Keluarga China kaya, tinggal di daerah elite untuk kalangan China Jln: Moolenvliet atau Gajah Mada sekarang. The Teng Chun duduk paling kanan, disebelahnya Kim Le, China totok yang semula adalah pengusaha Tongkang, kemudian hasil bumi, lalu eksportir film China. Semua saudara laki-laki The Teng Chun ikut dalam JIF (Java Industrial Film)
KabarIndonesia -
Berkat kerja kerasnya, The Teng Chun berhasil membangun suatu perusahaan film yang besar dan paling konsisten pada masa kolonial. Perusahaan film yang berdiri pada 1937 ini memiliki nilai lebih dibandingkan perusahaan-perusahaan film yang “timbul-tenggelam” pada masa kolonial. Java Industrial Film Company mempunyai totalitas dalam memproduksi film-filmnya. Pada tahun 1900, tepatnya awal Desember, penduduk di negeri ini mendapat kesempatan pertama kali untuk menyaksikan “gambar idoep”. Film-film yang beredar pada masa awal ini adalah film-film dokumenter. Perusahaan film Holandia yang memproduksi film “Onze Oost” (“Timur Milik Kita”) dan perusahaan film Nationale Film Fabriek adalah dua nama perusahaan, di antara beberapa nama perusahaan lain, yang hadir pada masa film dokumenter ini. Pengusahanya kebanyakan orang-orang kulit putih. Akibat tidak adanya tanggapan dari publik serta kurangnya tenaga profesional dan ketersediaan alat-alat, banyak perusahaan pada masa ini yang mengalami kebangkrutan. 26 tahun kemudian, Java Film Company perusahaan film milik L. Heuveldorp dan G. Krugers, berhasil membuat film cerita pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Pasca keberhasilan pembuatan film cerita pertama tersebut, banyak perusahaan-perusahaan film yang mencoba membuat film cerita. Pada periode ini juga ditandai dengan kehadiran para pengusaha film peranakan Tiong Hoa. Sebelumnya bisnis mereka hanya terbatas pada masalah importir film dan menjadi pengusaha bioskop. Pengusaha-pengusaha film peranakan Tiong Hoa ini melihat peluang yang baik setelah film-film Cina laku di pasaran. Secara berangsur-angsur peran pengusaha-pengusaha film kulit putih tersisihkan dari persaingan dengan para pengusaha peranakan Tiong Hoa. Pada periode ini hingga Jepang masuk ke Indonesia mayoritas perushaan film yang ada dikuasai oleh golongan peranakan Tiong Hoa. Armijn Pane dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia menulis bahwa para pengusaha peranakan terjun menjadi produser setelah seorang peranakan Tiong Hoa ikut main dalam film “Naik Djadi Dewa”. Pada 1926 sampai 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film (keduanya dari Bandung), Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nansing Film Coorporation, Tan’s Film, Prod. Tan Boen Soan, dan Kruger Film Bedrijf dari Batavia . Dari semua perusahaan film tersebut hanya dua yang pemiliknya orang kulit putih, yaitu Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik pengusaha peranakan Tiong Hoa. Rata-rata perusahaan film pada masa ini hanya menghasilkan satu sampai tiga produksi film saja, kecuali Tan’s Film yang menghasilkan lima produksi film. Periode ini juga banyak perusahaan film yang mengalami kebangkrutan. Salah satunya adalah yang menimpa perusahaan Nansing Film. Perusahaan tersebut bangkrut akibat menanggung biaya yang sangat besar untuk membayar Olive Young, aktris bintang yang didatangkan langsung dari Shanghai Cina, untuk membintangi film “Resia Boroboedoer”. Olive Young dibayar f 10.000 oleh Nansing Film. Suatu pemborosan yang luar biasa pada masa itu. Tahun 1930, sejarah perfilman Indonesia memasuki era “film bicara” (film dengan tekhnologi suara). Pada tahun ini muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film. Perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures di bawah pimpinan The Teng Chun. Berbeda dengan beberapa perusahaan film yang ada, Cino Motion Pictures dipimpin oleh seorang yang mengerti selera publik di Hindia Belanda dan mempunyai visi yang jelas dalam urusan bisnis film.
