Dedi (Dede Yusuf) kawin muda dengan Menul (Ayu Azhari), hingga harus hidup mandiri dengan bekerja sebagai badut disebuah taman hiburan. Pekerjaan ini tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, hingga ia bersama beberapa kawan mencoba melepas dari jerat kemiskinan itu.
Kesempatan datang ketika ia menemukan dompet seorang kaya, yang kemudian memberi modal membuka warung dan lalu rumah makan. Bila dalam jalur kisah ini sutradara mencoba menggambarkan kehidupan rakyat kecil berikut uneg-unegnya, maka pada kisah sampingannya tentang suami-istri Chairul Raya, sutradara film, ia mencibir perfilman Indonesia. Film ini merupakan campuran.
Film ini pertamakali saya dengar baik sekali responnya, entah saya yang salah atau tidak, film ini tidak ada di bioskop, kata teman-teman film ini sempat ada masalah dalam isinya, maklumlah Orde Baru. Tetapi setelah itu saya dengar diputar di Australia dalam festival. Lalu ada acara pemutaran film-film Inggris di TIM, dan film ini diputar 35mm, saya tonton. Saat saya tonton sangat mirip dengan Om Pasikom Chairul Umam, kalau di Om Pasikom, jokenya sangat mudah kita cerna, karena memakai bahasa/dialoq yang umum dan visualnya juga mudah dipahami. Tapi kalau Badut-Badut ini bahasa dialoqnya agak sulit untuk mencernanya walaupun kita tahu maksudnya akhirnya. Karena dialoq yang dipakai tidak ada hubungan dengan adegan yang ada. Contoh paling nyata ada di scene saat para badut ancol bersiap-siap untuk menghibur. Disitu banyak sekali dialoq-dialoq yang tidak ada hubungan dengan scene itu, walaupun maknanya menyentil dan kritik sosial yang luas sifatnya. Tetapi saya tertarik dengan Pasangan Dedy Yusuf dan Ayu Azhari ini, sungguh sexy menggambarkan pasangan muda yang penuh dengan gairah cinta dan hidup, sedangkan tetangga mereka adalah pasangan tua yang sudah jenuh, baik kehidupan dan sex mereka. Yang menarik adalah profesi tetangga mereka itu adalah bekas sutradara yang pemenang piala citra, yang sekarang hidup miskin dan pengangguran. Jelas ini menggambarkan kebanyakan insan film saat itu yang film nasional sudah mati suri. Sedangkan ia masih bangga dengan piala citra-nya dan sebuah kamera film di pajang dirumah kontrakannya. Film ini menggunakan bahasa yang sulit di mengerti, butuh pemikiran, bahkan diantara tetangga itu, mereka memakai dialoq sexual untuk perumpamaan sesuatu atau kritik sosial, seperti kalimat keramas...dan lainnya. Bagi orang yang tidak suka dengan kalimat sexual untuk joke kritik/sentilan permasalahan, maka mereka kurang suka film ini. Tetapi Dedy Yusuf dan Ayu Azhari ini benar-benar pasangan yang bergairah sedangkan tetangga mereka yang sudah tua itu kurang gairah, jadi dialoq yang dipakai kalimat sexualitas untuk perumpamaan. Mungkin ini yang terjadi masalah dalam film ini dalam pemutarannya (Mungkin). Dalam film Om Pasikom juga digambarkan seorang pembuat film Mang Udel yang sedang bergiatnya membuat film. Dan ke dua film ini, Om Pasikom dan Badut-Badut kota endingnya sama-sama menampilkan kaum kumuh dengan paradenya. Dalam Om Pasikom parade untuk orang besar, dalam Badut-Badut Kota hanya sosialidasi saja dengan nyanyian kritik kota Jakarta.
Kesempatan datang ketika ia menemukan dompet seorang kaya, yang kemudian memberi modal membuka warung dan lalu rumah makan. Bila dalam jalur kisah ini sutradara mencoba menggambarkan kehidupan rakyat kecil berikut uneg-unegnya, maka pada kisah sampingannya tentang suami-istri Chairul Raya, sutradara film, ia mencibir perfilman Indonesia. Film ini merupakan campuran.
P.T. PRASIDI TETA FILM |
DEDE YUSUF AYU AZHARI DIEN NOVITA SOFYAN SHARNA JAJANG PAMONTJAK RACHMAN YACOB PURBOWATI KRISSNO BOSSA CHINNY GUNARWAN AMAK BALDJUN AMI PRIJONO |
Film ini pertamakali saya dengar baik sekali responnya, entah saya yang salah atau tidak, film ini tidak ada di bioskop, kata teman-teman film ini sempat ada masalah dalam isinya, maklumlah Orde Baru. Tetapi setelah itu saya dengar diputar di Australia dalam festival. Lalu ada acara pemutaran film-film Inggris di TIM, dan film ini diputar 35mm, saya tonton. Saat saya tonton sangat mirip dengan Om Pasikom Chairul Umam, kalau di Om Pasikom, jokenya sangat mudah kita cerna, karena memakai bahasa/dialoq yang umum dan visualnya juga mudah dipahami. Tapi kalau Badut-Badut ini bahasa dialoqnya agak sulit untuk mencernanya walaupun kita tahu maksudnya akhirnya. Karena dialoq yang dipakai tidak ada hubungan dengan adegan yang ada. Contoh paling nyata ada di scene saat para badut ancol bersiap-siap untuk menghibur. Disitu banyak sekali dialoq-dialoq yang tidak ada hubungan dengan scene itu, walaupun maknanya menyentil dan kritik sosial yang luas sifatnya. Tetapi saya tertarik dengan Pasangan Dedy Yusuf dan Ayu Azhari ini, sungguh sexy menggambarkan pasangan muda yang penuh dengan gairah cinta dan hidup, sedangkan tetangga mereka adalah pasangan tua yang sudah jenuh, baik kehidupan dan sex mereka. Yang menarik adalah profesi tetangga mereka itu adalah bekas sutradara yang pemenang piala citra, yang sekarang hidup miskin dan pengangguran. Jelas ini menggambarkan kebanyakan insan film saat itu yang film nasional sudah mati suri. Sedangkan ia masih bangga dengan piala citra-nya dan sebuah kamera film di pajang dirumah kontrakannya. Film ini menggunakan bahasa yang sulit di mengerti, butuh pemikiran, bahkan diantara tetangga itu, mereka memakai dialoq sexual untuk perumpamaan sesuatu atau kritik sosial, seperti kalimat keramas...dan lainnya. Bagi orang yang tidak suka dengan kalimat sexual untuk joke kritik/sentilan permasalahan, maka mereka kurang suka film ini. Tetapi Dedy Yusuf dan Ayu Azhari ini benar-benar pasangan yang bergairah sedangkan tetangga mereka yang sudah tua itu kurang gairah, jadi dialoq yang dipakai kalimat sexualitas untuk perumpamaan. Mungkin ini yang terjadi masalah dalam film ini dalam pemutarannya (Mungkin). Dalam film Om Pasikom juga digambarkan seorang pembuat film Mang Udel yang sedang bergiatnya membuat film. Dan ke dua film ini, Om Pasikom dan Badut-Badut kota endingnya sama-sama menampilkan kaum kumuh dengan paradenya. Dalam Om Pasikom parade untuk orang besar, dalam Badut-Badut Kota hanya sosialidasi saja dengan nyanyian kritik kota Jakarta.
Badut-Badut Kota Kritik pada Sosial kota Jakarta
Pada Badut-Badut Kota, Jakarta tampil lebih tidak ramah ketimbang pada Oom Pasikom. Jakarta dilihat sebagai rimbaraya tempat berlaku hukum survival of the fittest. Film Badut-badut Kota ini menceritakan mengenai pasangan muda di Jakarta Deddy dan Menul (Dede Yusuf dan Ayu Azhari) serta seorang anak mereka yang masih SD yang memanggil ayahnya dengan panggilan “daddy” dan sering mengingatkan ayahnya dengan frasa: “don’t forget ya dad…”. Mereka tinggal di rumah kontrakan sempit dengan induk semang yang kelewatan pelit. Ketika mereka tak mampu membayar sewa rumah, si induk semang mengangkat perabot butut yang mereka miliki sebagai jaminan.
Deddy adalah seorang sarjana yang bekerja sebagai badut di kawasan wisata dalam kota (bersama sepuluh orang sarjana lainnya sambil menunggu pekerjaan yang lebih baik). Namun pekerjaan ini bukan sungguh-sungguh pekerjaan karena dari berbagai aspek tak menyediakan kecukupan bagi pasangan ini untuk bertahan di Jakarta. Sampai akhirnya mereka berhasil mendapat pinjaman untuk membuka sebuah usaha warung makan, pelan-pelan pasangan muda ini akhirnya berhasil merintis jalan mereka sampai akhirnya mereka sukses dengan restorannya dan menjadi orang yang berhasil menaklukkan Jakarta.
Film Badut-Badut Kota ini menggambarkan Jakarta dengan baik sebagai panggungnya. Keberadaan tempat wisata dalam kota seperti Taman Mini Indonesia Indah dan Dunia Fantasi, serta menguatnya posisi mereka, telah menghasilkan pekerjaan semi-informal yang menjadi penampungan sementara bagi penduduk terdidik Jakarta. Keberadaan gedung-gedung bertingkat dengan car call mereka (yang waktu itu masih terdengar hingga ke lobi) dijadikan sebagai sebuah elemen cerita yang unik. Deddy selalu memanggil “Bapak Deddy dari restoran Nyonya Menul” untuk mempromosikan gratis nama restorannya di gedung-gedung bertingkat yang pada awal 1990-an (sesudah deregulasi perbankan 1988) menjadi salah satu fenomena paling mencolok di Jakarta.