Oleh: Hafash Giring Angin
Kamis, 08 Desember 2011 10:36
(WASHINGTON, MUTIARA DARI NAGASARIBU SIBORONG-BORONG)
Topik yang saya angkat dalam tajuk “Mengenang Almarhum Wahyu
Sihombing” ini sesungguhnya bermuara dari telaah panjang selama 5 tahun
kuliah di Jurusan Teater IKJ. Telusuran biografi dan literatur mengenai
profil almarhum, saya kumpulkan----di HB.Jassin atau saya baca buku
"Jejak Seorang Aktor Sukarno M Noor" di Jose Rizal Manua----untuk
mengusir penasaran. Karena selama rentang lima tahun, saya hanya
mendengar berbagai kilasan spontan para dosen tentang kiprah beliau
yang----Masya Allah; ternyata menyibak kesan sederhana dan jauh dari
sikap pamer. Dari telusuran sejarah biografi tersebut, saya merekam
hal-hal yang sangat fundamen terutama semangat otentitasnya dalam
melahirkan makna dalam kehidupan. Joseph Ginting salah satu dosen dan
sutradara senior IKJ, banyak mengemukakan perihal gurunya ini----sebagai
sosok pribadi tertib dan kreator humanis yang mewakili zamannya sebagai
penjelajah jejak-jejak keaktoran yang patut diapresiasi dan diteladani.
Apa yang menjadi kesan pahit getir dalam proses perjalanan panjang
itu, saya pikir merupakan bentuk dekonstruksi dan perlawanan atas hak
kreatif di balik sejarah petualangannya dalam berbagai predikat: sebagai
kreator sekaligus sosok idealis yang konsisten---sampai dalam remah
terakhir penghayatannya atas kehidupan. Saya pun lamat-lamat meyakini
bahwa sejarah itu absolut; dibentuk oleh kebenaran asas kesahehan fakta
yang bertolak dari sumbernya. Sumber dari jejak mata air----kelompok
seniman Senen, Actors’ Studio, ATNI, LPKJ sampai pada Lembaga Institusi
paling bungsu IKJ yang de facto memperlihatkan jejak survival
atas semua pertaruhan-pertaruhan ideologisnya. Paling tidak, momentum
yang terlihat dalam sikap kesenimanannya menjadi semacam simpul
pembuktian dari sebuah makna “membangun marwah” ; membangun akar
kesenimanan Indonesia. Seperti yang konon setiap malam Pak Hombing
kibar-kibarkan semangat nasionalisme dan berkesenian di pojokan warung
Senen dengan rekan-rekannya seperti Wim Umboh, Sukarno M Noor, Zel
Harman, Soeman Djaja, Surjo Sumanto, Harmoko, Haidir Rahman dan
rekan-rekannya yang lain. RM. Ardan begitu lengkap meneropong jejak
perjalanan para aktor-aktris ATNI---termasuk perkariban Wahyu Sihombing
dengan Sukarno M Noor dalam teater maupun film yang bergerak dalam
suasana guyub dan solider.
Membaca Almarhum “ Wahyu Sihombing” dalam angle manapun,
secara antropologis, seperti kita diajak tamasya dalam jelajah
kebudayaan yang khas dan komplek. Sebuah tamasya kreatif dari perjalanan
yang tak terukur kiloan meternya ketika ia bersama isterinya, Tatiek
Maliyati melanjutkan tradisi nyekar ke pemakaman Asrul Sani
untuk meminta restu menyemai bibit mendidik calon pemain teater/film di
LPKJ yang kemudian menjadi Institut Kesenian Jakarta. Paling tidak, apa
dikemukakan S.M. Ardan (2004:39)-----tentang data-data kualitatif
pembinaan aktor/aktris---menguatkan dugaan hipotesis ini. Sebagaimana
yang disebutkan bahwa Wahyu Sihombing banyak melahirkan aktor-aktor
handal dan bernas dari Eeng Saptahadi ke Mathias Muchus sampai Derry
Drajat. Lewat Festifal Teater (Remaja) Jakarta mulai 1973 yang diadakan
Dewan Kesenian Jakarta, Sihombing “menyumbangkan” nama-nama seperti
Deddy Mizwar, Torro Margens, Neno Warisman, Diding Zeta, Alex Komang dan
lain-lain.
Tetapi itulah Pak Hombing, yang selama hidupnya mengabdikan diri ke
dunia teater dan film dengan berbagai seluk beluk duka peristiwa;
sekaligus bahagia----karena proses pendidikan dalam tahap belajar dengan
Pak Usmar Ismail, Pak Asrul Sani dan Pak Djadoeg Djajakoesoema di
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), menyata dalam gerak
persambungan ideologis dengan LPKJ sampai pada batas penghormatan yang
terakhir di IKJ. Pengabdian yang tak kenal menyerah ini sangat berkait
dengan tekadnya yang selalu berjuang seperti juga yang dialami
teman-teman angkatan pertamanya---seperti : Tatiek Maliyati, Pramana
Padmodarmaya, Sukarno M Noor, Henny Soediardjo, A. Kasim Achmad, Misbah
Yusa Biran, R.M. Soenarto, Teguh Karya, Roedjito, Gajah Soepardi, Ismet M
Noor, Mita Suryaatmaja, Rosilia Tahir, Widia Lusia Zulia dan Alex Leo
Zulkarnain. Pohon Hayat (Maret 1994)----menyebutkan bahwa kesemuanya
berhasil menempati posisi strategis sebagai Dirjen RTF, Pejabat Tinggi
di TVRI, Direktur TIM, Dosen dan Pembantu Rektor sampai sutradara
kondang Teater, Film dan Televisi serta yang bergerak dalam lingkungan
pimpinan Pusat Dokumentasi Sinematex Indonesia.
Pada masa perkembangan itu, ATNI berkembang dalam wadahnya yang
sangat mencair karena alumni-alumninya secara serentak menjadi pribadi
dan terlibat sebagai pengajar unggulan pertama, seperti Wahyu Sihombing
(penyutradaraan), Teguh Karya (Iconografie) atau ilmu ciri),
Tatik Maliyati (akting), Syuman Jaya (sinematografi), Boen S. Oemarjati
(sastra drama), Ami Prijono (penataaan artistik), Asrul Sani (Filsafat),
D. Djajakusuma (sejarah drama), Kasim Achmad (Teater Tradisi) dan
Pramana Padmodarmaya (terminologi) ditambah mata pelajaran lain semisal
bahasa Inggris serta apresiasi seni musik, seni rupa dan seni tari.
Keberhasilan mereka tentu berdasar pada tempaan-tempaan ketiga gurunya
sewaktu di Actors’ Studio di mana pada tahun 1955 Usmar Ismail dan Asrul
Sani menyelenggarakan kursus akting yang diselenggarakan di Studio
Perfini dengan segala keterbatasannya. Actors’ Studio inilah yang
menjadi cikal bakal pertama saksi bisu mereka dengan tetap berpedoman
kepada pepatah----meminjam istilah Raja Ali Haji----"Hendaklah berjasa
Kepada yang sebangsa"----memaknakan kontribusi pengabdian terhadap
pentingnya balas jasa.
Dari sejarah runtut ATNI, RM. Ardan (2004:305), menyebutkan bahwa
“proses pembelajaran akting yang dipakai dan menjadi dasar---- bertolak
pada teater modern Indonesia yang lahir pada abad XIX dengan adanya
Komedie Stamboel. Ia merupakan bentuk teater pertama yang tidak berakar
pada kebudayaan salah satu etnik Indonesia, melainkan sebagai hasil
pertemuan orang Indonesia dengan salah satu bentuk kebudayaan Eropa.
Komedie Stamboel sudah ada sebelum perkumpulan sandiwara Dardanella
didirikan”. Cikal bakal pembelajaran dan pengajaran Wahyu Sihombing
bersama teman-teman seangkatan----bisa jadi merupakan rangkaian gerak
mesin kebudayaan yang dalam sistemiknya, mengurai pedagogi sekitar seni
drama dan wilayah-wilayah ilmu panggung dengan segala tahapan artistikal
yang menjadi penopangnya. Asas-asas lembaga ini dengan sendirinya
membentuk siklus kerja merantai dengan pola yang sama dan dengan selera
yang sama yakni; teater realisme yang berujung pangkal pada
motode-metode Stanislavsky. Metode Stanislavsky-an ini pun merebak
menjadi magnet pelatihan studi keaktoran yang gaungnya merebak di
seluruh Nusantara.
Hal ini tentu karena ATNI sebagai lembaga formal menjunjung etos kerja bersama dengan jinjingan dan pikulan yang bersama pula.
Usmar Ismail, Asrul Sani dan Djadoeg Djajakoesoema serta beberapa
pengajar lain seperti H.B. Jasin, Oesman Effendi, Bahrum Rangkuti,
Wiratmo Sukito, Sitor Sitomorang, Rosihan Anwar dan Bernard Ijezdraat;
semacam pemangku ilmu yang menjadi agent perubahan dan
perkembangan anak-anak didiknya. Asrul Sani sebagai penulis dan pengajar
akting kala itu, memberikan visi pada perkembangan teater modern
Indonesia. Lewat terjemahannya ““Persiapan Seorang Aktor” “Konstantin
Stanislavski” dan “Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor”, “Richard
Boleslavsky”, Asrul Sani jelas menggarisbawahi pentingnya fungsi aktor
di dalam sebuah pementasan. Oleh karena itu, Asrul Sani kemudian memilih
metode Stanislavski sebagai rujukan proses pembelajarannya. Asrul Sani
mengajarkan sistem Stanislavski, bukan suatu sistem, tapi lebih banyak
merupakan cara menghidupkan kreativitas seorang aktor. Jadi yang paling
pertama dilakukan ATNI ialah menumbuhkan tenaga-tenaga teater yang bisa
mengeluarkan dirinya melalui saluran teater. Pendiri-pendiri ATNI sudah
mendapat kesempatan mempelajari teater tidak melalui naskah, tapi
melalui pertunjukan teater yang sebenarnya.
Para pendiri ini berpendapat bahwa teater modern tidak bisa
ditegakkan hanya bermodalkan bakat alam semesta, tapi didapat dengan
proses latihan sehingga kekuatan taksu dapat dimiliki. SM. Ardan
berpendapat bahwa "dalam kesenian, seseorang yang dengan keahliannya
membawakan seluk beluk yang kecil-kecil dan yang pelik-pelik, secara
mekanik dengan tidak dipikirkan lagi dan seolah-olah tidak disengaja
disebut menguasai teknik. Teknik inilah yang memberikan perbedaan antara
seorang yang main dengan pemain. Dengan penguasaan teknik itulah
seorang pemain menghadapi persoalan peranan yang bagaimana pun besarnya,
namun akan menyelesaikannya dengan sempurna. Kendati demikian, tidaklah
membikin seseorang lantas jadi pemain yang baik. Teknik dapat
dipelajari semua orang yang punya kemauan mempelajarinya. Tetapi yang
tidak dapat dipelajari dan tidak dimiliki semua orang adalah bakat.
Dalam hal ini S.M. Ardan (2004:308) kembali menegaskan bahwa “berbakat
tidaknya seseorang, bisa dilihat dari ; pertama memiliki kepekaan
rohaniah yang besar terhadap manusia dalam keadaaan dan kejadian yang
terlihat olehnya sehari-hari. Kedua, punya kesanggupan membawakan
berbagai laku manusia dalam segala kepelikannya. Ketiga, dapat
memerankan berbagai ragam manusia dengan watak dan karakteristik yang
berbeda-beda. Keempat, punya keyakinan tentang pekerjaan di teater yang
dipilihnya. Kelima, yakin tentang darmanya sebagai orang teater dengan
segala cabang-cabangnya.
Apa yang dimaksud oleh SM. Ardan dengan teknik dan bakat dalam
berkesenian----sama rupanya dengan apa yang dibangkitkan wahyu Sihombing
melalui penyaluran rasa kesadaran yang tidak pernah berhenti pada
proses menempa dan mengamalkannya kepada orang banyak. Sebagai anak
Batak yang lahir di Nagasaribu Siborong-Borong, Tapanuli Utara, 15
Agustus 1932, Ia mengandaikan ketiga gurunya---sebagai nahkoda yang
berhasil membawa jalan hakikat diri menuju lorong-lorong pemahaman
budaya dan manusia secara total; sampai menembus arah baru perkembangan
teater modern dalam idiom-idiom teater barat. Dampaknya pun terlihat,
Wahyu Sihombing putra Gerhard Nababan-----dengan beberapa teman
seangkatannya mampu menunjukkan benang pengabdian kepada ketiga gurunya
“bahwa aktor dengan segala dimensi dan laju peristiwanya” harus mampu
hadir dalam ruang di mana waktu kesenimanan terus berburu dalam
semboyan; bekerja dan terus berkarya tanpa henti.
Berkat beberapa tempaan di ATNI dan beberapa sistim pelatihan ala
Actor’s Studio, Pak Hombing merasakan bahwa akting itu sebenarnya sangat
berkaitan dengan irama permainan, pengolahan emosi dan pengelolaan
karakter; agar dapat dirasakan dirinya menjadi pemain yang baik;
mengolah laku semiotik dalam tubuh dan spaktakel dalam aksiran-aksiran
seni pertunjukan. Dalam hal ini, Wahyu Sihombing sebagaimana ketiga
gurunya, jelas menggarisbawahi pentingnya fungsi aktor dalam sebuah
pementasan. Dengan demikian, profesi kesenimanan sebagai aktor dan
sutradara sudah dijalani dengan tuntas dan total. Rosihan Anwar (baca:
suara pembaharuan;31:1989) mengatakan bahwa “Wahyu Sihombing merupakan
tipe orang yang setia kepada profesi. Kecintaannya terhadap dunia akting
menonjol. Dia tidak hanya mempraktekkan tapi juga menurunkan
pengetahuan kepada mereka yang lebih muda. Ia sukses membuat kaderisasi.
Umar Kayam mempunyai kesan lain. Wahyu Sihombing karya-karyanya bagus
karena mencerminkan dedikasi luar biasa terutama dalam bidang teater.
Bagi Umar Kayam, Wahyu Sihombing adalah pahlawan karena hanya sedikit
orang yang tetap mau ngajar di LPKJ setelah ia sukses di dunia film.
Teguh Karya juga mempunyai penilaian sama “bahwa masyarakat Indonesia
tidak cukup menguatkan kehilangan Wahyu Sihombing. Kita memerlukan
penggantinya, karena selama ini ia menjadi pelopor, diantaranya
mempelopori perkembangan teater pada kalangan anak muda. Ia merupakan
salah satu dari sedikit kawan saya yang jujur. Harmoko sang mantan
menteri penerangan semasa Soeharto----juga menilai “bahwa, ide-ide
maupun gagasan Wahyu Sihombing tetap hidup meskipun rohnya telah
menghadap Sang Pencipta. Ide-ide Wahyu Sihombing sangat relevan dan
konsisten terhadap upaya pembinaan dunia perfilm-an dan teater kita,
karena menekankan soal idealisme dan profesionalisme.
MERAYAKAN FESTIVAL: TEATER INDONESIA YANG DIREMAJAKAN
Salah satu yang mahal dan tak terlupakan dalam sejarah perjalanan
teater Indonesia ketika ia menjadi penggagas Festival Teater Remaja.
Almarhum Wahyu Sihombing yang lebih akrab dengan sapaan Pak Hombing,
memegang peranan nyata dalam perkembangan Festival Teater Remaja,
khususnya masyarakat Jakarta yang bernaung di bawah bendera asuhan
Teater Lembaga. Pak Hombing sebagai seniman dan pendidik, ternyata
merupakan pekerja keras dan pemikir yang terampil dalam memamfaatkan
berbagai peluang kebudayaan. Seperti yang terlihat pada Festival Teater
Remaja yang ditekuni sejak tahun 1956, adalah awal ketika ia
menunjukkan kiprah kesenimanan dan gagasan luar biasa; terhitung sejak
bergabung sekaligus menjadi asisten Pak Usmar Ismail dalam beberapa
kesempatan menyutradarai pementasan drama karya naskah terjemahan Eropa.
Keseriusan membangun puncak pencarian dalam proses teaterikalnya, ia
serasa mendapat angin segar, ketika gagasan dan pemikiran tentang
Festival Teater Remaja ini mendapat sambutan karib dari Bang Ali sebagai
Mantan Gubernur DKI kala itu yang sangat gandrung dan apreciate
dengan dunia kesenian. Bang Ali terasa melihat ada kesenjangan yang
paradoks dan tidak berimbang; di satu sisi melihat Jakarta yang dirasuk
kemajuan teknologi dan industri dan pada sisi yang lain dipenuhi
berbagai peradaban tata kota yang riuh dengan segala pernik-pernik
urbanisasinya. Perkembangan industri dan kemajuan teknologi menurut bang
Ali -------(1993:70)------harus diimbangi oleh pembinaan seni budaya.
Sebab bila tidak, Jakarta akan jadi kota tak beradab.
Menjawab semua persoalan yang menggelisahkan tersebut, Bang Ali sang
Empu tata kota Jakarta pada tahun 1968, secara maraton membangun
pendirian Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan
segala tanggung jawab dan keikutsertaannya membangun marwah peradaban
dan kebudayaan Indonesia. Teater Lembaga dan beberapa teater besar yang
menjadi gawang percaturan seni budaya Indonesia kala itu seperti; Teater
Populer, Bengkel Teater, Teater Kecil, Teater Mandiri dan lain-lain
serta merta bersorak gembira menyambut dukungan ini. Pak Hombing tidak
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Ia membuat strategi baru dengan
membentuk ajang “Festival Teater Remaja”, untuk membangun gairah
keaktoran yang terlihat melempem karena terlilit kondisi biaya
produksi---yang pengaruhnya terasa menyeluruh pada kegiatan teater di
Indonesia. Pak Hombing (1993;60) menyitir gagasan sebagaimana juga yang
dilansir Mingguan Indonesia Raya 16 Maret 1969 bahwa: Di
Indonesia barangkali banyak terdapat calon-calon sutradara yang baik,
hal itu mungkin saja atau hal ini perlu kita cantumkan dalam pikiran dan
kalbu kita untuk menunjukkan bahwa harapan mempunyai
sutradara-sutradara yang baik masih ada. Harapan-harapan ini bisa
diperbanyak: kita mempunyai calon-calon pengarang, pemain penonton
sandiwara yang baik, karena penduduk Indonesia lebih dari seratus juta,
persoalannya hanya tinggal menggaiatkan saja.
Ini adalah suatu langkah yang baik, sebab sekarang ini tidaklah lagi
mengorganisir kegiatan pementasan seperti dialami ATNI antara
tahun-tahun 1958 sampai dengan tahun 1962, ketika para pemain dan staf
produksinya bekerja dengan sukarela tanpa mengharapkan bayaran satu
senpun. Keadaan sekarang sudah lain, tidak ada lagi
sukarelawan-sukarelawan teater yang mau berkorban demi suatu cita-cita
yang jelas gambarannya, tapi sulit pelaksanaannya.
Menyinggung ulasan Pak Hombing di atas, mengisyaratkan makna bahwa ia
nampak menghargai proses dari sebuah hasil. Sebagaimana mitranya Teguh
Karya yang juga mempunyai rasa yang sama dalam menghargai sebuah proses
berkesenian. Teguh Karya menandaskan “jika tidak ada aktor, maka aktor
harus diciptakan. Tidak ada sutradara, maka sutradara juga harus
diciptakan” dengan segala kesadaran dan tanggung jawab yang dipikulnya.
Masalah tanggung jawab ini, Pak Hombing sudah buktikan itu dengan Teater
Lembaga berikut Festival Teater Remaja yang diusungnya. Pendapat kedua
sahabat yang bergerak dalam dua payung teater besar modern ini antara
“Teater Populer” dan “Teater Lembaga” juga diamini sekaligus didukung
oleh guru mereka {ak Asrul Sani, Pak Usmar Ismail dan Pak Djadoeg
Djajakoesoema. Di tengah bergeraknya laju kreativitas ini, Pak Asrul
Sani berpendapat bahwa: Teater modern tidak bisa ditegakkan hanya
bermodalkan bakat alam semesta. Teater seperti kesenian lain, adalah design,
adalah penyampaian satu rasa artistik melalui bentuk. Jika seorang
seniman musik harus menguasai salah satu alat musik, supaya dapat
menyampaikan pengutaraan artistiknya, maka seorang aktor tidak saja
harus melatih tubuh dan suaranya sebagai alat pengutaraan, tapi ia juga
harus mendalami kehidupan manusia yang hendak ia sampaikan.
Pendapat Pak Asrul Sani menyibak sebuah isyarat sederhana bahwa salah
satu yang fundamen dalam arus pencapaian menjadi aktor dan sutradara
adalah bertolak pada kemampuan sang aktor dan sutradara itu sendiri
dalam memproyeksi makna-makna. Hal ini bisa ditempuh dengan berbagai
cara pendalaman dan aktivitas menyeluruh dari proyeksi kinerja
artistiknya. Pak Hombing sebagaimana cita-cita ketiga gurunya,
menggumamkan pijakan yang ketat baik di Teater Lembaga maupun dalam
Festival Teater Remaja dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang
ditempuh-----sebagaimana yang diurai D.S. Moelyono----yakni "mengurai
seni drama dan panggung, mulai dari yang bersifat magis, terus sampai
kepada pendapat para ahli teater di Eropa, termasuk pengalaman
pribadinya sendiri sewaktu menimba ilmu teater di sana". Dengan begitu,
Pak Hombing sebagai abdi seni selalu patuh pada batasan-batasan bahwa
aktor dengan segala perangkat-perangkat inderawinya dimungkinkan terus
berada dalam maqom dan posisinya yang benar. Seperti yang
pernah dikatakannya bahwa “lihat saja, mana ada seorang aktor atau
pemain teater yang mau latihan 8 jam perhari. Padahal itu sudah
kewajiban. Sebagaimana orang-orang bisa bekerja sehari 8 jam”.
Ketika membaca penuturan ini, saya pikir Pak Hombing adalah tokoh
teater sekaligus pejuang kesenian yang sangat mengerti batasan-batasan
moral dan dedikasi yang harus diperjuangkan. Paling tidak, sejak tahun
1973, untuk pertama kalinya ia terjun dalam Festival Remaja dan menjadi
karib dengan kegelisahan para seniman yang bernaung di bawah bendera
Festival Teater Remaja. Sebagaimana referensi dan sumber literatur yang
saya baca, festival tersebut diikuti oleh kelompok dari lima wilayah DKI
Jakarta yang bertujuan merangsang remaja terhadap kegiatan teater. Pada
awal-awal penyelenggaraannya, festival ini secara
kuantitatif----sebagaimana yang saya kutip dari skripsi saudara Didit
mahasiswa IKJ angkatan 99 menyebutkan----kerapkali diikuti jumlah
peserta fantastis di atas 100 grup dan kelompok-kelompok teater
Indonesia. Pada tahun 1973 tersebut, sebagai gambaran festival pertama,
dikuti kurang lebih 111 grup. Pada tahun 1974 diikuti sebanyak 133 grup.
Pada tahun 1975 diikuti sebanyak 117 grup. Pada tahun 1976 diikuti 142
grup. Pada tahun 1977 diikuti 120 grup. Pada tahun 1978 diikuti 135 grup
dan tahun 1979 diikuti sebanyak 130 grup. Dalam hal ini, Pak Hombing
dengan teater ATNI yang dibantu oleh Pramana Padmodarmaya kala itu,
menjejakkan pendekatan nafas baru keaktoran dan melambungkan nama
“Festival Teater Remaja” menjadi sebuah icon garda depan yang
diperhitungkan publik luas. Terobosan seperti ini merupakan prestasi
tersendiri bagi Pak Hombing karena mengemban visi dan misi mulia
membangun marwah budaya bangsanya; Indonesia----meminjam istilah Gunawan
Muhammad----dengan memperkenalkan sebuah teater yang punya kontak
dengan kalangan pelajar Jakarta---sebuah lapisan yang pada gilirannnya
merupakan pendukung utama ekspresi kebudayaan Nasional yang sedang
terbentuk. Kalangan inilah yang beberapa dasawarsa kemudian berkembang
dan merambah di kota-kota besar Indonesia.
Keberadaan Festival Teater Remaja dengan Teater Lembaga sebagai
markas besarnya menjadi salah satu wahana pengembangan bakat sebagaimana
Pak Hombing harapkan agar aktor-aktor tempaannya menjadi pemain-pemain
tahan banting. Pak Hombing menarik garis batas dari persoalan ini bahwa
yang menjadi faktor penunjang adalah “semua aktor-aktor binaannya harus
memiliki kecintaaan yang besar dengan semangat menggulati teater secara
habis-habisan. Seorang aktor kata Pak Hombing adalah yang senantiasa
mengisi hari-harinya dengan terus mengasah kepekaan dan berlatih”.
Cita-citanya untuk meloloskan aktor-aktor handal binaannya menjadi
kenyataan---sebagaimana yang disebutkan Tuti Gutinidalam Suara Pembaharuan-----manakala
keempat muridnya Josep Ginting, Didi Petet, Sena A. Utoyo dan Eddy
Riwanto mampu menunjukkan seni akting yang memikat dalam pementasan
“Menunggu Godot” karya Samuel Beckett pada pertengahan oktober 1989.
Mungkin itulah suatu contoh bahwa anak didiknya sudah ada yang mampu
bermain dalam kesebelasan----yang kompak, teratur dan saling menghargai
dan membagi peran masing-masing.
Hasil pertunjukan “Menunggu Godot”-----sebagaimana pengakuan Pak
Hombing di beberapa media harian Jakarta dan Bandung----adalah karya
puncak----dalam arti sebuah karya yang bermain tidak lazim karena yang
dimainkan adalah naskah absurd yang memiliki pola naskah yang pekat
dengan struktur dialog yang absurd. Tapi naskah demikian, bagi Pak
Hombing tidak menjadi masalah. Yang terpenting adalah pada penafsiran
dan mendudukkan naskah itu sesuai dengan nafas cerita. Salah satu kunci
keberhasilan memainkan naskah Beckett menurut Pak Hombing, para aktor
harus bermain padu, harmonis dan kompak. Tingkat kematangan dan jam
terbang yang dimiliki dalam menggeluti seni akting juga harus seimbang
atau merata. Tentang naskah “Menunggu Godot” ini, Pak Hombing membagi
ilmu kepada kita bahwa yang menarik dari karya Beckett adalah
kesanggupan memikat penonton. Ia menyadari, bahwa naskah ini sulit
dipahami. Pertama kali membaca naskah ini, kita mungkin tidak mengerti.
Tetapi semakin sering dibaca dan berulangkali, naskah ini semakin
memikat. Berdasarkan beberapa peghargaan yang telah diraihnya, Pak
Hombing juga pernah mendapat pujian dari berbagai media. Paling tidak,
kesuksesan ini diulang sampai pada tahun 1990.
Beberapa karya penyutradaraan yang pernah beliau garap terdapat karya yang pernah dipentaskan bersama Teater Lembaga, seperti: Kemelut Karya Arthur Miller, Musuh Masyarakat Karya Hendrik Ibsen, Matinya Pedagang Keliling karya Arthur Miller, Bebek Liar karya Hendrik Ibsen, Menunggu Godot karya Samuel Becket, Hilang Tanpa Bekas karya Jean Paul Satre, Kucing Di atas Seng Panas karya Tennese William, Genderang Di Malam Hari
karya Bertold Bercht. Pendekatan penyutradaraan yang dilakukannya pada
judul-judul karya beberapa penulis Eropa ternama di atas dapat dianggap
sebagai sebuah prestasi yang luar biasa. Dengan tingkat kecerdasan yang
optimal, karya-karya yang bermakna realis dan absurd
mampu dijelajahinya dengan berbagai pendekatan studi pemeranan, tingkat
penafsiran yang diselaraskan dengan irama, dan nafas naskah penulisnya.
Berdasarkan beberapa pendekatan data kualitatif pementasan ini, Pak
Hombing dan juga atas dukungan Bang Ali menyimpan selaksa makna. Hal itu
ditunjukannya melalui sikap pembelajaran politik seni budaya kepada
setiap persona-persona generasi budaya untuk terus eksis meningkatkan ghirah keaktoran dengan gerak persambungan nafas kreativitas yang plural multiras dan multietnik
dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal ini bukanlah semata
bersifat kerja temporal tapi merupakan kerja jejaring yang menghidupkan
tata kota Jakarta dengan nafas-nafas kebudayaan multikultural; dari
berbagai ras dan persamaan hak untuk berkembang dan berjasa dalam
habitat lingkungannya. Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila
pemerintah DKI Jakarta dalam kesempatan ini, “mensatya lancanakan”
memberikan pengakuan kepada Pak Hombing sebagai tokoh kebanggaan kita
bersama dalam mengabdikan seluruh cita rasanya dalam “karya-karya puncak
manis berkembang” dalam wilayah kesenimanan yang menebarkan harum kebersamaan.
SUDUT PANDANG KAMERA HATI: BIDIKAN SANG PIONIR
Berlatar belakang sebagai organisator dan penggerak teater, mengantar
posisi Pak Hombing ke dalam ranah seni budaya yang sangat beragam. Hal
ini dipengaruhi oleh sikap survival mencairkan
batas-batas ekspresi teateral dalam gerakan filmis, yang boleh jadi
karena persambungan dengan bakat alam dan ketekunan dalam berproses jati
diri. Ia berkali-kali terlibat dan membantu Usmar Ismail dalam
penggarapan film berjudul “Cita-Cita Ayah”. Keterlibatan yang intens
dengan gurunya itu, memberinya kesempatan memperdalam ilmu di Department of Drama and Theatre University of Hawai.
Pencairan batas-batas medium dan luluhnya penguasaan dalam disiplin
berteater, menjejakkan dirinya dalam dua iklim budaya kondusif; antara
kampanye budaya mainstream dan kampanye budaya multikultur yang secara an sich
direkatkan melalui pendekatan film. Pak Hombing menyadari betul bahwa
pengetahuan seni khususnya ilmu teater akan sangat menunjang bagi
perkembangan film. Berbagai karakter teater yang fasih dikuasai membuat
dirinya mudah mereaktualisasikan pesan-pesan teateral ke dalam angle-angle
filmnya. Meminjam istilah Teguh Karya-----bahwa “menjadi seniman apapun
seseorang dalam teater akan sama besar jika dia memang menguasai
bidangnya. Yang celaka ialah jika teater menguasai kita selagi kita
sendiri tidak mengenal persis dan tidak bisa keluar dari dalamnya”.
Kekurangpengetahuan terhadap teknik hanya akan memperjauh responsi
terhadap idealisme. Sebaliknya teknik tanpa idealisme hanya akan
melahirkan tukang-tukang yang muncul dengan film-film kering.
Dugaan Putu Wijaya, menyibakkan misteri yang mengemuka dalam tradisi
perfilm-an saat ini, khususnya film dan sinetron dengan tema-tema horror
dan adegan misteri yang mendungukan dan membodohkan masyarakat.
Menyikapi film-film demikian, Pak Hombing menandaskan bahwa salah satu
penyebab keringnya film dan sinetron sebagaimana disebukant diatas
adalah berdasarkan pada repertoar-repertoar yang tandus dan kering
dengan makna dan nilai. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan yang
prinsipil yakni pertama, pengarang Indonesia yang kurang kreatif.
Kedua, tema-tema yang hanya bertolak dari terjemahan atau
saduran-saduran. Seorang pengarang yang baik menurut Putu Wijaya kembali
menandaskan bahwa seorang penulis skenario, seyogyanya punya latar
belakang sebagai penulis novel atau sastrawan dan juga punya
latarbelakang dunia perfilm-an yang banyak. Penggabungan dua latar
belakang inilah yang akan melahirkan seorang seniman penulis skenario.
Marselli Sumarno (1993:84) menguatkan pendapat di atas bahwa “umumnya
kriteria artistik mengandaikan persenyawaan antara bentuk dan isi.
Setiap unsur menyumbang kepada keutuhan film. Bahkan dalam film-film
yang mencapai taraf puitik keseluruhan adalah melebihi jumlah dari
unsur-unsurnya". Pak Hombing juga menggarisbawahi bahwa “seorang
sutradara film harus memasukkan kreativitas yang sama dalam film seperti
yang dilakukan pengarang dalam bidang sastra atau pelukis dalam bidang
seni lukis. Sutradara film adalah pencipta atau dalam istilah aslinya auteur dari sebuah film. Di Amerika Serikat, orang mulai membedakan istilah director dengan film-maker. Kedua istilah itu mempunyai konotasi dan derajat yang berbeda. Director hanyalah seseorang yang memerintah atau menyuruh juru kameranya untuk menempatkan kamera sesuai dengan sudut pengambilan atau angle yang diinginkan dan mengatur pemain bagaimana cara mengucapkan ucapannya. Atau katakanlah director yang paling sempurna mengatur segala-galanya dalam pembuatan film. Sedangkan film-maker, seseorang yang mempergunakan karyawan, pemain dan seluruh peralatan film sebagai alat ekspresi pribadinya.
Pak Hombing pada sebagian besar film-filmnya---sebagaimana yang disebutkan dalam Suara Pembaharuan 14 Maret 1987
antara lain” Cita-cita Ayah (1991), Ballada Kota Besar 1962), Impian
Bukit Barisan (1964), di Tengah-Tengah Kelapa Sawit (1967), Mutiara
Dalam Lumpur (1970), Akhir Cinta Di Atas Bukit(1971), Cinta Abadi
(1974), Rahasia Seorang Ibu (1976), Gersang Tapi Damai (1977), Pembunuh
Di Tengah Kita (1978), Istana Kecantikan (1988), Losmen Dan Dokter
Sartika dan Matinya Seorang Bidadari, adalah salah satu penulis dan
sutradara yang sangat hati-hati dalam proses menggarap karya; dalam arti
tidak terpeleset dalam film-film yang kering gagasan. Masalah
penyutradaran, penataan artistik, permainan dan tafsir paling ulung dari
semua bidang filmis---semua dipikirkan dengan gerak pertimbangan
pemikiran yang matang; dalam arti tidak langsung jadi atau instan. Pak
Hombing sebagaimana disebutkan dalam Suara Pembaharuan (Sabtu, 7 pebruari (1987)----sangat
paham dalam mengkampanyekan dan mempromosikan karyanya lewat film. Hal
ini terbukti pada kampanye film nasional FFI 1988. Dalam film “Naga
Bonar” dan “Perempuan” misalnya, ia mendapat piala citra. Begitu pula
dalam judul “Istana Kecantikan” mengetengahkan tema-tema yang sarat
dengan nafas-nafas kebaruan. “Istana kecantikan” yang dibuatnya tidak
lain sebuah protes yang gamblang untuk meminta legalisasi masyarakat
terhadap keberadaaan kaum homo seks yang tersisih dalam masyarakat.
Begitu pula dalam film berjudul “Laras” secara garis besar mengisahkan
lika-liku pengabdian seorang dokter di desa Laras yang menggambarkan
tentang keragaman kehidupan pedesaan.
Di film yang dibuatnya ini, Pak Hombing mengupas tentang pentingnya
dedikasi dalam sebuah profesi. Tema-tema pengabdian yang diagambarkannya
sarat dengan profesi yang dijalani sebagai seorang dosen. Menurut Pak
Hombing, sejak dulu pengabdian merupakan obsesi yang pernah menjadi
bagian dari hidupnya. Ia merasa pengabdian tidak tergantung dari
fasilitas. Pengabdian sepenuhnya tergantung dari sikap kita
masing-masing pribadi. Sikap pengabdian yang besar terhadap profesi
mencuatkan andil yang luar biasa dalam perjalanannya menempuh cita-cita,
seperti dalam karya film-nya yang fenomenal “ Losmen” adalah karya film
yang tidak diduga memiliki rating kehormatan dari masyarakat
penontonnya. Film yang didukung oleh pemain seperti ; Dewi Yull, Ida
Leman, Mathias Muchus, Mieke Wijaya dan Mang Udel adalah bukti dari
sikap mencairnya batasan-batasan karir yang ditempuh dan mendapat
pengakuan luar biasa.
Dalam tahapan ini, Pak Hombing dengan segala aktivitas perfilemannya,
berada dalam tahapan jalan, terus menjelma sosok yang “berjasa dan
berguna bagi sebangsa”. Hal ini sesuai dengan yang pernah dikatakan oleh
Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belasnya “ Hendaklah berjasa kepada
yang sebangsa”, menjadi syarat yang tak bisa ditawar-tawar dalam
perjalanan Pak Hombing yang banyak berjasa bagi bangkitnya tradisi
keaktoran dan tradisi penyutradaraan di Indonesia; seperti yang terlihat
pada sebagian besar anak-anak didiknya. Demikian juga tanggapan Pak
Hombing yang sering dilontarkan kepada kawan-kawan dalam diskusi kecil
dan tulisan-tulisan lewat publikasi pers. Dengan kata lain, ia menempuh
aktivitas berkesenian lewat jalur formal yang suntuk dengan
pencarian-pencarian ilmu yang tak ada habisnya. Tak ayal, kalau tokoh
ini terkenal----sebagai pribadi yang kuat dan rajin menulis, seorang
pengamat yang tekun, penulis resensi pertunjukan yang fasih dan kritikus
yang pekat dengan pandangan ideologis dan filosofis mendalam. Kemampuan
luar biasa ini, tentu karena dibarengi dengan ketekunannya membaca buku
dan ketekunan membangun empati terhadap pikiran orang banyak. Kita bisa
menilai Pak Hombing dengan segala kesederhanaan dan kejujurannya
memberikan kita pemahaman, bahwa proses apapun dalam kreativitas yang
kita perjuangkan pasti akan ada muaranya. Kreativitas bisa dicapai jika
dalam diri seseorang terjadi persetubuhan intim dalam gerak metamorfosis
dengan ruang lingkup yang dihuninya. Biasanya katarsis dalam hidup
seseorang akan menyata terang setelah dia berpulang dan kemudian ramai
menjadi pusat perbincangan.
Pak Hombing, kami mahasiswa IKJ sebagaimana juga murid-muridmu
terdahulu di LPKJ, akan turut mengenang jasamu dan kiprah ibadahmu yang
senantiasa mencair dalam lautan ilmu. Dalam kepak sayap peranginanmu,
kami hadiahkan puisi sahabatmu Teguh Karya yang berujar dengan kalimat
sederhana “bahwa masa lalu adalah cermin, Masa kini adalah kerja,
Masa depan adalah harapan. Menatap masa lalu tanpa kepongahan, Menjalani
masa kini dengan kebijaksanaan dan Mendulang masa depan tanpa
berlebihan”.
Kepak sayap peranginanmu, bukanlah kepak sayap yang hanya terbang
melintasi karir perjalananmu dalam dua benua barat dan timur. Tapi kepak
sayap yang benar-benar kepak kesadaran yang menghubungkan tingkat
kemesraan dengan istrimu tercinta Tatiek Maliyati dan tingkat kemanjaaan
dengan jagoan-jagoanmu Ronggur Sihombing, Jonggi Sihombing, Danton
Sihombing dan Tiur Sihombing.
Kepak sayap peranginanmu bukanlah kepak sayap yang mengangkasa dalam
angan imajimu, tapi kepak kesalehanmu karena kau menghargai posisi kedua
orang tuamu "Gierhard Nababan" dan seluruh sanak keluarga di atas
segalanya dengan bukti ketulusan dan kesuksesan sempurna. Itu bukti
kearifanmu sebagai pribadi "muslim-muallaf" yang taat sekaligus hamba
seni yang mengerti etiket dan batasan norma kehidupan.
Kepak sayap peranginanmu tentu bukan sembarang kepak yang terbang
dengan dua sayap. Tapi sayap yang terbang dengan banyak kepak imaji
antara dunia teater dan dunia film. Ketiga gurumu, Usmar Ismail, Asrul
Sani dan Djadoeg Djajakoesoemoe telah rampung mengajarimu banyak makna
sebagaimana kau juga rampung mengajari jagoan-jagoanmu Didi Petet,
Joseph Ginting, Mathias Muchus dan Eddy Riwanto dan jagoanmu saat ini di
IKJ, sehingga hutangmu nyaris terbayarkan.
Kepak sayap peranginanmu bagi kami adalah tonggak pesiar yang
memperlihatkan perjuangan karya yang tidak ada titik, tapi akan terus
koma seperti silat bicaramu yang kerapkali mengkundang kata ampuh;
mencair dalam wujud, terlaksana dalam bakti dan membumi dalam pusara
damaimu!