Tampilkan postingan dengan label NYA ABBAS AKUP 1954-1990. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NYA ABBAS AKUP 1954-1990. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 Februari 2011

NENNY / 1968

NENNY

 
Ada maksud mengisahkan tentang sopir bus di Jakarta. Mamat (Menzano), sopir bus sekolah, kaget ketika mendapat langganan baru, Nenny (Nenny Triana). Ia mirip sekali dengan anaknya yang hilang semasa revolusi. Nenny ini juga kebetulan cepat akrab dengan Mamat, hingga waktu Mamat dipecat, karena kaca bus pecah dan joknya rusak, Nenny membela. Bukan Mamat yang salah tapi temannya satu bus, anak orang kaya yang liar dan dimanja ibunya. Ibu dan anak itu berubah sikap, ketika anak itu kecelakaan, dan Nenny "memaksa" berkata apa sebenarnya yang terjadi pada ibunya

PT LAMA FILM
PEMDA DKI JAYA

NANI WIDJAJA
NENNY TRIANA
MENZANO
MANSJUR SJAH
NETTY HERAWATI
A. HADI

AMBISI / 1973



 Film ini mendapat penghargaan FFI'74 untuk film Komedi

Ceritanya: Film Komedi. Bing bekerja sebagai penyiar pada radio swasta Undur-undur, bersama dengan Benyamin S. 


Pekerjaannya ini membuat ia tidak akur dengan istrinya, hingga suatu saat mendapat saluran telpon dari seorang penggemarnya, Anna Mathovani. Bing pulalah yang kemudian "mengorbitkan" Anna sebagai penyanyi. Ternyata Bing harus sadar diri setelah Anna sukses. Pacarnya muncul. Beruntung istri Bing sadar juga. 

Tampilnya penyanyi dan kelompok penyanyi terkenal, tampaknya diharap menjadi daya tarik film ini. Film ini cukup menarik, baik dari cerita dan konsepnya. Enggak tahu Nyaa abbas waktu membuat film ini sempat terpikir olehnya kalau film adalah film musikal juga? Bagaimana tidak film musikal, hampir dari awal film hingga akhir banyak menampilkan lagu-lagu yang sangat ngetren saat itu Seperti Koesplus, Godblees, dan penyanyi lainnya. Hal ini masuk kedalam ceritanya sendiri karena ceritanya tentang seorang penyiar radio yang sering memutar lagu-lagu hits saat itu, sudah pasti film ini penuh dengan lagu-lagu yang hits saat itu. Karena belum adanya video musik/video klip, maka Nyaa Abbas membuatnya sendiri, lalu memasukan unsur yang ada dalam lirik itu kedalam sebuah gambar, ini mirip sekali dengan video Klip yang juga menampilkan penyanyi aslinya di dalam klip tersebut, padahal film ini dibuat tahun 1973.

 
FULL MOVIE

Sedangkan Sound of the music 1965, sedangkan Pink Floyd the Wall alan Parker dibuat tahun 1982 yang banyak orang bilang pencetus video klip pertama dan juga pertama yang memberikan ide untuk membuat MTV. Tetapi NYaa Abbas sudah melakukan hal itu di tahun 1973? Tentu film ambisi dan Sound of the music beda, karena dalam ambisi tidak ada pemain yang bernyanyi dalam sebuah adegan, yang ada menggunakan penyanyi dan lagu saat itu. Ada video klip KoesPlus Di Bui yang semua orang tahu saat itu Koes Plus lagi dipenjarakan karena meniru musik kebarat-baratan atas kebijakan presiden Soekarno. Lagu itu sangat populer sekali, dan NYaa Abbas membuat video Klip Koesplus itu sangat bagus sekali, settingan penjara dan cahaya Tuhan menerangi mereka (Koesplus) mereka.pernah dipenjara tiga bulan oleh rezim Soekarno. Saat itu personel Koes Plus yang lain,Tony, Nomo, dan Yok mendekam di Penjara Glodok pada tahun 1965. Mereka dianggap memainkan musik yang tidak mencerminkan budaya bangsa.

Selain itu juga Nyaa Abbas juga mengkritik kebijakan pemerintah tentang lagu-lagu terutama agar tidak meniru kebarat-baratan. Salah satu dialoq dalam film adalah demokrasi dalam bermusik, demokrasi dalam menyalurkan lagu-lagu kesukaan, dan demokrasi berpendapat. Juga ada dialoq Bing Slamaet di dalam bis, lagu Indonesia lebih baik, setelah menegor seorang remaja yang memutar lagu-lagu asing di dalam bis.

Nyaa Juga menyindir studio rekaman, yang penuh dengan glamor dan wanita, dia tidak sungkan-sungkan menampilkan seorang direktur perusahaan rekaman yang sedang main cinta di kantor ketika Bing di kejar Biduanita 6 oktaf itu. 


Nyak ingin mengulas tentang musik hits Indonesia saat itu. Memang jalan yang lain baik adalah melalui sudat pandang radio yang sering memutar lagu-lagu hits. Opening film dimulai kesibukan Bing menyiapkan sarapan buat Istrinya yang bermalas-malasan, penonton sudah tahu, Bing adalah Suami Takut Istri. Harmonis Bing bekerja di radio bersama Ben Nyamin cukup harmonis sekali. Lalu muncul wanita menurutnya memilih hidupnya dengan menyanyi saja. Di sisi lain ada calon penyanyi yang sangat percaya diri dan meneror dengan khas Nyaa Abbas, tetapi suaranya jelek sekali. Bahkan NYaa membuat adegan lucu sekali ketika biduanita ini merampas mic radio dan memaksa untuk mencoba suaranya, kontan saja suara itu terdengan ke semua orang yang sedang mendengarkan radio ini, anak-anak kecil berlarian meninggalkan radio mereka, nenek-nenek bubur-bubur mematikan radionya. 

Maria memang memiliki suara yang bagus, tetapi bukan hanya itu alasan Bing mau mengorbitkan Maria menjadi penyanyi terkenal, ternyata karena Bing Merasa Maria jatruh cinta padanya dengan sejumlah peristiwa dan apa yang dilakukan Maria terhadapnya, membuat Bing merasakan Maria Jatuh hati, dan begitu juga dialami Bing. Selagi ia kesal dan muak dengan istrinya sendiri yang pemalas dan tidak pernah baik padanya sebagai suami, BIng terhasut juga. Segala macam upaya dilakukan Bing, hingga dipuncak film Maria sukses sebagai penyanyi terkenal.

Penonton akan mengira Bing akan berhasil mendapatkan Maria ketika di sukses, tetapi salah. Setelah berhasil nyanyi di panggung dan mendapat respon yang baik, Bing hanya bilang, selamat, kamu akan menjadi penyanyi yang terkenal, setelah itu Maria memperkenalkan laki-laki misterius itu ke Bing sebagai cowoknya. Dengan entengnya Maria mengucapkan terima kasih dan pergi begitu saja dengan cowoknya. Ending yang baik sekali. Nyaa serasa menyindir beberapa produser atau yang mendongkrak penyanyi dan artis yang sedang rumor saat itu dalam kasus yang sama. Cuma disini ending sangat baik karena BIng tidak berhasil mendapatkan Maria. Maria hanya butuh jasa Bing sampai mengangkat dia saja, setelah itu dia pergi dengan cowoknya di mata Bing. Nyaa tidak membuat adegan Bing termenung lama-lama atau memperlihatkan ke stressan Bing yang selama ini dimanfaatkan oleh Maria. Tetapi kepergian Maria hanya menampilkan tatapan kosong Bing hanya beberapa menit saja, lalu Cut, ke rutinitas rumah tangga seperti awal film, ternyata istrinya Bing sedang sibuk membuat sarapan untuk Bing. Sekarang Bing yang diatas kasur, tidur, sedang istri membuat sarapan. Istri kini sayang pada BIng karena ia takut di tinggal Bing ke wanita lain, mengingat kerjaan Bing sangat memungkinkan hal itu. Dan Bing semakin sayang pada istrinya. Ending yang bagus, karena tidak sampai menghancurkan rumah tangga si tokoh, tetapi memperbaikinya menjadi hal yang lebih baik. Sangat bijak endingnya.

Selain kemasalan dalam bentuk beberapa penyanyi/group band yang terkenal saat itu, kemasan yang lucu kha Nyaa Abbas, yang paling tidak masuk akal adalah kurangnya adegan yang memperlihatkan apa alasan istrinya takut Bing meninggalkannya. Kalau dibilang materi, keluarga BIng biasa-biasa saja, toh diawal film diperlihatkan istrinya tidak peduli sama Bing. Dan di ending film istri mau merubah sikapnya hanya takut kalau ditinggal bing ke wanita lain. Kalau Nyaa ingin mendapatkan respon dari penonton agar merestui jatuh hati Maria ke Bing (memang penonton mendukung mereka, lalu setelah penonton melihat Maria pergi begitu saja dengan pacarnya ketika dia sudah di puncak sukses,...penonton mulai membenci Maria dan simpatik kasihan pada Bing. Lalu Bing kembali ke Istrinya..penonton juga bahagia). Tetapi hendaknya ada satu adegan atau peristiwa bahwa istrinya sanyang sama dia, dan takut ditinggalkan.


Film ini juga mendapatkan salut atas atristik yang dilakukan Ami priyono, sehingga memenangkan FFI penata artistik terbaik.

