Motinggo Busye sebenarnya adalah nama samaran, ia lahir dengan nama Bustami Dating di Kupangkota, Telukbetung, Bandar Lampung dari pasangan Djalid Sutan Rajo Alam dan Rabi’ah Jakub.
Ibu Bustami berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau ke Bandar Lampung. Disana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab.
Kedua orangtua Bustami meninggal saat Ia berusia 12 tahun. Dia lalu diasuh oleh neneknya di Bukittinggi, Sumatera Barat hingga menamatkan SMA di sana lalu melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meski tidak selesai.
Dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007), Agus Sri Danardana dan Puji Santoso menjelaskan, nama Motinggo Busye dipakai sejak 1953 saat puisinya dimuat di sebuah majalah. Dikutip dari Badan Bahasa, menurut Taufik Ismail, nama Motinggo berasal dari kata bahasa Minang, mantiko yang artinya bengal, eksentrik, suka menggaduh, ada kocaknya, dan tak tahu malu.
Namun, hal itu disanggah oleh Motinggo Busye bahwa mantiko bungo artinya seperti bunga yang harum mewangi dan bukannya berkonotasi jelek. Mantiko Bungo atau disingkat menjadi MB sama dengan Motinggo Boesje bila disingkat.
Pada waktu itu, Taufik Ismail bahkan berpendapat bahwa Motinggo adalah anak ajaib di pentas sastra Indonesia, sebab pada usia yang masih sangat muda (SMP) karyanya sudah disetujui H. B. Jassin untuk dimuat di Mimbar Indonesia.
Pada tahun 1958, Motinggo menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.
Sunardiyan Wirodono, dalam blognya menulis karya-karya Motinggo Busye pada era 1960-1970 mengajak penikmatnya untuk membebaskan pikiran dan imajinasi mereka (dengan) membayangkan hubungan intim antara lelaki dan perempuan.
Novel-novelnya yang bergenre erotis itu, antara lain terlihat dari judul-judulnya seperti; Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Retno Lestari (1968), Kutemui Dia (1970).
Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tuliskan dalam novel Kutemui Dia tahun 1970.
"Sepasang manusia sedang dalam kenikmatan, yang lelaki sedang memangku yang gadis di atas sebuah kursi, yang membelakangi jendela. Keduanya tak tahu bahwa aku melihat mereka. Keduanya begitu asyik dalam terkaman-terkaman yang saling bertubi-tubi. Tris menyerang pada bagian leher gadis itu, kemudian mendesaknya pada sebuah lipatan kaki yang menggerumul, seakan-akan gadis itu terjepit."
Era sekarang, cerita yang ditulis Motinggo Busye mungkin terasa hambar dan tidak memantik hasrat seksual bagi generasi yang sudah terpapar adegan-adegan riil dalam bentuk visual. Namun pada masa ketika akses audio dan visual masih langka, rangkaian kalimat yang Ia susun dapat membuat jantung berdegup kencang dan kepala menghangat.
Pada masa itu banyak kritikus sastra yang mengamati perkembangan karya Busye yang dianggap mengambil tema-tema vulgar.
"Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes," ujar Busye seperti diikuti dari Harian Terbit, 17 September 1994.
Selain dikenal luas sebagai novelis, Motinggo Busye juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis. Kepiawaiannya dalam melukis ini pernah dipamerkan dalam sebuah pameran di Padang pada tahun 1954.
Kontribusi Motinggo Busye sebagai sutradara dapat dilihat dari film-film garapannya seperti, Cintaku Jauh di Pulau, Putri Seorang Jenderal, dan Si Rano. Dalam film Si Rano (1973) Motinggo mempertemukan aktor legendaris Indonesia Benyamin Suaeb dengan Rano Karno yang saat itu masih remaja.
Dalam jagat sastra Indonesia Motinggo Busye terbilang penulis yang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi. Karya-karya tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.
Jiwa kepengaran Motinggo ia akui dipengaruhi beberapa sastrawan Barat dan Indonesia. Ketika ia menulis cerita pendek, teknik yang digunakannya dipengaruhi oleh pengarang Maupassant. Dalam menampilkan watak tokoh cerita, Motinggo secara tidak langsung dipengaruhi oleh sastrawan Rusia, Anton P. Chekov dan John Steinbeck. Sementara itu, penulis Indonesia yang ia kagumi adalah Pramoedya Ananta Toer.
Sekitar tahun 1984-199, Busye mengubah pandangannya dalam berkarya. Pertama karena lesunya dunia perfilman nasional. Kedua, kritik keras dari anaknya yang disekolahkan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.
Oleh sang anak dari hasil pernikahannya dengan Laksmi Bachtiar, Ia diingatkan untuk tidak membuat karya sastra atau film yang lebih banyak menonjolkan seksualitas. Dari sinilah Busye membuat novel Sanu Infinita Kembar (sisipan majalah Horison 1984, kemudian diterbitkan oleh Gunung Agung, 1985).
Novel tersebut menjadi penanda perubahan pandangan Motinggo dari hal-hal yang berbau seksualitas dan erotisme ke hal-hal yang bersifat religius, serius, transendental, pengembaraan intelektual imajinatif, serta absurditas.Terlebih setelah ia menunaikan ibadah haji bersama istrinya pada tahun 1994.
Lembar-lembar kalimat yang Ia tuangkan dalam karya seni akhirnya kembali membuahkan hasil. Busye mendapatkan hadiah ke-4 Sayembara Penulisan Cerpen Majalah Horison 1997 melalui cerpennya berjudul Bangku Batu.
Tidak hanya itu, cerpennya berjudul Lonceng juga masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah sastra Horison 2000. Karya lainnya, cerpen berjudul Dua Tengkorak Kepala juga ditahbiskan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 1999.
"Perkembangannya sangat menarik.Semakin Ia mendalami agama, semakin Ia terbuka mendengarkan pendapat orang lain," ungkap Remy Sylado mengutip arsip Gatra.
Motinggo Busye tutup usia pada 18 Juni 999 pada usia 62 tahun di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Anak ajaib itu dibumikan di pemakaman umum Penggilingan, Rawamangun, Jakarta Timur. Obituari Lian Tanjung dalam majalah Gatra menuliskan bahwa Motinggo Busye adalah Master Tanpa Mahkota.
MOTINGGO BOESJE
Ia sering menulis buku-buku saku yang biasanya di jajakan di restoran-restoran. Ia pengarah akhli bercerita, ia berkecendrungan yang cukup besar untuk terlalu memperhatikan kecil-kecil pada saat ia mengabaikan peranan hal yang lebih besar dan penting dalam keseluruhan jalan cerita. Inilah ciri khas Boesje bercerita.
Nama :Bustami Djalid
Lahir :Lampung, 23 Nopember 1937
Wafat :Jakarta ……..
Pendidikan :SLA Bagian C Bukit Tinggi
Karya Novel :Bibi Marsiti (1964)
Sewaktu masih siswa SLA bagian C di Bukit Tinggi, Boesje telah giat menulis dan berdrama. Tahun 1952 mengisi acara sandiwara radio RRI studio Bukittinggi, sambil belajar melukis bersama Delsy Syamsumar pada Wakidi. Kemudian dia ikut mendirikan Himpunan Seniman Muda Indonesia-Sumatra Tengah dan menjadi Pemimpin majalah Kebudayaan organisasi itu. Karya-karya sastranya kala itu banyak dimuat dalam harian dan majalah di Bukittinggi, Padang dan Jakarta. Kegiatan seninya makin berkembang dan intensif setelah dia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta.
Karya-karya tulis dan dramanya makin dikenal di berbagai kota. Tahun 1958, Boesje memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama P&K untuk naskahnya Malam Djahanam, naskah drama ini kemudian di filmkan Pitradjaja Burnama di tahun 1970.
Karya-karya Boesje sampai terbitnya novel Bibi Marsiti”di anggap para kritisi sastra sebagai karya-karya sastra. Novel Bibi Marsiti”tahun 1964 yang dapat serangan dari kelompok Lekra ini, merupakan titik awal peralihannya kepenulisan yang lebih popular sifatnya.
Perubahan ini mendapat kritikan tajam dari kalangan sastra, sehingga Boesje “diadili” para sastrawan waktu dia berceramah tentang karya-karyanya di TIM tahun 1969. Sementara banyak pula peninjau sastra dari luar negeri yang menghargainya. Corak penulisannya ini kemudian banyak diikuti orang. Novel-novelnya dari masa inilah yang banyak difilmkan orang, antara lain Di Balik Dosa”tahun 1970, Tiada Maaf Bagimu tahun 1971 dan Insan Kesepian tahun 1971.
Boesje memasuki dunia film sebetulnya sejak tahun 1960 ketika ceritanya Si Pendek dan Sri Panggung” di filmkan Sutradara Alam Surawidjaja dan dia menjadi Pembantunya. Kemudian pada 1960 juga dia menjadi Pembantu Sutradara Rd. Arifin untuk film Di Balik Dinding Sekolah”tahun 1961. Tetapi setelah kedua film itu, Boesje kembali menulis dan berdrama.
Dia kembali ke film untuk menyutradai Biarkan Musim Berganti”tahun 1971 lebih banyak didorong ketidakpuasannya melihat film-film yang diolah dari ceritanya. Selain menulis naskah drama, cerita bersambung dan sebagai sutradara film, Boesje juga melukis. Ia sempat berpameran bersama para pelukis Jakarta di Balai Budaya dan juga di TIM. Terutama dengan HIPTA (Himpunan Pelukis Jakarta), sastrawan yang pelukis ini banyak mengisi waktu dan hari-harinya berdiskusi di Balai Budaya dan di salah satu kios makan di TIM. Beliau wafat karena serangan penyakit gula yang akut.
SEORANG NOVELIS
Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang seks dan kehidupan malam seperti Cross Mama (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam dipilih sebagai naskah drama terbaik oleh Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah seni dan teater. Selain dikenal luas sebagai novelis, mantan Redaktur Kepala Penerbitan Nusantara ini juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis.
Darah kecintaan pada sastra telah mengalir dari Sang Ayah kepada dirinya. Ketika masa pendudukan Jepang di tanah air sekitar bulan Maret 1942, di mana kedatangan pasukan Jepang membuat sebuah "mobil buku" milik Balai Pustaka ditinggalkan lari begitu saja oleh supirnya, sang Ayah sibuk menjarah buku-buku yang ditinggalkan sementara orang-orang lain mempreteli onderdil kendaraan tersebut.
Saat peristiwa itu terjadi, dirinya telah berumur 5 tahun. Beberapa tahun kemudian, setelah beliau mahir membaca, buku-buku Balai Pustaka seperti karya-karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba terjemahan Haji Agus Salim mendampinginya beranjak dewasa.
Motinggo Busye yang bernama asli Motinggo Bustami Dating, lahir di Kupangkota, Teluk Betung, Lampung, 21 November 1937. Ayahnya bernama Jalid Sutan Raja Alam, berasal dari Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Motinggo Busye harus ikhlas di usianya yang keduabelas tahun ditinggal mati kedua orang tuanya.
Motinggo Busye menggunakan nama penanya untuk pertama kali di tahun 1953 dalam majalah Nasional. Sementara novelnya yang berjudul 1949 merupakan gambaran sejarah atas kenangan buram masa revolusi fisik yang menyebabkan dirinya bersama keluarga harus mengungsi di hutan belantara.
Pernah bersekolah di Fakultas Hukum UGM Jurusan Tata Negara. Namun tidak sampai tamat, karena kecintaan pada dunia seni yang lebih besar telah menyedot seluruh perhatiannya. Bakat Montinggo Busye sudah kelihatan ketika beliau beranjak remaja. Berbagai kegiatan seni ditekuninya, seperti mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukittinggi, bermain drama, menjadi sustradara, melukis, menulis puisi, cerpen, novel, dan bahkan essai.
Pilihannya untuk kuliah di Kota Gudeg, Yogyakarta semakin menyuburkan bakat seninya tersebut. di Kota Pelajar inilah beliau bertemu dengan seniman-senimana kawakan seperti Rendra, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, dan membuatnya bergabung di Sanggar Bambu.
Nama Motinggo Busye makin berkibar di dunia kesusastraan tanah air. Karya-karyanya bertebaran di media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka. Naskah Dramanya berjudul Malam Jahanam memperoleh Juara I Sayembara Penulisan Drama yang diadakan oleh Kementerian P.P. dan K di tahun 1958. Cerpennya berjudul Nasehat Untuk Anakku mendapat Penghargaan dari Majalah Sastra di tahun 1962.
Perjalanan kehidupannya padat dengan kegiatan seputar seni dan kepenulisan. Beliau pernah menjadi wartawan majalah Aneka hingga menjadi redaktur. Kemudian, bakatnya sebagai sutradara semenjak remaja mengantarkannya menjadi sustradara film.
Karya-karya Motinggo Busye menunjukkan perjalanan seni sekaligus perjalanan kehidupannya. Beliau pernah memasuki fase menulis novel-novel pop porno demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang lebih baik. Namun, hidayah kemudian datang dari sosok anaknya yang belajar di Pesantren Gontor. Selanjutnya karya-karya sastra Motinggo Busye menjadi lebih religius dan serius. Cerpen Bangku Batu menyabet Juara IV dalam Sayembara Mengarang Cerpen di Ulang Tahun ke-31 Majalah Horison tahun 1997.
Motinggo Busye merupakaan salah satu dari sedikit Penulis Indonesia yang terbilang produktif, lebih dari 200 buku, berupa novel, drama, cerpen, maupun puisi telah dihasilkannya. Karya tersebut juga telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Korea, dan Cina.
Cerpen terakhirnya berjudul Dua Tengkorak Kepala di muat di Kompas, 13 Juni 1999, ketika beliau jatuh sakit. Pada tanggal 18 Juni 1999, dini hari, Motinggo Busye menghadap yang Kuasa, di Jakarta.
NEWS MOTINGGO
12 Juli 1975
"saya ini suka gembira"
MOTINGGO Bosye, 38 tahun, jauh sebelum terjun ke dunia film, telah menempatkan dirinya sebagai pelopor dalam penulisan cerita hiburan yang hangat, tpi tetap mempertahankan mutu bahasanya. Anak muda sekarang sering menyebut kata indehoy, namun tidak banyak di antara mereka yang tahu bahwa kata itu adalah ciptaan Boesye yang populer lewat novel-novel popnya. Tapi Boesye bukan cuma sibuk menghibur. Ketika masih di Yogyakarta sebagai mahasiswa Fakultas Hukum, ia dikenal sebagai pelukis, penulis novel, cerita pendek, puisi serta drama yang cukup bernilai sastra. Sambil menulis drama, ia juga aktif di pentas, sebagai sutradara maupun pemain. "Melalui teater inilah saya terfarik kepada film", kata sutradara Boesye yang telah menyelesaikan 7 buah film. Berikut ini adalah wawancara singkat sutradara itu dengan Kepala Desk Film TEMPO, Salim Said Tanya: Film nampaknya lebih menarik anda dari menulis, mengapa? Jawab: Saya merasa film adalah dunia saya. Dalam film saya bertanggungjawab kepada banyak fihak: pada artis, pemilik uang, karyawan, penonton dan keinginan saya sendiri. Menulis? Saya masih, tapi hanya sebagai latihan.
T: Bagaimana anda melihat perbedaan menulis dan membuat film?
J: Sebagai penulis saya lebih merdeka. Saya mempunyai otoritas untuk menulis tentang apa saja yang saya sukai dan mengetik sebanyak kertas yang saya sanggup habiskan. Film jelas lain. Di sini medianya melibatkan banyak orang. Maka di sini faktor menyeleksi lebih memegang peranan penting.
T: Dalam dunia penulisan anda memulai dengan sikap serius, kemudian berakhir dalam karya-karya hiburan. Adakah dalam film juga akan berlaku hal yang sama?
J: Mungkin yang berubah itu bentuknya, tapi pengucapannya saya kira tidak. Dalam hal ini saya seolah-olah mengulangi Usmar Ismail. Ia pernah membuat Krisis, tapi kemudian juga membuat Tiga Dara. Kedila film itu toh bermutu--yang pertama film seni, yang kedua film hiburan--dan laku. Saya kira ini menyangkut soal modal. Jadi menyangkut pula usaha menarik penonton sebanyak mungkin.
T: Dalam keadaan tingkat penonton kita masih seperti ini, adakah anda melihat kemungkinan lahirnya film-film yang bermutu di Indonesia?
J: Bermutu itu bisa saja dengan cerita picisan tapi dengan pengerjaan yang baik. Contoh terbaik adalah Tiga Dara karya Usmar. Kisahnya sederhana, pengerjaannya baik. Film Indonesia sekarang ini umumnya tampil dengan kisah besar tapi kedodoran. Maunya hebat, tapi kemampuan teknis maupun intelektuil belum sampai. Dan ini terjadi ketika Wim Umboh membuat Mama.
T: Bagaimana komentar anda mengenai film Indonesia sekarang ini?
J: FIlm Indonesia sekarang ini--dari dialog, tema maupun akting para pemainnya -- hanya merupakan anak campuran bahkan anak haram. Ia cuma merupakan jiplakan dari film-film asing, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Aktr-aktris kita juga berperan bukan sebagai tokoh Indonesia melainkan salinan dari bintang luar. Ini yang menyebabkan film kita kehilangan watak. Orang tidak bisa lagi melihatnya sebagai film Indonesia.
T: Bagaimana anda melihat hari depan anda sebagai sutradara dalam masyarakat film Indonesia?
J: Dalam dunia karang mengarang, saya menghabiskan 8 tahun sebelum mantap. Di film saya mulai tahun 1971. Baru 4 tahun. Saya harus bersabar sebelum menemukan kepribadian sendiri. Soal seperti kompromi tidak jadi soal setelah kita menemukan kepribadian kita. Tapi saya tidak tinggal menanti datangnya itu semua. Saya harus berjuang, merintis dan terus menerus mencoba meninggalkan jejak saya dalam karya-karya saya.
T: Film-film apakah yang anda ingin bikin pada hari-hari mendatang?
J: Saya ini suka gembira, tapi juga suka kalau orang lain gembira. Dan nampaknya komedi itu memang dunia saya. Tapi kalau saya bikin komedi lagi, saya ingin mengerjakannya lebih sempurna dan tanpa menggunakan pelawak.
FILM-FILM MOTINGGO YANG MERANGSANG
Ada dua nama legendaris yang tak bisa dipisahkan dari lapangan penulisan
berahi ini, yaitu Enny Arrow dan Fredy S. Karya-karya mereka berhasil
membuat pembaca panas dingin diguyur imajinasi syur. Selain dua nama
legendaris tersebut yang terkesan misterius, ada juga seorang sastrawan
yang pernah berkecimpung di dunia bacaan pembangkit syahwat, yaitu
Motinggo Busye. Jauh sebelum cerpennya yang berjudul “Dua Tengkorak
Kepala” diganjar sebagai cerpen terbaik Kompas pada 1999, ia selama dua puluh tahun masyuk menulis kisah-kisah roman berbalut seks.
Sejak 1960-an sampai 1980-an, Motinggo Busye amat produktif menulis
cerita-cerita yang digumuli oleh adegan-adegan panas. Hari ini mungkin
apa yang telah ditulis olehnya terasa hambar dan tak memantik hasrat
seksual. Namun, di masa ketika akses audio dan visul
amat langka, rangkaian kalimat yang ia susun bisa bikin jantung berdegup
kencang. Simak sebuah adegan berikut yang Motinggo Busye tulis dalam
novel berjudul Mbak Retno:
“Retno merengek-rengek manja
sekaligus menolak setiap elusan Ramses. Retno ingin sekali memagut
Ramses. Gadis dua puluh enam tahun itu selalu teringat nasihat dukun
pengantin untuk menolak jika dielus. Tapi nasihat dukun itu lenyap
sewaktu Ramses mengecup dadanya, dan Retno merintih, memelintirkan
tubuhnya dengan liat dan akhirnya dirangkulnya Ramses. Nasihat dukun
pengantin itu hirap lenyap dari kepala gadis dua puluh enam tahun itu.
Dalam suatu amukan menerjang dan menggeliat, menggelinjang bermandi
keringat. Meronta meringis geram.”
