Tampilkan postingan dengan label FILM dan BISNIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILM dan BISNIS. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Maret 2010

MASALAH FILM DAN JALAN KELUARNYA (1957)

Bachtiar Siagian
Ini adalah pendapat dari Bachtiar Siagian yang dulunya pernah dipenjara paksa di pulau Buru oleh pemerintah Orde Baru Soeharto karena ia pemimpin dari seniman Lekra (PKI). Kita butuh tahu juga pendapat dia tentang perfilman nasional. Dia sutradara hebat juga, tetapi karena dia aliran PKI, pendapatnya kurang didengar saat itu. Maklumlah, terasa alergi karena embel-embel PKI itu. Pendapatnya ini ketika belum muncul peristiwa isu PKI tersebut, dinyatakan tahun 1957.

Masaalah film dan djalan keluar bagi industri film nasional


Ada orang2 tertentu jang setjara spekulatif berpendapat bahwa biarpun film Amerika jang terbanjak diimport, tapi dalam pertundjukan2 lebih banjak film India diputar. Statistik jang dibawah ini bisa membantah pendapat jang spekulatif itu. Dikeresidenan Surakartapada tahun 1956 telah diputar sejumlah 1557 film, jang menurut perintjiannja adalah seperti berikut: Amerika 992, Indonesia 227, India 138, (Tiongkok 64, Inggreris 44, Malaya 29, Itali 26, Philipina 12, Sovjet Unie 9, Perantjis 5, Mesir 5, Djepang3, Djerman 3. Dari fakta2 diatas, djelaslah bahwa move ‘anti film India” itu adalah keliru, dan digerakkan dengan maksud2 tertentu. Belum lagi diperhitungkan faktor2politis dalam hubungan konperensi Asia Afrika, dimana Indonesia mendjadi eksponent penting. KULTURIL Dari segi kulturil film2 kita sudah bersifat negatif. Dalam pandangan umum film hanja merupakan “hiburan” , jadi sematjam barang lux, identik dengan politik Pemerintah kolonial dulu. Orang pergi ke bioskop karena tekanan2 kompensasi, dimana orang bisa mengetjap,, mimpi” jang indah dengan bayaran murah. Karena dia sudah ditempatkan sebagai barang lux, hiburan tidak heran djika penontot2 lebih gemar menonton film asing, jang lebih banjak bisa memenuhi rangsang kompensasi dan harapan “bermimpi tadi, dalam hal ini ialah film2 chajal, film2 paha, film2 musik dan comedie murah.

Sikap jang negatif ini achirnja merupakan kesempatan bagi kaum imperialis untuk melakukan intervensi kebudajaan lewat film2nja jang penuh dengan keberanian,sex appeal dsbnja. Karena sikap kita jang negatif itu bukan sadja ekonomis pengusaha2asing itu bertambah kokoh kedudukannja, tapi kulturil djuga bertambah berpengaruh jang tidak sedikit menimbulkan exces2 djelek, apati, epigonisme dsbnja. 
 
Ia bukan sadja melumpuhkan film dalam artian industri dan ekonomi tapidjuga sekaligus mematahkan semangat revolusioner jang sangat diperlukan bangsa dan negara dalam masa pembangunannja. Karena opinieumum telah dibentuknja kesuatu bentuk negatif berupa “opinie hiburan”, dengan sendirinja pengusaha2 film nasional jang hendak memproduksi film, harus mengikuti norma jang mendjadi umum itu, dengan membikin film2 jang sesuai dengan itu, jang identik dengan tudjuan kulturil film2 asing ala Rock and Roll, artinja identik dengan usaha mematahkan usaha semangat revolusionerisme nasional. Kalau ada jang merombak dan membikin film2 jang berlainan dengan tradisi itu, misalnja film2 bersifat realisme berlatarbelakang keadaan sosial sendiri bukan, bukan sadja ia harus mengalami gentjatan dari distributeur2, exhibitor2 jang memang ‘’berdagang’’, tapi djuga dari segi njensoran jang juga berdiri atas dasar tradisi tsb. Dengan sendirinja tidak tidaklah mengherankan djika film, dipandang dari sudut kepentingan nasional, menjadi sesuatu jang negatif.

Karenanja persoalan film bukan sadja mengantjam artis2 film, jang harus mengimitir watak2 jang asing baginja, tapi djuga mengantjam seluruh pekerdja2 kebudajaan, kaum pendidik, dsbnja. Bagaimana akibat film2 seperti Rock and Roll, film cowboy jang mempropagandakan djeki dsbnja. Adalah tjiri2 dari intervensi kebudajaan imperialis dan jang terang merugikan kepentingan nasional kita. 
 
GEDJALA2 MONOPOLI Pada tanggal 16 Maret jbl. Tiba pengusaha2 studio studio di Djakarta menjatakan menutup studionja. Keluar sikap ……..diketahui sebagai sikap PPFI, tapi ada banjak anggota2 PPFI jang tidak tahu menahu dengan penutupan itu. Keputsan tsb, adalah keputusan pemilik2 studio. Diantara studio2 jang ditutup itu, terpenting ialah Persari, Perfini dan Sanggabuana, jang menurut setahu orang masih dalam tanggungan fiduciare dengan beberapa bank. Bahkan Sanggabuana baru dibeli pada bulan Oktober dari credit Mr. Jusuf Wibisono selaku Menteri Keuangan (menurut siaran beberapa koran di Djakarta). Alasan2 penutupan itu seperti jang disiarkan oleh PPFI melalui naskah Pernjataan Bersama pemilik studio, adalah karena pemerintah membikin tindakan2 jang merugikan pemilik studio tsb., antaranja penambahan djumlah importir dan tidak didjalankannja usul2 panitia penjelidikan industri film jang dibentuk pemerintah dan diketuai oleh Mr. Arifin, berupa proteksi pada perindustrian film nasional.

Tapi pokok2 terpenting seperti jang didapati dalam saran2 PPFI adalah logis. Dan djika saran2 PPFI itu diterima oleh pemerintah, jang paling banyak menarik keuntungan. Tjuma harus diingat bahwa pengusaha film sekarang ada 2 golongan jang punya studio (jang umumnja dapat credit dari bank2, pemerintah) dan kedua independent producers jang tidak punja studio dan tidah dapat credit dari siapapun. Golongan jang kedua harus menjewa studio milik golongan pertama. Karena film dalam negeri akan terdjamin, dengan sendirinja independent producers itu mendapat kesempatan jang “sedikit sekali untuk menjewa studio, sebab pemilik2 studio aktif dilapangan produksisendiri. Dengan demikian independent producers akan gulung tikar, atau terpaksa menerima sarat2 berat dari pemilik2 srudio. Sekurang2nja distribusi film jang dibikin, diserahkan pada distributor sipemilik studio. Ini masih baik, tapi lebih tjelaka lagi djika sipemilik studio setjara halus memaksa siproducer untuk melakukan joint-production sebagai sarat untuk “memakai studio”. Dengan begitu keluar seolah2 produksinja sendiri, dan itu dapat dipakai untuk menarik bantuan sari dana2 jang disediakan pemerintah. Gedjala2 itu sudah terlihat, apalagi dengan maksud2 untuk mengusulkan supaja producer2 diberi prioritet import. Dengan sendirinja prioritet import akan djatuh ketangan sipemilik studio, jang praktis hanja dia jang memproduksi karena punja studio sendiri. Studio2 ketjil seperti Tan & Wong, Golden Arrow, Bintang Surabaja, praktis achirnja tidak akan dapat menjaingi studio2 jang punya equipment lengkap dan jang politis punya kedudukan lebih baik, lebih positif.