Mengenang Kesuksesan Java Industrial Film
KabarIndonesia -
Berkat kerja kerasnya, The Teng Chun berhasil membangun suatu perusahaan film yang besar dan paling konsisten pada masa kolonial. Perusahaan film yang berdiri pada 1937 ini memiliki nilai lebih dibandingkan perusahaan-perusahaan film yang “timbul-tenggelam” pada masa kolonial. Java Industrial Film Company mempunyai totalitas dalam memproduksi film-filmnya. Pada tahun 1900, tepatnya awal Desember, penduduk di negeri ini mendapat kesempatan pertama kali untuk menyaksikan “gambar idoep”. Film-film yang beredar pada masa awal ini adalah film-film dokumenter. Perusahaan film Holandia yang memproduksi film “Onze Oost” (“Timur Milik Kita”) dan perusahaan film Nationale Film Fabriek adalah dua nama perusahaan, di antara beberapa nama perusahaan lain, yang hadir pada masa film dokumenter ini. Pengusahanya kebanyakan orang-orang kulit putih. Akibat tidak adanya tanggapan dari publik serta kurangnya tenaga profesional dan ketersediaan alat-alat, banyak perusahaan pada masa ini yang mengalami kebangkrutan. 26 tahun kemudian, Java Film Company perusahaan film milik L. Heuveldorp dan G. Krugers, berhasil membuat film cerita pertama di Indonesia dengan judul Loetoeng Kasaroeng pada 1926. Pasca keberhasilan pembuatan film cerita pertama tersebut, banyak perusahaan-perusahaan film yang mencoba membuat film cerita. Pada periode ini juga ditandai dengan kehadiran para pengusaha film peranakan Tiong Hoa. Sebelumnya bisnis mereka hanya terbatas pada masalah importir film dan menjadi pengusaha bioskop. Pengusaha-pengusaha film peranakan Tiong Hoa ini melihat peluang yang baik setelah film-film Cina laku di pasaran. Secara berangsur-angsur peran pengusaha-pengusaha film kulit putih tersisihkan dari persaingan dengan para pengusaha peranakan Tiong Hoa. Pada periode ini hingga Jepang masuk ke Indonesia mayoritas perushaan film yang ada dikuasai oleh golongan peranakan Tiong Hoa. Armijn Pane dalam bukunya Produksi Film Tjerita di Indonesia menulis bahwa para pengusaha peranakan terjun menjadi produser setelah seorang peranakan Tiong Hoa ikut main dalam film “Naik Djadi Dewa”. Pada 1926 sampai 1930, tercatat ada sekitar delapan perusahaan film di Indonesia, yaitu Java Film Company dan Cosmos Film (keduanya dari Bandung), Halimoen Film, Batavia Motion Pictures, Nansing Film Coorporation, Tan’s Film, Prod. Tan Boen Soan, dan Kruger Film Bedrijf dari Batavia . Dari semua perusahaan film tersebut hanya dua yang pemiliknya orang kulit putih, yaitu Cosmos Film milik Carli dan Kruger Film Bedrijf milik Kruger, selebihnya milik pengusaha peranakan Tiong Hoa. Rata-rata perusahaan film pada masa ini hanya menghasilkan satu sampai tiga produksi film saja, kecuali Tan’s Film yang menghasilkan lima produksi film. Periode ini juga banyak perusahaan film yang mengalami kebangkrutan. Salah satunya adalah yang menimpa perusahaan Nansing Film. Perusahaan tersebut bangkrut akibat menanggung biaya yang sangat besar untuk membayar Olive Young, aktris bintang yang didatangkan langsung dari Shanghai Cina, untuk membintangi film “Resia Boroboedoer”. Olive Young dibayar f 10.000 oleh Nansing Film. Suatu pemborosan yang luar biasa pada masa itu. Tahun 1930, sejarah perfilman Indonesia memasuki era “film bicara” (film dengan tekhnologi suara). Pada tahun ini muncul perusahaan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Java Industrial Film. Perusahaan tersebut yaitu Cino Motion Pictures di bawah pimpinan The Teng Chun. Berbeda dengan beberapa perusahaan film yang ada, Cino Motion Pictures dipimpin oleh seorang yang mengerti selera publik di Hindia Belanda dan mempunyai visi yang jelas dalam urusan bisnis film.
The Teng Chun adalah putra The Kiem Ie, seorang pedagang hasil bumi peranakan Tiong Hoa kelahiran Betawi. Sebelum membentuk Cino Motion Pictures ia pernah sekolah di New York , sebelum akhirnya terpaksa berhenti. Masa luang ketika menimba ilmu di New York dihabiskan untuk mengembangkan bakatnya dalam bidang perfilman, yaitu dengan mengikuti kursus menulis skenario. Setelah sekolahnya di New York gagal, The Teng Chun mengembara ke Shanghai Cina, pusat perfilman Mandarin kala itu. Ayahnya yang semula seorang eksportir hasil bumi, dibujuknya untuk “banting setir” menjadi importir film. Pada 1930, The Teng Chun pulang ke Batavia.
Di sini ia mencoba mempraktekan pengetahuannya mengenai teknis perfilman dan pengalaman impor yang lumayan. The Teng Chun membidik sasaran publik Tiong Hoa yang dianggap sangat potensial sebagai penonton film.
