Kehadiran mertuanya (Wolly Sutinah) membuat ketentraman Martini (Rima Melati) bekas pelacur berakhir. Ia diteror terus, hingga akhirnya lari dari rumah dan mencoba bunuh diri. Sepasang suami istri Mardi (WD Mochtar, Aminah Cendrakasih) memergoki, menolong dan membawa Martini ke Surabaya dan bekerja di perusahaannya. Suami Martini Kardiman (Dicky Zulkarnaen, tetap tak mau mengikuti anjuran ibunya untuk kawin lagi. Keteguhannya terbukti. Pada saat dia menunggu ibunya di rumah sakit karena menderita kebutaan, dia melihat anaknya Henny (Bulan Surawidjaja) tengah mengiringi seorang perempuan yang berlumuran darah. Perempuan itu adalah Martini yang ingin menemui anaknya, namun mendapat kecelakaan tertabrak mobil. Ketika Martini tahu mertuanya membutuhkan cangkok mata, ia merelakan matanya untuk mertuanya dan ia akhirnya meninggal.
P.T. DIPA JAYA FILM
News
Takdir pesanan
Film "takdir" yang cerita dan skenarionya ditulis m. aminudin & disutradarai fritz g schadt ternyata cukup memusingkan penonton dengan kejanggalan-kejanggalannya serta alasan yang dicari-cari.
SEORANG pelacur kawin dengan seorang insinyur. Siapa bilang
tidak mungkin? Untuk dipercakapkan saja menarik, apa lagi kalau
ada yang menganggapnya patut dikisahkan kepada jutaan penonton
yang ada minat melewatkan sekedar uang pembeli karcis. Tapi
kalau saatnya tiba untuk mengundang lebih banyak perhatian
kepada suatu kisah dengan mempersembahkannya lewat layar
bioskop, persyaratan teknis mengintai mereka yang berhasrat
mengundang perhatian orang lain kepada kisah pelacur mendapatkan
insinyur ganteng ini. Dan dengan amat kurang sabar, cepat-cepat
harus dikatakan bahwa M. Aminudin yang menulis cerita dan
skenario kisah yang bisa menarik ini ternyata tidak terlalu
banyak tahu peta bumi soal-soal yang ia ingin dongengkan.
Larinya Martini.
Syahdan, Insinyur Kardiman (Dicky Zulkarnaen) yang mendapatkan
pelacur Martini (Rima Melati) hidup rukun dengan putri tunggal
mereka, Henny (Bulan Surawijaya) sebelum ibu Kardiman (Wolly
Sutinah) muncul dengan segala ulahnya. Bisa ditebak bahwa si ibu
ini keberatan dengan perkawinan anaknya dengan bekas pelacur
itu. Tapi apa kekuatan yang berada di belakang sang ibu sehingga
berani ngotot macam demikian, tidak pernah diungkapkan oleh sang
empunya cerita dan skenario dari film yang bernama Takdir. Si
ibu ini sungguh bagaikan ibu ajaib yang tiba-tiba muncul untuk
mengganggu rumah-tangga, menteror anak kecil tak berdosa untuk
akhirnya menyebabkan larinya Martini dari rumah keluarganya.
Ini adalah tipe-tipe cerita yang sudah ditetapkan bagian-bagian
sedih dan gembiranya guna memancing air mata dan ketawa
penonton, dan kepada kedua muara inilah semua logika dan
akal sehat harus hanyut. Dengan meminta sekedar akal sehat
tentulah tidak lantas saya mempersetankan adanya ibu-ibu jahat
macam yang dimainkan oleh Wolly Sutinah, tapi tokoh psikopath
sekalipun pastilah punya akar dalam masa lalu. Maka kecuali
hubungan biologic nyaris tidak ada kisah hubungan masa lalu
antara Ir Kardiman dan ibunya. Akibatnya, kehadirannya di rumah
itu tidak lebih dari seorang yang dibayar produser untuk
menteror agar ada alasan bagi pembeli karcis untuk menangis,
atau merasa puas ketika ia mendapatkan kecelakaan pada
bagian-bagian terakhir film. Malangnya pula, Wolly
Sutinah berasyik-asyik, dengan tokoh konyol yang ia mainkan,
dan makin karikatural tokoh ibu yang entah dari mana dipungut
oleh Aminudin.
Pakaian Henny.
Maka jangan langkah kita berbicara tentang dialog yang semerawut
dalam film berwarna cerah milik Dipa Djaja Film ini. Semua itu
lebih diperparah lagi oleh struktur skenario yang bahkan
memenuhi persyaratan dasar skenariopun tidak. Tapi di sini
agaknya tangggung jawab sutradara yang harus digugat. Dengan
melupakan keteledoran yang mengakibatkan ketidaksinambungan
pakaian Henny pada adegan Martini melarikan diri dari rumah
sudah seharusnya. Ritz G. Schadt yang memikul tanggung jawab
bagi permainan Wolly Sutinah yang menganut gaya rutinnya yang
amat karikatural terhadap permainan Dicky Zulkarnaen dan Rima
Melati yang bermain amat wajar.
Tapi kesalahan editing yang tampak dengan jelas pada introduksi
adegan Surabaya (berakhir pada gambar tugu pahlawan) yang
mendadak loncat (intercut) pada close up mesin mobil di Jakarta,
pastilah, dosa film tak terampunkan yang selama ini pernah
diperbuat oleh Fritz. Adapun introduksi Surabaya melalui
gambar-gambar bagian kota yang dikenal masyarakat luas pastilah
dengan maksud menciptakan ilusi mengenai kejadian berikutnya
yang dianggap berlaku di Surabaya. Tapi dengan kecerobohan
demikian, ilusi menjadi buyar -- sementara penonton besar
kemungkinan ada juga sedikit pusing.
Yang amat memusingkan tentulah jalan kisahnya yang merangkak
berlarat-larat dan dengan alasan yang dicari-cari untuk
menggiring penutup kisah yang diduga dramatis. Mengingat sasaran
pemasarannya yang terutama di daerah (lihat: Schadt & Washi
angkat bicara), orang tentulah suka memaafkan kisah melodramatis
macam demikian.
Tapi sepanjang soalnya bukanlah sekedar
mendapatkan uang dari penjualan karcis, nampaknya perlu
difikirkan perbaikan pembuatan sebuah film atas sebuah cerita
yang, katakanlah, amat berbau India. Melihat bahwa film-film
India merupakan saingan film-film Indonesia, orang semestinya
menarik pelajaran yang amat berharga dari kenyataan bahwa film
India boleh kita cemooh kisahnya yang terkadang konyol tapi
sebagai suatu hasil pekerjaan tangan, ia sepenuhnya memenuhi
persyaratan teknis sebuah film. Setuju atau tidak pada pesan
yang dititipkan si pembuat film di sana, orang baru mengakui
bahwa film India adalah sebuah ilusi yang selesai utuh dan
sempurna.
Tarian Ellya.
Ilusi itulah yang jarang ditemukan dalam film-film Indonesia
yang mengaku perlu meniru film-film India -- lengkap dengan
nyanyian dan kadang-kadang tarian Ellya Khadam -- dengan alasan
"untuk merebut sasaran di kalangan lapisan bawah". Entah karena
alasan ini juga atau cuma lantaran ketidak mampuan, tapi hasil
kerja Fritz G. Schadt kali ini patut disayangkan antara lain
oleh ketidak telitiannya mengeliminer mata banyak penonton --
ketika film dibuat -- yang terpaksa secara grafis ikut hingap di
layar lebar.
Oh, Tuhan, ada pula adegan cangkok kornea mata pelacur -- yang
mati ketabrak mobil ketika mengejar anak yang telah lama ia
tinggalkan -- ke mata sang ibu yang rusak setelah jatuh
terguling di tangga. Penonton lapisan bawah memang bisa dibikin
terharu, tapi kalau suatu kali mereka tahu bahwa sumbangan
kornea mata orang yang mati hanya bisa diterima oleh orang yang
korneanya juga rusak -- dan bukan syarafnya putus lantaran jatuh
di tangga -- tentulah mereka pada suatu hari bakal menyesali
kebodohan mereka ketika terharu menyaksikan bagian terakhir film
Takdir ini. Tapi hari demikian nampaknya masih akan lama
datangnya. Dan penonton Indonesia boleh puas dengan keharuan
pesanan yang dihias dengan musik petikan dari seri James Bond
seri kesekian yang bernama Goldfinger
Salim Said