab, pemutaran film
tidak dilakukan dalam satu kali main. Ada jeda di tengah film. Dalam masa jeda tersebut, lanjut dia, penonton digiring untuk pergi ke
warung di kompleks bioskop. Mereka disarankan untuk makan dan minum
kopi. Tentunya dengan uang yang mereka miliki sendiri.
BIOSKOP CAPITOL / KRANGGAN
Gedung bioskop Capital Concern yang dibangun tahun 1957 ini menjadi bukti pesatnya industri perfilman dan perkembangan bioskop di Surabaya. Lebih unik lagi. Para penonton bioskop di Jalan Bubutan itu bisa menikmati lebih dari satu film dengan hanya satu karcis. Karcisnya tidak hangus meski terlambat masuk bioskop. Sebab, penonton bisa menunggu film yang diputar selanjutnya. Meskipun, jaraknya setengah hari.
Gedung bioskop Capital Concern yang dibangun tahun 1957 ini menjadi bukti pesatnya industri perfilman dan perkembangan bioskop di Surabaya. Lebih unik lagi. Para penonton bioskop di Jalan Bubutan itu bisa menikmati lebih dari satu film dengan hanya satu karcis. Karcisnya tidak hangus meski terlambat masuk bioskop. Sebab, penonton bisa menunggu film yang diputar selanjutnya. Meskipun, jaraknya setengah hari.
BIOSKOP BROADWAY / ARJUNA
Bioskop BROADWAY.Jl Embong Malang di tahun 1950an
Bagi pemirsa yang lahir th 1950-1960an pasti pernah menonton di Bioskop klas satu ini pada jamannya.
Bagi pemirsa yang lahir th 1950-1960an pasti pernah menonton di Bioskop klas satu ini pada jamannya.
Gedungnya khas, agak setengah melingkar, ruang parkirnya luas dan ruang
lobynya cukup mewah. Berlokasi di Jl. Embong Malang, Surabaya. Film
yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank
Organization, Inggris.
Film Ben Hur 1962 pernah diputar disini.
Karena peraturan pemerintah,Di Th 1969 nama Broadway akhirnya diganti ARJUNA. Sekarang jadi Hotel mewah.
BIOSKOP CITY
Disinyalir setelah city berubah menjadi Mitra.
BIOSKOP MITRA
Bioskop Mitra terletak di kompleks Balai Pemuda Surabaya. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra kini dibangun menghadap Jalan Yos Sudarso sebagai Gedung Kesenian Surabaya.
Bioskop Mitra terletak di kompleks Balai Pemuda Surabaya. Pertengahan tahun 2009, bioskop itu tutup dan dibongkar. Bekas bioskop Mitra kini dibangun menghadap Jalan Yos Sudarso sebagai Gedung Kesenian Surabaya.
BIOSKOP MAXIM / INDRA
Bioskop yang juga dikenal sebagai bioskop Simpang ini terletak di Jalan
Panglima Sudirman. Sebelumnya bioskop MAXIM. Ruang pertunjukan bioskop
yang sebelumnya bernama MAXIM ini tidak begitu luas dan berada di atas
pertokoan. Lokasinya di pojok Jalan Pemuda dan Jalan Panglima Sudirman
atau di seberang gedung Balai Pemuda. Film yang diputar di bioskop ini
umumnya film-film Barat. Bioskop ini juga mengalami pergantian nama
menjadi bioskop Indra namun sekarang bioskop ini tidak beroperasi lagi.
BUNG KARNO NONTON FILM, Pada suatu sore di tahun 1960, Bung Karno dan rombongan yang berjumlah
antara 60-80 orang sempat “diselundupkan” untuk menonton di bioskop
Maxim. Bekas gedungnya –yang kemudian bernama gedung bioskop Indra-
sekarang masih ada di perempatan sebelah timur jalan Pemuda, depan Toko
Roti Granada. Salah satu pejabat yang menyertai adalah Roeslan
Abdulgani.
