Sabtu, 25 Juli 2020

PUROKERTO - BANYUMAS - BANJARNEGARA - BUMIAYU - PURBALINGGA BIOSCOOP

PURWOKERTO

Masa kejayaan dari tahun 1980 hingga 1990-an. Dari tujuh bioskop, kini hanya menyisakan satu bioskop yang masih bertahan hingga saat ini. Gedung bioskop ini dulu lokasinya di Jalan Jenderal Soedirman. Saat ini lokasinya sedang dibangun menjadi Rita Super Mall itu loh. Penonton bisokop ini rata-rata dari kelas bawah. Hanya menyediakan satu studio dengan sekitar 80-an kursi. Tempat duduknya masih dari kayu dengan penataan mendatar dan bukan bentuk teater. Bayangkan bangku kuliah di Unsoed, nah seperti itulah bangku penonton. Bioskop ini ngehits saat Lebaran. Biasanya diputar film Saur Sepuh. Ingat dong dengan Brama Kumbara, Mantili dan Laksmini. Tak lupa ada film Warkop DKI. Pasti deh meluber penontonnya. Bioskop dengan satu studio ini tidak dilengkapi pendingin udara atau AC. Makanya, kamu boleh merokok saat menonton film. Di sela-sela menonton, jangan kaget kalau ada tikus lewat. Itu sudah biasa. Oh iya, untuk bisa menonton film di bioskop ini, tiketnya hanya Rp 250 untuk hari biasa dan Rp 500 untuk akhir pekan.

GARUDA



Garuda menyediakan balkon di kelas satu ala ala menonton opera. Garuda, murah meriah. Banyak film mulai dari film-film WARKOP DKI, Film-film anak-anak era IRA MAYA SOPHA, RIA IRAWAN, DINA MARIANA dan KIKI SANDRA AMELIA, sampai film-film MERIAM BELLINA, PARAMITHA RUSADY dan sebagainya.


KAMANDAKA
Bioskop ini dulu lokasinya di Moro Supermarket. Juga untuk kelas bawah. Kebanyakan yang diputar film India atau Bollywood. Selain itu juga sering diputar film Mandarin KW 3. 

Harga tiketnya lebih mahal dibandingkan Garuda. Cuma selisih Rp 100 perak sih. Berbeda dengan Garuda, kursi di bioskop ini terbuat dari rotan. Sesekali bangsat yang bersembunyi di sela-sela rotan akan menghisap darahmu.

Filmnya cukup up date, cuma telat satu bulan dari peluncurannya. Bioskop ini juga menyediakan taman untuk tempat nongkrong dan pacaran kawula muda Purwokerto.

 SRIMAYA


Bioskop ini menarik. Berbeda dengan bioskop lainnya yang penataan kursinya mendatar, bioskop ini punya kursi VIP. Lokasinya di balkon. Ada sekitar 40-an kursi yang ditempatkan di balkon ini. Jadi, selain bisa melihat film dari atas, penonton juga bisa melirik penonton lainnya yang duduk di kursi bawah balkon. Apik mbok?


Nah, bagi yang tidak punya uang, pengelola bioskop akan membuka pintunya saat film sudah diputar setengah. Macam pertandingan sepak bola tarkam saja. Kalau masih ada kursi, bisa duduk di kursi yang kosong. Tapi kalau kehabisan kursi, bisa bawa kursi sendiri atau duduk lesehan.


Bioskop ini berjaya tahun 1990-an. Film yang diputar kebanyakan film Indonesia.


Sori nyela sedikit. Ingat Film Janji Joni yang diperankan oleh Nicholas Saputra? Iya itu yang ciuman dengan Dian Sastro di film AADC. Nah cerita Janji Joni juga berlaku di kalangan bioskop di Purwokerto.


Untuk satu judul film biasanya diputar secara bergiliran masing-masing bioskop. Mereka akan memulai jam tayang dengan jarak waktu sekitar setengah jam. Misalnya Garuda mulai memutar film mulai pukul 14.00 maka Srimaya akan memulai filmnya pukul 14.30. Cara ini untuk mensiasati pertukaran rol film dari satu bioskop satu ke bioskop satunya.


Makanya jangan heran, kalau film yang diputar suka telat setengah jam menunggu Joni melaksanakan tugasnya mengantar rol film. Bayangkan, satu film biasanya sampai ada 3 rol.