Tidak heranlah djika kelak achirnya, industri film nasional dikuasai oleh beberapa orang sadja. Ini masih bisa diterima, selama industri film itu mendjalankan politik nasional dan menghasilkan film2 jang tidak merugikan kepentingan2 kita, ditindjau dari sudut anti imperialisme dan dari sudut pembangunan nasional desegala lapangan. Dipandang dari segi sedjarahnja, keadaan2 ini menimbulkan keraguan. Dapatkah sifat monopoli oleh beberapa orang mendudukan film pada posisi jang positif, lepas dari sifat dan kepentingan politik monopolinja ? terus terang, ini sesuatu tang sukar dipertjaja. Dari peladjaran2 jang dapat ditarik dari pengalaman2 perindustrian film dinegeri2 lain, di Eropah, maupun Asia, bukan tidak sering terdjadi bahwa golongan jang hendak mendjalankan sistem monopoli dagang berkompromi dengan kaum monopoli asing. Dalam hal ini adalah sangat menarik perhatian desas desus jang terdengar diluar, dikalangan orang film bahwa APMAI akan mengadakan aksi bersama dengan persatuan distributeur3 lainja, untuk “memaksa” pengusaha2 bioskop agar memutar film2 Indonesia.

Kalau ini benar, berhasillah golongan tertentu membelokkan perhatian, bahwa jang menimbulkan kelemahan perindustrian film nasional bukanlah AMPAI jang hendak menekan mikiran, djika tidak melihat dasar2 kerdjasama dengan golongan pengusaha2 film tertentu. Dan anehnja politik AMPAI jang hendak menekan pengusaha2 bioskop itu menimbulkan kegembiraan dikalangan tertentu, dan disebut sebagai suatu, “goodwill” sambil melupakan bahwa jang menimbulkan kesulitan2 pokok ilah politik film ala kolonial jang mendjamin hidupnja AMPAI dan AMPAIlah jang sebenarnya melumpuhkan prindustrian film nasional. Dan bukan tidak mungkin mereka ini turut membantu usaha kearah monopoli oleh segolongan orang, jang tentunja sesudah melihat djaminan2 dan proteksi2 pula, baik ekonomis maupun kulturil. 

DJALAN KELUAR Melihat kenjataan2 jang berlaku, teranglah bahwa masalaah nasional jang harus dihadapi dengan sikap tegas, dan setjara integraal, dengan prinsip pokok : bahwa film dan industri film nasional harus didjadikan sendjata pembangunan nasional desagala lapangan ekonomis dan kulturil. Soal2 teknis administratif, soal2 juridis formil jang negatif. Karenanja djalan keluar bagi industri film dan film nasional ialah : a. Segera dibentuk suatu Dewan Film, terdiri dari wakil2 pemerintah wakil pengusaha, wakil artis, wakil kaum buruh ahli2 kebudajaan, ahli2 pendidikan, dan dengan satu dasar bahwa Dewan itu berjudjuan mentjari nilai2 ekonomis dan kulturil dari industri dan film Indonesia. b. Studio2 film tidak dapat hanja diserahkan pada modal2 partikulir, tapi harus dari modal gabungan pemerintah dan partikulir (modal nasional) c. Harus didirikan satu kantor pusat distribusi film jang langsung dibawah pengawasan pemerintah dan dewan film. d. Politik import film harus sedjalan dengan sistem jang memberi kemungkinan2 export, terutama dengan negara2 dalam lingkungan Asia Afrika. e. Sistem dan dasar sensor harus diletakkan atas dasar2 pokok jang tersebut diatas, dan dilakukan oleh ahli2 baik ia pegawai ataupun bukan. f. Memberikan kesempatan pada artis2 film untuk mendjelmakan kreasi2 baru dan memberikan dorongan untuk mentjapai nilai artistik jang berarti. g. Mengirimkan peladjaran2 dengan tidak memansang negeri dan aliran politik. h. Menyediakan dana bantuan dsbnja, jang dapat membentu producer dan memberikan proteksi2 seperlunya pada industri film. Itulah pokok2 djalan keluar dari kesulitan sekarang. Djakarta, 30 Maret 1957
Aneka: terutama mengenai Olah Raga dan Film, No. 7, 1957. Hlm. 12-13

Senin, 01 Maret 2010

BUMBU SEX BIAR FILM LAKU

Sex, Lies, and Horror
Bumbu Film Agar Laku
 
Kenapa film mu banyak paha dan dadanya?
Kata produser agar filmnya laku, pak.
Menurut KFC, Paha dan dada banyak peminatnya, kalau sayap tanpa bulu ketek, kurang pak. 
Iya pak, mereka bisa, kenapa kita tidak?


Erotika tak sekadar bumbu dalam film horor Indonesia. Dia menjadi menu utama.Resepsi pernikahan baru saja usai, tapi Omi sudah mengomel di kamar pengantin sebuah hotel. Dia memergoki Coky, suaminya, berbicara pada gadis misterius yang mengucapkan kata kasar dan kemudian menghilang. Dari pintu lift terdengar suara memanggil Coky. Suara perempuan. Coky penasaran mengejar suara itu hingga lapangan parkir mobil.

Coky menemukan Omi, istrinya, dengan wajah dahaga akan seks. Meski ragu dan takut, dia memenuhi ajakan syur di lantai parkir. Selagi bercumbu, tubuh Omi berubah jadi Kinanti, gadis misterius yang dibunuh setelah diperkosa lima tahun sebelumnya. Coky, salah satu pemerkosa, tewas mengerikan di tangan arwah Kinanti, dalam film Misteri di Malam Pengantin, yang dibintangi Kiki Fatmala dan dibuat pada 1993.



Pada film yang dibuat setahun sebelumnya, Kembalinya si Janda Kembang, yang dibintangi Sally Marcelina, kita bisa menyaksikan perempuan dengan suara mendesah menyusupi malam sebuah hotel. Bibirnya merah basah. Rambut tergerai panjang. Tubuhnya sintal dibalut kaus ketat. Dengan roknya yang tersibak, dia memasuki kamar tempat seorang pemuda telah menunggu. Di layar kita menyaksikan mereka bergumul di ranjang. Pergumulan yang ganjil. Janda seksi itu belakangan diketahui sebagai arwah gentayangan.

Adegan syur seperti itu menjadi menu utama hampir semua film horor Indonesia yang dibuat pada kurun sama. Tema film bisa beragam. Ada legenda mistik, balas dendam, rebutan harta, dan perselingkuhan. Tapi, apa pun judulnya, seks selalu muncul lebih dominan di tengah alur cerita yang tidak penting.

Resep menjual seks lewat tema horor memang menjadi tren film Indonesia sejak 1980-an. Para produser dan sutradara kala itu mulai menghidupkan kisah misteri dan legenda tradisional dengan kemasan baru: bumbu paha montok atau sekelebatan adegan ranjang. Bersama Suzanna, yang sempat dijuluki bomseks Indonesia, mereka sukses merebut penonton.

Setelah Nyi Blorong (1982) sukses membukukan rekor ditonton 354 ribu orang, produser datang dengan sekuel: Perkawinan Nyi Blorong (1983) dan Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986). Pada era ini juga muncul film sejenis seperti Nyi Ageng Ratu Pemikat, Malam Satu Suro, dan Santet.

Meski racikan seks plus horor telah meluas, tak ada reaksi masyarakat seluas ketika muncul film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1989), yang dibintangi Yurike Prastika dan digarap oleh sutradara Tjut Djalil. 

Seperti film-film sebelumnya, kisah legenda dan efek khusus horor dalam film ini tenggelam di bawah adegan sensual Yurike. Film itu akhirnya ditarik dari peredaran menyusul protes masyarakat, bahkan juga anggota DPR, karena dinilai menonjolkan seks dan kekerasan. Padahal, katanya, sudah membukukan rekor baru: menyedot 500 ribu penonton.

Bagaimanapun, keberanian para produser dan sutradara mengeksploitasi seks dan horor tak pernah surut. Pada era 1990 mereka mengorbitkan bintang-bintang baru yang bahkan lebih berani dari Suzanna dan Yurike: Lela Anggraini, Taffana Dewi, Sally Marcelina, dan Malfin Shayna. Variasi tema cerita tetap itu-itu saja, meski judulnya bisa sangat beragam, seperti Pusaka Penyebar Maut, Godaan Perempuan Halus, atau Gairah Malam.

Jika sempat menontonnya, jangan berharap menikmati bangunan cerita yang runut dan logis. Dalam Skandal Iblis (1992), misalnya, dikisahkan sebuah kalung jimat kuno yang membuat pemakainya ketagihan berhubungan seks. Tak lain karena jimat itu dihuni roh perempuan cantik nan bahenol. Jangan pula berharap menikmati akting bagus, karena memang bukan itu tujuan film ini dibuat. Seksualitas, ingat, adalah menu utamanya. Lela Anggraini, sang bintang utama film itu, yang kini berusia 33 tahun, melukiskan perannya dengan baik. "Pokoknya haus seks, gila harta demi seks, dengan menghalalkan berbagai cara," katanya kepada TEMPO.

Lela, wanita berdarah Palembang-Surabaya, mengaku telah membintangi setidaknya 20 film horor-seks sejenis, termasuk tiga sekuel berjudul Selir yang dibuat dari 1991 hingga 1994. "Dalam film-film ini sang selir menginginkan kedudukan melebihi ratu," kata Lela. "Untuk memenuhi ambisinya, dia rela menjual jiwanya pada iblis, tidur dengan iblis."

Kiki Fatmala, 34 tahun, tampil sangat berani dalam Misteri di Malam Pengantin. Meski begitu, dia menyebut peran dan adegan di situ masih wajar. "Masih sebatas seks biasa," katanya. "Nggak vulgar." Dalam film arahan sutradara Atok Suharto itu dia mengatakan tidak benar-benar telanjang ketika memerankan Kinanti, si arwah penasaran. "Saya memakai kain tembus pandang berwarna putih berenda dan pakai celana dalam model mini," katanya. "Waktu itu saya pakai penutup dada juga."

Jika tidak disorot lampu terang, kata Kiki, kulit tubuhnya tak kan kelihatan. 

Kiki mengaku sempat protes ketika film itu selesai dibuat dan ternyata tubuhnya disiram cahaya terang hingga menerawang. Tentu saja protes itu ditolak. Sebab, mana ada film tanpa cahaya. Dan lagi, Kiki sendiri tampak menyukainya: dia masih membintangi setidaknya lima film serupa sesudahnya.

Lela Anggraini, kini ibu seorang putri, mengaku sering menggunakan peran pengganti untuk adegan panasnya. Ketika sebuah film menuntut visualisasi adegan percumbuan dengan menampilkan paha secara utuh, dia keberatan. Sutradara memenuhi permintaannya dan menggantinya dengan paha orang lain. "Paha seorang pria yang kebetulan memang putih mulus tanpa bulu," kata Lela tergelak.

Tjut Djalil, sutradara Pembalasan Ratu Laut Selatan yang menghebohkan, kini berusia 70 tahun dan sudah pensiun. Dia tetap berkeras bahwa seks adalah bumbu dalam filmnya, bukan menu utama. "Unsur seks dalam film horor itu sama halnya dengan komedi yang sengaja dimasukkan untuk membumbui cerita horor," katanya. "Seks dan komedi adalah pernyataan terselubung bahwa horor itu sebenarnya tidak ada." Bagi Djalil, tokoh seksi sama halnya dengan tokoh komedi seperti Bokir atau Pak Tile almarhum.

Taffana Dewi, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang (1992) dan Gairah Malam (1993), juga menilai wajar tuntutan untuk tampil panas. "Film itu bukan realita," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 yang kariernya berawal jadi model kalender dan iklan itu. "Saya tidak membaurkan keduanya, fiksi dan realita."

Atok Suharto, sutradara horor yang juga terkenal lewat Si Manis Jembatan Ancol, membutuhkan bumbu sensualitas agar film horor tidak secara fisik menakutkan. "Biar ngepop, lah," katanya. "Saya tidak melihat horor adalah setan. Saya hanya berpatokan pada hitam dan putih, yang baik dan jahat. Yang baik mengalahkan yang jahat. Itu saja intinya," kata Atok.

Bagaimanapun, Atok punya syarat khusus untuk bintang-bintang yang terlibat dalam filmnya. "Harus berwajah cantik, tubuh bagus, lembut, cara bicaranya juga menarik," katanya. 
 
"Namun dia juga harus punya nuansa misteri dalam dirinya, seperti Diah Permatasari itu."

Menimbang besarnya pasar film horor-seks, para produser, sutradara, maupun penulis skenario tak segan-segan mendorong pemain untuk tampil berani. "Kami hanya mengikuti skenario saja dan tuntutan dari produsernya," kata Lela Anggraini. "Tapi, kalau porsi seksnya sampai 70 persen, kami akan mempertanyakan dan menimbangnya."

Sally Marcelina, kini 33 tahun, mengaku, "Saya tak lagi main film horor seperti dulu." Terutama setelah dia kini punya anak kecil. Padahal namanya hampir telah identik dengan film-film horor nan seronok. Memulai karier pada usia 16 tahun, Sally pernah begitu sibuk main dalam 7-8 film seperti itu setiap tahun, termasuk dalam dua sekuel film Misteri Janda Kembang (1991 dan 1992). Film yang sama diangkat ke sinetron televisi pada 1997, dan Sally tampil jauh lebih sopan.
Kombinasi horor dan erotika memang bukan monopoli film lokal. Film Ghost yang sangat populer juga menyajikan erotisme Demi Moore dan Patrick Swayze. Tapi adegan itu bahkan sangat minimal, sementara alur ceritanya tetap utuh. Dalam Vampire in Venice (1988), sutradara Augusto Caminito secara dahsyat melukiskan emosi erotik di balik ketakutan sekaligus kepasrahan kepada penguasa kegelapan, pangeran drakula yang merajai lorong dingin Kota Venezia, Italia. Tapi tanpa terjatuh dalam erotisme murahan. Di situ aktor kawakan Klaus Kinski bermain cemerlang bersama aktris Barbara de Rossi.

Di samping akting yang prima, kecanggihan skenario menjadi modal utama film apa pun. 

Tapi banyak sutradara maupun produser Indonesia akan bertanya: buat apa susah-susah jika paha dan dada saja sudah laku dijual?

Dwi Arjanto dan Fitri Oktarini (Tempo News Room)



FILM PANAS, ARTIS PANAS JUGA

Suara dari balik seluloid yang panas itu

Berikut siapa dan mengapa dari beberapa bintang, produser, dan sutradara yang belakangan ini terlibat film panas itu.

INNEKE KOESHERAWATI, bintang Gadis Metropolis dan Kenikmatan Tabu, antara lain. "Saya sumpek kalau tak ada syuting," kata gadis 18 tahun ini. Kata orang, ia ngetop sejak berani melakukan adegan panas dalam Gadis Metropolis. Tapi buru-buru ia bilang keberaniannya masih sesuai dengan alur cerita dan masih ada pakaian yang melekat di tubuhnya. "Saya tak mau disuruh bugil," kata cewek 168 cm dengan berat 54 kg ini. Pertama kali mengenal syuting semasa SMP, menjadi figuran dalam film remaja, Lupus IV. Ia dibayar Rp 15 ribu untuk syuting seharian, kata juara kontes gadis berbakat versi majalah Gadis tahun 1990 itu.

Ia pertama kali jadi pemeran utama dalam Misteri Ronggeng dengan honorarium Rp 300 ribu. Saat itu "saya tak punya modal akting, dan masih takut-takut." Ayahnyalah, seorang karyawan perusahaan swasta, pernah ikut grup teater di Bandung, yang mengajarinya pasang aksi di depan kamera. Apa yang dicarinya dari film-film yang mengharuskannya memamerkan bentuk tubuhnya itu? "Terus terang saja, uang," kata lulusan SMA PSKD II Matraman, Jakarta itu, seraya mengepulkan asap Dunhill mentol dan menenggak Capuccini. 
 
Dan duit itu kini tengah mengalir deras. Tahun ini ia bikin kontrak delapan film panas, dengan tarif Rp 10 juta hingga Rp 15 juta satu film. Dengan uangnya Ine kini pergi ke mana-mana dengan sedan Great Corolla, ditemani sebuah telepon genggam. Tak risi disebut bintang seks? "Habis, tak ada pilihan lain,"jawabnya. "Memang, saya disebut-sebut sebagai bomb sex, tapi itu berarti saya diperhatikan orang," ucap bibir tipisnya yang menebarkan bau parfum Kenzo yang lembut. TAFANNA DEWY, pemeran pembantu dalam Misteri Permainan Terlarang dan Gairah Malam. "Film itu bukan realita, antara keduanya tak saya baurkan," kata cewek kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1974 itu. Bibir mungilnya disapu lipstik merah menyala. Rambut ikal kecokelatan, dan sesekali digerainya di sela dada dan punggungnya yang terbuka. 

Itulah Tafanna Dewy, artis panas pendatang baru yang sedang sibuk memilih lagu di sebuah karaoke di kawasan Kelapa Gading Permai, Jakarta, Jumat malam pekan lalu. Tak lama kemudian terdengarlah suaranya mendesah, mendendangkan Mutiara yang Hilang. Tafanna mengaku mulai gemar tampil di depan publik sejak di bangku SMA. Tahun 1990, disabetnya Putri Ayu Malioboro, setahun kemudian Putri Batik Indonesia, dan tahun 1992 ia merebut Putri Esteem 1992. Masuklah tawaran untuk menjadi model iklan dan kalender, tentu saja dalam pose pamer bentuk tubuh. Dunia film dimasukinya setelah bermain dalam sinetron Sebening Air Matanya (bersama Adi Kurdi dan Uci Bing Slamet), dan Si Buta Dari Goa Hantu tayangan RCTI sebagai Komariah Si Mawar Berbisa. Setelah dua kali berperan dalam film, tawaran main film mengalir, katanya. "Tapi, kok perannya itu-itu melulu," ujar cewek yang gemar mandi lulur ini.

Baru dalam Tergoda Nafsu, yang baru akan beredar, ia mendapatkan peran utama. Tapi, ya, "itu-itu juga." Ia memerankan tokoh Elisa yang lembut, korban perkosaan. Gadis 167 cm dengan berat 48 kg ini mengaku melakukan adegan-adegan syur tanpa canggung. Karena sudah terbiasa? Bukan itu soalnya, tapi karena ia selalu dikawal sang ibu, sekaligus guru dan manajernya, hingga merasa aman. LELA ANGGRAINI, berperan pembantu di Kenikmatan Tabu, menjadi peran utama dalam film silat Selir Sriti. Tapi yang paling mengesankan buat Lela adalah film Skandal Iblis, film panasnya pertama. "Skandal iblis, ya apalagi kalau bukan skandal seks yang brutal," tuturnya sambil ngakak. Bercelana pendek, dengan kaus tanpa lengan, di rumahnya, pekan lalu, Lela kelihatan seadanya. "Bila perlu, ke warung saya cuma dengan kain melilit di tubuh," katanya tanpa bergurau. 

Janda kembang yang akan genap 27 tahun Oktober nanti itu sudah membintangi sekitar 20 film. Film pertamanya, setelah meninggalkan profesinya sebagai model di Surabaya, adalah film komedi Giliran Saya Mana, bersama Kadir dan Doyok. Ketika itu ia sekadar muncul sebagai figuran, hanya berbikini. Wanita 170 cm dengan berat 53 kg ini dengan sadar melakukan peran-perannya dalam film panas. "Produser tak mau rugi, mencari yang mau buka-bukaan, berani, cantik, mulus. Dan modal saya memang cuma itu, badan," katanya terus terang. Wanita yang bicaranya ceplas-ceplos ini toh tak mau melakukan adegan bugil. "Buat apa, kan nanti dipotong sensor juga, dan enak dong para kru film, mendapatkan hiburan gratis. Tapi mau juga, lo, kalau dibayar semiliar...," tawanya yang keras terdengar lagi. Berapa ia dibayar? Masih di bawah Rp 30 juta, katanya. Hasil main dalam filmnya antara lain berwujud 2 ha kebun pepaya hawai di Bogor, yang buahnya ia pasok ke beberapa pasar swalayan di Jakarta. AYU YOHANA, bintang dalam Susuk Nyai Roro Kidul. "Dulu, pada adegan perkosaan wanitanya masih pakai baju. Sekarang, wah ...," kata Ayu, yang sudah terjun dalam film panas sejak awal 1980-an.

Janda yang tingginya 160 cm dan berat 48 kg ini mengaku tak sungkan melepaskan penutup dadanya, asal "sutradara yang minta". Bahkan mojang Priangan yang mogok SMA-nya ini siap melakukan adegan bugil bila saja aktris lain begitu juga, dan memang sutradaranya mengharuskannya begitu. Tekad Ayu terjun dalam film memang besar. Ia bersedia melakukan adegan buka-bukaan sekadar untuk merintis jalan ke dunia film. "Waktu itu ada yang bilang yang bisa jadi bintang film hanyalah orang-orang kaya," ceritanya. Tak tahunya, peran itulah yang kemudian selalu diterimanya, dan makin lama perannya makin panas saja. FERRY ANGRIAWAN, Produser PT Virgo Putra Film, yang sudah membuat 50 film. Beberapa di antaranya mendapat penghargaan. Cinta di Balik Noda, misalnya, mendapat Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1985, untuk aktris utama terbaik (Meriam Bellina). Pada festival tahun 1986, Cinta Anak Zaman meraih Citra untuk aktor pembantu terbaik (Didi Petet). Tahun berikutnya, Selamat Tinggal Jeannete, pemeran pembantu wanitanya yang mendapat Citra (Ria Irawan). Dan Festival Film Indonesia 1988 memberinya Citra lagi untuk peran pembantu wanita (Ayu Azhari) dalam Dua Kekasih. 