Karya-karya Motinggo Busye
yang berbumbu esek-esek laris manis dan karenanya selalu terancam
dibajak oleh mereka yang hendak mengeruk untung dengan jalan curang.
Agus Sri Danardana dan Puji Santoso dalam Pandangan Dunia Motinggo Busye (2007) menyebutkan bahwa novel triloginya yang berjudul Bibi Marsiti, Jatuni, dan Nyonya Maryono
yang semuanya terbit tahun 1968 adalah format novel erotis Motinggo
Busye yang kemudian dikembangkan menjadi sejumlah karya lain yang
serupa, seperti Cross Mama, Tante Maryati, Sri Ayati, Retno Lestari, dan sebagainya.
Sementara itu, menurut Sony Karsono dalam disertasinya yang
dipertahankan di The College of Arts and Sciences of Ohio University,
yang berjudul “Indonesia’s New Order, 1966-1998: Its Social and
Intellectual Origins” (2013), Motinggo Busye mulai menulis novel populer
setelah membaca trilogi Studs Lonigan karya pengarang Amerika, James T. Farrell. Ia sangat mengagumi karya itu dan terinspirasi, lalu menulis trilogi Bibi Marsiti, Tante Maryati, dan Retak dari Dalam.
Namun, sebelum format trilogi, Motinggu Busye sebetulnya telah menulis kisah-kisah berbalut seks sejak 1963, di antaranya Hari Ini Tidak Ada Cinta (1963), Dosa Kita Semua (1963), Titian Dosa di Atasnya (1964), dan lain-lain.
Beberapa cerita yang didadarkan Motinggo Busye tak terkesan rumit,
meski kerap dilatari persoalan hubungan yang berantakan. Simpul-simpul
pertemuan orang-orang yang tengah bermasalah itulah yang sering menjadi
pintu untuk menghadirkan adegan-adegan aduhai pemicu degup jantung.
Dalam Perempuan Paris
(1968) misalnya. Seorang lelaki Indonesia berusia 33 tahun yang telah
berkeluarga dan memiliki tiga orang anak, karena berkonflik dengan
istrinya dan keperluan akademik serta keperluan lainnya, bermukim di
Paris. Selama tinggal di Paris, lelaki itu beberapa kali bertemu dengan
perempuan antah berantah, mempunyai masalah relasi, saling mengenali
lalu bercumbu dan bercinta.
Ating nama lelaki Indonesia itu.
Sekali waktu ia dikenalkan oleh Henri, kawannya, kepada Nina Papandreou,
seorang mahasiswi cantik berayah tentara Jerman yang mati ditembak
tentara Jerman. Nina selalu merasa dirinya anak haram. Menurutnya,
sekali waktu seorang tentara Nazi yang kesepian mencari penghiburan dan
bertemu dengan seorang perempuan yang membutuhkan sepotong roti. Dan
perempuan itu adalah ibunya. Maka ia selalu merasa menjadi anak Nazi dan
itu haram.
Kekecewaan Nina pada asal asul, dan kegelisahan
Ating terhadap hubungannya dengan sang istri dipertemukan dalam sebuah
perkenalan. Kedua insan itu lalu memadu kasih. Ating dan Nina yang dalam
penggambaran Motinggo Busye sebagai gadis yang tubuhnya montok dan
padat serta rambut pirangnya menimbulkan selera, memacu berahi para
pembaca, yang terpancing imajinasinya.
“Gemetar
telunjuk-telunjukku menyelusupi rambutnya yang pirang. Kuketahui kancing
baju atasku dua buah dibukanya, dan jari-jarinya menyelusupi bagai akan
menghitung tiap helai bulu dadaku yang bertumbuh lebat dan rajin
kuminyaki saban hari dengan mentega. Napasnya berdesah sewaktu bibirnya
seakan-akan kuremas dengan keberahian penuh, ibarat kuda jantan yang
lepas dari kandang, tanganku menyelusup memasuki blousenya, dan Nina
Papandreou merengek dengan napasnya mengalun-ngalun, tetapi kemudian dia
tersentak melepaskan pelukannya,” tulisnya.
“’Mari kita menyewa gondola’, katanya, menyeret lenganku,” tambah Motinggo.
Sampai di titik itu, Motinggo Busye telah menghamparkan rasa penasaran pembaca: bagaimana adegan selanjutnya di gondola?
Masih dalam novel yang sama, Motinggo Busye lagi-lagi mempertemukan
Ating dengan seorang perempuan yang mempunyai persoalan hubungan dalam
keluarga. Alkisah Ating bertemu dengan Myriam Debussy, seorang perempuan
yang sudah bersuami tapi kesepian. Gabriel, suami yang telah
menikahinya selama enam tahun, ia anggap telah mati sebelum ajal
menjemput. Salah satu sebabnya adalah Gabriel impoten sementara Myriam
menghendaki anak.
Dalam perjumpaan yang disatukan oleh curahan
hati persoalan relasi masing-masing, Ating dan Myriam saling memagut
hasrat. Mereka bergumul dalam berahi yang bergelombang.
“Kubenamkan kepala perempuan itu ke dalam dadaku. Kuciumi rambutnya yang
coklatjingga itu. Dia menggelepar dalam pelukanku. Perlahan napasku
menjalari leher dari sebalik belakang kupingnya. Dia menggelinjang,
bibirnya terbuka. Entah apa suara yang menggeletar dari bibirnya itu.
Kukunci suara bibirnya seketika itu juga, sehingga dia meronta-ronta,
mengamuk bagaikan kuda liar dan menyeretku ke dalam,” tulis Motinggo.
Imajinasi pembaca terus dipacu olehnya.
“Aku tendang pintu kamar itu hingga terbuka. Dan kemudian dia juga
menendang pintu itu kembali hingga tertutup, kemudian menguncinya dengan
begitu tergesa. Diraihnya leherku, dilemparkannya bantal ke bawah
tempat tidur. Aku terseret,” tambahnya.
Pada 1958 ia menulis drama berjudul Malam Jahanam dan memenangkan
hadiah Sayembara Penulisan Drama Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan. Tiga tahun kemudian ia memenangkan hadiah majalah Sastra untuk cerpennya Nasihat untuk Anakku.
Setelah menikah dengan Laksmi Bachtiar, ia pindah meninggalkan
Yogyakarta untuk menetap di Jakarta. Di kota inilah arah
kepengarangannya berganti dan mulai menulis karya-karya erotis.
“Saya saat itu lebih cenderung mengangkat seks, karena novel seperti itu
justru yang banyak diminati. Dan tiap orang kan sebenarnya interes,”
Sebelum perfilman nasional lesu pada awal 1980-an, dalam catatan Agus
Sri Danardana dan Puji Santoso, Motinggo Busye sempat juga terjun ke
dunia film, dengan menyutradarai film Cintaku Jauh di Pulau dan Puteri Seorang Jenderal.
Dari sinilah kemudian ia mempunyai keinginan untuk kembali menulis
karya-karya yang tidak lagi erotis. Kembali ke jalur penulisan
sebelumnya.
Hal lain yang mendorong ia meninggalkan
cerita-cerita panas adalah karena dikritik anaknya yang belajar di
Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Anaknya berpendapat bahwa karya-karya
bapaknya yang menonjolkan erotisme dapat meracuni generasi muda.
Maka pada 1984 ia mulai menulis novelet Sanu: Infinita Kembar—sisipan Majalah Horison
yang diterbitkan Gunung Agung setahun berikutnya. Setelah itu ia mulai
memenangi sejumlah penghargaan sastra, yaitu menjadi juara ke-4 pada
sayembara penulisan cerpen majalah Horison tahun 1997 untuk cerpen “Bangku Batu”, masuk kategori 10 cerpen terbaik 1990-2000 versi majalah Horison untuk cerpen “Lonceng”.
Dalam kondisi sakit, ia masih sempat menulis cerpen “Dua Tengkorak Kepala” dan berhasil menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas pada 1999.
Pada
18 Juni 1999, hari ini atau 19 tahun yang lalu, Motinggo Busye wafat di
Jakarta. Sastrawan yang sempat berkubang dalam penulisan kisah-kisah
pembangkit berahi itu harus mengakhiri riwayatnya, jejaknya terhampar
dalam tiga setapak periode kepengarangan.