Nah sambil nunggu filmnya mulai, bisa udud-udud dulu. Tapi penonton sering kecewa karena film tidak sampai full. Biasanya ada adegan yang terpotong. Bikin bingung. Dari adegan dialog tiba-tiba ada adegan berkelahi.


Pemotongan adegan ini biasanya karena film terbakar saking seringnya diputar. Agar film tetap bisa diputar, maka harus dipotong bagian yang terbakar dan disambung lagi dengan solasi.


Pemotongan ini bisa berujung vandal kalau adegan yang dipotong pas bagian adegan yang hot. Padahal, adegan inilah yang paling ditunggu pemirsa. Setelah itu, mulailah ada lemparan bungkus kacang dan plastik.


Penonton zaman dulu juga sangat emosional. Mereka akan tepuk tangan jika pemeran protagonisnya menang kelahi lawan antagonisnya. “Tunggu pembalasanku, Brama Kumbara,”

NUSANTARA


Oke lanjut. Bioskop Nusantara dulunya berlokasi di depan Toko Aroma Jalan Jenderal Soedirman. Kini sudah berubah menjadi pertokoan dan kantor perbankan.
 
Bioskop ini diperuntukkan bagi kalangan menengah. Biasanya film yang diputar film-film mandarin. Sehari bisa lima kali putar yakni jam 13.00, 15.00, 17.00, 19.00 dan pukul 21.00.

Tiap hari Jumat dan Sabtu ada pemutaran ekstra show pukul 11.00. Banyak anak sekolah SMP dan SMA yang yang datang di pemutaran ekstra show ini. Habis nonton, biasanya mereka pada tawuran. Tiket ekstra show cukup murah yakni Rp 350 dengan menunjukkan kartu OSIS.

PRESIDENT 



Dibanding bioskop sebelumnya, President termasuk bioskop untuk kalngan elit. Kapasitas studionya 250 kursi. Lokasinya di utara Kamndaka ataui kompleks Moro saat ini. 

Ruangannya pun ber-AC. Kursinya sudah dari bahan busa. Desain ruangannya sudah teater bukan mendatar lagi. Film yang diputar produksi Hollywood, pemenang Oscar dan film action.


Tiket masuknya cukup mahal yakni Rp 1.250 untuk hari biasa dan Rp 1.750 di akhir pekan. Yang terkenal pemutaran midnight setiap malam minggu.


DYNASTY

Lokasinya di Jalan Dokter Angka. Sekarang menjadi Hotel Horison. Bioskop ini diperuntukkan bagi kalngan atas. Filmnya up to date dari produksi Hollywod dan jaringan Twenty one. 

Studionya sudah ada empat dengan kapasitas 50-80 kursi. Juga sudah menjual makanan dan minuman yang beragam, seperti sekarang ini.

RAJAWALI


RAJAWALI THEATRE, pasti pernah denger lagu itu. Yap, sebelum film diputar, saat lampu sudah mulai meredup, intro lagu dengan aransemen sederhana itu akan muncul, dan suara laki-laki yang menyanyikan lagu itu akan terdengar.

Inilah bioskop yang hingga hari ini masih tetap eksis. Dulunya masih satu studio, kini sudah empat studio. Rajawali juga saat ini sedang mengalami renovasi. Kursinya mulai diganti dengan bahan sofa. Dan wow, ada tempat minumannya. Waaa keren sekali. (norak dikit boleh ya)
 
Filmnya mulai kekinian sejak tahun 2013-an. Sebelumnya biasanya telat sebulan. Pun kalau penontonnya kurang dari sepuluh, tiket akan dikembalikan. Karena penonton tidak mencapai kuorum.

Harga tiketnya kini bersaing, eh bersaing dengan siapa ya. Untuk hari biasa tiket dijual Rp 25 ribu dan akhir pekan dijual Rp 30 ribu. Jangan lupa bulan depan ada film baru, Mockingjay (bener ngga tulisannya) sama Kungfu Panda loh. Pasti parkirannya penuh dan ngantri dapet tiketnya.


 BANJARNEGARA

BIOSKOP CAHAYA



Pada era tahun 80 hingga 90 an, gedung bioskop merupakan sarana hiburan tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Namun seiring waktu dan semakin berkembangnya dunia digital memaksa banyak gulung tikar karena kalah bersaing. 

Meski masih ada satu dua bioskop yang tetap berdiri, namun itu hanya beberapa lama saja , setelah itu satu persatu bioskop tumbang dan banyak gedung bisokop yang tak terurus. Banyak gedung bioskop kini hanya menjadi saksi bisu kejayaan film Indonesia. 

Pada era kejayaannya bioskop di daerah-daerah bahkan menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan. 

Seperti bioskop di Banjarnegara, yang dulu dikenal dengan cahyana teater. Gedung bioskop ini dahulu sangat ramai, bahkan untuk film-film tertentu terpaksa diputar berhari-hari karena saking banyaknya penonton yang ingin menyaksikan film tersebut.

“Yang paling digemari film yang dibintangi rhoma irama,biasanya tidak hanya orang kota , namun orang dari wilayah atas Banjarnegara juga banyak yang turun menyaksikan film Rhoma,” 
 
Rumah dari Kartono berada sekitar 100 meter dari gedung bioskop Cahyana Teater yang berlokasi di Jalan Komisaris Suprapto atau 1 kilometer dari pusat kota Banjarnegara.

Kartono menceritakan, semula Cahyana adalah gedung ketoprak Sidoagung. Seiring semakin surutnya tontonan rakyat itu, pemilik gedung yang bernama Cuk Yan mengubah gedung pertunjukan ketoprak itu menjadi gedung bioskop.

“Cahyana teater sendiri resmi dibangun tahun 1972, dan menjadi satu-satunya di Kota Banjarnegara,” lanjutnya..

Bioskop Cahyana hanya mempunyai satu ruangan. Kapasitasnya bisa mencapai 400 tempat duduk. Kalau lagi ramai, penonton berdiri dan sanggup menampung 800 orang.

“jika filmnya ramai penonton bahkan rela menggelar tikar agar bisa menonton karena tidak kebagian tempat duduk,” jelas Kartono. 

Meski hanya satu ruangan, ada tiga kelas dalam bioskop ini. Kelas pertama berada di paling belakang, kelas kedua di tengah dan terakhir, kelas ketiga di depan layar. “Sekatnya hanya dari papan triplek,” ujar dia.

Kursi yang digunakan pun tak senyaman kursi bioskop zaman sekarang. Tempat duduknya menggunakan kursi seng yang biasa digunakan untuk hajatan di kampung pada zaman dulu.

Saat itu, kata Kartono harga tiketnya masih sangat murah. Setidaknya untuk ukuran zaman sekarang. Tahun 1972, harga tiket untuk kelas 1 hingga kelas 3 tiket dijual berturut-turut, Rp 10, Rp 15 dan Rp 25.

Tahun 1980-an, harga tiket dinaikkan menjadi Rp 50, Rp 100, dan Rp 150. Sedangkan di tahun 1990-an hingga bioskop ini tutup, harga tiketnya mulai Rp 300, Rp 500, dan Rp 750.
“Tidak jarang ada juga penonton yangmencuri kesempatan masuk tanpa tiket alias nerobos karena tidak punya uang namun ingin sekali menonton film,” 

Tidak jarang juga kursi yang dipenuhi dengan kutu tungau atau kalau orang jawa menyebutnya “tinggi”, sehingga banyak penonton yang kaki dan tannya dipenuhi bekas gigitan hewan tersebut. Meski begitu mereka tetap asyik menikmati film yang disajikan.

Sementara Supriyadi (47), menceritakan bagaimana Film Rhoma Irama dengan judul Satria Bergitar membuat rakyat Banjarnegara berumpul di Bioskop Cahyana. “Fimnya bisa diputar berhari-hari saking banyaknya penonton yang ingin menyaksikan film tersebut, bahkan terkadang yang menonton hingga dua kali,” kata dia.

Ia mengatakan pemutaran film dilakukan pada tiga sesi, yakni pukul 14.00, 16.00 dan 19.00. Kalau ada film baru yang lagi ramai, juga ada pemutaran tengah malam atau midnight.

Selain menjadi pusat hiburan, gedung ini juga menjadi lokasi mencari rezeki, terutama bagi para calo tiket yang menjual tiket lebih lama dibanding harga asli. Tak ketinggalan, para pencopet juga mendapatkan rezekinya, terutama jika ada film yang ramai ditonton.

Bioskop zaman dahulu berbeda bioskop zaman sekarang. Jika sekarang penonton tak boleh merokok di dalam bioskop, zaman dulu diperbolehkan.

“terkadang ruangan penuh dengan asap rokok , karena Kami bebas merokok di dalam ruangan sambil makan makanan yang dijual di kantin depan,” lanjutnya.

Film yang pasti selalu ramai jika diputar adalah film yang dibintangi Rhoma Irama Apapun judulnya, jika Rhoma main, pasti penontonnya berjubel. Film Inda juga banyak diminati penonton, meski tidak sehebat filmyang dibintangi rhoma Irama.

Lahan parkir di depan bioskop penuh sesak. Antrean mengular hingga ratusan meter sampai jalan raya depan bioskop. Dan tentu saja, calo tiket dan pencopet panen rezeki.

Antrean semakin panjang karena hanya ada dua loket tiket. Lubang tiket hanya muat untuk satu tangan, sehingga kadang-kadang ada tangan-tangan terluka karena berebut membayar tiket melalui lubang yang sempit itu. Belum lagi orang pingsan karena tergencet penonton lain saat antre tiket.

Suasana di dalam bioskop pun tak kalah seru. Sorak-sorai penonton membahana saat jagoannya keluar. Umpatan pun keluar saat tokoh antagonis muncul di layar film.

“Tidak ada yang merasa terganggu dengan suara sorak-sorai itu. Semua bergembira menikmati film,” kata kata Supriyadi yang juga penggemar film Rhoma Irama.

Yanto menyebutkan gedung ini tutup sekitar tahun 1996. Saat itu masyarakat mulai mengenal VCD dan DVD dan alat pemutarnya.

Gedung ini pun kini tinggal kenangan. Atapnya sudah tidak ada. Rumput liar memenuhi sekujur tubuh gedung, merambah hingga bangunan atas. Cahyana kini mirip rumah hantu.
 Setelah beberapa tahun gedung bisokop cahyana teater tutup, kini di Banjarnegara kembali muncul gedung bioskop yang lebih modern yaitu, Surya Yudha Cinema, bioskop tersebut bisa menjadi obat rindu bagi penggemar film-film layar lebar di Banjarnegara.

Meski begitu, keberadaan gedung bioskop cahyana teater yang kini mirip rumah hantu tersebut menjadi cerita sejarah Banjarnegara pada era 70, 80 dan era 90 an.



BUMI AYU

BIOSKOP SENA 
Menyajikan film-film layar lebar, baik film Hollywood, India, Mandarin, ataupun film Nasional. Bioskop Sena merupakan sebuah kebanggan bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Dimana pada waktu itu periode tahun 50-an sampai 90-an, bioskop Sena ramai dikunjungi masyarakat Brebes Selatan untuk menyaksikan film-film favorit mereka. Namun segala sesuatunya memang mempunyai umur atau masa di dunia ini. 


Di jalan Ahmad Dahlan sebelah timur kantor Polsek Bumiayu, mempunyai perjalanan panjang sampai menjadi gedung bioskop Sena. Secara historis bioskop Sena memang mempunyai sejarah yang membekas di hati masyarakat, dan menjadi saksi bisu sejarah di Bumiayu. Gedong Sena berdiri di lahan bekas sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK). Yang awal pendiriannya dimulai sekitar tahun 1951. Di mana sebelum berdirinya Gedong Sena, yaitu pada tahun 1947 terjadi Agresi Militer Belanda I. Yang berimbas kepada keamanan nasional bangsa Indonesia yang baru dua tahun menikmati kemerdekaannya. Dimana imbas tersebut juga menyeluruh sampai ke pelosok penjuru tanah air, tak terkecuali di Bumiayu. Yang terjadi di Bumiayu adalah ketidakstabilan dalam keamanan dan terprovokasinya warga pribumi.

Pada saat terjadi agresi militer belanda I, di Bumiayu terjadi kerusuhan yang mengakibatkan dibakarnya bangunan-bangunan milik warga Tiong Hwa. Bangunan milik warga Tiong Hwa di bakar masa, dan tak terkecuali sekolah milik Tiong Hwa Hwee Koan (THHK) ikut dibakar pula. Kerusuhan tersebut di picu bahwa warga Tiong Hwa tidak pro terhadap kemerdekaan. Sehingga yang terjadi adalah kebencian rakyat pribumi terhadap warga Tiong Hwa, dan memuncak pada pembakaran bangunan-bangunan milik Tiong Hwa. Kerusuhan antara warga pribumi dan warga Tiong Hwa pada waktu itu, menurut sejarah adalah karena politik adu domba penjajah Belanda. Menurut sumber sejarah yang berkaitan dengan peristiwa Agresi Militer Belanda I, bahwa warga Tiong Hwa dimanfaatkan oleh Belanda sebagai mata-mata. Di wilayah Brebes pada waktu itu warga Tiong Hwa dijadikan mata-mata Belanda untuk mengetahui “sarang” gerilya warga pribumi. Regu mata-mata Tiong Hwa disebut Po Ang Tui (PAT). Dari kausal tersebut maka timbullah kebencian rakyat in lander terhadap warga Tiong Hwa, dan berakibat kerusuhan antar etnis dan kekacauan keamanan.

Agresi Militer Belanda I mengakibatkan ketidakstabilan dalam segala bidang, bagi bangsa yang baru merdeka tersebut. Hal ini berimbas pada keamanan nasional, dan terhentinya aktivitas para warga pribumi. Dikatakan sepanjang Revolusi (1945-1949), lokasi bekas sekolah Tiong Hwa di Bumiayu menjadi sepi. Hal ini dikernakan kondisi kemanan yang tidak kondusif dan warga masih khawatir dengan Agresi Belanda. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, pada tanggal 29 Juni 1949 Belanda meninggalkan Yogyakarta. Secara tidak langsung kedaulatan bangsa Indonesia kembali utuh. Pada waktu itu pula Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) kecuali Irian Barat pada bulan November 1949, yang berarti daerah-daerah yang diduduki Belanda termasuk kabupaten daerah Brebes harus kembali ke pangkuan RIS.

Setalah Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, kondisi keamanan nasional kembali pulih. Aktifitas warga kembali berangsur normal dan diimbangi dengan perbaikan infrastuktur. Setelah kondisi kota Bumiayu yang berangsur aman dan kondusif, aktivitas warga juga kembali seperti biasa. Warga Bumiayu seolah membutuhkan kesegaran setelah kondisi yang carut marut akibat agresi militer Belanda. Maka dari itu pada 1951 di bangun sebuah gedung hiburan yang berdiri di atas tanah bekas sekolah Tiong Hwa tersebut. Gedung pertunjukan tersebut pada awalnya diberi nama Venus. Tetapi kemudian nama Venus diganti dengan Sena, karena pada saat itu di nilai terlalu kebarat-baratan, disebabkan semua yang berbau barat di larang pemerintah. Dimana pada waktu itu kepemimpinan bangsa Indonesia di pimpin Soekarno, yang mempunyai kebijakan anti Imperealisme Barat.

Pada awalnya pembangunan gedung Sena tersebut masih sebagai gedung pertunjukan, sebagai sarana hiburan rakyat dan tentara sehabis perang kemerdekaan. Lebih jauh kompleks sekolah Tiong Hwa tersebut pada jaman penjajahan, memang kerap dijadikan sebagai tempat pertunjukan. Jadi sebelum gedung Sena berdiri, memang pada waktu itu kompleks sekolah tersebut telah menjadi pusat hiburan masyarakat Bumiayu. Pada jaman pendudukan Belanda dan Jepang, kompleks tersebut sering dijadikan pementasan ketoprak, sandiwara dan tonil. Dan tentunya pada masa itu merupakan hiburan yang menarik bagi masyarakat Bumiayu dan sekitarnya.

Setelah berdiri sebuah gedung pertunjukan yang awalnya bernama venus dan berubah menjadi sena, suasana hiburan di kota Bumiayu menjadi semarak. Gedung venus fungsi utamanya adalah sebagai gedung pertunjukan tonil, sebuah pertunjukan khas Belanda yang dipentaskan dan sebagai pengobat rindu tentara Belanda pada tanah kelahirannya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, gedung venus kemudian beralih fungsi menjadi sebuah bisokop. Nama venus masih tetap digunakan, hanya saja pertunjukan yang ditampilkan adalah film. Dimana film-film yang tayang pada waktu itu, adalah film “bisu” yaitu sebuah film hitam putih dan tidak bersuara.

Walaupun hanya menyaksikan film bisu, masyarakat Bumiayu pada waktu cukup terhibur. Film bisu seperti Charlie Chaplin sering ditayangkan di bioskop venus tersebut. Nama venus kemudian berganti menjadi Sena sekitar tahun 1955, dan pada tahun 1965 nama Sena sudah sangat terkenal di lingkungan masyarakat Brebes Selatan. Sejak saat itulah Gedong Sena menjadi tempat hiburan andalan dan favorit masyarakat Bumiayu dan sekitarnya. Pada periode awal Sena menjadi bioskop yang menayangkan film-film Barat dan Nasional. Dengan adanya hiburan berupa film format layar lebar, menjadi wahana hiburan dan sekaligus informasi bagi warga bumiayu. Film-film yang ditayangkan bioskop Sena selalu menarik dan dipenuhi para penonton dari sekitaran Bumiayu, seperti dari Sirampog, Tonjong, Paguyangan , Bantarkawung dan Salem. Dimana kota Bumiayu menjadi center dalam segala bidang bagi kecamatan-kecamatan disekitarnya, disamping kondisi demografi yang mendukung sebagai pusat aktivitas masyarakat.
Masyarakat Bumiayu tentunya mempunyai kenangan dengan Gedong Sena. Dimana setiap periodenya selalu menyuguhkan film-film yang menghibur dan menarik untuk selalu ditonton. Film-film yang ditayangkan mulai dari film-film Hollywood, mandarin, India, samapai film Nasional, tidak pernah sepi oleh pengunjung yang selalu ingin meyaksikan film favoritnya. Selera setiap individu berbeda dalam mengapresiasi karya seni, dalam konteks ini apresiasi terhadap film tentunya juga berbeda. Di Gedong Sena film yang disajikan memang variatif, tetapi mempunyai penikmat khusus. Film Hollywood tentunya tetap menjadi favorit dalam dunia perfilman.

Di bioskop Sena tidak hanya film Hollywood yang menjadi menu utama, setidaknya film-film India dan Mandarin selalu mendapat tempat di hati warga Bumiayu dalam menikmatinya. Di samping itu film-film Nasional juga tidak kalah ramai dengan film Barat, selalu saja ada yang menonton. Film Hidustan selalu ramai di kunjungi ketika di tayangkan di Gedong Sena.

Para penontonya datang dari wilayah Bumiayu hingga ke pelosok, seperti Sirampog, Bantarkawung dan Paguyangan. Begitu juga dengan film Mandarin tidak kalah ramai dengan film India, karena produksi film dari tiap negara mempunyai ciri khas masing-masing. Sehingga selalu asik dan menarik untuk di tonton, film India identik dengan lagu dan tariannya dalam setiap film. Sedangkan film Mandarin khas dengan laga yang cepat dan sedikit lelucon di beberapa produksi filmnya.

Karakteristik dari tiap film tersebut tentunya memetakan para penikmat atau audiens dalam mengapresiasinya. Begitu juga dengan film-film Nasional yang ditayangkan di Bioskop Sena juga senantiasa dipenuhi para penonton fanatiknya. Dunia perfilman Nasional memang dari setiap periode mempunyai cirikhas masing-masing, latar budaya dan sosial mempengaruhi dalam produksi film Nasional. Film-film Nasional identik dengan drama, action, horor, sensualitas dan juga komedi. Dunia perfilman Nasional memang mengalami pasang surut, sehingga yang timbul adalah bagaimana cara mempertahankan kwalitas film. Pada periode 80-90-an, di bioskop Sena sering ditayangkan film-film Nasional dari mulai horor, action, drama, sensualitas hingga komedi. Film-film dengan narasi cerita tersebut senantiasa hadir dalam layar lebar di Gedong Sena.

Film dengan cerita silat atau pendekar pada era 90-an, ramai ditonton oleh para warga Bumiayu. Penulis ingat dulu ada sebuah tradisi dari beberapa sekolah di Bumiayu, menggiring para siswanya untuk menonton film Nasional yang di putar di Bioskop Sena. Film yang menggelorakan perjuangan dan budaya bangsa Indonesia, diharapkan dapat menumbuhkan kecintaan terhadap film Nasional. Film-film seperti Fatahilah, Saur Sepuh dan Tutur Tinular, dan juga Rhoma Irama, ramai ditonton oleh para warga di Bumiayu dari semua kalangan juga oleh setiap umur. Film-film Rhoma Irama juga selalu ramai di tonton warga Bumiayu. Karena film Rhoma mengandung nilai budaya dan juga membawa misi moral dan sosial dalam setiap film, disamping misi humanisme lainnya. Film komedi Warkop juga sering ditayangkan di Bioskop Sena, film yang selalu mengundang tawa para penontonya menjadikan film Warkop senantiasa ditunggu.

Film-demi film terus ditayangkan oleh Bioskop Sena dari mulai siang hinggga malam hari. Dari siang sampai malam Sena selalu ramai dikunjungi oleh warga Bumiayu dan sekitarnya. Tetapi mulai rentang waktu 90-an akhir, Sena mulai sepi dan ditinggal para penggemarnya. Banyak faktor yang mempengaruh kenapa bisnis dunia perfilman mulai sepi. Salah satu faktor adalah perkembangan zaman dan kemajuan dibidang teknologi, menyebabkan minat menonton bioskop berkurang. Disamping juga kondisi sosial, politik dan ekonomi yang mendera Bangsa Indonesia para akhir 90-an. Dimana pada waktu itu terjadi kudeta oleh kelompok reformis, dan menggulingkan kepemimpinan Suharto. Tetapi faktor yang paling berpengaruh adalah pergeseran dalam format film, sehingga mengubah dalam proses apresiasi karya film tersebut.
  
Dengan adanya teknologi digital yang portabel, membuat dunia perfilman dan bisnis film layar lebar mulai sepi. Dengan adanya teknolgi seperti video compac disc (vcd), digital video disc (dvd), membuat film semakin dapat dengan mudah diaskses melalui teknologi portabel. Format film yang semakin simple membuat masyarakat Bumiyu berpindah dalam menikmati sebuah film. Masyarakat semakin pragmatis dalam setiap segi kehidupan tak terkecuali dalam menikmati sebuah film. Walaupun keberadaan vcd dan dvd pada waktu termasuk barang baru, karena bersifat baru tersebut masyarakat penasaran dan ingin mencobanya. Dengan adanya teknolgi baru tersebut di lingkungan kota Bumiayu, muncul penyewaan vcd dan dvd yang menyediakan ragam film. Disisi lain kondisi ekonomi bangsa Indonesia juga sedang dalam  kondisi krisis, sehingga banyak perusahaan atau bisnis yang gulung tikar. Hal ini karena perusahaan tidak dapat menutup biaya produksi.

Situasi semacam itu membuat Bioskop Sena tutup, Sena tutup atau berhenti beroperasi sekitar akhir tahun 1997. Setelah Sena tutup tentunya warga Bumiayu merasa kehilangan, sebuah tempat hiburan bioskop yang pernah berjaya kurang lebih lima dekade. Setelah tutup, Gedong Sena masih berdiri utuh dan masih terpampang poster-poster film di dindingnya. Sena masih berdiri kokoh tetapi tidak ada aktivitas seperti biasanya. Hari-hari setelah Sena tutup kompleks tersebut mulai sepi, hanya ramai oleh aktivitas pendidikan sekolah yang ada disekitarnya. Aktivitas hiburan sudah mulai hilang, warga Bumiayu sudah tidak dapat lagi menikmati suguhan layar lebar. Mereka sudah dapat menonton film lewat vcd, dvd, dan lewat televisi.

Tetapi bagi sebagian warga Bumiayu masih memendam kerinduan terhadap Gedong Sena. Itu terbukti setelah tutup beberapa tahun, Gedong Sena buka kembali sekitar tahun 2001-2002. Penulis masih ingat dimana pada waktu Sena buka kembali, masih saja ada penonton yang datang untuk menonton pemutaran film baru. Penulis sendiri serasa tidak percaya atau seolah mimpi, karena ingatan tentang Sena buka kembali serasa samar-samar. Tetapi memang Sena pernah buka kembali pada tahun tersebut, dan masih saja ada penggemar fanatiknya dan mendatangi Sena. Tetapi kejadian itu tidak bertahan lama, hanya sekitar beberapa bulan saja kemudian tutup lagi sampai dengan kondisi yang sekarang. Setalah Sena tutup  untuk yang kedua kalinya, gedung tersebut dibiarkan kosong dan tidak digunakan untuk kegiatan.

BIOSKOP BUMIAYU 
Bioskop ini mungkin setelah Sena, melihat bentuk bangunannya, di era 70'an akhir atau awal 1980.

 
BRALINK THEATER PURBALINGGA
Lokasi sekarang ada di Supermarket Indorisky. Jl. A. Yani Purbalingga. Saya baru tahu beberapa waktu terakhir dan you know, it is sudah tutup lamaa juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar