KARMILA
Film terlaris II di Jakarta, 1976, dengan 213.036 penonton, menurut data Perfin.
Kisah Karmila (Muriani Budiman), mahasiswi kedokteran yang hamil karena diperkosa Feisal (Awang Darmawan) dalam sebuah pesta. Gadis yang keras hati itu terpaksa kawin, meski pujaan hatinya tetap menyatakan kesediaannya menerima apa adanya. Ia juga sebenarnya menolak kehadiran anak yang dikandungnya itu. Feisal yang menyesal, berusaha mengubah watak dan sikap untuk menarik hati Karmila. Karmila berubah sikap ketika anaknya sakit gawat. Naluri keibuannya muncul dan ia kembali pada suami dan anaknya.
Dari novel laris berjudul sama yang pertama kali dimuat secara bersambung di Kompas. Film ini dipersengketakan di pengadilan oleh PT Citra Indah Film, salah satu produsernya, karena produser lain, PT Madu Segera Film dianggap menguasai sepenuhnya film yang sudah siap edar. Film ini tampaknya selaris novelnya, yang waktu film itu beredar sudah memasuki cetakan kedelapan dan mencapai angka 55.000 yang terjual. Sejak kebangkitan film nasional tahun 1970, film ini merupakan film kelima yang berhasil menembus dan bertahan lama di bioskop kelas atas. Empat film lainnya: Bernafas dalam Lumpur - Pengantin Remaja - Bing Slamet Koboi Cengeng - Ratapan Anak Tiri.
Dari novel laris berjudul sama yang pertama kali dimuat secara bersambung di Kompas. Film ini dipersengketakan di pengadilan oleh PT Citra Indah Film, salah satu produsernya, karena produser lain, PT Madu Segera Film dianggap menguasai sepenuhnya film yang sudah siap edar. Film ini tampaknya selaris novelnya, yang waktu film itu beredar sudah memasuki cetakan kedelapan dan mencapai angka 55.000 yang terjual. Sejak kebangkitan film nasional tahun 1970, film ini merupakan film kelima yang berhasil menembus dan bertahan lama di bioskop kelas atas. Empat film lainnya: Bernafas dalam Lumpur - Pengantin Remaja - Bing Slamet Koboi Cengeng - Ratapan Anak Tiri.
P.T. CITRA INDAH FILM
P.T. MADU SEGARA FILM
P.T. MADU SEGARA FILM
MURIANI BUDIMAN AWANG DARMAWAN MANG UDEL NANI WIDJAJA UMAR KAYAM ROSIHAN ANWAR CASSIM ABBAS ROSALINE OSCAR SRI WIDIATI |
SEPERTI bayi yang terlahir dan keadaan sulit film Karmila yang tersendat-sendat pembuatannya, diharapkan akan dapat mengeruk kantong penonton. Harapan siapa? Eltahlah, karena siapa pemilik kopi-kopi film itu belum lagi ketahuan. Nyonya Sevira Sudjarwo, Direktris BT Citra Indah Film, produser, mengaku film itu dia punya. Fihak lain, Drs. Ibrahim Syamsuddin, PT Madu Segara, penangung keuangan pembiayaan film itu, juga merasa punya hak. Sengketa yang menunggu diputus oleh pengadilan itu sementara mereda. Bismar Siregar SH Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Timur, yang memeriksa perkara itu, bulan lalu menyarankan ditempuhnya jalan perdamaian. Maka untuk sementara ditetapkan agar dua fihak yang bersengketa itu bersama-sama mengedarkan novel Marga T yang sudah dilayar-perakkan itu. Hasilnya bagi-bagilah menurut perjanjian yang bisa dicapai. Bismar mengharap, "sambil menunggu keputusan saya, film boleh diputar dan diambil manfaatnya bersama". Asal jangan timbul sengketa baru lagi saja, begitu.
