Kisah tragis tentang sebuah rombongan kesenian rakyat bernama Cemeng dan
tentang primadonanya. Kisah berawal dari mulai surutnya primadona
Nurbandiah (Ratna Riantiarno), saat mulai tersaingi oleh primadona baru
Nurkatonah (Nur Anani), anaknya sendiri. Di awal kisah, banyak kilasan
masa jaya mereka. Nurkatonah jadi rebutan pengibing, hingga Bodong
(O'han Adiputra), jagoan setempat yang sangat mencintainya sempat kalap.
Sementara diam-diam Sukra (Didi Petet), pimpinan rombongan dan suami
Nurbandiah, setelah pimpinan dan suami lama primadona itu, Nur Kelana
(Sardono W. Kusumo) meninggal, menaruh hati pada Nurkatonah. Kisah tiga
tokoh itu diceritakan silih berganti. Semua mengalami nasib tragis
seperti juga rombongan Cemeng itu sendiri. Nurbandiah mengusir
Nurkatonah ketika memergoki Sukra berusaha menggauli Nurkatonah.
Nurkatonah pergi ke Jakarta dan bekerja di salon Amaliah (Rita Matu
Mona), kawannya. Nurbandiah membuka rahasia hubungan Nurkatonah dan
Sukra, sambil diperlihatkan perjinahan Sukra-Nurbandiah di masa lalu.
Sukra menggerung, hilang ingatan dan mati tenggelam di sungai. Bodong
menyusul Nurkatonah ke Jakarta dan mengajak pulang dan kawin.
Nasib
malang menimpanya. Iksan (Edi Sutarto), anak buah Bodong, yang selalu
iri padanya dan pernah mengawini janda Bodong, menjebak Bodong, hingga
ditembak mati polisi. Nurkatonah pulang dan menjumpai ibunya sudah dalam
keadaan sekarat, miskin, alat keseniannya sudah terjual habis, dan tak
sempat mengatakan rahasia anaknya yang dipendamnya. Nurkatonah dan Badri
(Alex Komang), satu-satunya anggota rombongan yang tinggal, mengamen
dan akhirnya tersungkur-sungkur di tempat pembuangan sampah bak orang
tak waras.
DEWAN FILM NATIONAL
DEWAN FILM NATIONAL
ALEX KOMANG NUR ANANI RATNA RIANTIARNO DIDI PETET SARDONO W. KUSUMO SAWITRI O'HAN ADIPUTRA SARI MADJID RITA MATU MONA ALEX FATAHILLAH EDI SUTARTO INDRA SURADI |
Norbertus Riantiarno (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949; umur 66 tahun), atau biasa dipanggil Nano, adalah seorang aktor,penulis, sutradara, wartawan dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977). Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.
Nano telah berteater sejak 1965, di kota kelahirannya, Cirebon. Setamatnya dari SMA pada 1967, ia melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta, kemudian pada 1971 masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta. Ia bergabung dengan Teguh Karya, salah seorang dramawan terkemuka Indonesia dan ikut mendirikan Teater populer pada 1968. Pada 1 Maret 1977 ia mendirikan Teater Koma, salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia saat ini. Hingga 2006, kelompok ini telah menggelar sekitar 111 produksi panggung dan televisi.
Film layar lebar perdana karyanya, CEMENG 2005 (The Last Primadona), 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia.
Nano sendiri menulis sebagian besar karya panggungnya, antara lain:
Nano banyak menulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, ''Jakarta Jakarta'', meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya,''Karina'' meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.
Nano banyak menulis skenario film dan televisi. Karya skenarionya, ''Jakarta Jakarta'', meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang, 1978. Karya sinetronnya,''Karina'' meraih Piala Vidia pada Festival Film Indonesia di Jakarta, 1987.
Menulis novel ''Cermin Merah'', ''Cermin Bening'' dan ''Cermin Cinta'', diterbitkan oleh Grasindo, 2004, 2005 dan 2006. ''Ranjang Bayi'' dan 18 Fiksi, kumpulan cerita pendek, diterbitkan Kompas, 2005. Roman ''Primadona'', diterbitkan Gramedia 2006.
Nano ikut mendirikan majalah Zaman, 1979, dan bekerja sebagai redaktur (1979-1985). Ia ikut pula mendirikan majalah Matra, 1986, dan bekerja sebagai Pemimpin Redaksi. [2]Pada tahun 2001, pensiun sebagai wartawan. Kini berkiprah hanya sebagai seniman dan pekerja teater, serta pengajar di program pasca-sarjana pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta.
Pada tahun 1975, ia berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. Juga berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pada1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan. Pada 1987 ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Pada tahun berikutnya ia diundang ke New Order Seminar, 1988, di tempat yang sama di Australia. Dan pada tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.
Pada tahun 1975, ia berkeliling Indonesia mengamati teater rakyat dan kesenian tradisi. Juga berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation pada 1987 dan 1997. Pada1978, Nano mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, selama 6 bulan. Pada 1987 ia diundang sebagai peserta pada International Word Festival, 1987 di Autralia National University, Canberra, Australia. Pada tahun berikutnya ia diundang ke New Order Seminar, 1988, di tempat yang sama di Australia. Dan pada tahun 1996, menjadi partisipan aktif pada Session 340, Salzburg Seminar di Austria.
Membacakan makalah Teater Modern Indonesia di Universitas Cornell, Ithaca, AS, 1990. Berbicara mengenai Teater Modern Indonesia di kampus-kampus universitas di Sydney, Monash-Melbourne, Adelaide, dan Perth, 1992. Pernah pula mengunjungi negara-negara Skandinavia, Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Afrika Utara, Turki, Yunani, Spanyol, Jerman dan Tiongkok, 1986-1999.
Pernah menjabat sebagai Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (1985-1990). [3] Anggota Komite Artistik Seni Pentas untuk Kias (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1991-1992. Dan anggota Board of Artistic Art Summit Indonesia, 2004. Juga konseptor dari Jakarta Performing Art Market/Pastojak (Pasar Tontonan Jakarta I), 1997, yang diselenggarakan selama satu bulan penuh di Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Menulis dan menyutradarai 4 pentas multi media kolosal, yaitu: ''Rama-Shinta'' 1994, ''Opera Mahabharata'' 1996, ''Opera Anoman'' 1998 dan ''Bende Ancol'' 1999.
Nano pernah menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom, ketika ia akan mementaskan pertunjukannya, tapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup. Beberapa karyanya bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta.
Nano pernah menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan, kecurigaan serta ancaman bom, ketika ia akan mementaskan pertunjukannya, tapi semua itu dihadapi sebagai sebuah dinamika perjalanan hidup. Beberapa karyanya bersama Teater Koma, batal pentas karena masalah perizinan dengan pihak yang berwajib. Antara lain: Maaf.Maaf.Maaf. (1978), Sampek Engtay (1989) di Medan, Sumatera Utara, Suksesi, dan Opera Kecoa (1990), keduanya di Jakarta.
Akibat pelarangan itu, rencana pementasan Opera Kecoa di empat kota di Jepang (Tokyo, Osaka, Fukuoka, Hiroshima), 1991, urung digelar pula karena alasan yang serupa. Tapi Opera Kecoa, pada Juli-Agustus 1992, dipanggungkan oleh Belvoir Theatre, salah satu grup teater garda depan di Sydney, Australia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar