Roy pacaran dengan Lia, gadis dusun yang bloon tapi berhasil memelihara keperawanannya untuk suatu ketika diikhlaskannya pada Roy. Lia berharap Roy mau mengawini Rita, kakak misan Lia yang dihamili Nico, yang ogah bertanggung jawab. Roy menolak. Ia sudah terjerat dan terdekap oleh Sandra, pelacur kelas tinggi, yang menularinya penyakit kotor. Rita yang hamil, jadi panik. Setelah ke dokter dan gagal, ia ke dukun pijat untuk menggugurkan kandungannya, sampai ajal. Nico menemui ajalnya ketika mobilnya masuk jurang, ketika membawa perempuan lain.
FULL MOVIE
News
22 April 1978
AKIBAT PERGAULAN BEBAS Sutradara: Matnoor Tindaon Cerita dan Skenario: Subagyo dan Narto Erawan Produksi: PT Rapi Film. JADI orang kaya repot juga. Para pembuat film Indonesia suka menuduh mereka a sosial, dan digambarkan merosot akhlaknya. Film Akibat Peraulan Bebas ini juga berangkat dari kisah sebuah keluarga yang menghuni rumah bertingkat, dengan mobil, seperangkat ensiklopedi, dan kebebasan yang dimiliki keluarga moderen. Rita (Yatie Octavia) anak orang kaya, yang telah diberi kebebasan ibunya, ternyata kemudian harus memakan buahnya.
22 April 1978
AKIBAT PERGAULAN BEBAS Sutradara: Matnoor Tindaon Cerita dan Skenario: Subagyo dan Narto Erawan Produksi: PT Rapi Film. JADI orang kaya repot juga. Para pembuat film Indonesia suka menuduh mereka a sosial, dan digambarkan merosot akhlaknya. Film Akibat Peraulan Bebas ini juga berangkat dari kisah sebuah keluarga yang menghuni rumah bertingkat, dengan mobil, seperangkat ensiklopedi, dan kebebasan yang dimiliki keluarga moderen. Rita (Yatie Octavia) anak orang kaya, yang telah diberi kebebasan ibunya, ternyata kemudian harus memakan buahnya.
Setelah cuma mengaku bersenggama sekali, Rita hamil. Pacarnya, kaya juga. Niko (Robby Sugara), setelah tidak mau mempertanggung jawabkan perbuatannya tanpa alasan yang jelas, untuk kemudian mencari mangsa yang lain, akhirnya dibunuh saja oleh sang sutradara. Matinya serem lagi: mobilnya nabrak tembok--di film kelihatan ringan bagai kardus yang tersusun rapi--dan terbakar dari siang hingga malam tanpa pertolongan sedikit pun dari orang yang lewat di jalan seramai itu. Supaya lebih seru, ke dalam cerita disisipkan pula dua tokoh yang saling bercinta serta sama-sama siap berkorban bagi Rita yang hamil di luar perkawinan. Oh, ya, ini Rita jadi hamil lantaran pergi berdua dengan Niko ke sebuah pulau dengan restu sang ibu (Chitra Dewi) meski sang ayah (Kusno- Sudjarwadi) ada memberi peringatan. Ada pun fasal ibu yang bersifat begitu toleran terhadap kemungkinan pergaulan bebas, sudah tentu tidak harus dicari-cari soalnya di tempat lain. Sikap demikian sengaja diciptakan khusus untuk memungkinkan terjadinya pergaulan bebas, sesuai dengan judul cerita. Kelamin Masih belum puas dengan pergaulan bebas yang disebutkan tadi, pembuat film ini menghadirkan pula bintang film yang dianggap sexy, Doris Callebout. Dan ini bintang yang dulu terkenal ketika main jadi babu, diberi peran sebagai pelacur oleh sutradara Matnoor Tindaon.
Maka terjadilah pergaulan bebas antara Roy dengan sang pelacur. Tapi pembuat film ini tidak bisa dituduh menganjurkan pelacuran, sebab pada akhirnya Roy digambarkan menderita penyakit kelamin. Tentu saja ia tobat lalu kembali ke Lia. Setelah tobat itulah mereka berdua berkeputusan untuk menolong Rita. Hebat juga anak muda ini. Apakah Rita tertolong? Oh, tidak. Kenapa? Wah, bisa filmnya dianggap tidak mendidik. Dan Rita yang malang harus mati setelah perutnya diurut oleh seorang dukun. Denga mengakhiri nasib bintang utama seperti ini -- tidak peduli hal ini meyakinkan atau tidak si pembuat film nampaknya berharap betul agar para penontonnya sadar dan insyaf bahwa pergaulan bebas itu buruk. Ya, mudah-mudahan saja harapan itu terkabul, meski banyak anah muda yang menonton film ini terutama karena ingin melihat Yatie Octavia, Yennv Rahman, Doris dan Roy Marten beramai-lamai terlibat dalam suatu "pergaulan bebas". Dan anak-anak muda itu kabarnva senang dengan film ini. Selain karena di sana mereka bisa bertemu pujaan remaja masa kini, yakni bintang-bintang top yang ramai-ramai dimunculkan oleh sang produser, di film ini juga bisa didapatkan kepuasan-kepuasan kecil para remaja yang baru bernjak dewasa: celana dalam, paha perempuan, pinggul yang meliuk-liuk, gelut di ranjang maupun di ruang tamu, ciuman hangat yang merangsang dan seterusnya. Bahwa sensor meloloskannya, itu tentunya bukan akibat pergaulan bebas. E.H
20 Oktober 1979
HERMAN Yanto, pembunuh berusia 14 tahun itu, divonis 8 Oktober lalu. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu antara lain menyebut ia dibebaskan dari tuduhan primer, yaitu melakukan pembunuhan berencana. Tapi menurut hakim ia terbukti melakukan pembunuhan dan melanggar pasal 338 KUHP. Namun hakim tidak menjatuhkan sesuatu hukuman bagi Herman. Dengan melihat usia si terhukum dan pasal 45 KUHP Bismar Siregar SH, hakim ketua dalam peradilan itu, memutuskan Herman "sebagai anak negara". Berdasarkan vonis itu pula anak itu diserahkan kepada Soemarmo, Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF). Mengapa? Beberapa hari sebelum vonis, Soemarmo mengajukan kesediaannya mengasuh Herman--sambil membuktikan apakah benar perbuatan anak itu sebagai akibat film Akibat Pergaulan lebas yang pernah disaksikannya.
20 Oktober 1979
HERMAN Yanto, pembunuh berusia 14 tahun itu, divonis 8 Oktober lalu. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara itu antara lain menyebut ia dibebaskan dari tuduhan primer, yaitu melakukan pembunuhan berencana. Tapi menurut hakim ia terbukti melakukan pembunuhan dan melanggar pasal 338 KUHP. Namun hakim tidak menjatuhkan sesuatu hukuman bagi Herman. Dengan melihat usia si terhukum dan pasal 45 KUHP Bismar Siregar SH, hakim ketua dalam peradilan itu, memutuskan Herman "sebagai anak negara". Berdasarkan vonis itu pula anak itu diserahkan kepada Soemarmo, Ketua Pelaksana Badan Sensor Film (BSF). Mengapa? Beberapa hari sebelum vonis, Soemarmo mengajukan kesediaannya mengasuh Herman--sambil membuktikan apakah benar perbuatan anak itu sebagai akibat film Akibat Pergaulan lebas yang pernah disaksikannya.
Sebab selama proses pengadilan, Bismar tampaknya yakin. pembunuhan yang dilakukan Herman terhadap gadis cilik Tjung Wan May, atau A Wan (10 tahun), tidak bisa tidak karena pengaruh film yang pernah ditontonnya. Seperti dituturkan hakim itu, 9 Februari 1979 -- tanpa sepengetahuan orangtua angkatnya--Herman menyaksikan film itu di Bioskop Garuda di Jalan Jembatan Dua Jakarta. Film itu seharusnya hanya ditonton oleh mereka yang telah berusia 17 tahun ke atas. Beberapa hari setelah menonton film itu Herman didatangi adik kelasnya, A Wan. Keduanya bercanda di kamar loteng tempat kediaman keluarga Herman. Mereka memutar lagu-lagu dari kaset. Tiba-tiba Herman membujuk temannya agar membuka celana dalam. Gadis kecil itu menolak. Karena kecewa Herman mengambil sebilah pisau dan seutas tali dari ruang bawah yang juga dipakai orang tuanya sebagai tempat bengkel servis dinamo. Menurut Herman di depan pengadilan, ia mendorong tubuh A Wan sampai tertelungkup di tempat tidur. Segera ia mengikat kedua tangan kawannya itu ke belakang.
Lalu menindih tubuh A Wan yang sudah tanpa celana. Tapi beberapa saat setelah itu sambil menutup mulut A Wan, tangan Herman yang lain menyayatkan pisau ke leher, disusul beberapa tikaman ke tubuh gadis kecil itu. A Wan tewas. Ini terjadi 9 Maret 1979. Menurut pengakuan Herman, perbuatannya menggagahi A Wan karena ingin meniru sebuah adegan film APB. Karena itu pertengahan bulan lalu, atas permintaan pengadilan, BSF memutar kembali film itu --khusus di hadapan para hakim dan jaksa yang menangani perkara Herman. SEKARANG siapa yang salah?" tanya Bismar sehabis menyaksikan film itu. Ia menyalahkan para pembuat film yang secara terperinci menggambarkan adegan-adegan ranjang. Bismar melihat, bahwa Herman masih terlalu anak-anak untuk melakukan kejahatan itu. Sehingga bagi hakim ini, selain karena faktor keluarga, perbuatan si anak tak lain karena terangsang adegan film tadi. Sejauh mana benarnya pendapat Hakim Bismar? BSF menugaskan beberapa anggotanya untuk menelitinya. "Saya percaya bukan film satu-satunya faktor yang berperan pada diri Herman," ungkap drs. H.M. Enoch Markum, psikolog anggota FSF yang pernah mewawancarai Herman. Menurut Enoch Markum, Herman mengaku menyaksikan film itu di Bioskop Garuda 9 Februari 1979.
Setelah diteliti, ternyata bioskop itu memutarnya April 1978. Anggota BSF ini bahkan meragukan apakah benar-benar Herman pernah menyaksikan film itu. Sebab selama diwawancarai anggota-anggota BSF Secara terpisah, ia tak pernah menyinggung soal film itu. Yang pasti menurut laporan pekerja sosial di Pamardi Siwi (tempat Herman "ditahan" sampai pekan lalu), Herman pernah diajak temannya ke tempat pelacuran. Soemarmo (63 tahun) sendiri, yang akan menjadi bapak angkat Herman, masih tetap belum percaya bahwa kejahatan yang dilakukan anak itu akibat film yang pernah disaksikannya. "Sampai sekarang saya masih ingin menuntut agar dibuktikan, ditunjukkan dan diyakinkan, bahwa ekses Yanto itu disebabkan film," kata Ketua BSF itu. Ia mengakui memang omong kosong kalau dikatakan film tak punya pengaruh. "Tapi manusia tak cuma memperoleh pengaruh dari fihn," tambahnya. Soemarmo menolak anggapa bahwa kesediamya mengangkat Herman Y anto sebagai anak karena merasa bersalah sebagai Ketua Badan Sensor. "Saya hanya ingin mengamalkan unsur prikemanusiaan," ucapnya. Ia menilai Herman sebagai anak yang cerdas dan "saya akan menyekolahkannya." la hanya punya seorang anak, yang sekarang sudah dewasa. Memang tak mudah dibuktikan sejauh mana film APB telah berpengaruh pada diri anak muda ini. Tapi film dengan judul serupa Maret 1979 lalu sempat menghebohkan sebagian penduduk Jalan Imam Bonjol Padang. Su, 20 tahun, suatu malam pulang dari nonton film APB yang diputar di lapangan Imam Bonjol. Beberapa menit kemudian dalam perjalanan pulang ia bertemu dengan gadis kecil L (9 tahun). Anak ini dijanjikan akan dibelikan kue dan diajak nonton. Tapi sampai di sebuah sudut gelap di lapangan Imam Bonjol, tiba-tiba Su menutup mulut L. Anak itu meronta.
Tapi tangan Su telah menggerayanginya dan membuka celana dalam si anak sampai lutut. Tak terjadi apa-apa pada diri L. Namun pemuda itu kemudian puas. Dan di saat mulutnya lepas dari bungkaman, anak itupun menjerit. Penduduk berkumpul. Su menjadi urusan polisi. Selanjutnya pengadilan menghukumnya 3 bulan penjara. "Saya tak tahan sehabis menyaksikan film itu, sehingga terpaksa saya lakukan," kata Su di depan pengadilan. Pengadilan Negeri Tanjung Balai (Asahan, Sumatera Utara Januari 1976 juga pernah repot oleh perkara hampir serupa. Pa (12 tahun) telah memperkosa S.A. (6 tahun) anak tetanggan di Desa Petatel, Kecamatan Talawi Ashan Di hadapan hakim ia mengakui perbuatannya itu dilakukan karena sehari sebelumnya ia menonton bioskop keliling yang mempertunjukkan film The Young Passion, dibintangi Yenni Hu, bintang film seks Hongkong itu. Pa dijatuhi hukuman 9 bulan penjara. Di bulan Januari tahun berikutnya lagi-lagi Pengadilan Negeri Tanjung Balai menjatuhkan vonis 3 bulan penjara kepada Am alias An (15 tahun) penduduk Desa Mangkei Baru, Kecamatan Lima Puluh. Hakim mempersalahkannya telah memperkosa Sr (7 tahun), anak tetangga. Ketika membela diri, Am menyebut perbuatannya karena didorong oleh adegan ranjang dalam film-film yang sering disaksikannya lewat bioskop keliling. Tapi seminggu kemudian pengadilan serupa harus memvonis 3 orang anak sekaligus. Masing-masing S bin M (8 tahun), Lo (8 tahun) dan Ln (9 tahun).
Ketiganya telah bersama-sama memperkosa teman wanita mereka Ms (9 tahun) di Desa Binjei Baru, Talawi. Dalam pengakuan memang mereka tak menye but apa yang mendorong perbuatan itu, tapi ketiganya membenarkan sama-sama pencandu film India di bioskop keliling. Masih tersedia beberapa contoh kejadian dan penyebab serupa. Baik yang sempat terungkap di depan pengadilan maupun cukup berakhir di antara keluarga kedua pihak. Tapi yang pasti, di kawasan Sum-Ut akhir-akhir ini bioskop keliling muncul di mana-mana, terutama di pedesaan. Mudah dibayangkan, bahwa anak-anak adalah penonton setia pertunjukan yang hampir tak pernah memutar film yang pantas untuk usia mereka. Demikian jauh daerah ini diinfiltrasi bioskop keliling, sampai-sampai perselisihan antara dua suku di Bagan Asahan akhir Agustus lalu banyak yang menganggapnya sebagai akibat "pengaruh film-film sadis" yang sering mengunjungi daerah itu. Beberapa kejadian itu memang belum dapat dikatakan telah menjawab pertanyaan kasus Herman Yanto. Tapi berbagai judul film yang merangsang, iklan maupun poster-poster yang memancing akhir-akhir ini umumnya dipandang tak patut terutama bagi anak-anak. Seperti Ranjang Siang Ranjang Malam, Supirku Sayang, Pulau Birahi (diganti Pulau Cinta), Akibat Godaan, Tante Sex, Satu Malam Dua Cinta, Penyakit Kelamin, Pengalaman Pertama, Pahitnya Cinta Manisnya Dosa. Dan puluhan lainnya. Belum lai film-film penuh kekerasan. BSF sering dituding sebagai badan yang telah turut melemparkan film-film serupa itu di tengah masyarakat. Soemarmo segera menjawab: "Wewenang kami sebenarnya cuma sebatas pagar kantor BSF ini." Maksudnya badan ini hanya menyensor film yang disodorkan kepadanya, menggunting adegan yang dianggap kurang senonoh, menolak atau menerima satu film, menentukan batas umur penontonnya. Dan selesailah. Apa yang terjadi selanjutnya sudah di luar pagar Jangkauannya. Atau seperti kata Enoch Markum, "BSF tak punya aparat untuk mengontrol apakah film-film itu benar-benar ditonton oleh kelompok umur tersebut." Hal serupa itu juga akan terjadi, bila satu film yang telah disensor ternyata berbeda bila telah berada di layar bioskop. Karena film yang disodorkan ke BSF hanya satu kopi, sedang produser membuat satu film dengan beberapa kopi. "Kalau sudah begini kita tidak bisa mengatakan siapa yang jahat," kata Enoch. Tapi agak beruntung karena di beberapa daerah terdapat BAPFIDA (Badan Pembinaan Film Daerah), yaitu semacam badan sensor pula.
Tapi tak semua daerah memiliki badan ini, dan tidak semua yang memilikinya dapat bekerja efektif. Dan kenakalan produser serupa itu sering terjadi juga dalam hal poster. Scbual rencana poster berukuran mini yang telah disetujui sensor dapat saja berubah di kuas pembuatnya, sehingga yang tampil mungkin paha montok atau dua wajah yang bertangkupan. Menurut Bnoch, "seharusnya polisi atau masyarakat yang melihat poster-poster semacam itu melaporkannya kepada BSF." Untuk mengawasi pelaksanaan batas umur penonton seperti yang ditetapkan BSF juga tampaknya sulit. Badan ini mewajibkan batas umur penonton itu dicantumkan di depan loket penjualan karcis, dan slide sebelum film itu diputar. A. Karim, Sekretaris BSF, mengakui dalam pelaksanaannya batas umur itu sering dilanggar di bioskop-bioskop. Produser film tak mau disalahkan jika terjadi anak-anak di bawah umur sampai menonton film untuk orang dewasa. Sebab bertolak dari kasus Herman Yanto, produser film APB, Gope Samtani dari PT Rapi Film merasa tak punya andil dalam kejadian itu. Ia, katanya, membuat film itu mcmang untuk penonton 17 tahun ke atas. Sambil menghitung keuntungan dari penonton yang menyaksikan film itu, Samtani menunjuk pemilik bioskop telah tidak tegas memilih umur penontonnya. Johan Tjasmadi, Sekjen Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) menolak pendapat itu.
Secara yuridis formil, kata Johan, bioskop tak punya hak untuk melarang tiap penonton yang memiliki karcis, sekalipun ia anak-anak dan film yang diputar untuk 17 tahun ke atas. "Yang punya wewenang adalah petugas berwajib," katanya. Yitu Polisi. KARENA itu Johan berpendapat Ordonansi Film sudah tak sesuai lagi. Sebab ordonansi yang menetapkan bahwa bioskop bertanggungjawab terhadap batas usia dan keselamatan penonton, sudah sulit ditaati, meskipun bioskop sudah mencantumkan peringatan-peringatan. Ia mengungkapkan penjaga bioskop yang sering kena maki atau bahkan ditampar penonton yang hendak memaksakan agar anaknya dapat dibawa masuk nonton film untuk orang dewasa. "Yang seharusnya dibina adalah masyarakat, bukan pemilik bioskop" ucap Johan. Tapi mungkin karena kesal melihat ulah pemilik bioskop, di Ujung Pandang Agustus lalu seorang pengusaha bioskop dan booker film divonis 14 hari kurungan ditambah masa percobaan. Sebab seorang penonton yang menemani anaknya menyaksikan film Dang Ding Dong (untuk anakanak) telah mengadukan pengusaha itu karena memutar adegan-adegan ranjang dari film Lakilaki Dalam Pelukan sebagai trailer dan lisaksikan penonton-penonton cilik itu. Kalau pengawasan terhadap penon ton menjadi tanggung-jawab polisi, seperti menurut Johan Tjasmadi, sebaliknya pula pendapat pihak kepolisian. "Pengusaha bioskop itu jangan hanya pertimbangkan uang masukaja, juga ketertiban, keamanan dan kesehatan," kata Kolonel (Pol) Darmawan, Kepala Dinas Penerangan Mabak.
Ia mengakui "penertiban oleh polisi sudah dilakukan, tapi tak dapat terus menerus, karena tergantung tenaga yang ada." Karena itu yang penting, menurut Darmawan, pengusaha bioskop itu sendiri. Tapi rupanya untuk menentukan satu film boleh disaksikan anak-anak atau tidak memang tak mudah. "Karena yang semata-mata film seks itu tidak jelas," ujar A. Karim lagi. Ia mencontohkan film-film komidi yang juga menyelipkan adegan-adegan yang dapat dianggap porno untuk menambah kelucuan. Karena itu menurut Karim, salah satu kriteria film untuk orang dewasa, adalah, "jika film tersebut bisa menimbulkan shock bagi anak-anak." Sedangkan bagi film untuk 13 tahun ke atas, Karim mengambil contoh film perang. "Asal sekedar pertempuran biasa, tidak ada unsur sadisme dan kejahatan yang menyolok, kita lepas untuk 13 tahun," tutur Karim. Namun, di mana sebenarnya film untuk anak-anak? Jumlahnya memang terlampau kecil. BSF mencatat, selama 1978 terdapat 208 film untukorang dewasa, 42 untuk 13 tahun ke atas dan hanya 19 film untuk semua umur. Dan sampai Oktober tahun ini, baru terdapat 19 buah film untuk semua umur, 169 untuk orang dewasa dan 33 buah untuk 13 tahun ke atas. Semua untuk film impor maupun buatan dalam negeri. Untuk membuat film anak-anak, "biayanya sama besar dengan untuk orang dewasa," seperti diungkapkan Direktur PT Garuda Film, Hendrick Gozali. Padahal film anak-anak cukup sulit dipasarkan, karena bioskop hanya mungkin memutarnya hanya pada hari Mingu atau hari libur. Hendrick mencontohkan film Ranjang Pengantin (dewasa dengan biaya Rp 45 juta) dan Yoan (film anak-anak dengan biaya Rp 7 5 juta). Yang pertama katanya hanya dalam waktu tahun modal sudah kembali, sedangkan film Yoan sudah lebih 2 tahun sekarang belum kembali modal. Karena itu produser enggan membuat film anak-anak. Sedangkan rangsangan yang diberikan Deppen bagi pengimpor film anak-anak belum banyak menarik minat importir kita. Alasan perdagangan memang lumrah dalam pikiran para produser, yang telah menghabiskan puluhan juta rupiah.
Yang menjadi soal ialah bagaimana kontrol terhadap yang mungkin timbul terhadap motif laba itu. Sebab film memang punya andil bagi penontonnya. Terutama kaum remaja. Hal ini diakui juga oleh Dr. Soerjono Soekanto SH, MA, ahli sosiologi hukum dari Universitas Indonesia. "Tetapi apakah pengaruh yang ditimbulkan negatif atau positif, belum dapat diketahui karena di Indonesia mungkin belum pernah diadakan penelitian," kata Soerjono. Ia menilai film Indonesia kebanyakan berbau seks dan sadisme murahan. Hal ini katanya lebih mudah mempengaruhi remaja. Adegan semacam itu mudah ditiru, apalagi bila orang tua memberi uang yang cukup untuk itu. Di daerah-daerah pengaruh film agak berbeda. Menurut Soerjono di kota-kota kontrol sosial sudah longgar, sehingga pengaruh film akan lebih mudah terlihat. Tapi di daerah, terutama pedalaman, film tidak akan terlalu berpengaruh karena masyarakat masih saling mengontrol dengan cukup kuat. Tapi Dr. Soerjono tak melupakan faktor keluarga yang dapat juga memberi peranan terhadap pengaruh baik maupun buruk satu film terhadap kaum remaja. Semakin harmonis satu keluarga, semakin kecil kemungkinan bagi si anak untuk melakukan perbuatan negatif. Hampir serupa dengan pendapat Dr. Soerjono adalah Dr. Singgih Dirgagunarsa, psikolog anak-anak yang menjadi Pembantu Dekan Fakultas Psikologi UI. Menurut Singgih, seorang akan mempersepsikan apa yang ia lihat di layar. Kemudian setelah diolah, ia saring. Dan akhirnya ia melakukan pilihan. Dalam kasus Herman Yanto, kata Singgih, ia dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti latar belakang kehidupan, keadaan keluarga dan ia juga sedang dalam masa pancaroba sehingga ia belum mampu menyarmg mana yang baik bagi dirinya. Namun Singgih tak melepaskan faktor perangsang yang ditimbulkan film APB pada diri Herman. "Kalau setiap orang mau mengaku jujur, maka semua orang akan mengatakan bahwa ia terpengaruh oleh apa yang dilihatnya di layar putih," ucap Singgih, "karena itu sesuatu yang waJar. hanya cara penyalurannya berbeda-beda." Psikolog ini menghargai keputusan pengadilan terhadap Herman. Karena, katanya, pengadilan tidak semata-mata memandang kejahatan si anak, tapi juga latar belakangnya.
Dr. Singgih sendiri merasa cukup punya pengalaman menghadapi kasus anak yang dipengaruhi film, televisi dan video. Tapi sebegitu jauh, menurutnya, akibat-akibat yang ditimbulkan hanya terbatas pada kenakalan-kenakalan seperti ingin berkelahi, ingin membunuh orang dan sebagainya. Yang mengakibatkan kejahatan jarang terjadi. Karena itu ia menyarankan agar BSF lebih ketat menyensor film dan bioskopbioskop memperkeras batasan umur penonton. Sejalan dengan itu, menurut Singgih, sebaiknya juga iklan dan poster film tidak terlalu menonjolkan segi pornografisnya. "Karena hal itu dapat mempengaruhi keinginan si anak untuk menyaksikannya," katanya. Apapun yang diakibatkan satu film terhadap penonton remajanya, kasus Herman Yanto agaknya tetap penting. Seperti kata Soemarmo, agar dari kejadian ini, "semua pihak dapat mengambil hikmah dan manfaatnya." Itu artinya termasuk produser, bioskop dan terlebih-lebih lagi para orang tua.
ORBA PENERTIPAN SEXSUAL BERKAMPANYE MELALUI FILM
ORBA PENERTIPAN SEXSUAL BERKAMPANYE MELALUI FILM
1971 rezim Orde Baru merombak struktur Badan Sensor Film (BSF)
secara besar-besaran. Keanggotaannya dikurangi dengan menyisakan lebih
banyak orang-orang dari pemerintahan dan Golongan Karya. Pada kesempatan
yang sama Menteri Penerangan Boediardjo mengeluarkan keterangan agar
BSF mulai mendorong rencana penertiban perilaku seksual anak muda
melalui film.
Beberapa tahun kemudian ucapan Boediardjo benar-benar menjadi kenyataan. Keputusan Menteri Penerangan No. 194A tahun 1977 menganjurkan kepada produser film untuk membuat film yang sesuai dengan program pemerintah. Film-film yang masuk kategori ini disebut sebagai “Film Cerita Indonesia Teladan”.
Kebetulan di saat bersamaan, pemerintah tengah gencar mengampanyekan pemberantasan kenakalan remaja yang berkaitan dengan seks bebas. Dari sanalah, baik sineas maupun pemegang otoritas sensor, mulai secara terbuka menerima seks dalam film. Film drama berjudul Akibat Pergaulan Bebas (1978) buatan rumah produksi Rapi Films menjadi salah satu film seks yang paling banyak mendapat perhatian.
Di masanya, Akibat Pergaulan Bebas adalah film yang sangat fenomenal. Film yang dibintangi nama-nama besar seperti Roy Marten dan Yenny Rachman ini sempat merajai bioskop tanah air. Pemutaran perdananya di Jakarta pada 1978 menyedot lebih dari 300.000 penonton.
Di balik namanya yang bersinar, film besutan sutradara Matnor Tindaon ini menampilkan banyak sekali adegan seks pasangan muda. Tapi itu tak lantas membuatnya kena gunting sensor Orde Baru yang terkenal tajam. Sebaliknya, Akibat Pergaulan Bebas malah menjadi film seks andalan Orde Baru untuk menertibkan generasi muda.
Menurut wartawan dan sastrawan merangkap anggota BSF, Gayus Siagian, sebagaimana diutarakannya dalam majalah Merdeka (1/11/1979), Akibat Pergaulan Bebas bukan film porno. Alasan Gayus sederhana: APB mengemban misi pemerintah melalui kisah kemerosotan moral anak muda. Di belakang Gayus, anggota BSF lain juga menganggap film ini baik dengan mengesampingkan adegan-adegan intimnya.
Gayus menuturkan bahwa Moh. Said Reksohadiprodjo, anggota tim kecil penyensor APB, turut memberikan penghargaan. Pamong Taman Siswa yang dikenal konservatif dalam perkara sensor itu dikabarkan malah mendorong para produser film Indonesia untuk membuat film serupa.
Moh. Said memang berasal dari kalangan yang berkeinginan menertibkan perilaku seks pranikah. Misi penertiban perilaku seksual generasi muda Orde Baru memang sudah berjalan sedari awal 1970-an. Kala itu seks bebas dianggap sebagai dampak negatif derasnya arus kebudayaan populer di perkotaan. Pemerintah pun bergegas melakukan penertiban.
Pada Oktober 1971 dibentuklah sebuah tim yang bertugas menyusun siasat penanggulangan kenakalan remaja. Menurut ketua tim, Brigadir Jenderal H. Soejadi, seperti dikutip dalam Pornografi dalam Media Massa (1995: 8-9) karya Tjipta Lesmana, kenakalan remaja saat itu lebih banyak terjadi dalam bentuk seks bebas. Ini menjadi pekerjaan yang benar-benar baru bagi pemerintah.
Latar belakang penertiban perilaku seksual yang jarang dikemukakan adalah pemerintah sebenarnya gelisah dengan maraknya penyimpangan seksual di perkotaan. Tema penyimpangan seksual ini sempat diangkat ke layar perak dengan judul Tiada Maaf Bagimu dan Jang Djatuh di Kaki Lelaki. Keduanya mengangkat tema lesbianisme dan dipublikasikan pada waktu yang berdekatan, tepatnya pada Juli 1971, beberapa saat sebelum gerakan penertiban perilaku seksual dimulai.
Ujung dari produksi film lesbian tersebut tidak berbuah manis. Sementara Jang Djatuh di Kaki Lelaki bernasib lebih baik berkat penuturannya yang simbolis, Tiada Maaf Bagimu benar-benar dihabisi sensor. Penolakan terhadap tema-tema semacam ini sempat dilontarkan Moh. Said dalam pewartaan Tempo (10/7/1971).
Dekade 1970-an adalah titik kebangkitan industri perfilman Indonesia. Di saat yang bersamaan sebagian masyarakat juga baru mulai mengenal bahwa adegan hubungan intim dapat dinikmati lewat pertunjukan layar perak. Ini menarik minat kalangan pemuda dan pemudi yang tengah dimabuk asmara.
Sebuah data menunjukkan bahwa jumlah penonton muda mengalami peningkatan pesat. Satu tahun setelah Akibat Pergaulan Bebas mencetak rekor nasional, hasil penelitian terhadap usia penonton bioskop mulai dibuka pada 1979. Hasilnya, penonton muda mendominasi kursi bioskop pada pengujung 1970-an.
Hasil penelitian yang dilakukan Subagyo Martosubroto dan dimuat dalam Berita Buana (7/11/1979) mencatat mayoritas penonton bioskop rata-rata berusia 15-24 tahun. Menurut pengamatan Martosubroto, hampir tidak ada penonton di atas usia 30 tahun.
Menyambung temuan tersebut, Karl G. Heider dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991: 21) mendiskusikan kolerasi usia pembuat film dengan penontonnya. Menurut Heider, usia dan latar belakang sosial-budaya pembuat film secara tidak langsung merepresentasikan ide dan gagasan yang tercermin dalam bahasa visual film, kemudian menarik perhatian para penonton.
Sementara catatan Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: 110) menunjukkan sutradara film angkatan 1970-an sebagian besar tidak mengenyam pendidikan tinggi. Maka tidak mengherankan jika Indonesia tahun 1970-an dibanjiri film-film yang terkesan murahan. Tinggal bertutur tentang perjalanan cinta anak muda beserta segala aktivitas seksualnya, sudah bisa mendatangkan penonton.
Hasil dari gerakan penertiban perilaku seksual tidak membuat pemerintah merasa puas. Saya S. Shiraishi berpendapat dalam Young Heroes: The Indonesian Family in Politics (1997: 149) bahwa anak muda dalam tradisi politik Orde Baru cenderung dilabel-labeli. Bagi rezim Soeharto, term "remaja" cenderung tidak berbahaya karena memiliki karakteristik yang bising, konsumeris, dan lebih mudah dialihkan perhatiannya kepada hiburan. Sebaliknya, julukan “pemuda” atau “pelajar” terdengar lebih mengancam karena punya sifat memaksa dan lebih revolusioner.
Gambaran pemuda revolusioner ini salah satunya muncul dalam representasi mahasiswa yang ditampilkan Rendra, Umar Kayam dan Sjuman Djaya melalui film Yang Muda Yang Bercinta (1977). Tak berbeda dibandingkan Akibat Pergaulan Bebas, film yang dibintangi Rendra ini juga mempertunjukkan adegan hubungan intim anak-anak muda.
Namun Yang Muda Yang Bercinta tidak sekadar mengangkat serangkaian konflik pemudi yang hamil di luar nikah. Ada upaya para dramawan terkemuka di balik layar untuk mengangkat kritik sosial melalui kisah cinta seorang mahasiswa merangkap penyair yang dimainkan Rendra.
Sayang, nasib Yang Muda Yang Bercinta tak semanis Akibat Pergaulan Bebas. Meski dinyatakan lolos sensor dengan pemotongan sepanjang 20 menit, film ini dilarang beredar di Jakarta karena dinilai berusaha menghasut generasi muda lewat pertunjukan propaganda politik.
Sebagaimana dilaporkan Tempo (24/6/1978), Menteri Penerangan Ali Moertopo menyayangkan keputusan Sjuman memilih Rendra sebagai pemeran utama lantaran aksi teaternya yang dinilai gemar menyudutkan rezim Soeharto. Beberapa anggota DPR yang tidak pernah tertarik membicarakan film pun turut berkomentar. Bagi mereka, “Film ini bisa menimbulkan interpretasi yang keliru.”
Argumen Shiraishi tentang penjinakan anak muda oleh rezim Orde Baru kemudian dilengkapi oleh Virginia Matheson Hooker dan kawan-kawan dalam pengantar antologi Culture and Society in New Order Indonesia (1995: 12). Hooker menyebut bahwa Orde Baru sempat menyaksikan pertambahan jumlah kalangan muda berpendidikan tanpa pekerjaan. Penguasa khawatir para pemuda tersebut akan berperilaku seksual menyimpang sekaligus menjadi musuh politik pemerintah.
Beberapa tahun kemudian ucapan Boediardjo benar-benar menjadi kenyataan. Keputusan Menteri Penerangan No. 194A tahun 1977 menganjurkan kepada produser film untuk membuat film yang sesuai dengan program pemerintah. Film-film yang masuk kategori ini disebut sebagai “Film Cerita Indonesia Teladan”.
Kebetulan di saat bersamaan, pemerintah tengah gencar mengampanyekan pemberantasan kenakalan remaja yang berkaitan dengan seks bebas. Dari sanalah, baik sineas maupun pemegang otoritas sensor, mulai secara terbuka menerima seks dalam film. Film drama berjudul Akibat Pergaulan Bebas (1978) buatan rumah produksi Rapi Films menjadi salah satu film seks yang paling banyak mendapat perhatian.
Di masanya, Akibat Pergaulan Bebas adalah film yang sangat fenomenal. Film yang dibintangi nama-nama besar seperti Roy Marten dan Yenny Rachman ini sempat merajai bioskop tanah air. Pemutaran perdananya di Jakarta pada 1978 menyedot lebih dari 300.000 penonton.
Di balik namanya yang bersinar, film besutan sutradara Matnor Tindaon ini menampilkan banyak sekali adegan seks pasangan muda. Tapi itu tak lantas membuatnya kena gunting sensor Orde Baru yang terkenal tajam. Sebaliknya, Akibat Pergaulan Bebas malah menjadi film seks andalan Orde Baru untuk menertibkan generasi muda.
Menurut wartawan dan sastrawan merangkap anggota BSF, Gayus Siagian, sebagaimana diutarakannya dalam majalah Merdeka (1/11/1979), Akibat Pergaulan Bebas bukan film porno. Alasan Gayus sederhana: APB mengemban misi pemerintah melalui kisah kemerosotan moral anak muda. Di belakang Gayus, anggota BSF lain juga menganggap film ini baik dengan mengesampingkan adegan-adegan intimnya.
Gayus menuturkan bahwa Moh. Said Reksohadiprodjo, anggota tim kecil penyensor APB, turut memberikan penghargaan. Pamong Taman Siswa yang dikenal konservatif dalam perkara sensor itu dikabarkan malah mendorong para produser film Indonesia untuk membuat film serupa.
Moh. Said memang berasal dari kalangan yang berkeinginan menertibkan perilaku seks pranikah. Misi penertiban perilaku seksual generasi muda Orde Baru memang sudah berjalan sedari awal 1970-an. Kala itu seks bebas dianggap sebagai dampak negatif derasnya arus kebudayaan populer di perkotaan. Pemerintah pun bergegas melakukan penertiban.
Pada Oktober 1971 dibentuklah sebuah tim yang bertugas menyusun siasat penanggulangan kenakalan remaja. Menurut ketua tim, Brigadir Jenderal H. Soejadi, seperti dikutip dalam Pornografi dalam Media Massa (1995: 8-9) karya Tjipta Lesmana, kenakalan remaja saat itu lebih banyak terjadi dalam bentuk seks bebas. Ini menjadi pekerjaan yang benar-benar baru bagi pemerintah.
Latar belakang penertiban perilaku seksual yang jarang dikemukakan adalah pemerintah sebenarnya gelisah dengan maraknya penyimpangan seksual di perkotaan. Tema penyimpangan seksual ini sempat diangkat ke layar perak dengan judul Tiada Maaf Bagimu dan Jang Djatuh di Kaki Lelaki. Keduanya mengangkat tema lesbianisme dan dipublikasikan pada waktu yang berdekatan, tepatnya pada Juli 1971, beberapa saat sebelum gerakan penertiban perilaku seksual dimulai.
Ujung dari produksi film lesbian tersebut tidak berbuah manis. Sementara Jang Djatuh di Kaki Lelaki bernasib lebih baik berkat penuturannya yang simbolis, Tiada Maaf Bagimu benar-benar dihabisi sensor. Penolakan terhadap tema-tema semacam ini sempat dilontarkan Moh. Said dalam pewartaan Tempo (10/7/1971).
Dekade 1970-an adalah titik kebangkitan industri perfilman Indonesia. Di saat yang bersamaan sebagian masyarakat juga baru mulai mengenal bahwa adegan hubungan intim dapat dinikmati lewat pertunjukan layar perak. Ini menarik minat kalangan pemuda dan pemudi yang tengah dimabuk asmara.
Sebuah data menunjukkan bahwa jumlah penonton muda mengalami peningkatan pesat. Satu tahun setelah Akibat Pergaulan Bebas mencetak rekor nasional, hasil penelitian terhadap usia penonton bioskop mulai dibuka pada 1979. Hasilnya, penonton muda mendominasi kursi bioskop pada pengujung 1970-an.
Hasil penelitian yang dilakukan Subagyo Martosubroto dan dimuat dalam Berita Buana (7/11/1979) mencatat mayoritas penonton bioskop rata-rata berusia 15-24 tahun. Menurut pengamatan Martosubroto, hampir tidak ada penonton di atas usia 30 tahun.
Menyambung temuan tersebut, Karl G. Heider dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991: 21) mendiskusikan kolerasi usia pembuat film dengan penontonnya. Menurut Heider, usia dan latar belakang sosial-budaya pembuat film secara tidak langsung merepresentasikan ide dan gagasan yang tercermin dalam bahasa visual film, kemudian menarik perhatian para penonton.
Sementara catatan Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia (1982: 110) menunjukkan sutradara film angkatan 1970-an sebagian besar tidak mengenyam pendidikan tinggi. Maka tidak mengherankan jika Indonesia tahun 1970-an dibanjiri film-film yang terkesan murahan. Tinggal bertutur tentang perjalanan cinta anak muda beserta segala aktivitas seksualnya, sudah bisa mendatangkan penonton.
Hasil dari gerakan penertiban perilaku seksual tidak membuat pemerintah merasa puas. Saya S. Shiraishi berpendapat dalam Young Heroes: The Indonesian Family in Politics (1997: 149) bahwa anak muda dalam tradisi politik Orde Baru cenderung dilabel-labeli. Bagi rezim Soeharto, term "remaja" cenderung tidak berbahaya karena memiliki karakteristik yang bising, konsumeris, dan lebih mudah dialihkan perhatiannya kepada hiburan. Sebaliknya, julukan “pemuda” atau “pelajar” terdengar lebih mengancam karena punya sifat memaksa dan lebih revolusioner.
Gambaran pemuda revolusioner ini salah satunya muncul dalam representasi mahasiswa yang ditampilkan Rendra, Umar Kayam dan Sjuman Djaya melalui film Yang Muda Yang Bercinta (1977). Tak berbeda dibandingkan Akibat Pergaulan Bebas, film yang dibintangi Rendra ini juga mempertunjukkan adegan hubungan intim anak-anak muda.
Namun Yang Muda Yang Bercinta tidak sekadar mengangkat serangkaian konflik pemudi yang hamil di luar nikah. Ada upaya para dramawan terkemuka di balik layar untuk mengangkat kritik sosial melalui kisah cinta seorang mahasiswa merangkap penyair yang dimainkan Rendra.
Sayang, nasib Yang Muda Yang Bercinta tak semanis Akibat Pergaulan Bebas. Meski dinyatakan lolos sensor dengan pemotongan sepanjang 20 menit, film ini dilarang beredar di Jakarta karena dinilai berusaha menghasut generasi muda lewat pertunjukan propaganda politik.
Sebagaimana dilaporkan Tempo (24/6/1978), Menteri Penerangan Ali Moertopo menyayangkan keputusan Sjuman memilih Rendra sebagai pemeran utama lantaran aksi teaternya yang dinilai gemar menyudutkan rezim Soeharto. Beberapa anggota DPR yang tidak pernah tertarik membicarakan film pun turut berkomentar. Bagi mereka, “Film ini bisa menimbulkan interpretasi yang keliru.”
Argumen Shiraishi tentang penjinakan anak muda oleh rezim Orde Baru kemudian dilengkapi oleh Virginia Matheson Hooker dan kawan-kawan dalam pengantar antologi Culture and Society in New Order Indonesia (1995: 12). Hooker menyebut bahwa Orde Baru sempat menyaksikan pertambahan jumlah kalangan muda berpendidikan tanpa pekerjaan. Penguasa khawatir para pemuda tersebut akan berperilaku seksual menyimpang sekaligus menjadi musuh politik pemerintah.