Tanpa banyak aturan protokoler, Presiden RI pertama nonton film di
situ tanpa diketahui warga kota. Hal yang agak musykil, mengingat
jabatan Bung Karno sebagai kepala Negara sebetulnya tak memungkinkan
untuk bergerak tanpa setahu publik dan diatur protokol kepresidenan.
Bahkan cara Bung Karno dan rombongan menuju gedung bioskop juga
termasuk janggal untuk ukuran presiden. Dia berjalan kaki ramai-ramai
bersama rombongan dari Gedung Grahadi. Hebatnya, tak satupun warga kota
mengenali sosok pimpinannya yang berjalan di trotoar kota, dan sempat
menyeberang jalan segala.
Pulang dari bioskop juga sama, berjalan dan menyeberangi jalan untuk
kembali ke Grahadi. Malam itu Bung Karno menginap di Gedung Grahadi,
sementara esoknya terbang meneruskan perjalanan yang tertunda ke
Denpasar.
Uniknya, tak ada warga kota yang tahu serangkaian peristiwa itu.
Jangankan tahu presiden nonton bioskop, tahu Bung Karno ada di Surabaya
dan menginap semalam di Grahadi saja tidak tahu. Kalau tahu, hampir bisa
dipastikan Grahadi akan diserbu rakyat yang ingin bertemu tokoh
pujaannya, dan koran-koran akan meliput sebagaimana layaknya kunjungan
seorang presiden.
Tapi mengapa hal itu tidak terjadi? “Itu memang kunjungan Bung Karno
yang tak sengaja, dan karena itu harus dirahasiakan,” kata Moch. Said.
Cerita itu berasal dari datangnya sebuah berita dari Denpasar kepada
Said yang saat itu menjadi perwira sekuriti dari kodam. Berita inilah
yang membuat Said pusing tujuh keliling dan super sibuk.
Bunyi beritanya: pesawat Bung Karno dan rombongan dari Jakarta tak
bisa mendarat di Denpasar, dan terpaksa kembali dengan tujuan Surabaya.
Said kontan kelabakan. Pasalnya, jam sudah menunjukkan pukul 16.30.
Lapangan terbang –waktu itu masih di Morokrembangan, belum di Juanda-
sudah tutup. Said lalu melapor ke gubernur yang ketika itu dijabat
Soekarwondo. Bersama polisi yang pernah jadi Bupati Sidoarjo, bersama
Soewondo, mereka langsung ke Morokrembangan. Bandara sudah lengang,
penjaga dan petugas sudah pada pulang. Yang tinggal cuma petugas
keamanan.
Terpaksa, pintu ruang tunggu dibandrek. Karena waktu sudah mepet dan
pesawat presiden segera mendarat, mereka bagi-bagi tugas. Gubernur
Soewondo pulang duluan untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Begitu pesawat mendarat, Said dkk. kaget melihat besarnya jumlah
rombongan Bung Karno. Akhirnya, Soetejo juga diperintahkan pergi mencari
bala bantuan untuk mengatur rombongan.
“Apalagi, ini tidak boleh ketahuan masyarakat. Kalau tidak, kita akan kerepotan dalam pengamanan”, kata Said.
Said lalu mempersilakan Bung Karno naik mobilnya, dan Said sendiri yang menjadi sopir. “Berangkatnya ya kluyar-kluyur begitu saja. Waktu di Tunjungan ya ndak ada orang lihat. Kalau mobil itu dinaiki Bung Karno, waduh pasti gemruduk,” kenang Said lagi.
Akhirnya mereka selamat sampai ke Grahadi. Sementara itu, Soetejo
berhasil mengumpulkan sejumlah kendaraan yang dipinjam sana-sini untuk
mengantar anggota rombongan ke Grahadi.
Masalah berikutnya, Said dkk. harus menyiapkan penginapan (hotel)
untuk rombongan besar itu. Untuk itu butuh sedikitnya dua jam. Bagaimana
membuat Bung Karno betah menunggu?
Said punya akal. Dia lalu menawari Bung Karno menonton film di
bioskop Maxim. Bung Karno tak keberatan. “Ya, sudah diatur sana”, kata
Bung karno seperti ditirukan Said.
Said mengatakan, segera setelah itu dirinya bergerak lagi. Film yang
sudah setengah main dibubarkan. Alasannya tentu bukan karena presiden
mau nonton, tapi alasan teknis. Bioskop pun dikosongkan. Tapi ada soal
lain, pemilik bioskop grogi, karena kursinya masih penjalin dan (ini
dia) banyak tinggi (kepinding)-nya. “Masak Presiden disuruh duduk di kursi penuh tinggi?” katanya.
Tak kurang akal, Said memborong koran yang dijual di sekitar bioskop. Untuk apa? Untuk lemek (alas) kursi, agar pantat tak diserbu tinggi (binatang tengau). Setelah semua siap, Bung Karno dan rombongan pun berangkat.
Karena jaraknya dekat, Bung Karno memilih jalan kaki menyusuri jalan Gubernur Suryo menuju Maxim. “Saya ndredheg juga, takut ketahuan masyarakat. Untungnya ndak ada yang tahu, padahal Bung Karno ndak pake penyamaran apapun. Ya, seperti rombongan keluarga biasa saja,” kata Said.
Sampai di Maxim, Said memberitahu Presiden soal kursi penjalin (rotan) dan binatang tinggi itu. Untungnya, Bung Karno tak keberatan. Begitu film main, Said langsung kabur lagi ke Grahadi.
“Lumayan, punya tambahan waktu dua jam. Saya sampai ndak tahu judul filmnya apa. Saya ndak sempat ngopeni filmnya, wong ribut cepak-cepak,” ujarnya.
Selama Bung Karno nonton, Said dkk mengatur hotel. Bung Karno sendiri
menginap di Grahadi. Begitu rombongan pulang (juga dengan jalan kaki),
semua beres. “Lega rasanya. Sampai sekarang, Roeslan tak akan lupa
peristiwa ini. Kalau ketemu dia selalu bilang, Koen iki ono Presiden kok dijak ndelok bioskop seng akeh tinggine,” kata Said.
Bagi Said sendiri, inilah pekerjaan yang dianggap paling mengesankan
sepanjang hidupnya. “Itu yang saya anggap pekerjaan paling besar yang
pernah saya lakukan,” kata Said.
Mengapa? “Karena merahasiakan kehadiran kepala negara, waktunya mepet dan mendadak lagi. Itu seni. Bung Karno sendiri ndak ada keluhan. Besoknya waktu mau pulang beliau malah bilang terima kasih,” kata Said.
BIOSKOP LUXOR/ JAYA
Luxor, theater de luxe (anno 1927) in Soerabaja.
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Pahlawan ini tak begitu besar dan tak begitu mewah. Kadang orang menyebut bioskop ini bisko Pasar Besar. Film yang diputar umumnya film-film Barat. Nama gedung bioskop ini juga mengalami pergantian menjadi bioskop Jaya. Sekarang tidak beroperasi lagi, digusur untuk perluasan kawasan Tugu Pahlawan.
BIOSKOP METROPOLE / BIMA
Pemilik bioskop ini juga sama dengan Bioskop Sampoerna
Bioskop yang awalnya bernama Metropole 1940 ini terletak di Jalan Pahlawan Surabaya. Gedungnya tidak begitu luas dan film yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization, Inggris. Karena peraturan pemerintah, nama Metropole akhirnya diganti Bima. Namun saat ini bioskop sudah tidak beroperasi lagi dan menjadi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi (Bappeprov) Jatim.
Bioskop yang awalnya bernama Metropole 1940 ini terletak di Jalan Pahlawan Surabaya. Gedungnya tidak begitu luas dan film yang diputar umumnya film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization, Inggris. Karena peraturan pemerintah, nama Metropole akhirnya diganti Bima. Namun saat ini bioskop sudah tidak beroperasi lagi dan menjadi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi (Bappeprov) Jatim.
BIOSKOP AURORA
Bioskop Aurora ini terletak di Jalan Tunjungan atau di pojok Jalan Tanjung Anom. Sekarang bangunan sudah dibongkar dan bakal diganti dengan bangunan bertingkat.
BIOSKOP WIJAYA
Bioskop ini adalah gedung Wijaya Shooping Center atau Pertokoan Wijaya
di Jalan Bubutan 1 Surabaya. Di gedung ini dulu ada bioskop bernama
Wijaya Theatre dan juga ada Bowling Center serta Bilyar di samping pusat
perbelanjaan. Setelah terbakar awal tahun 1990-an, kemudian dibangun
kembali menjadi BG Jonction. Gedungnya luas dan khas bergaya Amerika
serta ada logo gambar kubah gedung Capitol. Film yang diputar hanya
film-film Barat, produksi Holywood atau Rank Organization.
BIOSKOP NUSANTARA
Berbeda dengan gedung bioskop lainnya, bioskop Nusantara berada di dalam kampung di daerah Jalan Jagalan. Karena kawasan Jalan Jagalan kebanyakan warga keturunan Tionghoa, kebanyakan bioskop ini memutar film Mandarin. Tetapi belakangan (sebelum ditutup,red) sering memutar film-film India dan ternyata laris.
Berbeda dengan gedung bioskop lainnya, bioskop Nusantara berada di dalam kampung di daerah Jalan Jagalan. Karena kawasan Jalan Jagalan kebanyakan warga keturunan Tionghoa, kebanyakan bioskop ini memutar film Mandarin. Tetapi belakangan (sebelum ditutup,red) sering memutar film-film India dan ternyata laris.
ORION / RATNA
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Kertopaten Surabaya ini cukup besar tapi sederhana. Bioskop ini spesialis memutar film India, sesekali film Indonesia atau Malaysia. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop Ratna. Namun sekarang bioskop tidak beroperasi lagi dan sekarang menjadi gudang.
Gedung bioskop yang terletak di Jalan Kertopaten Surabaya ini cukup besar tapi sederhana. Bioskop ini spesialis memutar film India, sesekali film Indonesia atau Malaysia. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop Ratna. Namun sekarang bioskop tidak beroperasi lagi dan sekarang menjadi gudang.
KING & QUEEN
Ruang pertunjukan bioskop ini berukuran mini, kira-kira sebesar ruang
bioskop 21 sekarang. Sesuai nama dan letaknya di dekat Pasar Pabean,
maka bioskop King adalah spesialis memutar film Mandarin. Tak sempat
ganti nama, namun bioskop ini langsung ditutup.
REX / RIA
Bioskop ini sekelas bioskop Capitol atau Broadway. Gedungnya sempit dan tidak memiliki halaman. Terletak di pojokan Jalan Kaliasin (sekarang Jalan Basuki Rahmat, red) dan Jalan Kombes M Duryat. Film yang diputar umumnya film-film barat. Bioskop ini kemudian berganti nama menjadi bioskop RIA. Namun sekarang tidak beroperasi lagi dan menjadi kafe.
SAMPOERNA
Gedung megah bergaya kolonial Belanda ini dibangun pada tahun 1858.
Lokasi bioskop Sampoerna berada di Jalan Kebalen Surabaya. Bioskop ini konon terbesar se-Asia, gedungnya sangat besar dan sangat mewah. Selain itu, kursinya terbuat dari kayu berukir dan di bagian belakang kursi ada asbak rokok. Di plafon gedung ada ukiran-ukiran kayu yang menggambarkan sio-sio tahun China. Film yang diputar adalah film-film Barat, Indonesia, dan Malaysia. Sampai sekarang gedung ini masih tegar berdiri seperti bentuk aslinya. Setelah tidak dioperasikan lagi, gedung ini dijadikan museum tembakau dan kegiatan produksi rokok kretek Dji Sam Soe.