Dengan prestasinya itu, toh Ferry terpaksa ikut arus, membuat film-film yang menyajikan adegan panas sebagai menu utamanya: Gadis Metropolis, Tiga Dalam Satu, dan beberapa lagi. Awalnya adalah terjangan film impor, tahun 1991. Ia mengaku ketika itulah mulai babak-belur. "Utang saya banyak," katanya terus terang. Ia bahkan sampai menjual rumah yang pernah ditinggali ketika masih menjadi suami Meriam Bellina. Maka, ia pun melakukan strategi menekan ongkos produksi: memakai artis yang belum punya nama. Maka, apalagi yang keluar dari cara itu bila bukan film syur tadi, tutur anak seorang pemilik sembilan bioskop di Sumatera Barat ini. "Mau bagaimana lagi, itu yang disenangi penonton sekarang?" katanya. Ferry punya resep sendiri untuk film-filmnya. "Yang penting citra, bukan detailnya. Dan itu bisa lewat ekspresi wajah, kaki, atau tangan yang seksi," katanya. Ia pun melakukan taktik yang tampaknya dilakukan oleh hampir semua produser film panas: gambar dan foto yang dipasang sebagai reklame filmnya sebenarnya tak ada dalam adegan sesungguhnya.

Dengan resep itu ia mengaku bisa untung 30% dari modal Rp 250 juta -- rata-rata ongkos produksi film panas sekarang. Sebagai produser profesional, katanya, ia tak peduli filmnya dicap murahan, ngeseks, atau apa pun. Yang penting, dapur produksinya jalan. TJUT DJALIL, sutradara yang filmnya lima tahun lalu menghebohkan, Pembalasan Ratu Laut Selatan. "Film Indonesia sekarang sudah murni barang dagangan," kata lelaki berusia 62 tahun ini. Tjut termasuk orang film yang bicara blak-blakan. Coba dengar pendapatnya tentang film Indonesia belakangan ini. "Film Indonesia? Itulah film yang dibuat dengan biaya semurah mungkin, harus laku dijual, tak peduli segi artistik dan alur cerita. Pokoknya, ada adegan cumbu-mencumbu, cium-mencium, polos-polosan, lalu ah-eh-oh." 
 
Ia pun tak ingin sok-sokan membuat film horor atau film laga berbumbu seks, karena harus mengeluarkan ongkos untuk adegan-adegan tipuan yang biayanya mahal. Menurut pendapatnya, dunai film Indonesia kini dikuasai oleh produser. Dulu, misalnya, pengedar masih ikut menentukan artisnya. Malah kala itu produser menyetujui saja usul pengedar. Sekarang zaman sudah berbeda, kata Tjut, "produser yang punya duit yang menentukan segalanya. Dari soal cerita sampai bintangnya...." Sutradara tinggal menjalankan apa maunya produser. "Maka, kalau mau jujur, saya membuat film semata karena urusan perut," kata ayah sembilan anak itu, yang mengaku honorariumnya sebagai sutradara kini sekitar Rp 10 juta bersih. Orang Aceh yang pernah menjadi pegawai negeri lalu menjadi wartawan di Medan ini, awal tahun 1960-an, pindah ke Jakarta. Setelah diterima menjadi asisten sutradara, tahun 1974 film pertamanya lahir, Benyamin Spion 025, sebuah film komedi satir. Melihat sosok Tjut, sulit membayangkan bahwa dari tangannya lahir film-film merangsang. Tjut, yang berambut lurus, bertubuh ceking, adalah haji yang rajin salat. Meski dia yang mengarahkan artis untuk membuka ini-itu, ia mengaku tak pernah tergoda. "Mending perempuan desa, asli dan sederhana, jauh dari polesan rias wajah atau manipulasi keseksian karena operasi," katanya.

Ia kini menunggu saat "pensiun". Ia mengaku mengalami konflik batin tiap membuat film panas. "Saya punya anak yang bekerja sebagai guru SMA," tuturnya. Itulah salah satu yang menyebabkan konflik batin itu, dan karenanya ia ingin bisa cepat berhenti dari dunia film. 

RAAM SORAYA, produser yang sudah bikin 50 film, demi film Indonesia mengaku pernah langsung meminta Badan Sensor Film melonggarkan guntingnya. "Saya minta supaya ada pancingan buat penonton, supaya mereka mau masuk bioskop yang memutar film Indonesia. BSF setuju. Dan bioskop luber lagi, bioskop kelas bawah tapi," tuturnya. Raam tidak membantah, filmnya banyak menampilkan adegan seks. "Tapi itu cuma bumbu," ujarnya. Dialah produser Pembalasan Ratu Laut Selatan. Dalam sebelas hari, sebelum terjadi protes dan ia menarik film itu dari peredaran, sudah 500.000 karcis terjual. "Karena film itu diributkan, orang malah penasaran dan mencari film itu," katanya kepada Rihad Wiranto dari TEMPO. Ada yang disayangkan Raam, bahwa film-film sekarang bebas ditonton semua umur. Mestinya itu cuma untuk orang dewasa, katanya. Bahkan film komedi Warkop, menurut dia tak cocok ditonton anak-anak, karena banyak adegan buka dada dan paha. Jebolan Institut Teknologi Surabaya ini masuk dunia film dengan menjadi distributor film di Jawa Timur, tahun 1973, terlebih dahulu. Baru tahun 1987 ia mendirikan PT Soraya Intercine Film


Minggu, 29 November 2009

KESUKSESAN JAVA INDUSTRIAL FILM 1900-1937



Keluarga China kaya, tinggal di daerah elite untuk kalangan China Jln: Moolenvliet atau Gajah Mada sekarang. The Teng Chun duduk paling kanan, disebelahnya Kim Le, China totok yang semula adalah pengusaha Tongkang, kemudian hasil bumi, lalu eksportir film China. Semua saudara laki-laki The Teng Chun ikut dalam JIF (Java Industrial Film)

Mengenang Kesuksesan Java Industrial Film

KabarIndonesia -
Berkat kerja kerasnya, The Teng Chun berhasil membangun suatu perusahaan film yang besar dan paling konsisten pada masa kolonial. Perusahaan film yang berdiri pada 1937 ini memiliki nilai lebih dibandingkan perusahaan-perusahaan film yang “timbul-tenggelam” pada masa kolonial. Java Industrial Film Company mempunyai totalitas dalam memproduksi film-filmnya. 
Pada tahun 1900, tepatnya awal Desember, penduduk di negeri ini mendapat kesempatan pertama kali untuk menyaksikan “gambar idoep”. Film-film yang beredar pada masa awal ini adalah film-film dokumenter. Perusahaan film Holandia yang memproduksi film “Onze Oost” (“Timur Milik Kita”) dan perusahaan film Nationale Film Fabriek adalah dua nama perusahaan, di antara beberapa nama perusahaan lain, yang hadir pada masa film dokumenter ini. Pengusahanya kebanyakan orang-orang kulit putih. Akibat tidak adanya tanggapan dari publik serta kurangnya tenaga profesional dan ketersediaan alat-alat, banyak perusahaan pada masa ini yang mengalami kebangkrutan.


26 tahun kemudian, Java Film Company perusahaan film milik L. Heuveldorp dan G. Krugers, berhasil membuat film cerita pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Pasca keberhasilan pembuatan film cerita pertama tersebut, banyak perusahaan-perusahaan film yang mencoba membuat film cerita. Pada periode ini juga ditandai dengan kehadiran para pengusaha film peranakan Tiong Hoa. Sebelumnya bisnis mereka hanya terbatas pada masalah importir film dan menjadi pengusaha bioskop. Pengusaha-pengusaha film peranakan Tiong Hoa ini melihat peluang yang baik setelah film-film Cina laku di pasaran. Secara berangsur-angsur peran pengusaha-pengusaha film kulit putih tersisihkan dari persaingan dengan para pengusaha peranakan Tiong Hoa. Pada periode ini hingga Jepang masuk ke Indonesia mayoritas perushaan film yang ada dikuasai oleh golongan peranakan Tiong Hoa. Armijn Pane dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia menulis bahwa para pengusaha peranakan terjun menjadi produser setelah seorang peranakan Tiong Hoa ikut main dalam film “Naik Djadi Dewa”.

Pada 1926 sampai 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film (keduanya dari Bandung), Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nansing Film Coorporation, Tan’s Film, Prod. Tan Boen Soan, dan Kruger Film Bedrijf dari Batavia . Dari semua perusahaan film tersebut hanya dua yang pemiliknya orang kulit putih, yaitu Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik pengusaha peranakan Tiong Hoa. Rata-rata perusahaan film pada masa ini hanya menghasilkan satu sampai tiga produksi film saja, kecuali Tan’s Film yang menghasilkan lima produksi film. Periode ini juga banyak perusahaan film yang mengalami kebangkrutan. Salah satunya adalah yang menimpa perusahaan Nansing Film. Perusahaan tersebut bangkrut akibat menanggung biaya yang sangat besar untuk membayar Olive Young, aktris bintang yang didatangkan langsung dari Shanghai Cina, untuk membintangi film “Resia Boroboedoer”. Olive Young dibayar f 10.000 oleh Nansing Film. Suatu pemborosan yang luar biasa pada masa itu.


Tahun 1930, sejarah perfilman Indonesia memasuki era “film bicara” (film dengan tekhnologi suara). Pada tahun ini muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film. Perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures di bawah pimpinan The Teng Chun. Berbeda dengan beberapa perusahaan film yang ada, Cino Motion Pictures dipimpin oleh seorang yang mengerti selera publik di Hindia Belanda dan mempunyai visi yang jelas dalam urusan bisnis film.








 
 
 







The Teng Chun adalah putra The Kiem Ie, seorang pedagang hasil bumi peranakan Tiong Hoa kelahiran Betawi. Sebelum membentuk Cino Motion Pictures ia pernah sekolah di New York , sebelum akhirnya terpaksa berhenti. Masa luang ketika menimba ilmu di New York dihabiskan untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang perfilman, yaitu dengan mengikuti kursus menulis skenario. Setelah sekolahnya di New York gagal, The Teng Chun mengembara ke Shanghai Cina, pusat perfilman Mandarin kala itu. Ayahnya yang semula seorang eksportir hasil bumi, dibujuknya untuk “banting setir” menjadi importir film. Pada 1930, The Teng Chun pulang ke Batavia. 
 
 
 
 
 
Di sini ia mencoba mempraktekan pengetahuannya mengenai teknis perfilman dan pengalaman impor yang lumayan. The Teng Chun membidik sasaran publik Tiong Hoa yang dianggap sangat potensial sebagai penonton film.
Tahun 1930, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah masa film bicara. Dengan dimulainya era film bicara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tiong Hoa di Hindia Belanda faham bahasa leluhur mereka. The Teng Chun yang membawa peralatan sederhana dari Shanghai tidak membuang kesempatan ini. Ia kemudian mendirikan Cino Motion Pictures dan membuat film bersuara dengan cerita Tiong Hoa. Hasil produksi perusahaan film ini antara lain “Sam Pek Eng Tay” tahun 1931, “Pat Bie To” (“Delapan Wanita Tjantik”) tahun 1932, “Pat Kiam Hiap” (“Delapan Djago Pedang”) tahun 1933, serta ”Ouw Phe Tjoa” (“Doea Siloeman Oelar Poeti en Item”) tahun 1934. Setelah produksi filmnya yang disebutkan paling akhir tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film pada 1935. Perusahaannya meneruskan produksi-produksi film klasik Tiong Hoa, seperti “Lima Siloeman Tikoes” tahun 1935, “Pan Sie Tong” tahun 1935, “Tie Pat Kai Kawin” tahun 1935, “Ouw Phe Tjoa II” (“Anak Siloeman Oelar Poeti”) tahun 1936, dan “Hong Lian Sie” tahun 1937. Dari beberapa perusahaan film yang ada, perusahaan ini adalah yang paling konsisten dalam memproduksi film-film cerita kalsik Tiong Hoa.
Pada 1937 beredar di bioskop-bioskop film ”Terang Boelan”. Film tersebut adalah produksi ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat), dengan Albert Balink sebagai sutradaranya. Film ini mencatat sukses yang luar biasa. Sukses yang diraih oleh film ”Terang Boelan” karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon atau lawak, perkelahian, dan keajaiban atau fantasi, adalah yang paling banyak disukai oleh publik penikmat film. Pemilik perusahaan film menarik dua pelajaran dari kesuksesan film ini. Dua pelajaran itu adalah, pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tetapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik, kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung sandiwara (tonil).
Pada 1937 sampai 1942, di Hindia Belanda ada tujuh perusahaan film yang aktif berproduksi hingga menjelang kedatangan Jepang, yaitu Java Industrial Film, Tan’s Film, Popular’s Film, Oriental Film, Djawa Film, Union Film, Star Film, Majestic Film Coy, dan Standard Film. Sejak kesuksesan film ”Terang Boelan”, dunia perfilman pada periode ini hingga masuknya Jepang ke Indonesia menunjukkan grafik yang luar biasa. Tercatat ada sekitar 52 judul film yang dihasilkan. Hebatnya, dari 52 judul film tersebut, 15 judul di antaranya adalah hasil produksi perusahaan milik The Teng Chun. 
 
 
 
Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun sanggup menunjukan konsistensinya hingga akhir masa. Ciri yang paling menonjol pada kegiatan perusahaan film masa ini adalah dipergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara yang ada untuk bermain dalam film-film hasil produksi mereka. Strategi ini digunakan untuk mengangkat mutu film dan meraih dukungan publik sebesar-besarnya.

Java Industrial Film, ”mengambil” Ferry Kock dan istrinya, Dewi Mada, pada 1940 untuk dijadikan bintang dalam film-film produksinya. Keduanya merupakan mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella. Sebelumnya, Andjar Asmara dan Ratna Asmara terlebih dahulu masuk ke dalam perusahaan ini. Perusahaan milik The Teng Chun ini kian besar setelah beberapa mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella dan Bolero masuk ke dalamnya. Mereka yang masuk ke dalam Perusahaan Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun ini adalah Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok (dari Perkumpulan Dardanella), Inoe Perbatasari (dari Perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain seperti Raden Ismail, Ludi Mara, dan Aisyah. Semua mantan pemain sandiwara ini masuk atas himbauan dari Andjar Asmara. Besar kemungkinan, The Teng Chun memakai mantan anggota Dardanella karena perkumpulan ini adalah perkumpulan besar pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat, begitupun aksi-aksi mereka di atas panggung yang telah teruji dengan baik.

Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan film milik The Teng Chun ini membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. Java Industrial Film berubah menjadi New Java Industrial Film, ketika membentuk anak perusahaan. Antara tahun 1940 sampai akhir tahun 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film, yaitu “Rentjong Atjeh”, “Dasima”, “Melatie van Agam”, “Sorga Palsoe”, “Matoela”, “Serigala Item”, “Matjan Berbisik”, “Si Gomar”, “Singa Laoet”, “Kartinah”, “Elang Darat”, “Ratna Moetoe Manikam”, “Poetri Rimba”, “Tengkorak Hidoep”, dan “Noesa Penida”.
Dalam perusahaan The Teng Chun ini, orang-orang bekas anggota perkumpulan sandiwara yang ditarik ke perusahaannya hampir seluruhnya mengambil peranan penting. Misalnya saja, Andjar Asmara memegang bagian publikasi untuk film-film produksi perusahaan ini, seperti film “Rentjong Atjeh”, dan sebagai sutradara dalam film “Kartinah” dan film “Noesa Penida”. “Rentjong Atjeh” adalah hasil karangan dari Ferry Kock. Ferry Kock dan Dewi Mada bermain dalam film ini, sekaligus turut ambil bagian untuk menyanyikan beberapa lagu dalam film ini. Selain itu, Ferry Kock dan Dewi Mada juga bermain dalam film “Matoela”. 
 
Inoe Perbatasari dipercaya untuk menangani film-film produksi Jacatra Film, sebagai sutradara dalam film “Elang Darat” dan film “Poetri Rimba”, serta sebagai pemain dalam film “Kartinah” dan film “Ratna Moetoe Manikam”. Ali Yugo mengambil tempat sebagai pemain dalam film “Kartinah”, “Elang Darat”, “Noesa Penida”, dan “Ratna Moetoe Manikam”. Astaman menjadi pemain dalam film ”Elang Darat”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Ratna Asmara membintangi film ”Kartinah”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Tan Tjeng Bok menjadi bintang dalam film ”Si Gomar”, ”Singa Laoet”, ”Srigala Item”, dan ”Tengkorak Hidoep”. M. Rasjid Manggis menjadi pemain dalam film ”Kartinah”.
Hampir seluruh film hasil produksi Java Industrial Film laku dipasaran. Namun sayangnya film-film ini banyak yang menyadap film-film dari luar negeri/Amerika. Semisal film ”Zorro” disadur menjadi film ”Srigala Item” dan ”Singa Laoet”, serta film ”Tarzan” yang diadaptasi menjadi film ”Rentjong Atjeh” dan ”Alang-alang”. Mungkin strategi ”jiplak” ini mengikuti suksesnya film “Terang Boelan” yang merupakan film adaptasi dari film “The Jungle Princess” yang dibintangi oleh Dorothy Lamour. Film ini beredar di Batavia pada 1936.

Java Industrial Film mengakhiri riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara pendudukan Jepang pada 1942. Pemerintah militer Jepang menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). The Teng Chun mengemukakan pendapatnya bahwa ”masuknya orang-orang panggung ke dunia film, memberi banyak pemikiran baru mengenai publikasi, wawasan yang luas, serta pandangan yang maju mengenai segi hiburan, antara lain berkat pengalaman mereka pergi keliling sampai ke luar negeri”. Tentang The Teng Chun dan Java Industrial Film, Andjar Asmara pernah mengatakan ”apa jang paling menarik hati kita ialah jang gebroeders The boekannja sadja mengerti bahwa soepaja bisa berdjoeang dalam pasar film haroes poenjakan perkakas jang serba modern, tetapi mereka djoega mengerti kemaoean djaman”.
Pelajaran yang dapat diambil dari kesuksesan The Teng Chun membangun perusahaan film Java Industrial Film adalah kecerdasannya melihat perkembangan dan selera publik penikmat film. Ia mampu melihat apa yang menjadi keinginan publik pada masanya. The Teng Chun juga mengambil orang-orang yang mempunyai pengalaman dalam hal akting (pemain sandiwara).




The Teng Chung, di kantornya JIF















Andjar Asmara dikantor JIF











Kamis, 05 November 2009

SINDIKAT SIHOMBING

Sindikat sihombing

Sihombing koordinator sindikat penulis script film kelompok asrul sani, umar kayam, sumanjaya, taufiq is mail, arifin c noer. sindikat tsb merupakan bengkel pencipta & perbaikan skenario-skenario yang rusak.



DARI dulu hingga sekarang, skenario itu tetap uang. Artinja: siapa jang bisa bikin skenario, mudah dapat uang. Karena itu orang-orang matjam Turino Djunaidy menulis sendiri untuk film-filmnja, dan ini berarti penghematan total. Bukan tjuma itu, jang lebih parah lagi djuga ada. 

Konon skenario djiplakan pernah menari-nari dilajar bioskop Indonesia. Itulah kasus jang menjang-kut film Dandjiku, produksi Persari Film ditahun limapuluhan. Bukan tjuma skenarionja jang ditiru mentah-mentah, teknisi dan sutradara film India-pun didatangkan untuk membikin sjur kisah sedih itu. Dan meskipun beberapa waktu kemudian film jang ditiru itu diimpor djuga dari India, toch film Persari itu larisnja bukan kepalang. Djangan lagi disebut peniruan terhadap film-film Hongkong-Taiwan. Seorang sutradara film Indonesia bisa tjuma datang ke Lokasari dan membeli beberapa buku jang berisi skenario dari film-film Hongkong jang sudah beredar. Dan tahu-tahu filmnja jang berikut tjuma adaptasi dari skenario itu.

Sekarang ini, kendatipun pembadjakan masih ada, paling tidak penulisan skenario dalam bahasa Indonesia toch masih memerlukan waktu. Turino jang semakin sibuk, larinja ke Sjuman Djaja, penulis skenario Pengantin Remadja. Tadinja Sjuman berterimakasih dengan kedatangan order-order, sampai-sampai tjerita semrawut matjam Kasihku, Ibuku pun dia ladeni. Sekarang tidak bisa. "Tidak ada waktu lagi", katanja mengeluh kelelahan setelah semalaman menunggui kamera jang harus memotret Rachmat Hidajat, Rima Melati dan Sukarno M.Noer untuk film Lewat Tengah Malam. Lagi pula Sjuman Djaja sekarang ini merangkap banjak kegiatan, antara lain sebagai bintang film sekaligus sutradara.

Membidik. Nah, kalau Turino jang serba bisa dan djuara hemat sadja sudah harus minta bantuan skenario dari lain orang, bagai-mana pula dengan importir-importir jang sedang sibuk banting stir djadi produser? Larinja ke Sjuman djuga. "Wah, saja sedih sekali", keluh cineast lulusan Moskow ini,"padahal itu gedjala bagus, artinja mereka ada keinginan mendapatkan tjerita jang baik". 

Namun toch tidak bisa, dan tawaran jang sudah belasan djumlahnja itu tetap hanja menjedihkan hati sang penulis skena-rio. Untung ada Wahju Sihombing. Maka datanglah ia dengan idenja jang mungkin bisa gemilang, sebab kalau sempat terbilang, uang bisa datang. Dan lahirlah konsep Sindikat Penulis Script Film.

Dengan tepat Sihombing membidik kelemahan film-film Indonesia 20 tahun terachir: penulisan scriptnja. "Film Indonesia tidak keku-rangan thema jang baik, tetapi kekurangan utama adalah dalam segi pengolahan tjerita dan teknis penulisannja", tertulis djelas dalam edaran perkenalan sindikat itu. Sihombing sebagai koordi-nator merasa bahwa saatnja sudah tiba untuk memikirkan perbaikan-perbaikan dibidang tjerita dan teknis penjampaiannja, karena itu kelahiran sindikat jang berupa bengkel jang mentjipta serta mempermak skenario-skenario rusak, nampaknja sudah tidak bisa ditunda lagi. Siapa montir-montirnja? "Untuk tahap pertama ada Asrul Sani, Umar Kayam, Sjuman Djaja, Taufiq Ismail, Arifin C. Noer dan saja sendiri", djawab Hombing. Dan kalau nama hadji Asrul Sani disebut, bekas muridnja di ATNI ini harus kasih tambahan pendjelasan, sebab konon banjak orang takut pada Asrul lantaran nama ini selalu dihubungkan dengan "seni", dan itu katanja tidak bertetangga dengan emas. "Tapi kali ini lain. Disini semua matjam tjerita diterima. Sex maupun silat, drama ataupun komedi. Matjam bengkellah", kata Sihombing mendjelaskan. Karena itu ia mengharapkan agar orang-orang jang perlu skenario -- jang sudah punja tjerita ataupun jang belum sama sekali tidak perlu takut-takut menghubungi sindikatnja. "Ini salah satu djalan untuk menolong film Indonesia dari persoalannja jang rumit itu".

Tidak usah diragukan bahwa Sjuman Djaja-lah jang paling setudju konsep teman sedjawatnja di Dewan Kesenian Djakarta itu . Sebelum berangkat location ke Bali, ia masih sempat memudji-mudji ide Sihombing tersebut. Asrul Sani mulanja memang belum begitu akur. "Kalau pakal surat-surat resmi matjam begini (sambil melambai-lambaikan surat edaran Sihombing) saja djadi ngeri sadja". 

Kenapa Dekan Akademi Teater LPKD itu ngeri, kurang didjelaskan. Asrul maunja agar usaha ini diam-diam sadja, tidak perlu formil-formilan. "Lagi pula, apa itu matjam sindikat kolomnis?" Kalau demikian, menurut Asrul, skenario itu tidak perlu pakai nama penulis, tjukup tjap sindikat. Sihombing menganggap Asrul masih kurang mengerti duduk soalnja. "Batja dong. Kan disebut disitu bahwa ini hanja kumpulan individu dan bukan organisasi. Sindikat ini kan hanja untuk mempermudah pekerdjaan". Achirnja Asrul akur djuga. "Sudahlah, pokok nja saja kerdja sadjalah, apa kek nama nja".

Tjerpen. Lain lagi Umar Kayam. Bekas Direktur Djenderal Radio, TV dan Film jang sekarang djadi Ketua DKD, malahan sudah dikabarkan sibuk bikin skenario. Belum djelas apakah itu hobby mahal diteng-ah panen dunia film, atau bahkan sudah ada order. Tapi tjukup menarik untuk menanjakan kepada Umar Kayam tentang waktunja jang kebanjakan disita oleh pidato dan seminar diluarnegeri. "Lha, kalau skenario menghasilkan lebih banjak uang dari seminar dan pidato, ja pilih nulis skenario". Jang sedikit djadi pikiran Ketua DKD ini adalah antjaman jang menghantui kesusastraan djika orang-orangnja mulai pada sjik nulis skenario. "Selama honorarium untuk tjerpen-tjerpen tetap seperti sekarang ini, jah terantjam terus", katanja. Tiba-tiba Umar Kayam teringat nasib industri film Indonesia jang tertolong oleh adanja SK 71. "Jah, sajangnja tidak ada importir tjerpen. Kalau ada, enak".

Arifin C. Noer, pemimpin Teater Ketjil, sudah lama asjik mem-banding-bandingkan berbagai skenario. Kalau lagi bersama Asrul dalam suatu ruangan, kesempatan tentu tidak dilewatkan oleh Arifin untuk mengeruk sebanjak mungkin ilmu bikin film dari guru orang-orang film dan teater itu. "Saja sudah menawarkan beberapa tjerita saja kepada produser", kata Arifin serius. Dan Taufiq Ismail? Ia tidak mau kasih keterangan, meskipun tjeritanja ada dibawa sutradara Hasmanan. Tjerita atau sudah skenario itu? Baru treatment. Itupun belum tahu kabarnja. Sudah lama saja tak djumpa Hasmanan".


Lepas dari nama-nama beken jang dilibatkan Sihombing dalam sindikat jang ia koordinasikan itu, Asrul masih punja soal lagi. "Menulis skenario tidak sama dengan menulis lakon sandiwara". Baginja, skenario itu adalah lukisan kata-kata dari apa-apa jang oleh sutraara nanti akan diterdjemahkan mendjadi gambar. Karena itu, selain bakat, perlu djuga pengetahuan teknis. Tentu sadja jang dimaksud Asrul Sani adalah orang-orang matjam Arifin, Taufiq dan Kayam. Orang-orang ini memang tjemerlang sebagai penulis drama (Afifin), penjair (Taufiq) dan penulis tjerita pendek (Umar Kayam), tapi bagaimana dengan bidang baru jang bernama skenario'? "Saja kira saja bisa", kata Umar Kayam. Lagi pula, menurut Sihombing, skenario sekarang ini tidak berbeda dengan novel. Dan iapun menundjukkan skenarionja jang laku 300 ribu rupiah: Matinja Seorang Bidadari.

Hudjan. Mudah dimengerti kalau orang-orang film matjam Sjuman Djaja, Sihombing dan Asrul itu antusias dengan penulisan skenario jang serius, sebab mereka semua masih ingat keruntuhan film Indonesia tahun limapuluhan akibat semakin tak terkontrolnja tjerita-tjerita jang diangkat waktu itu. Sekarang inipun gedjala itu sudah mulai dirasakam Umar Kayam berkesimpulan bahwa perkembangan teknis-film Indonesia berdjalan djauh lebih tjepat dari perkembangan ide-ide melalui tjerita jang dibawakannja. 

Karena itulah maka ide sindikat jang dilantjarkan Sihombing ini persis hudjan jang djatuh diatas benih jang baru di semaikan. "Dari pada larinja keorang jang setengah-setengah, mending kepada Sihombing njeletuk seorang produser muda jang sedang siap untuk memulai produksi pertamanja. Mudah-mudahan begitulah, kendatipun jang pasti adalah kenjataan bahwa achirnja ada djuga orang-orang Indonesia jang menjadari perlunja tjerita buat sebuah film. Selama ini jang mendjadi soal adalah bahan baku, lampu, kamera dan pemain. Tjerita dikarang sendiri atau dibadjak dari film asing.

Untuk perhatian para produser maupun tjalon-tjalonnja, sindikat ini mengatakan akan suka kasih nasehat tentang sutradara-sutradara jang kira-kira tjotjok dengan suatu skenario. Asrul Sani malah mentjita-tjitakan pembentukan sindikat sutradara. "Biar tidak setiap orang bisa menamakan dirinja sutradara", katanja sedikit keras. Sihombing dan Sjuman Djaja tetap merentjanakan pelebaran sindikat melalui work shop, karena itu barangkali agak beralasan djika edaran koordinator ada menjebut sindikatnja sebagai sumber inspirasi bagi film-fihn Indonesia dikemudian hari.