TJORAK DUNIA
Film ini dibuat tahun 1956, keadaan bekas para pejuang itu sudah jauh lebih buruk. Satu-satunya tembat berlabuh Johan (Sukarno M.Noor) bekas pejuang yang cacat akibat luka pertempuran adalah Lela (Mike Wijaya). Itu pun karena gadis cantik anak tukang kopi itu buta. Dan ketika menjelang akhir cerita Lela bisa melihat setelah dioperasi oleh bekas komandan Johan. Tetapi setelah Lela bisa melihat barulah ia sadar kalau wajah Johan cacat mengerikan. Johan tahu diri atas kecantikan gadis ini sehingga menghindari dari gadis satu-satunya yang pernah mencintainya. Johanpun kehilangan segala-galanya.
Bagi Bachtiar keadaan rupanya sudah begitu buruk bagi bekas para pejuang dan cita-cita serta mimpi mereka, sehingga wajah mereka pun tampil mengerikan akibat perang. Bachtiar tidak mau bermanis-manis dalam membuat film tentang revolusi kebanyakan dibuat saat itu yang berkisah tentang pemuda yang normal dalam mencintai wanita. Ia seperti menghadapkan sebuah masalah suramnya dalam perang yang akan mereka bawa sampai mati. Kecacatan dalam tubuh yang sangat mengerikan itu membuat hancur segalanya akibat perang. Bagi Bachtiar mengambil pelajaran dari nasib buruk. Diakhir cerita sampai pada Johan pada kesimpulan nasib buruk serta kegagalan cita-cita yang diperjuangkan bukanlah melulu lantaran faktor nasib. Disini Bachtiar berbicara perang sebagai sumber malapetaka, adalah sesuatu yang lebih besar dan lebih perkasa dari nasib itu sendiri. Untuk mencegah terulangnya tragedi perang itu sendiri yang harus di cegah. Dengan jalan pikiran seperti itu Johan ikut gerakan perdamaian.
Sikap tokoh ini yang menarik banyak perhatian penonton terhadap revolusi itu sendiri. Kalau dalam film yang serupa berkisar tentang penjajah, dan di jajah, disini lain lagi. Masalahnya rumit sekali dari sekedar itu penjajahan baginya merupakan akibat kapitalisme yang memuncak pada imperialisme, Karena itulah Johan ikut gerakan perdamaian yang dibelakangnya berdiri orang-orang komunis. Komunis ingin berkata bahwa jalan satu-satunya bagi keselamatan cita-cita perjuangan kemerdekaan adalah dengan mengikuti perjuangan kaum komunis.
Akan lebih mudah mengerti perkembangan sikap tokoh bekas pejuang yang digambarkan dalam film ini jika kita meletakan film ini dalam konteks masa pembuatannya. Film ini diproduksi hanya setahun setelah pemilu 1955 yang dipenuhi dengan konflik ideologi. Setiap golongan dengan bebas dan dengan jaminan undang-undang, boleh dan bisa mengkampanyekan ideologinya masing-masing. Dalam keadaan Indonesia terkoyak-koyak oleh berbagai ideologi itu, tidaklah mengherankan jika para bekas pejuang juga tidak terbatas dari pertentangan ideologi. Ini adalah jaman ketika PKI (partai Komunis Indonesia) ikut terorganisir sejulah bekas pejuang ke dalam organisasi veteran yang dikuasai PKI. Maka bisa dibayangkan bahwa tokoh Johan itu adalah bekas pejuang yang kecewa dengan keadaan dan memutuskan bergabung dengan kaum komunis.
Film ini sudah musnah saat konflik pemberantasan PKI termasuk Lekranya juga. Jadi untuk mengetahui mutu sinematographynya, bisa dilihat dari komentar tulisan Sitor Situmorang,........film ini memperlihatkan kemungkinan baru dan harapan yang menggembirakan. Walaupun pengolahan cerita masih menggunakan resep biasa, melodrama, sedang pengembangannya dan saat psykologisnya tidak selalu diselesaikan atau cukup dipersiapkan kekurangannya yang umum pada penulisan skenario film Indonesia, nyata sekali regi dengan mengusahakan unsur-unsur filmis, dan yang terpenting adalah usaha itu dihubungkan pula dengan mencari ilham dari neorealisme Italia di sana sini, yang kesemuanya memperhatikan hasil-hasil yang menimbulkan harapan tadi....Mengenai ide kelihatan sutradara memasukan ide positif ke dalam watak di dalam drama (dalam hal ini ide perdamaian yang dimasukan secara logis) dan ide yang asli yang hidup di masyarakat...sayang bahwa susunan skenarionya terlalu banyak menggunakan teknik flashback....
Johan (Sukarno M. Noor) mendapat cacat di masa revolusi fisik, mukanya jelek oleh parut. Sedangkan rekannya Ibnu (Imansjah Lubis) melanjutkan pendidikan, malah ke luar negeri, dan jadi dokter spesialis mata. Sulit mencari penghidupan dengan cara yang dibenarkan, Johan bertekad untuk melakukan sesuatu yang melawan hukum. Sebelum terlanjur, Johan tersadarkan oleh seorang ibu (Roos Itjang) dan anak gadisnya Lela (Mieke Wijaya) yang buta. Rasa simpati berkembang jadi saling kasih antara Johan dan Lela. Lalu Johan minta pertolongan Ibnu untuk menyembuhkan mata Lela. Sesudah berhasil, mata Lela mulai terbuka. Nyatanya Johan berwajah buruk, sedangkan Ibnu sungguh tampan. Johan rela berkorban, menyerahkan Lela kepada Ibnu...
GARUDA
SUKARNO M. NOOR IMANSJAH LUBIS MIEKE WIJAYA HARDJO MULJO ROOS ITJANG |
Film ini dibuat tahun 1956, keadaan bekas para pejuang itu sudah jauh lebih buruk. Satu-satunya tembat berlabuh Johan (Sukarno M.Noor) bekas pejuang yang cacat akibat luka pertempuran adalah Lela (Mike Wijaya). Itu pun karena gadis cantik anak tukang kopi itu buta. Dan ketika menjelang akhir cerita Lela bisa melihat setelah dioperasi oleh bekas komandan Johan. Tetapi setelah Lela bisa melihat barulah ia sadar kalau wajah Johan cacat mengerikan. Johan tahu diri atas kecantikan gadis ini sehingga menghindari dari gadis satu-satunya yang pernah mencintainya. Johanpun kehilangan segala-galanya.
Bagi Bachtiar keadaan rupanya sudah begitu buruk bagi bekas para pejuang dan cita-cita serta mimpi mereka, sehingga wajah mereka pun tampil mengerikan akibat perang. Bachtiar tidak mau bermanis-manis dalam membuat film tentang revolusi kebanyakan dibuat saat itu yang berkisah tentang pemuda yang normal dalam mencintai wanita. Ia seperti menghadapkan sebuah masalah suramnya dalam perang yang akan mereka bawa sampai mati. Kecacatan dalam tubuh yang sangat mengerikan itu membuat hancur segalanya akibat perang. Bagi Bachtiar mengambil pelajaran dari nasib buruk. Diakhir cerita sampai pada Johan pada kesimpulan nasib buruk serta kegagalan cita-cita yang diperjuangkan bukanlah melulu lantaran faktor nasib. Disini Bachtiar berbicara perang sebagai sumber malapetaka, adalah sesuatu yang lebih besar dan lebih perkasa dari nasib itu sendiri. Untuk mencegah terulangnya tragedi perang itu sendiri yang harus di cegah. Dengan jalan pikiran seperti itu Johan ikut gerakan perdamaian.
Sikap tokoh ini yang menarik banyak perhatian penonton terhadap revolusi itu sendiri. Kalau dalam film yang serupa berkisar tentang penjajah, dan di jajah, disini lain lagi. Masalahnya rumit sekali dari sekedar itu penjajahan baginya merupakan akibat kapitalisme yang memuncak pada imperialisme, Karena itulah Johan ikut gerakan perdamaian yang dibelakangnya berdiri orang-orang komunis. Komunis ingin berkata bahwa jalan satu-satunya bagi keselamatan cita-cita perjuangan kemerdekaan adalah dengan mengikuti perjuangan kaum komunis.
Akan lebih mudah mengerti perkembangan sikap tokoh bekas pejuang yang digambarkan dalam film ini jika kita meletakan film ini dalam konteks masa pembuatannya. Film ini diproduksi hanya setahun setelah pemilu 1955 yang dipenuhi dengan konflik ideologi. Setiap golongan dengan bebas dan dengan jaminan undang-undang, boleh dan bisa mengkampanyekan ideologinya masing-masing. Dalam keadaan Indonesia terkoyak-koyak oleh berbagai ideologi itu, tidaklah mengherankan jika para bekas pejuang juga tidak terbatas dari pertentangan ideologi. Ini adalah jaman ketika PKI (partai Komunis Indonesia) ikut terorganisir sejulah bekas pejuang ke dalam organisasi veteran yang dikuasai PKI. Maka bisa dibayangkan bahwa tokoh Johan itu adalah bekas pejuang yang kecewa dengan keadaan dan memutuskan bergabung dengan kaum komunis.
Film ini sudah musnah saat konflik pemberantasan PKI termasuk Lekranya juga. Jadi untuk mengetahui mutu sinematographynya, bisa dilihat dari komentar tulisan Sitor Situmorang,........film ini memperlihatkan kemungkinan baru dan harapan yang menggembirakan. Walaupun pengolahan cerita masih menggunakan resep biasa, melodrama, sedang pengembangannya dan saat psykologisnya tidak selalu diselesaikan atau cukup dipersiapkan kekurangannya yang umum pada penulisan skenario film Indonesia, nyata sekali regi dengan mengusahakan unsur-unsur filmis, dan yang terpenting adalah usaha itu dihubungkan pula dengan mencari ilham dari neorealisme Italia di sana sini, yang kesemuanya memperhatikan hasil-hasil yang menimbulkan harapan tadi....Mengenai ide kelihatan sutradara memasukan ide positif ke dalam watak di dalam drama (dalam hal ini ide perdamaian yang dimasukan secara logis) dan ide yang asli yang hidup di masyarakat...sayang bahwa susunan skenarionya terlalu banyak menggunakan teknik flashback....