Pada masa lampau Dinasti Sampoerna juga memiliki usaha dan bisnis lainnya yaitu bioskop. Bioskop itu bernama Metropole dan Sampoerna Theatre yang juga berada pada lokasi yang sama dengan dengan pabrik rokoknya. Jejak masa kebesaran Sampoerna Theatre dan Metropole itu bisa dijumpai diHouse Of Sampoernayang berada di Jalan Taman Sampoerna no 6 - Surabaya.
Di bagian depan House Of Sampoerna terpajang ornament dengan gambar
bintang film Marlyn Monroe dan Charlie Chaplin yang berdiri di dekat
ornamen yang menyerupai loket karcis bioskop.
House of Sampoerna itu dulunya dibeli oleh pendiri Sampoerna yaitu Liem Seeng Tee, pada 1932, dan dijadikan gedung theater atau pertunjukan pada 1933. Sampoerna Theatre, gedung bioskop terbesar pada 1930-1960 itu pernah dikunjungi komedian Charlie Chaplin pada 1935.
Saat itu, Chaplin datang ke Surabaya dan mengunjungi Hotel Modjopahit
dan Sampoerna Theatre.Sayang sekali pihak House of Sampoerna tidak
memiliki dokumentasinya, tapi ada cerita dari saksi mata pada saat itu.
Di ruangan pertama yang berbaur dengan benda-benda pribadi milik pendiri
Sampoerna yanitu Liem Seng Tee terdapat pajangan salinan berbagai
dokumen tentang bioskop Sampoerna dan Metropole pada tahun 1933, 1957
dan 1963. Sebuah piringan hitam lengkap dengan sampulnya terpajang pada
dinding di ruangan ini.
Di ruangan pertama yang berbaur dengan benda-benda pribadi milik pendiri Sampoerna yanitu Liem Seng Tee terdapat pajangan salinan berbagai dokumen tentang bioskop Sampoerna dan Metropole pada tahun 1933, 1957 dan 1963. Sebuah piringan hitam lengkap dengan sampulnya terpajang pada dinding di ruangan ini.
Pada ruangan yang kedua terdapat koleksi berupa tiga piringan hitam yang merupakan sumbangan seorang warga di Kota Surabaya. Piringan hitam tersebut berisi kisah Roro Mendut Ka-1, Pandjie Remeng Ke 1 dan Ke-2 yang dipentaskan oleh Ketoprak Darmo Tjarito dengan iringan gamelan Sampoerna.
Pada ruangan yang kedua terdapat koleksi berupa tiga piringan hitam yang merupakan sumbangan seorang warga di Kota Surabaya. Piringan hitam tersebut berisi kisah Roro Mendut Ka-1, Pandjie Remeng Ke 1 dan Ke-2 yang dipentaskan oleh Ketoprak Darmo Tjarito dengan iringan gamelan Sampoerna.
Sedangkan pada bagian tengah ruangan yang ketiga terdapat koleksi yang
juga sangat menarik berkaitan dengan bioskop ala Sampoerna ini. Koleksi
tersebut berupa poster film-film lama yang diputar di Bioskop Milik
Sampoerna.
Selain itu juga terpajang iklan-iklan film yang diputar di bioskop
tersebut dan dimuat di berbagai media cetak yang beredar pada saat itu.
Tampilan poster dan iklan film-filmkuno tersebut cukup unik dan menarik.
Selain tampak sederhana karena beberapa diantaranya seperti diolah
dengan menggunakan tangan secara manual, juga menggunakan bahasa
Indonesia dalam ejaan versi lama.
Diantara poster dan iklan film tersebut adalah Pandjie Semirang yang
dibintangi oleh Sofia dan Rd. Endang,pada tahun 1953, Stowaway yang
dibintangi Shirleys pada tahun 1937, Northern Pursuit yang dibintangi
Errol Flynpada tahun 1943.
Pajangan poster lainnyaberupa film Ramona pada tahun 1937, Night In
Paradisepada tahun 1946, Ladies In Love pada tahun 1936dan Thrill of
Brazile ,Selain itu juga ada poster film yang dibintangi oleh Bing
Slamet , film dari India dan film dari Malaysia.
SURYA
Bioskop ini satu-satunya bioskop di kawasan Wonokromo, pinggiran kota Surabaya. Gedungnya sederhana, kira-kira sekelas bioskop Dana. Film yang diputar campuran namun lebih banyak film Indonesia dan India. Dan saat ini bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi
Bioskop ini satu-satunya bioskop di kawasan Wonokromo, pinggiran kota Surabaya. Gedungnya sederhana, kira-kira sekelas bioskop Dana. Film yang diputar campuran namun lebih banyak film Indonesia dan India. Dan saat ini bioskop ini sudah tidak beroperasi lagi
BIOSKOP PURNAMA
Bioskop Purnama, bioskop yang udah gak beroperasi lagi ini bertempat di jl Dinoyo, Surabaya.
BIOSKOP DARMO
Jalan Pandegiling: 1958
BIOSKOP RUNGKUT
Berlokasi di
Kelurahan Rungkut Menanggal, tepatnya di jalan Abdul Karim. Gedung yang
mempunyai lahan parkir luas ini dulunya adalah gedung bioskop. Bioskop
yang terkenal dengan nama Rungkut Theater ini merupakan tempat hiburan
pertama yang ada di kawasan Rungkut. Sejak berdiri di tahun 80’an tempat
ini banyak menyimpan kenangan bagi warga Rungkut Menanggal dan
sekitarnya. Selain sebagai gedung Bioskop pada jamannya gedung ini juga banyak di
pakai sebagai tempat pertemuan ataupun untuk pesta seni sekolah-sekolah
di daerah Kecamatan Rungkut. Sebagai gedung Film yang kelasnya menengah
ke bawah para penontong yang setia dating kebanyakan adalah para pekerja
pabrik yang berada di Rungkut dan sekitarnya. Pada waktu weekend
Rungkut theater ini bisa di pastikan penuh sesak oleh pengunjung mulai
siang hari bahkan sampai dinihari untuk pemutaran film midnight. Rungkut Theater ini merupakan saksi bersejarah era ke-emasan film
Indonesia di tahun 80’anmulai fim komedi seperti Dono-Kasino-Indro,
Doyok dan Kadir sampai era film bertema sejarah seperti Brama Kumbara
maupun Tutur Tinular. Memasuki tahun 90’an bioskop ini banyak
menampilkan film-film yang bertema erotic untuk 18 tahun ke atas sesuai
dengan kondisi perfilm-an Indonesia saat itu.
BIOSKOP KALISOSOK
Lokasi dekat dengan penjara Kalisosok. Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971
BIOSKOP PRESIDENT
Jl Embong Malang 43 tahun 1969,
SIDUARJO
BIOSKOP DUTA
JUMLAH BIOSKOP DI SURABAYA SAAT ITU
1 Bioskop Arjuna, Jl. Embong Malang 39 Tahun : 1969, sekarang sudah beralih fungsi
2 Bioskop President, Jl Embong Malang 43 tahun 1969, sekarang sudah bealih fungsi
3 Bioskop Ria, Jl. Kombes M.Duryat 3 Tahun : 1961, sekarang menjadi restoran
4 Bioskop Kalisosok di Jl Kalisosok (Kasuari) Tahun : 1971
5 Bioskop Star di Taman Remaja Jl. Kusuma Bangsa Tahun : 1972
6 Bioskop Broadway Jl. Embong Malang No. 39-41-43 Tahun : 1951, sama atau berganti nama menjadi President dan Arjuna.
7 Bioskop Capital Concern Alamat Jalan Kranggan: Tahun : 1957
8 Bioskop Rex Jl. Panglima Sudirman Tahun : 1958
9 Bioskop Bima Jl. Pahlawan Tahun : 1961
10 Bioskop Djaja Jalan Tembaan – Tahun : 1961
11 Bioskop Widjaja Jl Bubutan 1-3 Tahun : 1961
12 Bioskop Kusuma Jl Tembaan Tahun : 1961
13 Bioskop Surya Jl. Wonokromo Tahun : 1961
14 Bioskop Purnama Jl. Dinoyo 4 Tahun : 1968
15 Bioskop Mitra di Balai Pemuda Jl. Pemuda (Gubernur Suryo) 15 Tahun : 1968
16 Bioskop Susteran Jl. Kepanjen No. 5 Tahun : 1968
17 Bioscoopprijzen (Bahasa Belanda) Alamat : – Tahun : 1940
18 Bioskop Amelto Jl. Kapasan 88 Tahun : 1954 s/d 1968
19 Bioskop Garuda Jl. Kranggan No 73 Tahun 1955
20 Bioskop India Jl. Jagalan Tahun : 1959
21 Bioskop Alhambra & Nusantara Alamat : – Tahun : 1959
22 Bioskop Rivoli Alamat : – Tahun : 1959
23 Bioskop Maxim (Indra) Jalan Pemuda 42 Tahun : 1959
24 Bioskop Citra Alamat : Jl. Pahlawan Tahun : 1960
25 Bioskop Nusantara Baru Alamat : Tahun : 1961
26 Bioskop Satrya Alamat : – Tahun : 1968
27 Bioskop King & Queen Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1968
28 Bioskop Titra Jaya (Bioskop Sambongan) Jl. Waspada 1 Tahun : 1969
29 Bioskop Ratna Jaya Alamat : – Tahun : 1970
30 Bioskop Ampera Alamat : – Tahun : 1971
31 Bioskop Apollo -Mengganti
32 Bioskop Amura Jl. Tanjung Anom Tahun : 1971
33 Bioskop Bedrijjfsreg Lementering Alamat : Tahun : 1951
34 Bioskop Venus Jl. Panggung III / 27 – 29 Tahun : 1957
35 Bioskop Metropole Jl. Pahlawan No.6 Tahun : 1957
36 Bioskop Gita Jl Gentengkali Tahun 1987
37 Bioskop Istana Jalan Kapasari 5 Tahun 1978
38 Bioskop Surabaya Jalan Pahlawan 118 Tahun 1957
39 Bioskop Ultra Jl Urip Sumahardjo No. 58 Tahun : 1970
40 Bioskop Lucky Alamat : – Tahun : 1951
41 Bioskop Alhambra Jl. Sumatera Tahun : 1951
42 Bioskop Apollo Angkasa Jl. Alun-Alun Contong Tahun : 1970
43 Bioskop Hora Jl Bubutan No. 127 Tahun : 1952
44 Bioskop Dana Pandegiling Tahun : 1971
45 Bioskop Surya Baru di Wonokromo Tahun : 1972
46 Bioskop Darmo Jalan Pandegiling: 1958
47 Bioskop Alhambra Jl. Pegirian No. 116 Tahun : 1959
48 Bioskop Kingdlon Alamat : – Tahun : 1970
49 Bioskop Sampoerna Jl. Taman Sampurna No. 6 Tahun : 1954
50 Bioskop Rama Alamat : Jl. Girilaya Tahun 1968
51 Bioskop Chandra Jl.Kapas Krampung Tahun 1970
52 Bioskop Irama Jalan Kedungdoro Tahun 1979
53 Bioskop Golden Jalan Kapasan Tahun 1985
54 Bioskop ”Drive In Theatre” di Darmo Park Jl.Mayjen Sungkono Tahun 1978, kemudian dipindah ke Pantai Ria Kenjeran 1984 (tetapi tidak pernah aktif).
55 Bioskop Oscar Jl.Mayjen Sungkono 1988
56 Bioskop Delta Jl Pemuda (Plaza Surabaya) Tahun 1996
57 Bioskop Studio Jl Tunjungan (Plaza Tunjungan) tahun 1995
58 Bioskop Kedurus di Kedurus Tahun 1985
59 Bioskop Bayu Jl Basuki Rachmat Tahun 1967
60 Bioskop International Jl Pecindilan Tahun 1968
61 Bioskop Aurora Jl Tunjungan 12 tahun 1972.