P.T. SAFARI SINAR SAKTI FILM

BING SLAMET
ANNA MATHOVANI
FIFI YOUNG
BENYAMIN S
KOES PLUS
TRIO BIMBO
DEDDY DAMHUDI
NUKE MAYA SAPHIRA
GOD BLESS

 
SEBUAH AMBISI BING SLAMET #1
 SEBUAH AMBISI BING SLAMET #2
SEBUAH AMBISI BING SLAMET #3
 SEBUAH AMBISI BING SLAMET #4
  SEBUAH AMBISI BING SLAMET #5
  SEBUAH AMBISI BING SLAMET #6
 SEBUAH AMBISI BING SLAMET #7
 SEBUAH AMBISI BING SLAMET #8
 SEBUAH AMBISI BING SLAMET #KLIP
 
News
SUMBER : INDONESIA RAYA, 20 JANUARI 1974 
Berusaha Tampilkan “Visi” Dalam Film2 Musik 

Ketika ber-omong2 dengan MIR, sutradara Nya Abas Akup yang baru lalu menangani film music “Ambisi” mengatakan, dalam menggarap film2 musik yang di Indonesia ini belum terlalu banyak, dia berusaha menampilkan dan mengolah hal2 lain dari yang telah ada. Istilah gagahnya berexperimen. Tetapi berhasil atau tidak experimennya tersebut, “hal itu saya serahkan pada penilaian masyarakat” demikian Nya Abas.

 Menurut sutradara yang pernah digossipkan dengan Debby Cintia Dewi ini, biasa lagu2 yang ditampilkan dalam film2 yang dimaksudkan sebagai “film musik” selalu dibawakan oleh tokoh2nya atau dinyanyikan dalam resepsi2, kelab2 malam dan sebagainya. Atau kalau tidak, dibawakan oleh si tokoh seperti dalam film2 India.

Tetapi Nya Abas mencoba menampilkan bagaimana jerih payah penyanyi, kehidupan suka dan duka penyanyi atau musikus2. Sehingga setiap penonton tidak hanya menghayati lagu2 yang dibawakan itu saja, tetapi sekaligus bisa menangkap visi, apa yang hendak disampaikan oleh si pencipta lagu atau si penyanyi tersebut. 

Bagaimana kita mampu mengajak penonton untuk ikut menukik kedalam dada si senimannya, haru dan merasakan apa yang dirasakan oleh si seniman tersebut, katakanlah ikut terliba tdengan pengalaman bathin si senimannya, demikian Nya Abas.

- Apakah film2 musik bisa popular dikalangan penonton Indonesia? Tanya MIR.
- Masalah popular atau tidak erat hubungannya dengan masalah selera penonton. Berbicara masalah selera penonton hal ini masih relatip. Soalnya bukan film music atau film drama dan sebagainya, tapi bagaimana pengolahannya dan penyajian kita terhadap penonton. Komunikatip atau tidak. Sebab mengukur selera penonton film Indonesia jangan hanya dengan barometer Jakarta saja. Buat masyarakat Jakarta atau satu dua kota besar menilai lagu2 Panbers, Mercys, sebagai lagu2 cengeng. Tetapi untuk daerah, kota2 seperti Cirebon, Semarang dan lain2nya, justeru lagu2 mereka jadi favorites masyarakat. Buat saya sendiri misalnya, lebih senang lagu2 yang dibawakan oleh God Bless. Tetapi apakah selera saya ini mewakili penonton? Jawaban yang berbentuk Tanya dari Nya Abas ini memang patut menjadi renungan cineas2 kita.

- Apakah akan mencoba menggarap film2 musik lagi?
- Ya. Ada tawaran dari seorang produser. Tapi karena saya masih manggarap film lain, sementara saya tangguhkan. Tapi keinginan untuk menggarap film2 musik memang ada. 



Kenapa Koes Plus di Penjara oleh Soekarno?
Ketika sebelum proklamasi, Sukarno berorasi, “beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengguncang dunia”, jelaslah bahwa empat orang di antaranya bukan dari jenis anak-anak pasangan Koeswojo dan Atmini. Khusus kepada Tony, Nomo, Yon, dan Yok, Sukarno yang kemudian menjadi presiden, menyiapkan pidato tersendiri yang dilontarkannya pada 17 Agustus 1965 di depan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia:

“Jangan seperti kawan-kawanmu, Koes Bersaudara. Masih banyak lagu-lagu Indonesia kenapa mesti Elvis-elvisan?”

Ketika pidato itu diucapkan, keempat anak Koeswojo sudah hampir dua bulan mendekam di penjara Glodok (Jakarta) dan menghuni sel nomor 15 bersama tiga tahanan lainnya. Mereka ditangkap 29 Juni 1965, setelah menyanyikan lagu The Beatles: “I Saw Her Standing There” di rumah seorang kolonel. Di tahun-tahun tersebut, barang siapa yang menggandrungi lagu-lagu Barat, dianggap kontra-revolusi dan terindikasi terlibat kegiatan subversif yang merong-rong budaya nasional.

Hari itu, karena peringatan ulang tahun kemerdekaan, Koes Bersaudara diberi jatah keluar sel dan boleh menerima tamu. Yang datang membesuk adalah sang adik, Koestami Koeswojo alias Miyik, ditemani personel grup band Dara Puspita yang diawaki Susi Nander, Titiek Hamzah, Titiek AR, dan Lies AR. Dara Puspita adalah kelompok musik yang sama-sama menggandrungi The Beatles, meski belakangan lebih memilih “taat hukum” dan berhenti memainkan tembang-tembang band asal Liverpool itu.

Sebagai selebritas, Tony, Nomo, Yon, dan Yok memang tak kurang pembesuk. Selain empat saudara kandungnya (Jon, Din, Miyik, dan Ninuk), para fans dan pacar juga datang silih berganti membawa aneka makanan. Apalagi saat itu mereka sudah tak lagi menghuni ruang isolasi seluas 2 x 2 meter. Ukurannya memang sedikit lebih besar dibanding sel Bung Karno di penjara Banceuy (Bandung) yang hanya 1 x 1,7 meter saat menulis “Indonesia Menggugat” pada 1930. Tapi mereka harus berdesakan empat orang dan hanya ditemani tikar, dengan jeruji besi ukuran besar. Belakangan, keempatnya dipindahkan ke ruangan yang lebih luas, bersama tiga tahanan lainnya: Saleh yang ditahan karena korupsi, serta Atun dan Rahin yang terlibat kasus pembunuhan.

Meski begitu, tak seujung rambut pun mereka menyentuh para personel Koes Bersaudara. Tony dan adik-adiknya bahkan bersahabat baik dengan Om Yopie, seorang tahanan senior yang nama aslinya Tan Sio Gie alias Hartanto. 

Dibui karena membunuh seorang polisi!

“Ya, kami waktu itu memang selebritis. Waktu Koes Bersaudara dimasukin situ, orang-orang pada teriak ‘hidup Koes Bersaudara! Hidup Koes Bersaudara!’ hahaha...” kenang Yon Koeswojo, sang vokalis.

Selain statusnya sebagai pesohor, salah satu kunci keselamatan mereka di dalam penjara karena hampir setiap malam, mereka menghibur para narapidana dengan lagu-lagu merdu, termasuk syair-syair gereja yang menyentuh dan membuat trenyuh. Para sipir pun menghargai dan senang dengan keberadaan mereka di sana, yang membantu mengurangi ketegangan atmosfir penjara.

“Di dalam tahanan, saya menemui manusia-manusia yang berjiwa paling besar. Terhukum yang rata-rata adalah sahabat-sahabat setia. Ketika kami dibebaskan, ada beberapa penjahat kaliber berat yang mencucurkan airmata. Sungguh mengejutkan. Mereka betul-betul merasa kehilangan kami,” kata almarhum Tony Koeswojo dalam sebuah wawancara dengan Ekspres, 4 Oktober 1971.

Yang dimaksud Tony sebagai “penjahat kaliber berat” itu tak lain adalah Om Yopie yang saat itu berperan sebagai voorman, yakni napi senior (dan biasanya paling ditakuti), yang dipercaya menjaga keamanan bui. Tony pun mencipta sebuah lagu untuk sang “Voorman” :

Voorman jangan dulu kunci kamarku
Tunggu sebentar permintaanku
Kan kupetik bunga biru

Sebulan sebelum pidato “Elvis-elvisan” Bung Karno yang menyindir Koes Bersaudara, surat kabar Harian Rakjat, Minggu 18 Juli 1965, sudah memuat karikatur bergambar empat personel The Beatles yang berpakaian Inggris lengkap dengan dasi kupu-kupu. Mereka diilustrasikan sedang berjingkrak-jingkrak. Di atas karikatur itu, ada gambar piringan hitam bertuliskan “Kabir Manikebu” yang retak akibat pukulan tangan yang bertulis “Komdak VII/Djaya”.

“Kabir Manikebu” adalah akronim dari Kapitalis Birokrat - Manifesto Kebudayaan. Istilah pertama adalah julukan yang disematkan kaum Kiri pada lawan-lawan ideologis mereka, sementara Manikebu adalah kelompok budayawan, sastrawan, dan cendikiawan yang berseberangan paham dengan kelompok komunis. Istilah “manikebu” sendiri adalah akronim olok-olok yang diambil dari “mani kebo” alias sperma kerbau. Dan karikatur empat personel Beatles itu sepertinya juga ditujukan untuk mengolok-olok empat anak lelaki Koeswojo yang meringkuk di Glodok.

Sebulan pertama di tahanan, tak henti-hentinya Tony dan ketiga adiknya diinterogasi tentang berbagai hal seputar kenekatannya mendendangkan lagu-lagu Beatles di panggung-panggung terbuka. Tapi karena jawaban yang mereka berikan tetap sama—karena suka dan diminta para penonton, alias tak ada alasan politis—maka interogasi pun dihentikan.

Aturan hukum yang mereka langgar adalah Penetapan Presiden Nomor 11/1963 yang melarang musik-musik cengeng atau berbau Barat, dinyanyikan. Alasannya, lagu-lagu seperti milik Elvis Presley atau The Beatles tidak menunjukkan karakter budaya Indonesia, mengajarkan hura-hura, kontra-revolusi, dan merupakan produk negara Barat seperti Inggris dan Amerika yang dibenci Presiden Sukarno karena mendukung terbentuknya negara Malaysia. Padahal, Sukarno sendiri sedang menggelorakan Komando Ganjang Malaysia, dan menganggap pembentukan negara tersebut adalah proyek perpanjangan tangan kapitalisme dan imperialisme global di Asia. Istilah sangarnya neokolim alias neo-kolonialisme.




Dus, judul Penetapan Presiden 11/1963 itu sendiri sebenarnya jauh lebih seram: Pemberantasan Kegiatan Subversi, yang juga diteken Sekretaris Negara, Mohammad Ichsan pada 16 Oktober 1963. Tentu saja di antara 20 pasal itu tak disebut secara gamblang tentang larangan menyanyikan lagu-lagu John Lennon atau Elvis Presley. Tapi di bagian Penjelasan, dinyatakan bahwa strategi, taktik, dan teknik kegiatan subversi itu “banyak dan beraneka ragam serta berubah dengan tipe perkembangan”.

Lalu muncullah rincian tentang apa-apa saja yang dapat dikategorikan sebagai “teknik kegiatan subversi”, seperti: (1) operasi psikologis lewat desas-desus, pamflet, surat kabar; (2) pengacauan ekonomi; (3) pengacauan politik; hingga; (4) kebudayaan, yaitu memasukkan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing untuk merusakkan kepribadian bangsa melalui kesenian.

Tak cukup dengan itu, Presiden Sukarno juga mengeluarkan Instruksi Presiden yang memerintahkan segenap komponen bangsa untuk kembali ke kepribadian dan budaya nasional, menyusul pidatonya yang menggelegar pada 17 Agustus 1964 yang tersohor dengan judul Tavip: Tahun Vivere Pericoloso alias nyerempet-nyerempet bahaya. Saking seriusnya dengan urusan kebudayaan asing ini, dibentuklah panitia khusus yang terdiri dari Oei Tjoe Tat, Adam Malik, dan Mayor Jendral Achmadi pada 22 September 1964 (Majalah Pantau, 21 Oktober 2001). Tugasnya menyusun rekomendasi langkah-langkah yang perlu diambil Presiden untuk mengatasi apa yang dianggap sebagai dekadensi moral dan budaya, terutama di kalangan generasi muda. Warga negara yang masih mendengarkan atau memainkan musik-musik ngak ngik ngok harus ditindak oleh polisi.

Ngak ngik ngok?

Sudah pasti itu istilah ciptaan Bung Karno, yang pertama kali diucapkan secara resmi dalam pidato kenegaraan peringatan proklamasi 17 Agustus 1959. Setelah mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli tahun yang sama, Sukarno mencanangkan tahun itu sebagai tahun “penemuan kembali revolusi kita” dan lalu memperkenalkan konsep Manipol-USDEK (Manifesto Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia).

“Dan engkau, hei pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi; engkau jang tentunja anti-imprialisme ekonomi, engkau jang menentang imprialisme politik; kenapa di kalangan engkau banjak jang tidak menentang imprialisme kebudajaan? Kenapa di kalangan engkau banjak jang masih rock ‘n roll - rock‘n rollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain-lain sebagainja lagi? Kenapa di kalangan engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu adalah imprialisme kebudajaan?”

Tahun itu The Beatles memang belum lahir. John Lennon baru merintis melalui sebuah kelompok musik yang ia namakan The Quarrymen, di mana James Paul McCartney, George Harrison, atau Ringo Starr belum lagi bergabung. Nama The Beatles sendiri baru muncul pada Agustus 1960 atau setahun setelah Sukarno berpidato. Jadi yang dirujuk oleh pidato “penemuan kembali revolusi kita” itu sepertinya lagu-lagu rock ‘n roll angkatan Elvis Presley, Everly Brothers, Tommy Sands, atau aliran musik yang di Inggris kala itu dikenal sebagai skiffle.

Saat pidato ngak ngik ngok tahun 1959 itu, Koes Bersaudara juga belum eksis. Baru Tony Koeswojo yang jadi “anak band” di sekolahnya lewat kelompok Gita Remaja yang ia dirikan bersama teman-temannya. Sementara adik-adiknya seperti Nomo, Yon, dan Yok belum bergabung dan lebih sering menonton sang kakak bermain musik di rumah. Tapi seruan Bung Karno itu terlanjur bergulir menjadi gerakan kebudayaan yang sangat kental nuansa ideologis. Kelompok komunis menyerang produk-produk kesenian Barat sembari menonjolkan apa yang mereka sebut sebagai kesenian rakyat, sementara kalangan kelas menengah terdidik menolak mengaitkan kesenian dengan sentimen politik dan ideologi. Saat Koes dibui, Juni 1965, beberapa seniman mendatangi kejaksaan dan meminta penjelasan tentang batasan musik dan irama seperti apa yang dibolehkan dan mana yang dilarang. (*)

KISAH CINTA ROJALI DAN ZULEHA / 1979

KISAH CINTA ROJALI DAN ZULEHA


Ini film baik sekali, semacam romeo dan julet, tetapi Nyaa mencampurkan dengan budaya Indonesia sendiri. Film ini saya senang sekali karena romantis dan lucu.


Rojali (Nanu Mulyono), bernama asli Rajauli, anak janda pemilik lapo atau warung (Titiek Puspa), jatuh cinta pada Zuleha (Lydia Kandou), anak keluarga tetangganya yang sangat kaya-raya. Orangtua masing-masing keberatan. Ayah Zuleha (Aedy Moward) adalah kawan seperjuangan ayah Rojali yang sudah meninggal, bahkan ia tinggal di rumah orangtua Rojali secara cuma-cuma. Ia kaya raya dengan cara tidak halal, bahkan tanah ibu Rojali hendak diambilnya karena tidak ada surat-suratnya seperti tanah-tanah lain. Karena itu ketika tahu Rojali jatuh cinta pada Zuleha, ibunya berusaha memutuskan dengan mengundang Saloma (Elvy Sukaesih), penyanyi dangdut yang digilai. Usaha ini gagal, begitu juga usaha ayah Zuleha. Waktu pertengkaran dua orangtua itu terjadi, tanpa sengaja diketemukan surat-surat tanah yang asli. Maka keluarga Zuleha harus pergi, karena tanah itu milik ibu Rojali. Zuleha berketetapan memutuskan hubungan. Ia lebih mementingkan kehormatan keluarga. Dan Rojali kembali ke ibunya. Nya Abas menampilkan dan mengorek kelucuan, sekaligus sindirannya terhadap cinta murni itu sendiri, maupun terhadap beberapa masalah sosial.
 P.T. INEM FILM

LYDIA KANDOU
NANU MULYONO
TITIEK PUSPA
AEDY MOWARD
KARDJO AC-DC
FERRASTA
ELVY SUKAESIH
KRISHNA PURWANA
FARIDA PASHA
MARIE KUSMANA
TAUFIK
RACHMANA

KIPAS-KIPAS CARI ANGIN / 1989

KIPAS-KIPAS CARI ANGIN


Sebagaimana film Nja Abbas Akup lainnya, film ini penuh sindiran sosial. Lokasi peristiwanya saja sudah menunjukkan niat itu: sebuah kampung kumuh yang berdempetan dengan gedung megah. Kisahnya adalah manusia-manusia dari kampung kumuh itu. Bawuk (Raja Emma) akhirnya sadar hidupnya runyam, karena suaminya Badrun (Eeng Saptahadi) tidak bekerja dan enak-enakan ganti-ganti cewek, sementara Bawuk sendiri banting tulang. Tile yang bekerja di sebuah hotel mewah yang terletak di balik kampung kumuh itu, membawa harapan baru: dicari tenaga kerja wanita (TKW) untuk Timur Tengah. Untuk itu harus ada kontes dulu yang diselenggarakan oleh Bambang (Mathias Muchus). Niatnya bukan cari TKW, tapi maksud jahat. Bawuk terselamatkan.
 P.T. KANTA INDAH FILM

RAJA EMMA
EENG SAPTAHADI
MATHIAS MUCHUS
NURUL ARIFIN
ULLY ARTHA
DIDI PETET
DEDDY MIZWAR
DJOHAN DJEHAN
TILE
AMI PRIJONO
GALEB HUSEIN
MISYE ARSITA
 


KARMINEM / 1977

KARMINEM


Kisah tentang janda Karminem (Titiek Puspa) yang bosan hidup di kota dan pulang mudik. Di desa ia disambut dengan segala kecemasan ibu-ibu yang tak menyukai profesi Karminem. Anak-anak mereka yang ingin belajar nyanyi diseret pulang. Anak-anak tak putus asa. Setelah belajar, mereka naik pentas di pesta kelurahan. Para orangtua terharu dan sejumlah tanda terima kasih mengalir ke Karminem. Tampil pula pelawak-pelawak dari Surya Group yang tidak seperti saat film "Inem Pelayan Sexy", tidak mendapat tempat cukup untuk melontarkan kelucuannya, terutama Jalal. Jalal di sini mengincer adik Karminem, sementara Heri Koko mengincar Karminem. Dua orang ini merasa mengincar satu orang, hingga sering salah paham. Nya Abas sekadar membanyol kali ini, meski tetap ada sindiran di sana-sini: belajar nyanyi karena ingin kaya; menyanyi dengan mulut dimonyong-monyongkan agar serius; Karminem bersilat bak jagoan dalam film Mandarin.

N.V. PERFINI

TITIEK PUSPA
JALAL
HERRY KOKO
SUPRAPTO
SUNARYO
NUKE AFFANDY

 
NEWS
“Karminem” sudah rampung

Sementara itu Nyak Abbas Acup sibuk merampungkan produksi Perfini yang berjudul “Karminem” yang berlokasi di Malang, Surabaya dan sekitarnya. Ia rupanya begitu gandrung dengan kemantapan gaya dan akting dari Ayub Jalal yang dedengkotnya group lawak Surya. Dalam film “Karminem” yang juga berhaha-hihi dengan sentilan tajam yang dialamatkan pada “lingkungan desa”, Nyak Abbas Acup sekaligus mengangkut oknum-oknum Surya Group untuk tampil bersama, disamping Titiek Puspa, Nuke Affandy dan Benny Gaok. Dan film “Karminem” ini merupakan kebangkitan kembali produksi Perfini yang tahun-tahun belakangan ini nampak tidak begitu aktif berproduksi. Selain Nyak Abbas Acup yang bertindak selaku pengarang ceritera, skenario juga sutradara dibantu oleh asstradanya Muchlis Raya, pimpinan produksi Surya dan produser pelaksana Indrawan Hartanu. “Karminem” ini akan banyak mencerminkan “wajah” Indonesia, dan diharapkan film tersebut juga bisa mencapai box office pula dalam peredarannya.

BONEKA DARI INDIANA / 1990

BONEKA DARI INDIANA


Egy (Didi Petet) adalah seorang suami yang berada di bawah kekuasaan istrinya, Cece (Lydia Kandou), dalam segala hal, urusan kantor maupun urusan rumah. Lebih jauh lagi, Egy pun berada di bawah pengaruh mertuanya, Yudho (Ami Prijono). Demi sebuah proyek besar, Egy diperintah mendekati Eya (Meriam Bellina), wanita simpanan seorang pejabat berpengaruh. Perkenalannya dengan Eya membuat Cece cemburu, tapi juga membuat Egy sadar akan usaha mertuanya yang tidak perduli lingkungan. Ia mulai memberontak dan berhenti jadi boneka. Kehidupannya sebagai suami juga "normal" kembali. Sebuah film sindiran sosial khas Nya Abbas Akub.



P.T. PARKIT FILM

MERIAM BELLINA
LYDIA KANDOU
DIDI PETET
IDA KUSUMAH
AMI PRIJONO
SUSI ADELLA
EENG SAPTAHADI


 News
13 April 1991
Pemberontakan sebuah boneka

BONEKA DARI INDIANA Pemain: Meriam Bellina, Didi Petet, Lidya Kandouw, Eeng Saptohadi Sutradara/Skenario: Nya' Abbas Akup Produksi: Parkit Film EGI (Didi Petet) takluk pada istrinya (Lidya Kandouw). Karena ia merasa mendapat hidup dari mertuanya yang konglomerat. Ia jadi boneka, yang harus menurut, mesti selalu bilang ya. Kehadiran seorang tetangga cantik, Eya (Meriam Bellina), membuat istrinya cemburu buta. Egi sempat dikunci dalam kamar, karena ditakutkan akan main belakang. Tapi justru karena dikekang, Egi menerobos genting rumah dan bertandang ke tetangga dengan santai. Tetangga lain meneror dengan mengirimkan potret Egi bersama Eya. Istri pun naik pitam dan lapor pada orangtua (Ami Prijono dan Ida Kusuma). Anehnya, sang mertua malah meminta Egi meneruskan hubungan gelap guna mendapatkan surat izin penampungan limbah berbahaya dari luar negeri. Karena wanita di sebelah itu adalah peliharaan seorang babe gede (Bob Sadino). Akhirnya Egi berhasil mendapatkan izin. Tetapi ketika mertuanya bergembira-ria dan tidak menghiraukan pesan bahwa limbah itu bisa berbahaya pada masyarakat, Egi terpanggil.

Ia naik ke kursi dan merobek surat itu. "Saya sudah bosan disuruh-suruh dan mengatakan ya," katanya, lalu pergi. Demikianlah pemberontakan Nya' Abbas Akup (almarhum) dalam filmnya yang terakhir: Boneka dari Indiana. Sebuah film yang bertaburan sentilan halus pada kehidupan sosial, tetapi juga lucu. Kali ini yang ditembak adalah kelas pemburu duit dengan tokoh-tokoh yang karikatural. Sambil memamerkan Egi sebagai simbol boneka Indonesia yang hanya pintar mengangguk-angguk. 

Almarhum juga menampilkan tokoh-tokoh sampingan yang merupakan fenomena sosial. Karikatur pelayan yang berontak dari kaidah umumnya pelayan. Ia tampil genit dan pecicilan. Seakan berebut fokus dengan majikannya yang menjadi peran utama. Muncul juga tokoh pegawai menengah (Eeng Saptohadi) yang suka membohongi istri dan kencan dengan orang lain. Tapi satu saat KO karena istrinya membalas telak: pulang larut dengan alasan persis sebagaimana yang biasa diucapkan suaminya. Nya' Abbas lewat film ini terasa meledak. Ia tak dapat lagi menahan diri untuk tidak menyemburkan semuanya. Tetapi, sementara itu, humornya tak kehilangan gigitan. Setiap ada peluang, tak henti-hentinya ia menampilkan anekdot-anekdot kecil yang jeli. Tentang si konglomerat yang mengeluh terhadap anak muda yang dianggapnya sudah tidak bermoral lagi, sementara di tangannya tergeber majalah Playboy. Contoh yang khas almarhum: ketika Egi mencatat pesan-pesan istrinya di telapak tangan. Setelah seabrek pesan, Egi memperlihatkan catatan itu pada penonton: ternyata gambar kepala yang bagai menyala-nyala. Kita langsung teringat film Mat Dower, ketika tokoh yang dimainkan S. Bagio memperlihatkan peta yang sedang dibacanya: ternyata hanya sobekan teka-teki silang.

Sejak Tiga Buronan, Mat Dower, Bing Slamet Koboi Cengeng, Inem Pelayan Seksi, Rumah Susun, dan kini Boneka, Nya' Abbas teguh pada kubunya. Ia menampilkan gagasan -- yang terpenting dalam sebuah film adalah gagasan. Ide. Masyarakat adalah sumber dan sekaligus sasaran, karena itu filmnya jadi komunikatif. Dikemas dengan anekdot-anekdot, kritik yang jeli dan tajam itu menjadi ramah. Mampu mendarat baik pada masyarakat bawah maupun atas. Buat saya, ini hebat. Karena biasanya, bila orang tak jelas memihak, risikonya bisa fatal. Ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, almarhum diterima. Seperti yang diucapkan oleh K.H. Zainuddin M.Z., yang berceramah sebelum acara preview Boneka ini, Ahad pekan lalu, Nya' Abbas Akup adalah seorang penari yang lihai merespons suara gendang. Ia tahu situasi. Ia melenturkan dialognya sehingga teradaptasi oleh situasi, tanpa bisa dicap sebagai pelacuran. Almarhum adalah seorang pemberontak yang santun. Kritiknya keras dan lantang tetapi penuh seloroh dan hangat. Dalam Boneka, Nya' Abbas memperlihatkan betapa rakusnya manusia memburu uang. Tak peduli limbah dapat merusakkan kehidupan (digambarkan dengan anak sekolah dan bayi yang terpaksa pakai masker) asal bisa membuat lebih kaya. Lewat Egi, Nya' Abbas memekikkan kebebasan. Cabut dari kehidupan mengangguk itu. Orang harus berani mengambil risiko dan memilih jalan yang dibenarkan oleh hati nuraninya.

Almarhum mengakhiri filmnya dengan optimistis. Manusia yang gemar mengangguk itu pada suatu saat akhirnya akan merdeka dan bebas. Masalahnya hanya soal waktu.

Sayang sedikit, cerita sampingan yang sebenarnya justru menambah warna gebrakan ini sempat mengganggu karena banyak pemain kurang terkontrol. Tokoh pelayan, misalnya, bermain amat mentah. Memang ada pemain berkelas seperti Didi Petet, Meriam Bellina, Lidya Kandouw, dan Eeng. Mereka sebenarnya sebuah tim yang kuat. Tetapi almarhum ketika mengerjakan film ini agaknya begitu memanjakan ide-idenya yang datang deras dan tak sempat memperhatikan pertukangannya. Maklum, kondisi fisiknya tidak seprima ketika ia menghasilkan Inem Pelayan Seksi. Film ini tidak untuk dinilai, tetapi dinikmati sebagai peninggalan terakhir almarhum. Sebagai sebuah dialog, ia utuh, lantang, memikat, dan amat khas Nya' Abbas. Hal itu membuat kita merasa bertambah kehilangan lagi. Seorang pengamat sosial yang mampu menyampaikan kritik dengan senyum tapi "membunuh" telah tiada. Putu Wijaya

NEWS
SUMBER : POS FILM No. 933-hal. 2 1991

Bercanda Dalam Duka Dengan Pak Abbas 
Ini bukan judul film olahan Ismail Soebardjo. Cuma pengalaman mahal yang dialami saya dengan Nya Abbas Akup pada pertengahan Desember 1990. Pak Abbas, begitu saya sering memanggilnya manakala berdialog dengannya. Kisahnya saat penggodokan film Boneka Dari Indiana di Villa Cinere Mas, Jakarta Selatan. Pagi yang cerah itu saya sedang asyik membicarakan dalang gaek itu sehubungan semangat kerjanya yang tinggi. Biar sering chek up ke dokter, Pak Abbas setia mengarahkan pemain untuk kepentingan film produksi PT. Parkit Film itu.


Selama lima menit kami ngobrol, tiba-tiba mobil unit Colt L 300 berhenti, yang dibicarakan turun diikuti Sofia, pelawak Srimulat. Yang mengenakan kaos (T.Shirt) putih kumal, Pak Abbas menghampiri kami. Mukanya yang pucat mendadak berseri setelah mengetahui saya berada di lokasi filmnya. ”Hei, kirain siapa. Apa kabar?” sapanya. Ia langsung mengajak saya menuju ruang tamu rumah yang dipergunakan untuk shooting. Seperti biasanya pembicaan kami mulai dengan hal-hal yang serius, tapi selingan humor tidak ketinggalan menyertai suasana.


Kebetulan bulan itu sedang gesit-gesitnya Pantap Festival Film Indonesia (FFI) menggelar acara-acara menarik. Lalu saya juga memintanya untuk ngomong tentang FFI. ”Akh, buat saya FFI biasa-biasa saja. Saya yakin film supaya ditonton orang, kok,” tegasnya. (PF: 912, 30 September 1990). 

Obrolan pun terus bergulir sampai nyerempet pada persoalan koderisasi pada perfilman nasional. Rupanya Pak Abbas tak mau perduli dengan sekelilingnya termasuk teman akrabnya yang mulai menjuruskan diri mereka pada unsur finansil. ”Sampai hari ini kamu (PF Red) kan tau saya masih pake kaos lecek. Yang ada pada film kita adalah tengkulak. Maka tengkulak ini bertingkah seperti ijon. Saya terkadang menangis sambil tertawa melihat kenyataan ini. Sehubungan itu saya tidak sudi mengamati seksama film kita. Tahun ini aja hanya tiga judul film nasional yang saya tonton,” jelas Abbas. 

Satu jam Pak Abbas sempat menenggak empat botol Coca Cola. ”Ini termasuk minuman keras untuk kondisi saya kayak begini. Tapi biarlah yang menentukan umur bukan tengkulak itu, kok. Maksud saya Tuhan lebih berkuasa dari kalangan tengkulak,” katanya datar. Wajahnya tampak pucat dan kakinya yang sebelah kanan mulai dijulurkan. ”Duh, pegel nich. Kali ini pengaruh tengkulak menyerang kaki saya ha....ha....ha...,” tambahnya lagi.


Tengkulak yang dimaksud Pak Abbas boleh saja berkeliaran, dan mencundangi khasanah perfilman kita. Secara tidak langsung Pak Abbas tidak rela, tapi ia juga tidak mampu bereaksi. Apalagi setelah serangan jantungnya mulai mampir lagi pada Rabu (13/2). Maka Tuhan pun tak kenal kompromi dan memanggil sutradara besar ini Kamis (14/2). Tubuhnya berbaring pucat di RS Jantung Harapan Kita. Bercanda dalam duka belum selesai dan Pak Abbas menjanjikan saya untuk ketemu manakala Boneka Dari Indiana sudah digelar di bioskop ”Aku butuh kritik,” tandasnya. (Eddy Mukhtadil).

NEWS
SUMBER : HARIAN NERACA, Senin 1 April 991
Boneka Nyak Abbas Akub dari Indiana 
NYAK ABBAS AKUB tetap mengajak bercanda. Dalam nada kenes, penuh cemburu dan kecurigaan, ketakutan dan tertekan, juga fitnah dan serakah. Tentu saja melalui suara yang dihembuskan oleh para pemainnya, alat ekspresinya. Denganidiom-idiom bernalar politik, ekonomi dan sosial dia menggapai dari dalam kubur yang ditempatinya sejak 14 Februari 1991.


Idiomatik kekuatan film-film Nyak Abbas yang kita kenal selama ini. Idiomatik, yang membuatnya akrab dengan masyarakat penonton. Dalam lihatan yang lebih dalam ‘penonton’ film-film Nyak Abbas adalah memang publik, yang menyukai dan karenanya bisa menikmati film bagus. Bahwa Nyak Abbas selalu tampil dengan ‘baju’ tematik yang mengundang senyum sekulum sampai tawa ternganga, adalah karena itulah gaya dasarnya. Bukan lantaran produser (yang memodali karya Nyak Abbas) sekedar berhitung dengan tema-canda yang pasti laris punya. 

LIHATLAH Ir. Giardi alias Egi (Didi Petet), yang lantaran alasan cinta istri menjadi lelaki yang tidak lebih dari pelayan dari Cece (Lidya Kandou), istri yang telah memberikannya segala: cinta, kekayaan, kekuasaan dalam satu perusahaan. Egi tidak perduli bahwa hal paling hakiki, yakni kebebasan, telah dikorbankannya. Apa peduli? Bukankah setiap perjuangan memerlukan pengorbanan? Ya. Itulah plesetan yang dilakukan dalam canda Nyak Abbas Akub yang untuk film “Boneka Dari Indiana” bertindak total merancang cerita, menyusun skenario dan visualisasinya sebagai sutradara.


“Apa ada juga boneka dari Indonesia?” Egi bertanya pada Eya (Meriam Bellina) tetangga, janda yang kolektor boneka. “O, ada, ada, ini…”, dan Eya menyentuh kepada boneka yang ditanya Egi. Dalam puluhan jumlah boneka dari berbagai negara ‘karena masing-masing mencerminkan khasnya’ maka kepala boneka itu mengangguk, terus mengangguk-angguk.


Dan dalam kepasrahannya di bawah kekuasaan isterinya, Egi mau saja ketika mertuanya justru menyuruhnya ‘menggarap’ Eya, simpanan seorang tokoh yang punya kekuasaan dalam menentukan suatu bisnis yang bisa mengorbankan masyarakat banyak.


Tetapi Egi tampil melawan pada saat-saat akhir. Rekomendasi yang sudah didapat dari sang tokoh melalui Eya, dihancurkannya dihadapan bapak ibu mertua (Ami Priyonodan Ida Kusumah) serta Cece. Egi tak mau mengorbankan masyarakat untuk kepentingannya. Dan yang terkesan adalah, bahwa kepasrahan yang keterlaluan sejak awal sesungguhnya sesuatu keputusan Egi untuk mengorbankan diri sendiri untuk tidak menyusahkan orang lain yang lebih banyak.


Nyak Abbas Akub, satu asset perfilman Indonesia memang telah tiada. Tetapi dia sudah mematerikan kekhasan gaya dalam karya-karya filmnya. “Bagai seorang da’i yang bertugas mengungkap kebenaran meski dia tertindih kekuasaan”, kata KH Zainuddin MZ.


Bahwa dengan keterampilan sinematik yang luar biasa, Nyak Abbas telah mengolah media film sebagai sarana curahan ekspresi kesenimanannya, dengan idiom-idiom yang diangkatnya dalam bungkusan sendau-gurau, dan membuat karyanya akrab dengan publik, adalah hal yang akan terhapus dari sejarah hidup dan kekaryaan Nyak AbbasAkub.


Adakah penerus yang bisa menapaki jejak Nyak Abbas? Yang lebih terpaku pada niat menuntaskan karya daripada memperebutkan penghargaan? Nyak Abbas telah banyak mencetak pemain handal, memunculkan karyawan profesional sekelas Piala Citra. Tetapi tak sebuahpun karya Nyak Abbas atau dia sendiri sebagai sutradara yang ditandai dengan Piala Citra sebagai simbol supremasi kekaryaan dalam perfilman Indonesia.


Kenapa? “Soalnya, film-film Nyak Abbas selalu sarat dengan gagasan. Terlalu banyak ide yang ingin dia tampilkan dalam satu film; yang akhirnya tidak seluruhnya dapat terselesaikan”, kata H. Rosihan Anwar, kerabat kerja almarhum ketika di Perfini yang sohor karena ketegaran Bapak Perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. “Nilai seorang seniman, memang pada karyanya, apakah dapat dekat dengan masyarakat sendiri”, kata Nyak Abbas Akub suatu kali. Dan itulah yang dijembatani olehnya dengan idiom-idiom kemasyarakatan.

CINTAKU DI RUMAH SUSUN / 1987



Sebuah sketsa karikatural tentang kehidupan di rumah susun sederhana yang penghuninya beraneka ragam. Salah satunya Somad (Deddy Mizwar) pegawai pabrik bir yang sudah cukup umur tapi dilarang pacaran oleh kakeknya, sementara Badrun (Doyok. S) mengajari bagaimana supaya cepat dapat istri. Meski sudah diajari Somad sering gagal. Padahal Zuleha (Eva Arnaz) tetangga lain di rumah susun itu, mencoba mengganggu Cuma dia adalah simpanan seorang bandit, Gandun (Galeb Husein). Begitu juga gadis nakal lain sering memasukkan lelaki kerumahnya. Lalu diperlihatkan juga kepada ketua RT yang genit, Asmuni (Asmuni). Ada janda Mastun (Rima Melati) yang menunggak sewa rumah terus-terusan. Pergaulan mereka ini yang menjadi liku-liku sketsa. 

Dalam sketsa itu ditarik sebuah jelujuran kisah. Somad yang ngebet pacaran, akhirnya bias menarik hati Erika (Meta Armys) anak Gandum yang kaya raya. Ia terpaksa membolehkan anaknya berkawan dengan Somad karena informasi dirinya diketahui Badrun. Ketika partner banditnya, Sandrak (Kadir) kabur dari penjara dan menanyakan Zuleha pacarnya. Gandun mengaku tak tahu . Celakanya Sandrak naksir Enka, Somad yang ngebet ternyata salah duga tentang Enka. Ia yang keburu jatuh cinta, ternyata Enka hanya menganggap bersahabat, Somad akhirnya dapat gadis tetangga rumah susun juga yang disepelekannya. Gadis itu diajari Zuleha tentang cara-cara menarik lelaki , Gandun ketahuan Sandrak ketika hendak membawa pergi Zuleha, Sandark sendiri ditangkap hansip karena membuat onar. Pistolnya tanpa sengaja meletus.
 P.T. PARKIT FILM

EVA ARNAZ
DEDDY MIZWAR
RIMA MELATI
ASMUNI
DOYOK SUDARMADJI
DOYOK SUDARMADJI
TILE
TUTI INDRA MALAON
ZAINAL ABIDIN
GALEB HUSEIN
YANA ZEIN
META ARMYS

NEWS
08 Agustus 1987Cintaku, rumahku, duniaku
INI dia, rumah susun di tepi rel kereta api dengan penghuni yang padat. Di situ tinggal janda separo baya yang rada genit, Mastun namanya. Di kamar sebelahnya bercokol ketua RT yang suka main biola, Asmuni. Lalu ada Somad, pegawai bagian kebersihan yang belum juga punya pacar, dalam usia meluncur senja. Somad dilarang berpacaran oleh kakeknya, dengan alasan bikin repot dan takut "kecelakaan". Adik Somad, perempuan, belum juga laku-laku, mungkin karena cerewetnya kebangetan. Sementara itu, di lantai paling bawah, ada seorang nenek yang seharian duduk saja di kursi, sambil melamunkan keindahan masa lalu, manakala ia tinggal di pekarangan luas, lengkap dengan sekawan itik dan kambing. Lalu di lantai paling atas, bermukim Zuleha, gadis genit bahenol, simpanan seorang kaya bekas perampok. Eha, panggilan Zuleha, hidup dalam kemewahan, mandi pun pakai bir. Dari penghuni yang beragam dan perangai yang berbeda inilah, Nya' Abbas merangkum cerita. Begitu lancar caranya, seperti tanpa beban apa-apa. Tak terkesan adanya protes. Bandingkan dengan serial Inem Pelayan Sexy (1976) tempat Abbas menyindir orang kaya baru. Atau karyanya setahun lalu. Semua Karena Ginah yang lebih dipadati kritik soaial.

Plot cerita ini pun mirip karya Abbas terdahulu, memakai gaya ketoprak atau Srimulat. Fokus cerita tak ada, atau malah tak penting. Tanpa fokus, cerita toh tidak melebar malah terbingkai di rumah susun, tepatnya di tangga rumah susun. Film toh tak juga membosankan, antara lain berkat kecermatan juru kamera F.E.S. Tarigan. Semua penghuni rumah susun mendapatkan porsi yang sama. Janda Mastun (Rima Melati) kedatangan tamu lelaki yang segera memancing kecurigaan Ketua RT Asmuni. Sementara itu, Zuleha (Eva Arnaz) naksir Somad (Deddy Mizwar), tapi lelaki ini begitu minder dan bloon di hadapan cewek. Somad pun mendapat tekanan dari adik perempuannya (Jajang C. Noer), yang amat benci pada ulah Eha. Rumah susun itu pun tiap hari bising dengan pertengkaran, belum lagi orang harus bicara setengah berteriak, kalau kereta api lewat. Toh sesekali penonton dibawa keluar rumah susun, menemui keluarga Gandon (Galeb Husin) yang rumahnya sangat mewah. Dia inilah yang menyimpan Eha di rumah susun. Kemudian penonton tahu, Eha itu sesungguhnya puya Sandrak (Kadir), teman Gandon sewaktu jadi perampok, yang mendekam di penjara. Sandrak berhasil melarikan diri dari penjara, lalu menuntut upaya Eha dikembalikan. Lantaran tak juga ketemu Eha, Sandrak pun jadi naksir Enka, anak gadis Gandon.

Kebetulan Somad juga naksir Enka -- satu cara Nya' Abbas untuk menghadirkan masalah perbedaan kelas. Dalam upayanya mengejar Enka, Sandrak, yang "dilarikan" Somad tiba di rumah susun dan, eh, ketemu Eha. Nah, seperi Srimulat, kan? Lewat Rumah Susun ini Abbas menyajikan humor yang tak terduga-duga. Bagaimana nenek yang selalu termangu-mangu di kursi itu tiba-tiba bisa begitu gesit mencuri dua botol bir, yang disembunyikan di lipatan kainnya. Atau anak kecil yang menunggu di jendela, kalau-kalau ada kiriman. Sesekali ia berhasil menggaet bakso, kali lain roti. Agaknya, Nya' Abbas kenal betul rumah susun. "Keponakan saya tinggal di rumah susun," kata sutradara yang pendiam ini. Film ini terasa segar, juga karena pemainnya mendapat porsi yang sama, bermain bagus, hingga tak ada yang sempat menonjol. Doyok bermain lebih bagus dibandingkan dalam Ginah. Dan seperti biasa Kadir sangat lucu kalau mendapat naskah yang pas, dan Abbas menyediakannya. Eva Arnaz pun kali ini tak sekadar pamer tubuh, tapi berusaha mengimbangi permainan Deddy Mizwar Rima Melati, Jajang, dan sebagainya. Wajar kalau Cintaku meraih nominasi film terbaik FFI 87, selain memperoleh 6 nominasi unsur-unsurnya -- sutradara, fotografi, penata artistik, tata suara, cerita asli, dan skenario.

SEMUA KARENA GINAH / 1985

SEMUA KARENA GINAH


Hampir sama dengan Inem yang menggegerkan para Majikan hingga mengoyah negara dengan profesi pembantu. Kini giliran Jamu Gendong yang membuat geger. 

Meski hanya tukang jamu gendongan, Ginah (Zoraya Perucha) pembawaannya menarik. Penampilan Ginah terlihat luwes dan menggairahkan. Keramahan ternyata berakibat "Cinta Segi Banyak". Semua pria dari segala tingkatan, jatuh cinta pada Ginah. Ketika Ginah masih seperti biasa, mereka sangat gampang bertemu. Kemudian Ginah menjadi terkenal dan kaya, karena ia jadi model sebuah perusahaan jamu. Fotonya terpampang dalam koran-koran dan majalah. Ginah malah menjadi resah.

P.T. PARKIT FILM

FULL MOVIE

INEM PELAYAN SEXY / 1976

INEM PELAYAN SEXY


Film terlaris I di Jakarta, 1977, dengan 371.369 penonton, menurut data Perfin. yang banyak memancing ketawa adalah pemain A. Jalal, tubuh besar, tinggi, logat Maduranya berat dan mainnya lincah. Meskipun untuk pertamakalinya bermain film, ia bukan orang baru dalam dunia tontonan. Ia anggota kelompok lawak Surya Group yang muncul dengan kesengaran tetapi kemudian lebih banyak mengulangi sukses semula.

 
Abbas menulis cerita dan skenarionya. Abbas menyediakan dialoq yang berfungsi bagi Jalal, Bakat lawakannya, anak Suarabaya itu amat wajar dan boleh. Pelajaran yang terpenting dalam film ini adalah, untk membuat film komedi dengan atau tanpa pelawak cerita bisa dibuat berdasarkan kenyataan sehari-hari. Dari hidup sekeliling kita memang terlalu banyak hal yang punya potensi untuk bahan lelucon.

Cerita ini seputar peranan Babu di kota metropolitan. Diadegan awal film diperlihatkan betapa kacau keluarga Cokro (Aedy Moward) lantaran ditinggal babunya, masuk kerja terlambat, nyonya (Titik Puspa) tidak sempat ke salon (apalagi arisan) dan anak-anak terpaksa numpang mandi di rumah temannya. Setelah dapat babu yang kebetulan cantik persoalannya juga belum selesai. Sang tuan pun tertarik pada tubuh babu dan nyonya terpaksa kebagian terus ronda malam. Tetapi ketika nyata nahwa atasan tuan Cokro yang bernama tuan Bronto (A.Jalal) jatuh hati pada babu Inem (Doris Callebout), seorang pun yang berdaya tidak mengontrilnya.

Sebagai tukang ejek nomor 1, Abbas memang mempunyai pengamatan yang tajam. Dialoq ditulisnya dengan pas dan tepat. Tingkah laku babu, tuan dan nyonya serta anak-anak mereka digambarkan dengan baik. Bahkan pengetahuan Abbas mengenai sosiologi kabar angin pun patut dibanggakan. Perhatikan pada adegan ngonya-nyonya bersibuk membicarakan kabar perkawinan tuan Broto dengan babu Inem. Berita ini bersumber dari nyonya Cokro. Melewati sejumlah nyonya yang menyebarkan berita lewat telpon -kabar yang sama tiba kembali pada sumbernya. Cuma isi berita sudah berubah, sebab yang kini jadi korban adalah tuan Cokro. Bahkan dikabarkan bahwa nyonya Cokro minta cerai dari suaminya, tentu saja berabe.

Film ini memang untk bikin tertawa. Tapi Abbas ingin menyatakan sesuatu dalam filmnya. Sembari menyindir nyonya-nyonya kelas 1 yang sok dengan kepalsuan, lewat film ini Abbas ingin menyatakan, babu pun bila mendapat kesempatan, bahkan bisa sama seperti nyonya-nyonya kelas satu itu.

Setelah kawin dengan Jalal, Inem (tidak pakai ganti nama) tiba-tiba berbicara sama seperti nyona-nyonya yang dulu pernah diladeninya. Sangkin bersemangatnya Inem berpidato (mengenai rakyat yang menderita karena banjir, wabah penyakit dan sebagainya) dibagian akhir film kita terpaksa mencurigai Inem ini. Ternyata pidato itu diminta oleh Abbas sendiri. Ini memang ganjil dalam film, Inem yang hanya kelas 2, bagaimana bisa ia pidato tentang rakyat kecil? Ataukah ini mungkin dari lubuk hati Inem sebagai orang kecil juga dulunya, penderitaan itu ia rasakan juga, sehingga ia bisa pidato. Disaat tumpukan film komedi saat itu, film ini segar.




NEWSJAKARTA,  

INEM Ralis manis 
Sutradara Nyak Abbas Acup “lulusan” Perfini yang anak didik sineas Usmar Ismail (almarhum) itu kian berhasil dalam film berjenis komedi. Nyak Abbas Acup melalui film “Inem Pelayan Sexy” telah berhasil menggelitik perut masyarakat Ibukota dan sekitarnya dengan komedi segar yang sekaligus pahit. Memang dalam perkara “mengejek” peristiwa yang biasa dijumpai sehari-hari, bagi Nyak Abbas Acup nampaknya sudah mendarah daging. Ia begitu memanfaatkan “komedi manusia” yang terkadang menyakitkan bagi pihak yang tersentil. Dan hebatnya lagi dalam film “Inem Pelayan Sexy” yang cuma menghabiskan modal pembuatan sejumlah Rp.60 juta. Dalam masa peredaran yang baru beberapa minggu saja telah mengumpulkan uang sekitar Rp.100 juta, ini “tentu saja menambah rangsang kami untuk melanjutkan kisah Inem bagian ke duanya. Kami yakin Nyak Abbas Acup akan dapat mengeduk uang yang sama besarnya”, demikian Indrawan Hartanu pelaksana produksi dari Candi Dewi Film yang ditemui Buana SMF, di ruang kerjanya. Dan para pendukung-pendukungnya untuk film mendatang “Inem Pelayan Sexy” bagian ke 2 itu tetap seperti film pertamanya, hanya ditambah group “Surya” yang terdiri dari Herry Koko, Jalal, Suprapto Wibowo, dan Sunaryo. Start apnamenya diperkirakan pada 20 April dengan berlokasi di Jakarta dan sekitarnya.




14 Mei 1977
Pelayan sexy

"SIAPA bilang nama saya Doris Syarifah? Ini kan kerjanya Nya' Abbas Acub!". Pemegang peran dalam film Inem Pelayan Sexy nama sebenarnya adalah Doris Rita Callebaut. Ayahnya, Emil Callebaut (yang berbapak Belgia dan ibu Sumenep) karyawan film. Seperti pengakuan Emil Callebaut, Doris lahir di dalam studio Tan Eng Wong Bros Film di Jatinegara, Jakarta, 26 tahun lalu. "Waktu umurnya 3 bulan Doris malah sudah main film", kata Emil. Tahun 1952, dalam film Kesuma Hati diperlukan seorang bayi. "Biarpun sebetulnya saya tidak tega karena lampu film keras sekali", kata Emil lagi. "Dan rupanya kariernya memang di film. Yah, mau bilang apa?". Doris sendiri, setelah Inem Pelayan Sexy laris, menyatakan: "Main film itu enak". Dia mengaku untuk Inem, Doris mendapat honor satu juta rupiah.

Tiga buah film yang pernah diterjuninya: Embun Pagi Gembong Jakarta dan Marina. Tapi rupanya baru Inem Pelayan Sexy yang bisa mengorbitkan namanya. Juga sebuah rumah yang nyaman ("Ini rumah kontrakan, setahun lagi habis") dan sebuah mobil baru telah membuat kehidupan Doris dan kedua anaknya (Larasati, 4 tahun dan Nyo Nyo, 2 tahun) serta adik-adiknya, lebih enak. Kehidupan Doris penuh liku-liku dan rumit juga. Ibu Doris, seorang wanita berasal dari Ciamis dan bernama Wilhelmina, bercerai dengan suaminya, Emil. Umur Doris waktu itu 5 tahun. Menurut pengakuan Emil, Wilhelmina ada main dengan orang lain - dan ini mengakibatkan Doris dan adik-adiknya harus masuk asrama St. Vincentius, Jatinegara. Emil yang tidak punya rumah, sering tidur di studio Persari -- dan berkenalan dengan seorang penata rias dari Sala yang bernama Poniah. Menikahlah mereka.

Doris, selepas dari asrama dan unat SGTK Santa Maria, menikah dengan Supono. Kawin muda, dan sering bertengkar, mereka menghasilkan Larasati lantas bercerai. Dia menikah lagi dengan Panggabean dengan hasil Nyo Nyo. "Karena dia main serong, sayapun main serong", kata Doris yang memang suka blak-blakan. Lalu mereka pun bercerai pula. 

Hingga kini dia belum berniat menikah lagi. Janda kembang ini, ketika ditanya apakah kalau menikah lagi dia akan pilih pejaka atau duda, sambil berkelakar menjawab: "Mana ada perjaka di Jakarta. Kalau mau perjaka cari di desa. Tapi yang penting adanya kesesuaian". Berkulit halus, bertubuh yahud dengan tinggi badan 160 cm dan berat 50 kg, perempuan ini seperti dibayangi bintang terang kini. Candi film dengan produser Andi Suharto akan membuat cerita Inem Pelayan Sexy seri kedua dengan Doris tetap sebagai peran utama. Meskipun film seri kedua kerapkali lebih jelek dari seri pertama, tapi banyak yang memastikan untuk masa-masa mendatang bintang baru ini bisa dengan mudah mengalahkan bintang film seperti Yati Octavia. Doris memang dinilai lebih mantap. Siapa tahu ini berkat liku-liku hidupnya sendiri yang beragam. Sebelum main film, Doris pernah punya profesi yang agak kontradiktif. Pertama, sekeluarnya dari SGTK, Duris mengajar di Taman Kanak-kanak Polonia selama dua tahun. Rupanya ibu guru yang cantik ini tidak bisa bertahan karena gajinya kecil. Dia pindah kerja -- di sebuah klab malam, sebagai hostes. Tapi untuk semua itu Doris berkata: "Saya ingin membenamkan masa lalu saya". 

NEWS
SUMBER : , 24 Mei 1977
Omong-omong dengan sutradara “Inem” Nyak Abbas Akub:

Tidak mengira kalau mau jadi sutradara
Beribu atau juta orang yang sudah membaca huruf-huruf yang terangkai menjadi sebuah nama Nyak Abbas Akub. Berapa jumlah orang yang sudah mengenal orang yang empunya nama tersebut. Sampai-sampai pada suatu acara Cepat Tepat di TVRI beberapa waktu yang lalu nama Nyak Abbas Akub beserta karyanya “Inem Pelayan Sexy” dijadikan bahan pertanyaan. Berarti pada saat-saat ini nama-nama tersebut sedang menjadi pusat perhatian orang. Tetapi dari sekian banyak orang, berapa yang sudah mengenal siapa dan bagaimana Nyak Abbas Acup yang banyak disebut itu?


Dalam kesempatan bertemu dengan “Buana” di Wisma Seni Taman Ismail Marzuki, Nyak Abbas Akub mengatakan bahwa dia tinggal disini (Wisma Seni) karena memang di Jakarta dia tidak mempunyai tempat tinggal. Dikatakannya, semua keluarganya ada di kota Bandung. Maksudnya isterinya dan 5 orang anak-anaknya.


Sewaktu “Buana” datang, Nyak Abbas Akub sedang menghadapi beberapa orang yang ternyata adalah seorang wartawan dari salah satu media, dan yang lain adalah staf karyawan film “Karminem” yang sedang digarap Nyak Abbas. Sambil tiduran diatas ranjang bersusun dalam suatu kamar yang tidak besar yang dipenuhi dengan empat buah ranjang kayu bersusun, Nyak Abbas memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan wartawan itu kadang-kadang disela dengan perintah-perintahnya kepada karyawan/anak buahnya. “Buana” datang, baru dia beranjak dari tidurnya dan keluar menemui. Masih tetap menggunakan baju tidur kotak-kotak biru putih. Sedang wartawan beserta wartawan film yang tadi berada didalam kamar terus pergi. Perawakan kekar, dengan potongan tidak terlalu tinggi. Rambut agak keriting sampai kebelakang telinga. Pandangan mata tajam serta bibirnya agak mengatup.


Gambaran seorang laki-laki yang keras dan ulet. Membaca atau mendengar namanya disebut, asosiasi orang pasti mengira bahwa Nyak Abbas Acub berasal dari pulau perca Sumatera. Perkiraan ini tidak seratus presen benar. Walau ada benarnya bahwa ayahnya adalah orang dari ujung Sumatera yaitu Aceh, namun ibunya orang Jawa. Sedangkan Nyak Abbas sendiri menyatakan bahwa dia merasa sebagai Arek Malang tulen kota dimana dia dilahirkan, dibesarkan, dibina dan dididik sampai dia lulus SMA. Barulah dia pindah ke Jakarta melanjutkan di Fakultas hukum U.I.


Menceritakan kisahnya sampai dia “kesasar” jadi orang film atau sutradara, dalangnya film “Inem Pelayan Sexy” ini mengatakan bahwa dulunya dia cuma iseng-iseng atau mencari tambahan uang pembayar kuliah. Ketika ada iklan di Koran, dia mencoba melamar bersama sekian ratus orang. Yang pasang iklan adalah Pak Usmar Ismail almarhum. Ternyata setelah melalui testing dia bersama 8 orang lainnya diterima di Perfini. Akhirnya yang sembilan orang itu tinggal 4 orang yaitu dia sendiri, MD Alief, Suwardjono dan Nur Alam. Oleh almarhum H. Usmar Ismail mereka dididik sebagai asissten sutradara. Rencana yang tadinya hanya bertujuan


untuk mencari tambahan uang pembayar kuliah, berobah sama sekali setelah merasakan enaknya bekerja dibidang perfilman. Dan ternyata pula yang sampai sekarang aktif dan berhasil sebagai sutradara hanya dia sendiri dari ke empat orang yang dididik almarhum Usmar.


Menjawab pertanyaan kenapa pada umumnya film yang di sutradarainya adalah jenis komedi, yaitu “Heboh” yang dibuat tahun 1954. “Lalu kenapa sampai sekarang tetap menyukai jenis itu?” tanya “Buana”. “Mungkin itu karena sikap. Biar begini, saya ini orangnya senang guyon. Segala sesuatu saya hadapi dengan tertawa. Yah…pokoknya orang Malang deh”. 

Perasaan saya sering tergerak menyaksikan peri kehidupan babu 

? TERBAYANG, BAGAIMANA HARUS MENYEBUT ...... INGGIH NDORO ..... DIJAMAN SEKARANG INI ? PARA BROKER LEBIH PINTAR PILIH JUDUL HINGGA SUKSES 

Tentang film “Inem Pelayan Sexy” sutradara yang wajahnya mirip-mirip aktor WD Mochtar mengatakan bahwa sebenarnya cerita yang terkandung hanyalan khayalannya belaka. Tidak terjadi benar-benar.


“Perasaan saya sering tergerak menyaksikan peri kehidupan orang-orang mempunyai profesi sebagai babu atau pelayan. Saya sering membayangkan bagaimana perasaan mereka ketika harus menyebut inggih ndoro…inggih ndoro di zaman seperti sekarang ini. Juga sering tergerak hati saya, apabila pelayan dirumah saya sendiri harus membuatkan dan menghidangkan kopi untuk tamu-tamu saya pada tengah malam. Itulah yang menggerakkan saya agar membuat ceritera tentang mereka. Tetapi bukan dramatisnya yang saya tonjolkan melalui komedi, saya ingin menyampaikan pesan bahwa orang-orang seperti mereka juga berhak untuk mencintai 
dan dicintai”.


Nyak Abbas Acub menceritakan betapa terharunya dia tatkala film tersebut diputar dirumah Pak Domo (Kaskopkamtip), ada seorang Jenderal yang mengatakan : “Saya salut, bahwa anda masih mengingat orang kecil”. Tentang judul “Inem Pelayan Sexy” sendiri, sutradara yang kalau bicara agak grotal-gratul (tidak lancar), ini mengaku bahwa itu adalah bukan gagasannya. “Kalau judul cerita saya yang asli adalah ‘Kisah Inem Seorang Babu’. Kemudian dirubah menjadi ‘Babu Sexy’. Judul ini tidak diijinkan oleh Deppen. Dan atas permintaan para broker dirubah menjadi ‘Inem Pelayan sexy’. Dalam hati kecil saya, saya kurang setuju karena ada embel-embel Sexy-nya itu. Ternyata judul tersebut membantu suksesnya film itu. Jadi terbukti bahwa para broker lebih pinter dalam memilih judul yang komersiil daripada kita pembuatnya. Contoh lain yang pernah saya alami, judul ‘Tiga Buronan’ yang dibintangi almarhum Bing Slamet, judul asli yang saya berikan adalah ‘Tugas Di Daerah’. Dan film tersebut juga bagus peredarannya.”


Menurut keterangan sutradara yang sudah menggarap film lk. 35 judul ini, membuat film komedi itu susah. Seringkali ide yang keluar dari para pemain sendiri, walaupun pemainnya adalah para pelawak, tidak pernah pas dengan kemauan sutradara. Masih ada yang kurang atau kadang-kadang malah lebih atau over. Sebab yang dikehendaki adalah bukan badut membadut. “Dan akhirnya saya merasa bahwa ada satu kekuatan yang menuntun kita diluar kekuatan kita. Untuk itulah sebagai rasa terimakasih, saya tidak pernah melupakan sembahyang dan puasa tiap hari Senin dan Kamis”.


“Bagaimana prosesnya, sehingga Doris-lah yang terpilih sebagai pemeran Inem” tanya “Buana”. “Pertama, soalnya kami sudah terdesak waktu. Pertamakali saya melihat dia (Doris), tidak ada rasa tertarik sedikitpun. Sebab apa? Sebab yang saya hadapi lagi-lagi orang yang masih keturunan orang asing atau Indo. Sedangkan yang saya harapkan adalah type Indonesia dengan segala keasliannya. Tetapi setelah melalui beberapa test, baru timbul sedikit keyakinan bahwa dia bisa dan mampu melakukan adegan yang saya kehendaki nanti. Yang paling saya senangi pada dirinya adalah disiplin”. “Saya dengar anda akan membuat Inem ke II. Kapan mulai?”. 

saya sering tergerak menyaksikan peri kehidupan babu 

? MEMBUAT FILM SAMA DENGAN PUNYA ANAK, KITA HARUS TETAP MENYAYANGI SEMUA 

“Inilah yang menjadi problem bagi saya. Problem ini saya dasarkan pada pengalaman yang ada bahwa pengulangan atas cerita atau judul, pada umumnya tidak akan sukses. Misalnya ada judul Godfather, disini Ateng Godfather. Ada Tiga Dara menyusul Asmara Dara.


Saya sendiri jadinya kurang yakin. Sebab disini nama saya lagi yang dipertaruhkan. Sedangkan dari para broker, uang sudah sebagian masuk ketangan producer. Pelan2 dulu deh, sambil saya menyelesaikan cerita yang lain dulu”. “Sebagai sutradara yang menangani Inem Pelayan Sexy, kemudian anda menyaksikan dilayar, apakah anda juga melihat kekurangan? Terutama pada permintaan artisan?” “Kalau soal kekurangan atau kesalahan …. Yah kita manusia mas. Tidak ada yang sempurna. Untuk para pemain, sebenarnya saya melihat JALAL agak over. Tetapi itu menurut saya yang membuat. Menurut penonton, justru ke-over-an itulah yang membuat mereka tertawa. Jadi serba susah kan?” 

“Apakah anda bisa menerangkan, apa kunci suksesnya peredaran film ini?” 
“Justru pertanyaan ini akan saya kembalikan kepada anda. Melalui suratkabar anda, anda bisa bertanya kepada masyakarat ramai, apa yang telah menarik mereka untuk meluangkan waktu menonton film saya. 

Sebab, kemarin disini juga terjadi sedikit perdebatan tentang apa penyebab suksesnya Inem Pelayan Sexy. Sekian banyak seniman mempunyai pandangan yang ber—beda2 pula. Ada yang mengatakan karena judulnya, ada yang bilang pemainnya, Jalal dan Doris, ada yang tertarik karena omongan orang lain, dan ada pula yang mengatakan karena sutradaranya adalah saya. Saya kira demikian juga dengan masyarakat umum, masing2 mempunyai pendapat sendiri2.” “Tetapi kenapa producernya sendiri justru kurang yakin akan berhasilnya film ini? Sehingga film ini di fletkan sedemikian murah, padahal kita bisa mengira2 berapa jumlah pemasukan yang ada.” “Soalnya producer ini masih terbilang baru. Jadi masih punya sifat ragu2, walau saya sendiri sudah mendorongnya. Yah…., mungkin sudah hokkienya sebegitu. Tetapi untuk luar Jakarta dan luar Jawa ditangani sendiri. Dan itu dilakukannya jauh sebelum 
beredar di Jakarta”. “Satu soal lagi. Dari sekian puluh film yang anda paling, film apa saja yang anda sukai?” 

“Begini mas. Menurut pendapat saya membuat film itu sama dengan punya anak, yang satu nakal, yang lain kolokan. Yang lain lagi pendiam. Tetapi sebagai orangtua, kita tetap menyayangi atau menyenangi semuanya. Begitu juga film. 

Sedangkan proses pembuatannya hampir sama juga dengan orang yang melahirkan. Ada yang gampang tetapi ada juga yang susah. Membuat film juga begitu. Ada yang cepat kalau producernya cepat uangnya. Yang lambat ya……kalau producernya pelit.” 
“O.K. terimakasih atas keterangan2nya.” 
“Sama2 dan tolong sampaikan bahwa saya masih butuh kritik yang lain. Sebab kritik yang pernah dilontarkan kepada saya dan karya saya, tidaklah seperti kritik yang saya harapkan”. 

“Buana” meninggalkan Wisma Seni, Nya’ Abbas Acup menuju kamar mandi, dengan janji sorenya ketemu di rumah Titiek Puspa untuk mengambil photo. “Kenapa dirumah Titiek Puspa?” 
“Ya….ini kan hari Kamis. Saya mau berbuka puasa disana” jawab Nya’ Abas (Kend).