Tahun 1930, seperti yang telah dikemukakan di atas, adalah masa film bicara. Dengan dimulainya era film bicara, pasaran film Mandarin yang tadinya bisu menjadi sulit. Tidak semua keturunan Tiong Hoa di Hindia Belanda faham bahasa leluhur mereka. The Teng Chun yang membawa peralatan sederhana dari Shanghai tidak membuang kesempatan ini. Ia kemudian mendirikan Cino Motion Pictures dan membuat film bersuara dengan cerita Tiong Hoa. Hasil produksi perusahaan film ini antara lain “Sam Pek Eng Tay” tahun 1931, “Pat Bie To” (“Delapan Wanita Tjantik”) tahun 1932, “Pat Kiam Hiap” (“Delapan Djago Pedang”) tahun 1933, serta ”Ouw Phe Tjoa” (“Doea Siloeman Oelar Poeti en Item”) tahun 1934. Setelah produksi filmnya yang disebutkan paling akhir tersebut, The Teng Chun mengganti nama perusahaannya menjadi Java Industrial Film pada 1935. Perusahaannya meneruskan produksi-produksi film klasik Tiong Hoa, seperti “Lima Siloeman Tikoes” tahun 1935, “Pan Sie Tong” tahun 1935, “Tie Pat Kai Kawin” tahun 1935, “Ouw Phe Tjoa II” (“Anak Siloeman Oelar Poeti”) tahun 1936, dan “Hong Lian Sie” tahun 1937. Dari beberapa perusahaan film yang ada, perusahaan ini adalah yang paling konsisten dalam memproduksi film-film cerita kalsik Tiong Hoa.
Pada 1937 beredar di bioskop-bioskop film ”Terang Boelan”. Film tersebut adalah produksi ANIF (Algemeene Nederlandsch Indie Film Syndicaat), dengan Albert Balink sebagai sutradaranya. Film ini mencatat sukses yang luar biasa. Sukses yang diraih oleh film ”Terang Boelan” karena komposisi sistem bintangnya dan adegan-adegan yang disukai publik pada masa itu. Adegan seperti nyanyian, lelucon atau lawak, perkelahian, dan keajaiban atau fantasi, adalah yang paling banyak disukai oleh publik penikmat film. Pemilik perusahaan film menarik dua pelajaran dari kesuksesan film ini. Dua pelajaran itu adalah, pertama, usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tetapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik, kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung sandiwara (tonil).
Pada 1937 sampai 1942, di Hindia Belanda ada tujuh perusahaan film yang aktif berproduksi hingga menjelang kedatangan Jepang, yaitu Java Industrial Film, Tan’s Film, Popular’s Film, Oriental Film, Djawa Film, Union Film, Star Film, Majestic Film Coy, dan Standard Film. Sejak kesuksesan film ”Terang Boelan”, dunia perfilman pada periode ini hingga masuknya Jepang ke Indonesia menunjukkan grafik yang luar biasa. Tercatat ada sekitar 52 judul film yang dihasilkan. Hebatnya, dari 52 judul film tersebut, 15 judul di antaranya adalah hasil produksi perusahaan milik The Teng Chun.
Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun sanggup menunjukan konsistensinya hingga akhir masa. Ciri yang paling menonjol pada kegiatan perusahaan film masa ini adalah dipergunakannya aktris-aktris dari perkumpulan sandiwara yang ada untuk bermain dalam film-film hasil produksi mereka. Strategi ini digunakan untuk mengangkat mutu film dan meraih dukungan publik sebesar-besarnya.
Java Industrial Film, ”mengambil” Ferry Kock dan istrinya, Dewi Mada, pada 1940 untuk dijadikan bintang dalam film-film produksinya. Keduanya merupakan mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella. Sebelumnya, Andjar Asmara dan Ratna Asmara terlebih dahulu masuk ke dalam perusahaan ini. Perusahaan milik The Teng Chun ini kian besar setelah beberapa mantan anggota Perkumpulan Sandiwara Dardanella dan Bolero masuk ke dalamnya. Mereka yang masuk ke dalam Perusahaan Java Industrial Film pimpinan The Teng Chun ini adalah Astaman, Ali Yugo, M. Rasjid Manggis, dan Tan Tjeng Bok (dari Perkumpulan Dardanella), Inoe Perbatasari (dari Perkumpulan Bolero), serta beberapa pemain seperti Raden Ismail, Ludi Mara, dan Aisyah. Semua mantan pemain sandiwara ini masuk atas himbauan dari Andjar Asmara. Besar kemungkinan, The Teng Chun memakai mantan anggota Dardanella karena perkumpulan ini adalah perkumpulan besar pada dekade 1926-1935 dan pemain-pemainnya sudah dikenal masyarakat, begitupun aksi-aksi mereka di atas panggung yang telah teruji dengan baik.
