Cerita terkenal ludruk ini, dalam film coba "dilurus-luruskan", tapi jadinya malah kehabisan "darah". Sakerah (WD Mochtar) dalam film digambarkan sebagai jagoan alim, beristri dua, kaya, sangat sayang pada ibunya, dan sangat senang tayub. Sebuah karakterisasi yang bertentangan dalam dirinya. Justru kompleksitas karakter dalam "naskah" atau legendanya jadi terasa dikebiri. Apalagi ada niatan juga untuk mengontraskan dengan karakter Brudin (Alan Nuari), ponakan yang diangkat anak oleh Sakerah, yang kerjanya hanya berjudi dan mengganggu perempuan, termasuk istri muda Sakerah sendiri, Marlena (Minati Atmanegara). Film ini jadinya lebih sebagai kisah perlawanan terhadap Belanda yang sewenang-wenang (yang legendanya memang demikian). Karena pelurusan karakter Sakerah tadi, jalan cerita juga menjadi kurang meyakinkan. Sakerah yang sakti dan kesaktiannya itu hanya diketahui oleh dua kawan seperguruannya yang berkhianat memihak Beland.
P.T. MERDEKA JAYA PUTRAMINATI ATMANEGARA W.D. MOCHTAR TIEN KADARYONO ALAN NUARI LINA BUDIARTI ANNY KUSUMA SOFIA WD CHINTAMI ATMANEGARA MUSSOLINI MUSLICH ADANG MANSYUR CHAIDAR DJAFAR USBANDA |
Perjuangan Sakera populer bagi masyarakat Jawa Timur, terutama di
Pasuruan dan Madura dan tetap awet lewat cerita-cerita ludruk.
Bahkan
kisah Pak Sakera ini juga pernah menghiasi layar televisi pada tahun
80-an. Misalnya lewat tayangan ludruk di TVRI maupun lewat film layar
lebar yang dibuat pada 1982 silam dengan tokoh utama W.D. Mochtar
sebagai Sakera.
Lalu bagaimana kisah Sakera yang disebut-sebut tewas dihukum gantung oleh Belanda itu?
Berdasar
cerita tutur dan kisah-kisah dalam ludruk, Sakera bernama asli Sadiman
lahir dari keluarga ningrat dari kelas MAS di Kelurahan Raci, Kota
Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada abad 19 ketika negeri ini di jajah
Belanda. Sakera tumbuh menjadi jagoan di daerahnya, sehingga akhirnya
dia bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik Pabrik Gula Kancil
Mas Bangil di Pasuruan, Jawa Timur.
Tampang Sakera digambarkan sangar dengan kumis lebat dan udeng di kepala. Namun demikian dia bukan lah mandor jahat,
tapi sebaliknya dia adalah mandor baik dan sangat memperhatikan
kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki sebagai Pak Sakera (Sakera
dalam bahasa kawi artinya ringan tangan, akrab/banyak teman).
Sakera
memiliki dua istri, yang pertama bernama Ginten sementara istri kedua
bernama Marlena. Dia juga merawat keponakannya bernama Brodin. Kehidupan
keluarga Sakera awalnya bahagia sebelum dia dicap sebagai pembunuh dan
menjadi buron kompeni.
Kisah perlawanan Sakera bermula setelah
musim giling selesai, yakni ketika pabrik gula tersebut membutuhkan
banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu, orang
Belanda pemimpin pabrik gula itu ingin membeli lahan perkebunan yang
luas dengan harga semurah-murahnya.
Dengan cara licik pimpinan
pabrik menyuruh carik di Kampung Rembang agar menyediakan lahan baru
bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah dengan iming-iming
harta dan kekayaan. Bisa ditebak, si carik silau dengan iming-iming
harta sehingga bersedia memenuhi keinginan tersebut.
Si carik
lalu menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat untuk memenuhi ambisi
perusahaan Belanda tersebut. Sakera yang melihat ketidakadilan ini
mencoba selalu membela rakyat sehingga berkali kali upaya carik Rembang
itu gagal. Dia lantas melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan.
Benar saja, pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya, Markus
untuk membunuh Sakera