BONEKA DARI INDIANA
Selama lima menit kami ngobrol, tiba-tiba mobil unit Colt L 300 berhenti, yang dibicarakan turun diikuti Sofia, pelawak Srimulat. Yang mengenakan kaos (T.Shirt) putih kumal, Pak Abbas menghampiri kami. Mukanya yang pucat mendadak berseri setelah mengetahui saya berada di lokasi filmnya. ”Hei, kirain siapa. Apa kabar?” sapanya. Ia langsung mengajak saya menuju ruang tamu rumah yang dipergunakan untuk shooting. Seperti biasanya pembicaan kami mulai dengan hal-hal yang serius, tapi selingan humor tidak ketinggalan menyertai suasana.
Kebetulan bulan itu sedang gesit-gesitnya Pantap Festival Film Indonesia (FFI) menggelar acara-acara menarik. Lalu saya juga memintanya untuk ngomong tentang FFI. ”Akh, buat saya FFI biasa-biasa saja. Saya yakin film supaya ditonton orang, kok,” tegasnya. (PF: 912, 30 September 1990). Obrolan pun terus bergulir sampai nyerempet pada persoalan koderisasi pada perfilman nasional. Rupanya Pak Abbas tak mau perduli dengan sekelilingnya termasuk teman akrabnya yang mulai menjuruskan diri mereka pada unsur finansil. ”Sampai hari ini kamu (PF Red) kan tau saya masih pake kaos lecek. Yang ada pada film kita adalah tengkulak. Maka tengkulak ini bertingkah seperti ijon. Saya terkadang menangis sambil tertawa melihat kenyataan ini. Sehubungan itu saya tidak sudi mengamati seksama film kita. Tahun ini aja hanya tiga judul film nasional yang saya tonton,” jelas Abbas. Satu jam Pak Abbas sempat menenggak empat botol Coca Cola. ”Ini termasuk minuman keras untuk kondisi saya kayak begini. Tapi biarlah yang menentukan umur bukan tengkulak itu, kok. Maksud saya Tuhan lebih berkuasa dari kalangan tengkulak,” katanya datar. Wajahnya tampak pucat dan kakinya yang sebelah kanan mulai dijulurkan. ”Duh, pegel nich. Kali ini pengaruh tengkulak menyerang kaki saya ha....ha....ha...,” tambahnya lagi.
Tengkulak yang dimaksud Pak Abbas boleh saja berkeliaran, dan mencundangi khasanah perfilman kita. Secara tidak langsung Pak Abbas tidak rela, tapi ia juga tidak mampu bereaksi. Apalagi setelah serangan jantungnya mulai mampir lagi pada Rabu (13/2). Maka Tuhan pun tak kenal kompromi dan memanggil sutradara besar ini Kamis (14/2). Tubuhnya berbaring pucat di RS Jantung Harapan Kita. Bercanda dalam duka belum selesai dan Pak Abbas menjanjikan saya untuk ketemu manakala Boneka Dari Indiana sudah digelar di bioskop ”Aku butuh kritik,” tandasnya. (Eddy Mukhtadil).
NEWS
SUMBER : HARIAN NERACA, Senin 1 April 991 Boneka Nyak Abbas Akub dari Indiana NYAK ABBAS AKUB tetap mengajak bercanda. Dalam nada kenes, penuh cemburu dan kecurigaan, ketakutan dan tertekan, juga fitnah dan serakah. Tentu saja melalui suara yang dihembuskan oleh para pemainnya, alat ekspresinya. Denganidiom-idiom bernalar politik, ekonomi dan sosial dia menggapai dari dalam kubur yang ditempatinya sejak 14 Februari 1991.
Idiomatik kekuatan film-film Nyak Abbas yang kita kenal selama ini. Idiomatik, yang membuatnya akrab dengan masyarakat penonton. Dalam lihatan yang lebih dalam ‘penonton’ film-film Nyak Abbas adalah memang publik, yang menyukai dan karenanya bisa menikmati film bagus. Bahwa Nyak Abbas selalu tampil dengan ‘baju’ tematik yang mengundang senyum sekulum sampai tawa ternganga, adalah karena itulah gaya dasarnya. Bukan lantaran produser (yang memodali karya Nyak Abbas) sekedar berhitung dengan tema-canda yang pasti laris punya. LIHATLAH Ir. Giardi alias Egi (Didi Petet), yang lantaran alasan cinta istri menjadi lelaki yang tidak lebih dari pelayan dari Cece (Lidya Kandou), istri yang telah memberikannya segala: cinta, kekayaan, kekuasaan dalam satu perusahaan. Egi tidak perduli bahwa hal paling hakiki, yakni kebebasan, telah dikorbankannya. Apa peduli? Bukankah setiap perjuangan memerlukan pengorbanan? Ya. Itulah plesetan yang dilakukan dalam canda Nyak Abbas Akub yang untuk film “Boneka Dari Indiana” bertindak total merancang cerita, menyusun skenario dan visualisasinya sebagai sutradara.
“Apa ada juga boneka dari Indonesia?” Egi bertanya pada Eya (Meriam Bellina) tetangga, janda yang kolektor boneka. “O, ada, ada, ini…”, dan Eya menyentuh kepada boneka yang ditanya Egi. Dalam puluhan jumlah boneka dari berbagai negara ‘karena masing-masing mencerminkan khasnya’ maka kepala boneka itu mengangguk, terus mengangguk-angguk.
Dan dalam kepasrahannya di bawah kekuasaan isterinya, Egi mau saja ketika mertuanya justru menyuruhnya ‘menggarap’ Eya, simpanan seorang tokoh yang punya kekuasaan dalam menentukan suatu bisnis yang bisa mengorbankan masyarakat banyak.
Tetapi Egi tampil melawan pada saat-saat akhir. Rekomendasi yang sudah didapat dari sang tokoh melalui Eya, dihancurkannya dihadapan bapak ibu mertua (Ami Priyonodan Ida Kusumah) serta Cece. Egi tak mau mengorbankan masyarakat untuk kepentingannya. Dan yang terkesan adalah, bahwa kepasrahan yang keterlaluan sejak awal sesungguhnya sesuatu keputusan Egi untuk mengorbankan diri sendiri untuk tidak menyusahkan orang lain yang lebih banyak.
Nyak Abbas Akub, satu asset perfilman Indonesia memang telah tiada. Tetapi dia sudah mematerikan kekhasan gaya dalam karya-karya filmnya. “Bagai seorang da’i yang bertugas mengungkap kebenaran meski dia tertindih kekuasaan”, kata KH Zainuddin MZ.
Bahwa dengan keterampilan sinematik yang luar biasa, Nyak Abbas telah mengolah media film sebagai sarana curahan ekspresi kesenimanannya, dengan idiom-idiom yang diangkatnya dalam bungkusan sendau-gurau, dan membuat karyanya akrab dengan publik, adalah hal yang akan terhapus dari sejarah hidup dan kekaryaan Nyak AbbasAkub.
Adakah penerus yang bisa menapaki jejak Nyak Abbas? Yang lebih terpaku pada niat menuntaskan karya daripada memperebutkan penghargaan? Nyak Abbas telah banyak mencetak pemain handal, memunculkan karyawan profesional sekelas Piala Citra. Tetapi tak sebuahpun karya Nyak Abbas atau dia sendiri sebagai sutradara yang ditandai dengan Piala Citra sebagai simbol supremasi kekaryaan dalam perfilman Indonesia.
Kenapa? “Soalnya, film-film Nyak Abbas selalu sarat dengan gagasan. Terlalu banyak ide yang ingin dia tampilkan dalam satu film; yang akhirnya tidak seluruhnya dapat terselesaikan”, kata H. Rosihan Anwar, kerabat kerja almarhum ketika di Perfini yang sohor karena ketegaran Bapak Perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. “Nilai seorang seniman, memang pada karyanya, apakah dapat dekat dengan masyarakat sendiri”, kata Nyak Abbas Akub suatu kali. Dan itulah yang dijembatani olehnya dengan idiom-idiom kemasyarakatan.
Egy (Didi Petet) adalah seorang suami yang berada di bawah kekuasaan istrinya, Cece (Lydia Kandou), dalam segala hal, urusan kantor maupun urusan rumah. Lebih jauh lagi, Egy pun berada di bawah pengaruh mertuanya, Yudho (Ami Prijono). Demi sebuah proyek besar, Egy diperintah mendekati Eya (Meriam Bellina), wanita simpanan seorang pejabat berpengaruh. Perkenalannya dengan Eya membuat Cece cemburu, tapi juga membuat Egy sadar akan usaha mertuanya yang tidak perduli lingkungan. Ia mulai memberontak dan berhenti jadi boneka. Kehidupannya sebagai suami juga "normal" kembali. Sebuah film sindiran sosial khas Nya Abbas Akub.
P.T. PARKIT FILM |
MERIAM BELLINA LYDIA KANDOU DIDI PETET IDA KUSUMAH AMI PRIJONO SUSI ADELLA EENG SAPTAHADI |
News
13 April 1991
Pemberontakan sebuah boneka
BONEKA DARI INDIANA Pemain: Meriam Bellina, Didi Petet, Lidya Kandouw, Eeng Saptohadi Sutradara/Skenario: Nya' Abbas Akup Produksi: Parkit Film EGI (Didi Petet) takluk pada istrinya (Lidya Kandouw). Karena ia merasa mendapat hidup dari mertuanya yang konglomerat. Ia jadi boneka, yang harus menurut, mesti selalu bilang ya. Kehadiran seorang tetangga cantik, Eya (Meriam Bellina), membuat istrinya cemburu buta. Egi sempat dikunci dalam kamar, karena ditakutkan akan main belakang. Tapi justru karena dikekang, Egi menerobos genting rumah dan bertandang ke tetangga dengan santai. Tetangga lain meneror dengan mengirimkan potret Egi bersama Eya. Istri pun naik pitam dan lapor pada orangtua (Ami Prijono dan Ida Kusuma). Anehnya, sang mertua malah meminta Egi meneruskan hubungan gelap guna mendapatkan surat izin penampungan limbah berbahaya dari luar negeri. Karena wanita di sebelah itu adalah peliharaan seorang babe gede (Bob Sadino). Akhirnya Egi berhasil mendapatkan izin. Tetapi ketika mertuanya bergembira-ria dan tidak menghiraukan pesan bahwa limbah itu bisa berbahaya pada masyarakat, Egi terpanggil. Ia naik ke kursi dan merobek surat itu. "Saya sudah bosan disuruh-suruh dan mengatakan ya," katanya, lalu pergi. Demikianlah pemberontakan Nya' Abbas Akup (almarhum) dalam filmnya yang terakhir: Boneka dari Indiana. Sebuah film yang bertaburan sentilan halus pada kehidupan sosial, tetapi juga lucu. Kali ini yang ditembak adalah kelas pemburu duit dengan tokoh-tokoh yang karikatural. Sambil memamerkan Egi sebagai simbol boneka Indonesia yang hanya pintar mengangguk-angguk.
13 April 1991
Pemberontakan sebuah boneka
BONEKA DARI INDIANA Pemain: Meriam Bellina, Didi Petet, Lidya Kandouw, Eeng Saptohadi Sutradara/Skenario: Nya' Abbas Akup Produksi: Parkit Film EGI (Didi Petet) takluk pada istrinya (Lidya Kandouw). Karena ia merasa mendapat hidup dari mertuanya yang konglomerat. Ia jadi boneka, yang harus menurut, mesti selalu bilang ya. Kehadiran seorang tetangga cantik, Eya (Meriam Bellina), membuat istrinya cemburu buta. Egi sempat dikunci dalam kamar, karena ditakutkan akan main belakang. Tapi justru karena dikekang, Egi menerobos genting rumah dan bertandang ke tetangga dengan santai. Tetangga lain meneror dengan mengirimkan potret Egi bersama Eya. Istri pun naik pitam dan lapor pada orangtua (Ami Prijono dan Ida Kusuma). Anehnya, sang mertua malah meminta Egi meneruskan hubungan gelap guna mendapatkan surat izin penampungan limbah berbahaya dari luar negeri. Karena wanita di sebelah itu adalah peliharaan seorang babe gede (Bob Sadino). Akhirnya Egi berhasil mendapatkan izin. Tetapi ketika mertuanya bergembira-ria dan tidak menghiraukan pesan bahwa limbah itu bisa berbahaya pada masyarakat, Egi terpanggil. Ia naik ke kursi dan merobek surat itu. "Saya sudah bosan disuruh-suruh dan mengatakan ya," katanya, lalu pergi. Demikianlah pemberontakan Nya' Abbas Akup (almarhum) dalam filmnya yang terakhir: Boneka dari Indiana. Sebuah film yang bertaburan sentilan halus pada kehidupan sosial, tetapi juga lucu. Kali ini yang ditembak adalah kelas pemburu duit dengan tokoh-tokoh yang karikatural. Sambil memamerkan Egi sebagai simbol boneka Indonesia yang hanya pintar mengangguk-angguk.
Almarhum juga menampilkan tokoh-tokoh sampingan yang merupakan fenomena sosial. Karikatur pelayan yang berontak dari kaidah umumnya pelayan. Ia tampil genit dan pecicilan. Seakan berebut fokus dengan majikannya yang menjadi peran utama. Muncul juga tokoh pegawai menengah (Eeng Saptohadi) yang suka membohongi istri dan kencan dengan orang lain. Tapi satu saat KO karena istrinya membalas telak: pulang larut dengan alasan persis sebagaimana yang biasa diucapkan suaminya. Nya' Abbas lewat film ini terasa meledak. Ia tak dapat lagi menahan diri untuk tidak menyemburkan semuanya. Tetapi, sementara itu, humornya tak kehilangan gigitan. Setiap ada peluang, tak henti-hentinya ia menampilkan anekdot-anekdot kecil yang jeli. Tentang si konglomerat yang mengeluh terhadap anak muda yang dianggapnya sudah tidak bermoral lagi, sementara di tangannya tergeber majalah Playboy. Contoh yang khas almarhum: ketika Egi mencatat pesan-pesan istrinya di telapak tangan. Setelah seabrek pesan, Egi memperlihatkan catatan itu pada penonton: ternyata gambar kepala yang bagai menyala-nyala. Kita langsung teringat film Mat Dower, ketika tokoh yang dimainkan S. Bagio memperlihatkan peta yang sedang dibacanya: ternyata hanya sobekan teka-teki silang.
Sejak Tiga Buronan, Mat Dower, Bing Slamet Koboi Cengeng, Inem Pelayan Seksi, Rumah Susun, dan kini Boneka, Nya' Abbas teguh pada kubunya. Ia menampilkan gagasan -- yang terpenting dalam sebuah film adalah gagasan. Ide. Masyarakat adalah sumber dan sekaligus sasaran, karena itu filmnya jadi komunikatif. Dikemas dengan anekdot-anekdot, kritik yang jeli dan tajam itu menjadi ramah. Mampu mendarat baik pada masyarakat bawah maupun atas. Buat saya, ini hebat. Karena biasanya, bila orang tak jelas memihak, risikonya bisa fatal. Ditolak oleh seluruh lapisan masyarakat. Nyatanya, almarhum diterima. Seperti yang diucapkan oleh K.H. Zainuddin M.Z., yang berceramah sebelum acara preview Boneka ini, Ahad pekan lalu, Nya' Abbas Akup adalah seorang penari yang lihai merespons suara gendang. Ia tahu situasi. Ia melenturkan dialognya sehingga teradaptasi oleh situasi, tanpa bisa dicap sebagai pelacuran. Almarhum adalah seorang pemberontak yang santun. Kritiknya keras dan lantang tetapi penuh seloroh dan hangat. Dalam Boneka, Nya' Abbas memperlihatkan betapa rakusnya manusia memburu uang. Tak peduli limbah dapat merusakkan kehidupan (digambarkan dengan anak sekolah dan bayi yang terpaksa pakai masker) asal bisa membuat lebih kaya. Lewat Egi, Nya' Abbas memekikkan kebebasan. Cabut dari kehidupan mengangguk itu. Orang harus berani mengambil risiko dan memilih jalan yang dibenarkan oleh hati nuraninya.
Almarhum mengakhiri filmnya dengan optimistis. Manusia yang gemar mengangguk itu pada suatu saat akhirnya akan merdeka dan bebas. Masalahnya hanya soal waktu.
Sayang sedikit, cerita sampingan yang sebenarnya justru menambah warna gebrakan ini sempat mengganggu karena banyak pemain kurang terkontrol. Tokoh pelayan, misalnya, bermain amat mentah. Memang ada pemain berkelas seperti Didi Petet, Meriam Bellina, Lidya Kandouw, dan Eeng. Mereka sebenarnya sebuah tim yang kuat. Tetapi almarhum ketika mengerjakan film ini agaknya begitu memanjakan ide-idenya yang datang deras dan tak sempat memperhatikan pertukangannya. Maklum, kondisi fisiknya tidak seprima ketika ia menghasilkan Inem Pelayan Seksi. Film ini tidak untuk dinilai, tetapi dinikmati sebagai peninggalan terakhir almarhum. Sebagai sebuah dialog, ia utuh, lantang, memikat, dan amat khas Nya' Abbas. Hal itu membuat kita merasa bertambah kehilangan lagi. Seorang pengamat sosial yang mampu menyampaikan kritik dengan senyum tapi "membunuh" telah tiada. Putu Wijaya
NEWS
SUMBER : POS FILM No. 933-hal. 2 1991
Bercanda Dalam Duka Dengan Pak Abbas Ini bukan judul film olahan Ismail Soebardjo. Cuma pengalaman mahal yang dialami saya dengan Nya Abbas Akup pada pertengahan Desember 1990. Pak Abbas, begitu saya sering memanggilnya manakala berdialog dengannya. Kisahnya saat penggodokan film Boneka Dari Indiana di Villa Cinere Mas, Jakarta Selatan. Pagi yang cerah itu saya sedang asyik membicarakan dalang gaek itu sehubungan semangat kerjanya yang tinggi. Biar sering chek up ke dokter, Pak Abbas setia mengarahkan pemain untuk kepentingan film produksi PT. Parkit Film itu.
NEWS
SUMBER : POS FILM No. 933-hal. 2 1991
Bercanda Dalam Duka Dengan Pak Abbas Ini bukan judul film olahan Ismail Soebardjo. Cuma pengalaman mahal yang dialami saya dengan Nya Abbas Akup pada pertengahan Desember 1990. Pak Abbas, begitu saya sering memanggilnya manakala berdialog dengannya. Kisahnya saat penggodokan film Boneka Dari Indiana di Villa Cinere Mas, Jakarta Selatan. Pagi yang cerah itu saya sedang asyik membicarakan dalang gaek itu sehubungan semangat kerjanya yang tinggi. Biar sering chek up ke dokter, Pak Abbas setia mengarahkan pemain untuk kepentingan film produksi PT. Parkit Film itu.
Selama lima menit kami ngobrol, tiba-tiba mobil unit Colt L 300 berhenti, yang dibicarakan turun diikuti Sofia, pelawak Srimulat. Yang mengenakan kaos (T.Shirt) putih kumal, Pak Abbas menghampiri kami. Mukanya yang pucat mendadak berseri setelah mengetahui saya berada di lokasi filmnya. ”Hei, kirain siapa. Apa kabar?” sapanya. Ia langsung mengajak saya menuju ruang tamu rumah yang dipergunakan untuk shooting. Seperti biasanya pembicaan kami mulai dengan hal-hal yang serius, tapi selingan humor tidak ketinggalan menyertai suasana.
Kebetulan bulan itu sedang gesit-gesitnya Pantap Festival Film Indonesia (FFI) menggelar acara-acara menarik. Lalu saya juga memintanya untuk ngomong tentang FFI. ”Akh, buat saya FFI biasa-biasa saja. Saya yakin film supaya ditonton orang, kok,” tegasnya. (PF: 912, 30 September 1990). Obrolan pun terus bergulir sampai nyerempet pada persoalan koderisasi pada perfilman nasional. Rupanya Pak Abbas tak mau perduli dengan sekelilingnya termasuk teman akrabnya yang mulai menjuruskan diri mereka pada unsur finansil. ”Sampai hari ini kamu (PF Red) kan tau saya masih pake kaos lecek. Yang ada pada film kita adalah tengkulak. Maka tengkulak ini bertingkah seperti ijon. Saya terkadang menangis sambil tertawa melihat kenyataan ini. Sehubungan itu saya tidak sudi mengamati seksama film kita. Tahun ini aja hanya tiga judul film nasional yang saya tonton,” jelas Abbas. Satu jam Pak Abbas sempat menenggak empat botol Coca Cola. ”Ini termasuk minuman keras untuk kondisi saya kayak begini. Tapi biarlah yang menentukan umur bukan tengkulak itu, kok. Maksud saya Tuhan lebih berkuasa dari kalangan tengkulak,” katanya datar. Wajahnya tampak pucat dan kakinya yang sebelah kanan mulai dijulurkan. ”Duh, pegel nich. Kali ini pengaruh tengkulak menyerang kaki saya ha....ha....ha...,” tambahnya lagi.
Tengkulak yang dimaksud Pak Abbas boleh saja berkeliaran, dan mencundangi khasanah perfilman kita. Secara tidak langsung Pak Abbas tidak rela, tapi ia juga tidak mampu bereaksi. Apalagi setelah serangan jantungnya mulai mampir lagi pada Rabu (13/2). Maka Tuhan pun tak kenal kompromi dan memanggil sutradara besar ini Kamis (14/2). Tubuhnya berbaring pucat di RS Jantung Harapan Kita. Bercanda dalam duka belum selesai dan Pak Abbas menjanjikan saya untuk ketemu manakala Boneka Dari Indiana sudah digelar di bioskop ”Aku butuh kritik,” tandasnya. (Eddy Mukhtadil).
NEWS
SUMBER : HARIAN NERACA, Senin 1 April 991 Boneka Nyak Abbas Akub dari Indiana NYAK ABBAS AKUB tetap mengajak bercanda. Dalam nada kenes, penuh cemburu dan kecurigaan, ketakutan dan tertekan, juga fitnah dan serakah. Tentu saja melalui suara yang dihembuskan oleh para pemainnya, alat ekspresinya. Denganidiom-idiom bernalar politik, ekonomi dan sosial dia menggapai dari dalam kubur yang ditempatinya sejak 14 Februari 1991.
Idiomatik kekuatan film-film Nyak Abbas yang kita kenal selama ini. Idiomatik, yang membuatnya akrab dengan masyarakat penonton. Dalam lihatan yang lebih dalam ‘penonton’ film-film Nyak Abbas adalah memang publik, yang menyukai dan karenanya bisa menikmati film bagus. Bahwa Nyak Abbas selalu tampil dengan ‘baju’ tematik yang mengundang senyum sekulum sampai tawa ternganga, adalah karena itulah gaya dasarnya. Bukan lantaran produser (yang memodali karya Nyak Abbas) sekedar berhitung dengan tema-canda yang pasti laris punya. LIHATLAH Ir. Giardi alias Egi (Didi Petet), yang lantaran alasan cinta istri menjadi lelaki yang tidak lebih dari pelayan dari Cece (Lidya Kandou), istri yang telah memberikannya segala: cinta, kekayaan, kekuasaan dalam satu perusahaan. Egi tidak perduli bahwa hal paling hakiki, yakni kebebasan, telah dikorbankannya. Apa peduli? Bukankah setiap perjuangan memerlukan pengorbanan? Ya. Itulah plesetan yang dilakukan dalam canda Nyak Abbas Akub yang untuk film “Boneka Dari Indiana” bertindak total merancang cerita, menyusun skenario dan visualisasinya sebagai sutradara.
“Apa ada juga boneka dari Indonesia?” Egi bertanya pada Eya (Meriam Bellina) tetangga, janda yang kolektor boneka. “O, ada, ada, ini…”, dan Eya menyentuh kepada boneka yang ditanya Egi. Dalam puluhan jumlah boneka dari berbagai negara ‘karena masing-masing mencerminkan khasnya’ maka kepala boneka itu mengangguk, terus mengangguk-angguk.
Dan dalam kepasrahannya di bawah kekuasaan isterinya, Egi mau saja ketika mertuanya justru menyuruhnya ‘menggarap’ Eya, simpanan seorang tokoh yang punya kekuasaan dalam menentukan suatu bisnis yang bisa mengorbankan masyarakat banyak.
Tetapi Egi tampil melawan pada saat-saat akhir. Rekomendasi yang sudah didapat dari sang tokoh melalui Eya, dihancurkannya dihadapan bapak ibu mertua (Ami Priyonodan Ida Kusumah) serta Cece. Egi tak mau mengorbankan masyarakat untuk kepentingannya. Dan yang terkesan adalah, bahwa kepasrahan yang keterlaluan sejak awal sesungguhnya sesuatu keputusan Egi untuk mengorbankan diri sendiri untuk tidak menyusahkan orang lain yang lebih banyak.
Nyak Abbas Akub, satu asset perfilman Indonesia memang telah tiada. Tetapi dia sudah mematerikan kekhasan gaya dalam karya-karya filmnya. “Bagai seorang da’i yang bertugas mengungkap kebenaran meski dia tertindih kekuasaan”, kata KH Zainuddin MZ.
Bahwa dengan keterampilan sinematik yang luar biasa, Nyak Abbas telah mengolah media film sebagai sarana curahan ekspresi kesenimanannya, dengan idiom-idiom yang diangkatnya dalam bungkusan sendau-gurau, dan membuat karyanya akrab dengan publik, adalah hal yang akan terhapus dari sejarah hidup dan kekaryaan Nyak AbbasAkub.
Adakah penerus yang bisa menapaki jejak Nyak Abbas? Yang lebih terpaku pada niat menuntaskan karya daripada memperebutkan penghargaan? Nyak Abbas telah banyak mencetak pemain handal, memunculkan karyawan profesional sekelas Piala Citra. Tetapi tak sebuahpun karya Nyak Abbas atau dia sendiri sebagai sutradara yang ditandai dengan Piala Citra sebagai simbol supremasi kekaryaan dalam perfilman Indonesia.
Kenapa? “Soalnya, film-film Nyak Abbas selalu sarat dengan gagasan. Terlalu banyak ide yang ingin dia tampilkan dalam satu film; yang akhirnya tidak seluruhnya dapat terselesaikan”, kata H. Rosihan Anwar, kerabat kerja almarhum ketika di Perfini yang sohor karena ketegaran Bapak Perfilman Indonesia H. Usmar Ismail. “Nilai seorang seniman, memang pada karyanya, apakah dapat dekat dengan masyarakat sendiri”, kata Nyak Abbas Akub suatu kali. Dan itulah yang dijembatani olehnya dengan idiom-idiom kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar