Sebuah kisah dengan latar belakang gagalnya perjanjian Linggar Jati. Tentunya adegan pendekatan romantic, baik terhadap kepahlawanan maupun kisah cinta di baliknya. Markas besar tentara di yogya memutuskan menarik semua kereta api yang ada di Yogya. Letnan Sudadi (Rizawan Gayo), letnan Firman (Pupung Haris) dan sersan tobing (Gito Rollies) ditugaskan mengawal kereta yang diberangkatkan dari Stasiun Purwokerto, Sudadi mengawal kereta pertama. Firman dan Tobing mengawal kereta terakhir. Perjalanan kereta terakhir yang penuh hambatan menjadi inti cerita. Para pengungsi yang memenuhi kereta dan serangan pesawat Belanda memperkaya alur cerita. Diselipkan juga kisah cerita antara Firman dan dua Retno yang ternyata gadis kembar.
P.J.K.A. P.P.F.N. |
GITO ROLLIES PUPUNG HARRIS DEDDY SUTOMO RIZAWAN GAYO MARLIA HARDI YANA FACHRIANA YENNIE FACHRIANI W.D. MOCHTAR SOFIA WD SOENDJOTO ADIBROTO H.I.M. DAMSJIK DODDY SUKMA |
Film ini cukup menarik, bukan hanya Gito Rollis saja yang memerankan dengan baik, tapi juga ini film perang yang pertama menggunakan Kereta Api sebagai latar cerita perjuangan mereka. Beberapa teman bilang film ini lain dari pada yang lain yang dibuat sebelumnya, yang dimana mereka fokus pada adegan besar peperangannya, wanita yang dicintai dan sebagainya. Tetapi dalam film ini sejarah tentang tentang mengantarkan kereta api yang terakhir dan harus sampai ke Jogja. Cerita yang cukup baik dari segi sebuah film petualangan, atau semacamnya, dimana penonton kebayang bagaimana rintangan membawa kereta api ini sampai tujuannya dengan selamat. Tentu ini yang membuat tangga dramatiknya tinggi, semakin dekat dengan kota tujuan mereka Jogjakarta, rintangan yang diberikan dalam film ini jauh lebih besar lagi. Yang menarik adalah bagaimana mereka berdiam di terowongan hijau untuk menghindari serangan udara sekutu. Film ini cukup heroisme sekali. Saya suka film ini, tangga dramatik dirasakan ketika menontonnya. Film perang Indonesia dalam bentuk lainnya.
NEWS
08 Desember 1984
Sekali peristiwa, pada sebuah kereta
KERETA API TERAKHIR Peran Utama: W.D. Mochtar, Gito Rollies, Sofia W.D., Deddy Sutomo Produksi: PPFN Sutradara: Mochtar Sumodimedjo DALAM upaya menghidupkan satu episode perang kemerdekaan
Indonesia, fllm ini sengaja memotret banyak hal: rakyat kecil, keadaan darurat, harakiri seorang perwira Jepang, dan sejumlah gerbong kereta api. Kisahnya juga mengambil tempat sepanjang rel kereta Purwokerto - Kroya - Yogyakarta. Kesan pertama, film telah bergerak dari stasiun ke stasiun secara lamban, dan hampir-hampir tanpa klimaks. Tema kepahlawanan dengan setting perkeretaapian sebenarnya masih baru bagi dunia film Indonesia, Jadi semestinya bisa sangat menarik. Namun, dinamika teknologi dan romantika revolusi, dua unsur yang menopang film ini, tampaknya kurang tergarap. Gambar-gambar kelihatan pucat dan suasana tidak terbangun. Letnan Firman, misalnya, sebagai tokoh utama tidaklah mesti legendaris seperti Audie Murphy dalam To Hell and Back. Tapi untuk sebuah kisah kepahlawanan ia pun tidak diizinkan berlagak biasa-biasa saja. Mungkin ia tidak perlu dihadirkan istimewa, dan juga tidak dltuntut untuk setiap kah memaki "busyet!" seperti tokoh yang diperankan Bambang Hermanto dalam Pejuang. Hanya rasanya ia tidak layak mondar-mandir begitu saja, tersenyum begitu mudah dan ramah, hingga tidak sediklt pun tampak revolusioner. Karena Firman ditampilkan biasa, pegawai PJKA juga biasa, dan pemuda Batak yang diperankan Gito Rollies begitu pula, maka gelora dan gejolak perang kemerdekaan tidak kunjung tersua.
Padahal, Firman ditugasi memboyong dan menyelamatkan sejumlah besar gerbong kereta api. Ia harus mengamankan sarana angkutan yang vital itu ke Yogya, ke daerah Republik. Dan sesuai dengan kisahnya film ini dibuat berdasarkan buku Keretaapi Terakhir ke Yogya karya Pandir Kelana Firman berhasil menembus blokade udara. Kereta api terakhir yang dikawal Firman memang diserang habis-habisan. Sementara gerbong paling belakang digasak api, di terowongan Ijo, yang dimaksudkan untuk tempat perlindungan, tiba-tiba pula dihajar ledakan. Melihat adegan terjepit begini, mengapa penonton tidak kebat-kebit? Kecemasan penumpang ataupun semangat perlawanan Firman ternyata tidak sempat menggugah. Sampai di sini harus diakui dramatisasi cerita sangat lemah. Penulis skenario agaknya terlalu setia pada jalan cerita, dan sutradara kurang pula menghayati, katakanlah, apa yang disebut momen-momen revolusi. Di samping itu, terkesan adanya keyakinan pada diri pembuat film bahwa ciri kolosal yang ditempelkan ke situ sudah menjamin segala-galanya. Digerakkannya ratusan figuran untuk meramaikan film ini tentulah cukup mengejutkan juga. Hanya saja eksperimen itu tampak berhenti sebagai eksperimen semata - ada rakyat jelata diteror, mereka tidak berdaya, tapi penonton tidak jatuh kasihan melihatnya. Mengapa? Rakyat malang itu bukan mewakili siapa-siapa. Tidak sedikit pun terkilas informasi yang bisa membangkitkan simpati penonton pada mereka. Hal serupa terjadi pada Retno Widuri, pemuda Batak, bahkan pada pahlawan PJKA. Memang ada kilas balik yang cukup panjang untuk menunjang perwatakan Firman, tapi itu pun tidak memperkuat motivasi kepemimpinan letnan itu. Apakah sebuah peristiwa bersejarah dianggap terlalu besar hingga para pelakunya tidak lagi penting? Yang pasti, sutradara telah melihat revolusi dari luar.
Ibarat para peneliti melongok dokumen sejarah: dingin, berjarak, dan tidak tergugah. Mochtar begitu pula, memotret peristiwa demi peristiwa tanpa rasa akrab dengan obyeknya. Skenario, tata suara, dan musik yang buruk kian merunyamkan film ini. Selain itu, tidak pula ditemukan angle pemotretan yang jitu, yang biasanya merupakan ciri khas sebuah epos sejarah. Lalu ada beberapa hal sangat mengganggu. Tokoh Gatot Subroto, misalnya, dihadirkan dengan berbagai ciri khas, termasuk kebiasaannya memanggil anak buah dengan sebutan "monyet". Tapi kemudian dia dibiarkan lenyap tanpa makna. Kedua gadis kembar, Retno Windrati dan Retno Widuri, tidak jelas !atar belakang riwayatnya. Sampai saat akhir penonton dibiarkan bertanya-tanya bagaimana Retno kembar itu bertemu di stasiun Yogya dan membingungkan pacar mereka: Letnan Firman. Apa sesunuhnya yang dicari dari sebuah film bertema revolusi? Tentulah bukan kepahlawanan semata. Ada hal-hal yang khas. Sequence sepasang mata indah yang memancar dan seraut wajah, dan digambarkan bersama gerbong-gerbong yang melmtas cepat dilatari lagu Sepasang Mata Bola, ternyata bisa sangat mengharukan. Dari situ sebuah adegan telah bicara begitu banyak tanpa satu patah kata terdengar diucapkan. Di situ pula Usmar Ismail telah merekam ruh revolusi, barangkali dalam seribu arti. Dan untuk mendapatkan kesan seperti itu, para sineas tentu tidak cukup melihat hanya dari sisi luar. Isma Sawitri
08 Desember 1984
Sekali peristiwa, pada sebuah kereta
KERETA API TERAKHIR Peran Utama: W.D. Mochtar, Gito Rollies, Sofia W.D., Deddy Sutomo Produksi: PPFN Sutradara: Mochtar Sumodimedjo DALAM upaya menghidupkan satu episode perang kemerdekaan
Indonesia, fllm ini sengaja memotret banyak hal: rakyat kecil, keadaan darurat, harakiri seorang perwira Jepang, dan sejumlah gerbong kereta api. Kisahnya juga mengambil tempat sepanjang rel kereta Purwokerto - Kroya - Yogyakarta. Kesan pertama, film telah bergerak dari stasiun ke stasiun secara lamban, dan hampir-hampir tanpa klimaks. Tema kepahlawanan dengan setting perkeretaapian sebenarnya masih baru bagi dunia film Indonesia, Jadi semestinya bisa sangat menarik. Namun, dinamika teknologi dan romantika revolusi, dua unsur yang menopang film ini, tampaknya kurang tergarap. Gambar-gambar kelihatan pucat dan suasana tidak terbangun. Letnan Firman, misalnya, sebagai tokoh utama tidaklah mesti legendaris seperti Audie Murphy dalam To Hell and Back. Tapi untuk sebuah kisah kepahlawanan ia pun tidak diizinkan berlagak biasa-biasa saja. Mungkin ia tidak perlu dihadirkan istimewa, dan juga tidak dltuntut untuk setiap kah memaki "busyet!" seperti tokoh yang diperankan Bambang Hermanto dalam Pejuang. Hanya rasanya ia tidak layak mondar-mandir begitu saja, tersenyum begitu mudah dan ramah, hingga tidak sediklt pun tampak revolusioner. Karena Firman ditampilkan biasa, pegawai PJKA juga biasa, dan pemuda Batak yang diperankan Gito Rollies begitu pula, maka gelora dan gejolak perang kemerdekaan tidak kunjung tersua.
Padahal, Firman ditugasi memboyong dan menyelamatkan sejumlah besar gerbong kereta api. Ia harus mengamankan sarana angkutan yang vital itu ke Yogya, ke daerah Republik. Dan sesuai dengan kisahnya film ini dibuat berdasarkan buku Keretaapi Terakhir ke Yogya karya Pandir Kelana Firman berhasil menembus blokade udara. Kereta api terakhir yang dikawal Firman memang diserang habis-habisan. Sementara gerbong paling belakang digasak api, di terowongan Ijo, yang dimaksudkan untuk tempat perlindungan, tiba-tiba pula dihajar ledakan. Melihat adegan terjepit begini, mengapa penonton tidak kebat-kebit? Kecemasan penumpang ataupun semangat perlawanan Firman ternyata tidak sempat menggugah. Sampai di sini harus diakui dramatisasi cerita sangat lemah. Penulis skenario agaknya terlalu setia pada jalan cerita, dan sutradara kurang pula menghayati, katakanlah, apa yang disebut momen-momen revolusi. Di samping itu, terkesan adanya keyakinan pada diri pembuat film bahwa ciri kolosal yang ditempelkan ke situ sudah menjamin segala-galanya. Digerakkannya ratusan figuran untuk meramaikan film ini tentulah cukup mengejutkan juga. Hanya saja eksperimen itu tampak berhenti sebagai eksperimen semata - ada rakyat jelata diteror, mereka tidak berdaya, tapi penonton tidak jatuh kasihan melihatnya. Mengapa? Rakyat malang itu bukan mewakili siapa-siapa. Tidak sedikit pun terkilas informasi yang bisa membangkitkan simpati penonton pada mereka. Hal serupa terjadi pada Retno Widuri, pemuda Batak, bahkan pada pahlawan PJKA. Memang ada kilas balik yang cukup panjang untuk menunjang perwatakan Firman, tapi itu pun tidak memperkuat motivasi kepemimpinan letnan itu. Apakah sebuah peristiwa bersejarah dianggap terlalu besar hingga para pelakunya tidak lagi penting? Yang pasti, sutradara telah melihat revolusi dari luar.
Ibarat para peneliti melongok dokumen sejarah: dingin, berjarak, dan tidak tergugah. Mochtar begitu pula, memotret peristiwa demi peristiwa tanpa rasa akrab dengan obyeknya. Skenario, tata suara, dan musik yang buruk kian merunyamkan film ini. Selain itu, tidak pula ditemukan angle pemotretan yang jitu, yang biasanya merupakan ciri khas sebuah epos sejarah. Lalu ada beberapa hal sangat mengganggu. Tokoh Gatot Subroto, misalnya, dihadirkan dengan berbagai ciri khas, termasuk kebiasaannya memanggil anak buah dengan sebutan "monyet". Tapi kemudian dia dibiarkan lenyap tanpa makna. Kedua gadis kembar, Retno Windrati dan Retno Widuri, tidak jelas !atar belakang riwayatnya. Sampai saat akhir penonton dibiarkan bertanya-tanya bagaimana Retno kembar itu bertemu di stasiun Yogya dan membingungkan pacar mereka: Letnan Firman. Apa sesunuhnya yang dicari dari sebuah film bertema revolusi? Tentulah bukan kepahlawanan semata. Ada hal-hal yang khas. Sequence sepasang mata indah yang memancar dan seraut wajah, dan digambarkan bersama gerbong-gerbong yang melmtas cepat dilatari lagu Sepasang Mata Bola, ternyata bisa sangat mengharukan. Dari situ sebuah adegan telah bicara begitu banyak tanpa satu patah kata terdengar diucapkan. Di situ pula Usmar Ismail telah merekam ruh revolusi, barangkali dalam seribu arti. Dan untuk mendapatkan kesan seperti itu, para sineas tentu tidak cukup melihat hanya dari sisi luar. Isma Sawitri