Metah-mentah Yang memulai memperkarakan adalah Nyonya Sudjarwo. Ia mengajukan gugatan kepada: Drs. Ibrahim. Pengurus Ekspedisi Union Ekspres, Departemen Penerangan khususnya Direktur Pembinaan Film, dan Japan Air Lines (JAL) Seksi Cargo. Dari kesemua tergugat itu. nyonya ini mengharapkan mendapat berbagai ganti rugi sebesar Rp 200 juta lebih. Bulan Oktober 1974 antara yonya Sudjarwo dan Ibrahim telah terjadi sutu perjanjian kerja untuk membuat dan mengedarkan film Karmila berdasarkan novel terkenal Marga T dan dengan sutradara Ami Prijono. Film berwarna 35 milimeter itu harus selesai dibuat oleh produsernya, Nyonya Sudjarwo, paling lambat 3 bulan dengan biaya dari Ibrahim sebesar Rp 45 juta. Dari hasil peredarannya nanti, produser akan memperoleh 30% dan selebihnya adalah hak yang punya uang. Membuat film ternyata tidak gampang. Mula-mula timbul kericuhan antara produser dengan sutradara. Di samping itu di sana-sini muncul protes dari para artis serta para karyawan film lainnya yang juga tidak puas dengan sihap si produser. Keluhan berkisar -a(la keuangan yang seret. Dengan sutraara Ami Prijono, persoalan kelambatan pembuatan film lebih diperuncing lagi oleh Nyonya Sudjarwo: sang sutradara dipecat mentah-mentah. Nyonya ini menuduh Ami terlalu lamban bekerja Ami tidak membantah, cuma membela diri: ia memang sutradara baru, jadi maklum saja tidak bisa secepat kerja sutradara Turino atau Nawi Ismail, misalnya (TEMPO. 15 Pebruari 1975). Menurut Ibrahim, yang menyanggah sulat gugtan: kericuhan antara produser dan anak buahnya itulah penyebab kelamhatan pembuatan Karmila. Tapi tidak begitu kata Nyonya Sudjarwo. Apa yang dianggpnya sebagai alasan yang sebcnarnya. diuraikannya panjang lebar dalam surat gugatannya.
Uang Lembur Bulan Desember 1974, Ibrahim menyuruh orangnya menemui Nyonya Sudjarwo untuk meminjam msh-copy yang telah selesai 40%. Karena alasan sekedar meminjam dan hanya untuk melihat lihat saja, nyonya produser memberikannya. Tapi hingga selesai pembuatan film itu, barang pinjaman itu menurut Nyonya Sudjarwo, tidak pernah dikembalikan. Lalu bulan Januari tahun berikutnya, sebagai produser, Nyonya Sudjarwo menyodorkan tagihan uang lembur kepada Ibrahim. Namun penanggung pembiayaan ini keberatan membayar. Kepada Nyonya Sudjarwo dimintakan agar - mempertanggungjawabkan lebih dulu pengeluaran keuangan sebelumnya. Belum lagi selesai tahap pertama sengketa ini, muncul peristiwa baru: rush-copy kedua yang biasanya diterima oleh produser dari perusahaan ekspedisi atas kiriman dari perusahaan laboratorium di Jepang, ternyata telah berada di tangan Ibrahim lagi. Nyonya Sudjarwo menuduh, dalam gugatannya. Ibrahim telah mengambilnya dengan paksa dan "mengancam dengan pisau" pada pegawai ekspedisi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma. Dari peristiwa ini,- penggugat menyebutnya: "sejak itulah terjadi opan clash alias perselisihan terbuka. Akhir Januari berikutnya, produser menyodorkan penncian keuangan yang harus dibayar oleh Ibrahim sekitar Rp 9 juta. Sebagai "perincian anggaran biaya hooling terakhir", begitu disebut dalam surat gugatan. Ibrahim juga tidak memenuhi tuntutan produsernya. Ia mengundang agar persoalan Karmila itu di selesaikan dengan musyawarah kembali, dengan mengambil tempat di Kantor Direktorat Pembinaan Film. Produser menolak ajakan ini dengan alasan: Ibahim yang dari PT Madu Segara itu ukan pengusaha film sehingga tak ada sangkut-pautnya dengan Departemen Penerangan. Karena itu tidak pada tempatnya mengu ndangnya bertemu di Kantor Direktorat Pembinaan Film Deppen. Malah berikutnya Nyonya Sudjarwo menyatakan dirinya: secara sah menjadi pemilik Karmila karena Ibrahim sudah menyalahi perjanjian kerja--tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya pengambilan adegan terakhir.
Campur Tangan Dalam saat yang keruh itu Direktur Pembinaan Film, H. Johardin, turun tangan. Melalui suratnya bulan Juni 1974, tegas-tegas dinyatakannya: Karmila harus lanjutkan pembuatannya tanpa campur tangan produsernya, PT Citra Indah Film. Nyonya Sudjarwo menuluh instruksi Direktur Pembinaan Film ini sebagai campur tangan yang memihak dan merugikan fihaknya. Namun karena tangan Johardin itulah, maka Karmila selesai dibuat. Merasa mendapat dukungan dari Johardin, PT Madu Segara akan segera saja mengedarkan Karmila. Hampir saja terjadi 'sesuatu' ketika Karmi11a akan diputar perdana di Jakarta Theatre, 21 Oktober tahun lalu. Hakim Bisrnar Siregar memerintahkan agar pemutaran film itu dibatalkan, karena pengadilan belum memutuskan siapa yang berhak memutarnya. Tentu suli untuk menaati perintah Bismar, karena para undangan sudah harus hadir dan perintahnya sungguh mendadak. Syukur Bismar bisa mengerti keadaan ini. Hanya setelah pemutaran perdana, terpaksa 6 copy film (12 Trailer) disimpan dipengadilan. Bismar mengharapkan: "Kalau bisa saya tidak usah memutuskan perkara ini, asal perdamaian dapat tercapai secepatnya dan sebaik-baiknya"
Metah-mentah Yang memulai memperkarakan adalah Nyonya Sudjarwo. Ia mengajukan gugatan kepada: Drs. Ibrahim. Pengurus Ekspedisi Union Ekspres, Departemen Penerangan khususnya Direktur Pembinaan Film, dan Japan Air Lines (JAL) Seksi Cargo. Dari kesemua tergugat itu. nyonya ini mengharapkan mendapat berbagai ganti rugi sebesar Rp 200 juta lebih. Bulan Oktober 1974 antara yonya Sudjarwo dan Ibrahim telah terjadi sutu perjanjian kerja untuk membuat dan mengedarkan film Karmila berdasarkan novel terkenal Marga T dan dengan sutradara Ami Prijono. Film berwarna 35 milimeter itu harus selesai dibuat oleh produsernya, Nyonya Sudjarwo, paling lambat 3 bulan dengan biaya dari Ibrahim sebesar Rp 45 juta. Dari hasil peredarannya nanti, produser akan memperoleh 30% dan selebihnya adalah hak yang punya uang. Membuat film ternyata tidak gampang. Mula-mula timbul kericuhan antara produser dengan sutradara. Di samping itu di sana-sini muncul protes dari para artis serta para karyawan film lainnya yang juga tidak puas dengan sihap si produser. Keluhan berkisar -a(la keuangan yang seret. Dengan sutraara Ami Prijono, persoalan kelambatan pembuatan film lebih diperuncing lagi oleh Nyonya Sudjarwo: sang sutradara dipecat mentah-mentah. Nyonya ini menuduh Ami terlalu lamban bekerja Ami tidak membantah, cuma membela diri: ia memang sutradara baru, jadi maklum saja tidak bisa secepat kerja sutradara Turino atau Nawi Ismail, misalnya (TEMPO. 15 Pebruari 1975). Menurut Ibrahim, yang menyanggah sulat gugtan: kericuhan antara produser dan anak buahnya itulah penyebab kelamhatan pembuatan Karmila. Tapi tidak begitu kata Nyonya Sudjarwo. Apa yang dianggpnya sebagai alasan yang sebcnarnya. diuraikannya panjang lebar dalam surat gugatannya.
Uang Lembur Bulan Desember 1974, Ibrahim menyuruh orangnya menemui Nyonya Sudjarwo untuk meminjam msh-copy yang telah selesai 40%. Karena alasan sekedar meminjam dan hanya untuk melihat lihat saja, nyonya produser memberikannya. Tapi hingga selesai pembuatan film itu, barang pinjaman itu menurut Nyonya Sudjarwo, tidak pernah dikembalikan. Lalu bulan Januari tahun berikutnya, sebagai produser, Nyonya Sudjarwo menyodorkan tagihan uang lembur kepada Ibrahim. Namun penanggung pembiayaan ini keberatan membayar. Kepada Nyonya Sudjarwo dimintakan agar - mempertanggungjawabkan lebih dulu pengeluaran keuangan sebelumnya. Belum lagi selesai tahap pertama sengketa ini, muncul peristiwa baru: rush-copy kedua yang biasanya diterima oleh produser dari perusahaan ekspedisi atas kiriman dari perusahaan laboratorium di Jepang, ternyata telah berada di tangan Ibrahim lagi. Nyonya Sudjarwo menuduh, dalam gugatannya. Ibrahim telah mengambilnya dengan paksa dan "mengancam dengan pisau" pada pegawai ekspedisi di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma. Dari peristiwa ini,- penggugat menyebutnya: "sejak itulah terjadi opan clash alias perselisihan terbuka. Akhir Januari berikutnya, produser menyodorkan penncian keuangan yang harus dibayar oleh Ibrahim sekitar Rp 9 juta. Sebagai "perincian anggaran biaya hooling terakhir", begitu disebut dalam surat gugatan. Ibrahim juga tidak memenuhi tuntutan produsernya. Ia mengundang agar persoalan Karmila itu di selesaikan dengan musyawarah kembali, dengan mengambil tempat di Kantor Direktorat Pembinaan Film. Produser menolak ajakan ini dengan alasan: Ibahim yang dari PT Madu Segara itu ukan pengusaha film sehingga tak ada sangkut-pautnya dengan Departemen Penerangan. Karena itu tidak pada tempatnya mengu ndangnya bertemu di Kantor Direktorat Pembinaan Film Deppen. Malah berikutnya Nyonya Sudjarwo menyatakan dirinya: secara sah menjadi pemilik Karmila karena Ibrahim sudah menyalahi perjanjian kerja--tidak memenuhi kewajibannya membayar biaya pengambilan adegan terakhir.
Campur Tangan Dalam saat yang keruh itu Direktur Pembinaan Film, H. Johardin, turun tangan. Melalui suratnya bulan Juni 1974, tegas-tegas dinyatakannya: Karmila harus lanjutkan pembuatannya tanpa campur tangan produsernya, PT Citra Indah Film. Nyonya Sudjarwo menuluh instruksi Direktur Pembinaan Film ini sebagai campur tangan yang memihak dan merugikan fihaknya. Namun karena tangan Johardin itulah, maka Karmila selesai dibuat. Merasa mendapat dukungan dari Johardin, PT Madu Segara akan segera saja mengedarkan Karmila. Hampir saja terjadi 'sesuatu' ketika Karmi11a akan diputar perdana di Jakarta Theatre, 21 Oktober tahun lalu. Hakim Bisrnar Siregar memerintahkan agar pemutaran film itu dibatalkan, karena pengadilan belum memutuskan siapa yang berhak memutarnya. Tentu suli untuk menaati perintah Bismar, karena para undangan sudah harus hadir dan perintahnya sungguh mendadak. Syukur Bismar bisa mengerti keadaan ini. Hanya setelah pemutaran perdana, terpaksa 6 copy film (12 Trailer) disimpan dipengadilan. Bismar mengharapkan: "Kalau bisa saya tidak usah memutuskan perkara ini, asal perdamaian dapat tercapai secepatnya dan sebaik-baiknya"