Dibuat tahun 2002, mencoba menyemarakan film horor yang sedang laku saat itu, termasuk Jalangkung. Masih menggunakan tehnik mistik, horor, dan wanita sexy.
Kuntet (Sudjiwo Tedjo) berprofesi sebagai dukun santet. Ia menjual jasa ke berbagai lapisan masyarakat. Hasil kerjanya membuat kehidupannya mewah, tapi tidak memberi kebahagiaan istri dan anaknya yang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Kemudian terungkap bahwa untuk mendapatkan ilmu, Kuntet harus menyerahkan nyawa kepada gurunya. Apalagi saat dia ingin mencapai keabadian. Kematian anak-anak di kampungnya membangkitkan kecurigaan warga, meski sulit dibuktikan. Kuntet bisa meredam kemarahan masyarakat dengan bersumpah bahwa kalau benar dia telah membunuh orang dengan santetnya, maka kalau mati, jasadnya tidak diterima bumi. Ternyata sumpah ini makan tuan. Waktu meninggal, jasadnya tidak bisa dikuburkan, dan selalu kembali ke rumah. Akhirnya mayat Kuntet terbakar bersama rumah dan hartanya. Jasadnya disambar kilat hingga hancur.
Kuntet (Sudjiwo Tedjo) berprofesi sebagai dukun santet. Ia menjual jasa ke berbagai lapisan masyarakat. Hasil kerjanya membuat kehidupannya mewah, tapi tidak memberi kebahagiaan istri dan anaknya yang dikucilkan dalam pergaulan masyarakat. Kemudian terungkap bahwa untuk mendapatkan ilmu, Kuntet harus menyerahkan nyawa kepada gurunya. Apalagi saat dia ingin mencapai keabadian. Kematian anak-anak di kampungnya membangkitkan kecurigaan warga, meski sulit dibuktikan. Kuntet bisa meredam kemarahan masyarakat dengan bersumpah bahwa kalau benar dia telah membunuh orang dengan santetnya, maka kalau mati, jasadnya tidak diterima bumi. Ternyata sumpah ini makan tuan. Waktu meninggal, jasadnya tidak bisa dikuburkan, dan selalu kembali ke rumah. Akhirnya mayat Kuntet terbakar bersama rumah dan hartanya. Jasadnya disambar kilat hingga hancur.
I SINEMA |
SUJIWO TEJO MERIAM BELLINA CHANDRA LOIS |
Sutradara dan Produser Film Kafir Minta Maaf Rabu, 16 April 2003
TEMPO Interaktif, Jakarta:Sutradara dan produser film Kafir, Mardali Syarif dan Chand Parwez Servia mengaku telah meminta maaf kepada warga adat karuhun Sunda Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Keduanya membantah jika film yang laris manis di pasaran itu diambil dari kisah nyata karuhun Sunda Cigugur.
“Mereka mengaku hanya terilhami,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM, KH Salahuddin Wahid kepada Tempo News Room usai menerima Mardali dan Chand Parwez di gedung Komnas HAM, Rabu (16/4).
Kehadiran keduannya dalam rangka memenuhi panggilan Komnas HAM menyusul tuntutan Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya yang meminta keduanya memulihkan nama baik Pangeran Madrais, tokoh dalam film tersebut. Selain itu mereka juga diminta mencabut peredaran film Kafir, baik dalam bentuk VCD ataupun bentuk publikasi film lainnya.
Menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahudin Wahid, pada 22 dan 23 Februari lalu, Mardali mengaku sudah berkunjung ke Cigugur. Dalam pertemuan dengan masyarakat di sana, secara terbuka dia sudah meminta maaf.
Kepada Gus Solah, Mardali juga menjelaskan bahwa dirinya tidak bermaksud mendeskreditkan, melecehkan, menista, apalagi menghina komunitas karuhun Sunda di Cigugur. “Semua tidak ada dalam tujuan pembuatan film tersebut,” ujar Gus Solah.
Mengenai tuntutan agar pihaknya mencabut peredaran film Kafir, baik dalam bentuk VCD dan bentuk publikasi film lainnya Gus Solah mengatakan hal itu tidak mungkin dilakukan. Sebab, sangat tidak mungkin menarik peredaran film yang sudah tersebar luas di masyarakat.
“Lagi pula inti persoalan bukan karena filmnya melainkan dugaan penyertaan kata-kata kisah nyata dalam promosi film oleh sutradara dan produser di sejumlah media,” jelas Gus Solah.
Komnas HAM sendiri, lanjutnya, akan mencari formulasi penyelesaian yang melegakkan kepada kedua belah pihak. Untuk itu usai pertemuan dengan kedua belah pihak dirinya akan berdiskusi dengan beberapa anggota Komnas HAM lainnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Rabu (9/4) lalu sejumlah tokoh masyarakat Sunda yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya mengadukan sutradara dan produser film ini ke Komnas HAM. Mereka menganggap film itu telah melecehkan dan mencemarkan nama baik warga adat karuhun Sunda Cigugur, di Kuningan, Jawa Barat.
Dalam pandangan mereka gambaran Pangeran Mardais sebagai dukun santet yang mengajarkan ilmu hitam seperti dalam film tersebut merupakan penggambaran yang menghina dan merendahkan ajaran-ajaran Mardais. Sebab, dia dikenal sebagai tokoh spiritual komunitas karuhun Sunda di Cigugur yang mendakwahkan perdamaian dan kerukunan antar penganut agama.
Mereka juga menilai Pangeran Madrais merupakan seseorang yang kuat memegang teguh ajaran agama Islam dan meninggal secara wajar. Hal tersebut bertolakbelakang dengan apa yang diucapkan Mardali bahwa pangeran Madrais tewas oleh pengikutnya yang menjadi Katolik karena ada gereja di desa tersebut.
“Padahal orang Katolik sendiri di sana keberatan kalau pengikut Madrais memeluk Katolik karena para pengikut Pangeran Mardais ada yang memeluk Islam, Protestan, Hindu, penghayat dan Budha,” kata P Djatikusuma, salah satu wakil Masyarakat Peduli Hak Sipil dan Budaya.
NEWS
Film Kafir besutan Mardali Syarief, yang menampilkan Sujiwo Tejo sebagai pemeran utama, juga mengingatkan prototipe film klenik lama. Kafir berkisah tentang seorang dukun yang mayatnya tak diterima tanah, lalu masyarakat meminta bantuan seorang kiai. Lagi-lagi ini menunjukkan kecenderungan film horor kita yang lucu:tokoh kiai selalu ditampilkan sebagai hero at the last minute. Lihat saja film Kutukan Nyai Roro Kidul (1979). Tersebutlah sebuah desa di pantai selatan, seorang perempuan bernama Wulan kerasukan Nyi Roro Kidul. (Lucunya, sebuah adegan memperlihatkan lokasi syuting di Juntinyoat, Indramayu, yang notabene di pantai utara.) Akibat kerasukan, suaminya sendiri dicakarnya di tempat tidur. Wulan kawin lagi dan membunuh lagi. Tiba-tiba di akhir cerita datang seorang kiai muda yang bertugas membasmi kutukan itu dan akhirnya mengawini Wulan.
Sosok pastor juga muncul sebagai "penyelamat mendadak", terutama dalam film yang bertautan dengan keluarga Belanda, misalnya Ranjang Setan (1986), yang menampilkan Chintami Atmanegara. Ini cerita tentang keluarga kaya yang tinggal di rumah tua bekas milik keluarga Belanda yang ditembak mati oleh perampok. Hantu Belanda itu sering menakut-nakuti. Sementara itu, setan nyonya Londo sering muncul dan berkata "..come here…" dengan logat sinyo keju yang mengajak pacar Chintami bersanggama.
Satu per satu isi rumah itu tewas. Seorang pastor akhirnya tiba-tiba muncul membasmi setan itu dengan kayu yang dipalang jadi salib. Beres. Simpel.
Kenapa harus diakhiri dengan kiai atau pastor sebagai pahlawan? "Itu aturan dari lembaga sensor nasional. Mereka bilang film horor harus ada misi agamanya," tutur Ali Tien, mantan produser PT Cancer Mas, sebuah perusahaan film yang di masa lalu gemar memproduksi film-film horor. Atas perintah Menteri Penerangan Ali Murtopo dan Ketua Dewan Film Nasional pada tahun 1981, "Hasil perumusan seminar ini akan dibawa ke Sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia agar terutama Badan Sensor Film dapat bekerja. Dilihat dari kepentingan pemerintah, dengan adanya kode etik, kemungkinan silang selisih pembuat film dengan masyarakat dapat dikurangi seminimal mungkin…," tuturnya dalam sebuah seminar film di Jakarta.
Kode etik itu disusun oleh delapan komisi, dari komisi film dan moral bangsa, film dan kesadaran disiplin nasional, hingga komisi film dalam hubungannya ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Komisi II adalah komisi yang khusus membahas hubungan film dan ketakwaan yang diketuai oleh H. Muzayn Arifin, dengan anggota 19 orang, di antaranya Aisyah Amini, Ki Soeratman, dan Sukarno M. Noor. Komisi ini merekomendasikan banyak poin, di antaranya adalah seperti tertera berikut: "Dialog, adegan, visualisasi, dan konflik-konflik antara protagonis dan antagonis dalam alur cerita seharusnya menuju ke arah ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan YME." Juga: "Jalan cerita disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan kepada penonton bahwa yang jahat itu pasti akan menerima/menanggung akibatnya dan menderita, dan yang baik itu pasti menerima ganjaran kebahagiaan."
Apakah memang imbauan Ali Murtopo itu begitu mempengaruhi produser dan sineas film horor kita saat itu? "Pada waktu itu BSF sangat mencampuri, macam-macam caranya. Jika penyelesaian masalah dalam cerita tidak menampilkan kiai, filmnya bakal dibredel. Untuk menyelamatkan diri, ya, kami terpaksa membikin-bikin munculnya tokoh kiai. Kadang-kadang memang tak masuk akal, tahu-tahu tokoh itu masuk dan menyelesaikan masalah," tutur Ferry Angriawan, jujur.
Produser PT Prasidi Teta, Budiati Abiyoga, masih ingat saat ia menjadi anggota juri Festival Film Indonesia. Ketika itu banyak film horor yang jadinya asal-asalan menempelkan agama: "Bayangkan, ada sebuah adegan seks dalam film horor, tapi kemudian di layar muncul ayat Quran ditambah kalimat adegan ini tak benar menurut Quran," katanya. Gaya hitam-putih dan simplistik seperti ini kemudian "menurun" pada generasi sineas film horor berikutnya. "Saat saya menggarap film horor, saya hanya berpatokan pada hitam dan putih, yang baik mengalahkan yang jahat. Itu saja intinya," tutur Atok Suharto, sutradara Si Manis Jembatan Ancol (1994).
Walhasil, dengan prototipe hitam-putih demikian, tak mungkin kita bisa menyaksikan film horor bermutu yang berangkat dari problematika teologi. Trilogi The Omen, misalnya, yang menceritakan anak titisan setan bernama Damien, menjadi sangat menakutkan karena dapat mengargumentasikan secara rasional bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap manusia dan bahwa, ketika penjelmaan setan kalah, spiritnya tetap ada sampai kapan pun.
Tapi tentu saja kita terlalu menyederhanakan masalah jika menganggap kebijakan Ali Murtopo adalah penyebab utama konyolnya film horor Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan film horor Indonesia tampak konyol, tak logis, dan mengumbar erotisme tentu saja adalah para cukong film yang ingin cepat untung. Bukan rahasia lagi, film horor saat itu murah meriah ditinjau dari segi biaya, tapi dianggap paling cepat kembali modal asalkan ada adegan syurnya. Itu yang menggoda. Misalnya Tjut Jalil, sutradara Pembalasan Ratu Pantai Selatan, bisa memproduksi empat judul film dalam setahun. Satu judul film bisa mencapai 15-20 kopi. "Biayanya murah, Rp 1,5 juta per kopi. Bandingkan, sekarang bisa mencapai Rp 15 juta per kopi," katanya.
Saat itu memang permintaan terhadap film horor yang seronok dari distributor film di Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tengah menggebu. "Saya akui itu. Karena kami berpikir yang menonton itu kalangan menengah ke bawah, kita tak terlalu peduli jalinan utuh suatu cerita atau lainnya," kata Ferry. Menjelang krisis moneter tahun 1996-1997, penggarapan film Indonesia semakin amburadul. Produksi syuting pendek, skenario sejadinya, asal menonjolkan paha dan dada. "Saya yakin, menjelang krisis moneter, semua produser sebetulnya malu melihat hasil karya film sendiri. Mutunya parah sekali," kata Ferry.
Saat itu memang permintaan terhadap film horor yang seronok dari distributor film di Medan, Jawa Tengah, dan Jawa Timur tengah menggebu. "Saya akui itu. Karena kami berpikir yang menonton itu kalangan menengah ke bawah, kita tak terlalu peduli jalinan utuh suatu cerita atau lainnya," kata Ferry. Menjelang krisis moneter tahun 1996-1997, penggarapan film Indonesia semakin amburadul. Produksi syuting pendek, skenario sejadinya, asal menonjolkan paha dan dada. "Saya yakin, menjelang krisis moneter, semua produser sebetulnya malu melihat hasil karya film sendiri. Mutunya parah sekali," kata Ferry.
Toh, sutradara Tjut Jalil tak setuju. Dia mengingatkan bahwa film Leak yang disutradarainya pada tahun 1981 pernah lumayan dikenal di Eropa. "Saya sampai diwawancarai sebuah rumah produksi tentang bagaimana membuat film seram seperti film Leak, yang berasal dari kepercayaan Hindu, tapi di masyarakat yang mayoritas Islam," tutur Tjut Jalil.