Pada perkembangan selanjutnya, perusahaan film milik The Teng Chun ini membentuk dua anak perusahaan, yaitu Jacatra Film dan Action Film. Java Industrial Film berubah menjadi New Java Industrial Film, ketika membentuk anak perusahaan. Antara tahun 1940 sampai akhir tahun 1941, perusahaan ini menghasilkan 15 judul film, yaitu “Rentjong Atjeh”, “Dasima”, “Melatie van Agam”, “Sorga Palsoe”, “Matoela”, “Serigala Item”, “Matjan Berbisik”, “Si Gomar”, “Singa Laoet”, “Kartinah”, “Elang Darat”, “Ratna Moetoe Manikam”, “Poetri Rimba”, “Tengkorak Hidoep”, dan “Noesa Penida”.
Dalam perusahaan The Teng Chun ini, orang-orang bekas anggota perkumpulan sandiwara yang ditarik ke perusahaannya hampir seluruhnya mengambil peranan penting. Misalnya saja, Andjar Asmara memegang bagian publikasi untuk film-film produksi perusahaan ini, seperti film “Rentjong Atjeh”, dan sebagai sutradara dalam film “Kartinah” dan film “Noesa Penida”. “Rentjong Atjeh” adalah hasil karangan dari Ferry Kock. Ferry Kock dan Dewi Mada bermain dalam film ini, sekaligus turut ambil bagian untuk menyanyikan beberapa lagu dalam film ini. Selain itu, Ferry Kock dan Dewi Mada juga bermain dalam film “Matoela”.
Inoe Perbatasari dipercaya untuk menangani film-film produksi Jacatra Film, sebagai sutradara dalam film “Elang Darat” dan film “Poetri Rimba”, serta sebagai pemain dalam film “Kartinah” dan film “Ratna Moetoe Manikam”. Ali Yugo mengambil tempat sebagai pemain dalam film “Kartinah”, “Elang Darat”, “Noesa Penida”, dan “Ratna Moetoe Manikam”. Astaman menjadi pemain dalam film ”Elang Darat”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Ratna Asmara membintangi film ”Kartinah”, ”Noesa Penida”, dan ”Ratna Moetoe Manikam”. Tan Tjeng Bok menjadi bintang dalam film ”Si Gomar”, ”Singa Laoet”, ”Srigala Item”, dan ”Tengkorak Hidoep”. M. Rasjid Manggis menjadi pemain dalam film ”Kartinah”.
Hampir seluruh film hasil produksi Java Industrial Film laku dipasaran. Namun sayangnya film-film ini banyak yang menyadap film-film dari luar negeri/Amerika. Semisal film ”Zorro” disadur menjadi film ”Srigala Item” dan ”Singa Laoet”, serta film ”Tarzan” yang diadaptasi menjadi film ”Rentjong Atjeh” dan ”Alang-alang”. Mungkin strategi ”jiplak” ini mengikuti suksesnya film “Terang Boelan” yang merupakan film adaptasi dari film “The Jungle Princess” yang dibintangi oleh Dorothy Lamour. Film ini beredar di Batavia pada 1936.
Java Industrial Film mengakhiri riwayatnya setelah ditutup paksa oleh tentara pendudukan Jepang pada 1942. Pemerintah militer Jepang menyatukan seluruh perusahaan film dalam Jawa Eiga Kosha (Perusahaan Film Jawa). The Teng Chun mengemukakan pendapatnya bahwa ”masuknya orang-orang panggung ke dunia film, memberi banyak pemikiran baru mengenai publikasi, wawasan yang luas, serta pandangan yang maju mengenai segi hiburan, antara lain berkat pengalaman mereka pergi keliling sampai ke luar negeri”. Tentang The Teng Chun dan Java Industrial Film, Andjar Asmara pernah mengatakan ”apa jang paling menarik hati kita ialah jang gebroeders The boekannja sadja mengerti bahwa soepaja bisa berdjoeang dalam pasar film haroes poenjakan perkakas jang serba modern, tetapi mereka djoega mengerti kemaoean djaman”.
Pelajaran yang dapat diambil dari kesuksesan The Teng Chun membangun perusahaan film Java Industrial Film adalah kecerdasannya melihat perkembangan dan selera publik penikmat film. Ia mampu melihat apa yang menjadi keinginan publik pada masanya. The Teng Chun juga mengambil orang-orang yang mempunyai pengalaman dalam hal akting (pemain sandiwara).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar