TANGISAN IBU TIRI
Tampaknya film ini merupakan jawaban kebalikan terhadap film laris "Ratapan Anak Tiri", yang menyudutkan ibu tiri. Karena simpati, ibu guru Tia (Diana Reynette), menikahi seorang duda (Rachmat Hidayat), orangtua dari muridnya. Tia sebenarnya juga teman duda tadi dan istrinya. Kemauan baik ini mendapat tantangan dari dua anak tirinya, Lia (Emilia Contessa), Dewi (Dewi Rosaria Indah), dan Titin, pembantu rumah yang merasa terganggu kebebasannya. Berbagai kecelakaan yang terjadi semakin menyudutkan Tia, hingga suaminya memihak anak-anak. Namun, semua berakhir setelah Tia hampir putus asa, dan terungkap niat jelek anak-anak tadi.
P.T. INTERNATIONAL ARIES ANGKASA FILM
News 31 Agustus 1974 Nah, tiri baru
MELIHAT judulnya: Tangisan Ibu Tiri, mudah dibayangkan bahwa film baru produksi PT Aries Film ini dilhami oleh karya Iris Sandi Suwardy: Ratapan Anak Tiri. Pola ceria bahkan tidak jauh berbeda. Arman (Rachmat Hidayat) yang kematian isteri harus memikirkah beberapa orang anak. Tentu saja ia berharap akan keringanan beban jika menikah dengan bekas tetangga dan guru salah seorang anakya. Maka iapun menikahi Tia (Diana Reinette). Berlainan dengan tokoh ibu tiri dalam karya Sandi Suwardy, Tia di sini adalah orang yang terlalu amat baik. Supaya film ini seru, tentu harus ada tokoh jahat. Dari judul film, sudah bisa ditebak bahwa yang memegang rol jahat adalah justru anak tiri, Dewi (Dewi Rosaria Indah) dan Lia (Emilia Contessa), dibantu oleh bibi Titin (Tina Melinda), pembantu rumah tangga yang kekuasaannya berkurang setelah ibu tiri itu datang. Selain mencari keuntungan, bisa diperkirakan bahwa pembuatan film ini juga dilandasi keinginan untuk merehabiliter nama baik isteri-isteri yang kebetulan mendapatkan anak tiri. Begitu rusak rupanya tokoh ibu tiri itu, sehingga untuk merehahiliter namanya diperlukan pengorbanan yang amat besar. Sulit untuk menantikan perempuan muda setabah Tia yang terus menerus diteror oleh anak-anak tirinya. Semakin ia dihina, semakin hebat pengabdiannya. Sedemikian baiknya hati perempuan muda nan rupawan itu, sehingga bukan tidak mungkin bahwa anak-anak yang menonton film ini nanti bakal mengharap ayah-ayah mereka mendapatkan seorang isteri baru, agar kenikmatan diladeni ibu tiri juga bisa mereka rasakan.
Wim Umboh Meskipun Wim Umboh baru saja mendapatkan ibu tiri bagi puteri dan anak tunggalnya, sebagai produser Tangisan Ibu Tiri, tentulah ia tidak mengharapkan munculnya kemungkinan tadi. Dan kalau banyak penonton film ini bakal merasakan kontras antara sitat ibu tiri yang terlalu baik dan anak tiri yang terlalu jelek soalnya tidak lain karena cerita yang mendasari film ini memang tidak dipersiapkan dengan baik. Tangisan Ibu Tiri adalah contoh terbaik dari film yang dibuat berdasarkan resep-resep yang diperkirakan sedang disenangi para penonton. Soal di sekitar ibu tiri sudah secara tradisionil mendarah daging daya tariknya dalam masyarakat kita. Ini sebuah resep. Ibu tiri yang terlalu baik, suatu hal yang baru. Ini juga sebuah resep. Akhir yang gembira dari sebuah kisah yang pahit konon juga disenangi para penonton. Ini juga sebuah resep. Setelah diramu -- lahirlah film yang nampaknya diharapkan bisa mengoreksi "kesalahan" yang pernah ditebarkan oleh tontonan yang bernama Ratapan Anak Tiri. Resep-resep macam demikian sebenarnya bukan barang haram dalam dunia perfilman. Yang menjadi soal adalah aplikasinya. Menyadari bahwa filn, bagaimanapun niat membuatnya, senantiasa berkisah tentang kehidupan di sekitar kita, para pembuat film tentulah harus mengenal obyek yang akan ia gambarkan dan tidak sekedar melukiskan ide-ide yang bersumber pada resep-resep tadi. Sebagian besar tokoh dalam film Tangisan Ibu Tiri ini adalah tokoh-tokoh yang cuma ditemukan dalam benak para pembuatnya, dan hampir tidak pernah ditemukan dalam dunia yang nyata. Jahatnya anak tiri dan pembantu sikap memihak sang ayah pada anak-anak mereka, sudah bagian dari resep yang mempersiapkan akhir yang bahagia setelah gelap dalam perjalanan. Akal sehat terpaksa mengalah, dan tidak perlu lagi difikirkan apakah tokoh ayah begitu bodoh untuk hanya percaya intrik anak-anaknya.
Ibu guru yang cantik, adakah ia sudah tidak berharga lagi sehingga siap saja menelan semua penghinaan yang digambarkan amat sadis itu ? Gajah Sambil tetap mengingat kelemahah latar cerita film ini, harus disebutkan bahwa secara teknis, Tangisan Ibu Tiri telah dikerjakan dengan baik oleh Sutradara muda Yung Indrajaya bersama juru kamera Gajah Supardi. Bintang-bintang kecil dalan film ini pada umumnya bermain baik, terutama tentu Dewi Rosaria Indah yang memang mendapat banyak kesempatan. Emilia Contessa juga bermain amat baik. Rachmat Hidayat tidak mendapat kesempatan cukup, sedang Diana Reinette kebagian peranan sedih terus-menerus. Amat sayang memang. Tapi kalau pertenangan ibu tiri dengan dua dari lima anak tirinya itu dibuat lebih hidup lebih manusiawi, hampir bisa dijamin bahwa produksi kesekian PT Aries Film ini juga akan tergolong film baik sebagai yang telah menjadi ciri perusahaan pimpinan Wim Umboh itu. Salim Said
Tampaknya film ini merupakan jawaban kebalikan terhadap film laris "Ratapan Anak Tiri", yang menyudutkan ibu tiri. Karena simpati, ibu guru Tia (Diana Reynette), menikahi seorang duda (Rachmat Hidayat), orangtua dari muridnya. Tia sebenarnya juga teman duda tadi dan istrinya. Kemauan baik ini mendapat tantangan dari dua anak tirinya, Lia (Emilia Contessa), Dewi (Dewi Rosaria Indah), dan Titin, pembantu rumah yang merasa terganggu kebebasannya. Berbagai kecelakaan yang terjadi semakin menyudutkan Tia, hingga suaminya memihak anak-anak. Namun, semua berakhir setelah Tia hampir putus asa, dan terungkap niat jelek anak-anak tadi.
P.T. INTERNATIONAL ARIES ANGKASA FILM
EMILIA CONTESSA RACHMAT HIDAYAT DIANA REYNETTE TINA MELINDA DINO ATOK SUDJARWADI ATIK PASONO DEWI ROSARIA INDAH MARLIA HARDI |
News 31 Agustus 1974 Nah, tiri baru
MELIHAT judulnya: Tangisan Ibu Tiri, mudah dibayangkan bahwa film baru produksi PT Aries Film ini dilhami oleh karya Iris Sandi Suwardy: Ratapan Anak Tiri. Pola ceria bahkan tidak jauh berbeda. Arman (Rachmat Hidayat) yang kematian isteri harus memikirkah beberapa orang anak. Tentu saja ia berharap akan keringanan beban jika menikah dengan bekas tetangga dan guru salah seorang anakya. Maka iapun menikahi Tia (Diana Reinette). Berlainan dengan tokoh ibu tiri dalam karya Sandi Suwardy, Tia di sini adalah orang yang terlalu amat baik. Supaya film ini seru, tentu harus ada tokoh jahat. Dari judul film, sudah bisa ditebak bahwa yang memegang rol jahat adalah justru anak tiri, Dewi (Dewi Rosaria Indah) dan Lia (Emilia Contessa), dibantu oleh bibi Titin (Tina Melinda), pembantu rumah tangga yang kekuasaannya berkurang setelah ibu tiri itu datang. Selain mencari keuntungan, bisa diperkirakan bahwa pembuatan film ini juga dilandasi keinginan untuk merehabiliter nama baik isteri-isteri yang kebetulan mendapatkan anak tiri. Begitu rusak rupanya tokoh ibu tiri itu, sehingga untuk merehahiliter namanya diperlukan pengorbanan yang amat besar. Sulit untuk menantikan perempuan muda setabah Tia yang terus menerus diteror oleh anak-anak tirinya. Semakin ia dihina, semakin hebat pengabdiannya. Sedemikian baiknya hati perempuan muda nan rupawan itu, sehingga bukan tidak mungkin bahwa anak-anak yang menonton film ini nanti bakal mengharap ayah-ayah mereka mendapatkan seorang isteri baru, agar kenikmatan diladeni ibu tiri juga bisa mereka rasakan.
Wim Umboh Meskipun Wim Umboh baru saja mendapatkan ibu tiri bagi puteri dan anak tunggalnya, sebagai produser Tangisan Ibu Tiri, tentulah ia tidak mengharapkan munculnya kemungkinan tadi. Dan kalau banyak penonton film ini bakal merasakan kontras antara sitat ibu tiri yang terlalu baik dan anak tiri yang terlalu jelek soalnya tidak lain karena cerita yang mendasari film ini memang tidak dipersiapkan dengan baik. Tangisan Ibu Tiri adalah contoh terbaik dari film yang dibuat berdasarkan resep-resep yang diperkirakan sedang disenangi para penonton. Soal di sekitar ibu tiri sudah secara tradisionil mendarah daging daya tariknya dalam masyarakat kita. Ini sebuah resep. Ibu tiri yang terlalu baik, suatu hal yang baru. Ini juga sebuah resep. Akhir yang gembira dari sebuah kisah yang pahit konon juga disenangi para penonton. Ini juga sebuah resep. Setelah diramu -- lahirlah film yang nampaknya diharapkan bisa mengoreksi "kesalahan" yang pernah ditebarkan oleh tontonan yang bernama Ratapan Anak Tiri. Resep-resep macam demikian sebenarnya bukan barang haram dalam dunia perfilman. Yang menjadi soal adalah aplikasinya. Menyadari bahwa filn, bagaimanapun niat membuatnya, senantiasa berkisah tentang kehidupan di sekitar kita, para pembuat film tentulah harus mengenal obyek yang akan ia gambarkan dan tidak sekedar melukiskan ide-ide yang bersumber pada resep-resep tadi. Sebagian besar tokoh dalam film Tangisan Ibu Tiri ini adalah tokoh-tokoh yang cuma ditemukan dalam benak para pembuatnya, dan hampir tidak pernah ditemukan dalam dunia yang nyata. Jahatnya anak tiri dan pembantu sikap memihak sang ayah pada anak-anak mereka, sudah bagian dari resep yang mempersiapkan akhir yang bahagia setelah gelap dalam perjalanan. Akal sehat terpaksa mengalah, dan tidak perlu lagi difikirkan apakah tokoh ayah begitu bodoh untuk hanya percaya intrik anak-anaknya.
Ibu guru yang cantik, adakah ia sudah tidak berharga lagi sehingga siap saja menelan semua penghinaan yang digambarkan amat sadis itu ? Gajah Sambil tetap mengingat kelemahah latar cerita film ini, harus disebutkan bahwa secara teknis, Tangisan Ibu Tiri telah dikerjakan dengan baik oleh Sutradara muda Yung Indrajaya bersama juru kamera Gajah Supardi. Bintang-bintang kecil dalan film ini pada umumnya bermain baik, terutama tentu Dewi Rosaria Indah yang memang mendapat banyak kesempatan. Emilia Contessa juga bermain amat baik. Rachmat Hidayat tidak mendapat kesempatan cukup, sedang Diana Reinette kebagian peranan sedih terus-menerus. Amat sayang memang. Tapi kalau pertenangan ibu tiri dengan dua dari lima anak tirinya itu dibuat lebih hidup lebih manusiawi, hampir bisa dijamin bahwa produksi kesekian PT Aries Film ini juga akan tergolong film baik sebagai yang telah menjadi ciri perusahaan pimpinan Wim Umboh itu. Salim Said