PD Kertawisata (dahulu PD Jawi) merupakan BUMD
milik Pemerintah Jawa Barat yang keberadaanya sudah cukup terkenal
bahkan diera tahun 80-an merupakan salah satu BUMD terbaik dengan asset
hingga miliaran rupiah.
Secara umum perusahaan ini bergerak dalam mengelola
aset-aset milik pemerintah Propinsi Jawa Barat yang tersebar luas di
berbagai daerah di Jawa Barat.
Karena pada masa itu, perkembangan gedung Bioskop di
daerah sangat berkembang dengan pesat, sehingga pada akhirnya banyak
bermuncul gedung-gedung bioskop di berbagai daerah yang secara
pengelolaannya di serahkan kepada pihak ketiga sebagai pengelola harian.
Untuk menjadi pengelola dalam satu gedung bioskop
milik PD Kertawisata ini, tidaklah mudah, bahkan diperlukan beberapa
persyaratan yang harus di penuhi oleh pihak pengelola.
Sepertinya kesanggupan untuk memberikan tambahan
penghasilan atau income ke kas Perusahaan dengan besaran yang telah
ditentukan oleh pihak BUMD.
Namun demikian, pihak pengelolaan diberikan kebebasan
untuk mengatur, menata termasuk didalamnya mempercantikan gedung
bioskop tersebut dengan modal milik dari pengelola sendiri tanpa ada
bantuan dari pihak pemilik.
Khusus untuk di Kabupaten Ciamis sendiri, aset
pemerintah Jabar dalam bentuk gedung bioskop yang berada dibawah naungan
PD Kertawisata, adalah gedung bioskop Pusaka, dan Gedung Bioskop
Kenangan di kota Banjar serta satu lagi di daerah Banjarsari.
Ketiga aset ini seiring perkembangan jaman, sudah
ditutup sejak era perkembangan televisi dan cakram pemutar film atau vcd
mulai marak berkembang.
Maka sekitar tahun 80-an, ketiga gedung bisokop ini
harus dengan berat hati di tutup, dan pihak pengelola menanggung seluruh
kerugian yang terjadi selama mengelola usaha bioskop tersebut.
Sementara pihak PD Kertawisata sendiri dengan tetap
berpegang teguh terhadap prinsip perusahaan dan aturan yang dikelolanya,
maka seluruh aset yang hingga saat ini hampir seluruhnya sudah tidak
dikelola kembali oleh para pengelolanya.
Sehingga otomatis aset tersebut menjadi sebuah
bangkai busuk yang terdiam di tempatnya, menunggu saat-saat hingga
seluruh bangunan tersebut hancur atau ambruk.
Contohnya adalah Bioskop Pusaka yag terletak tepat di
tengah pusat Kota Ciamis ini, sejak tahun 1990 dimana tahun terakhir
pengelolaan bioskop ini, hingga saat ini tidak tidak tersentuh
sedikitpun oleh pihak pemilik asset apalagi untuk diperbaiki atau
diperjual belikan kembali.
Dahulu saat pihak pengelola mempunyai gagasan untuk
menambah income bagi degung bioskop dengan mengajak pihak investor
lainnya untuk bergabung, selalu di tolak oleh pihak PD Kertawisata.
Dengan alasan bahwa itu adalah milik pemerintah daerah, jadi harus ada persetujuan dulu dari pemerintah Jawa Barat.
Tapi nyatanya sampai hari ini juga, sejak dinyatakan
bahwa gedung bisokop tersebut harus ditutup karena sudah tidak layak
lagi untuk dipergunakan, pihak PD Kertawisata tidak melakukan upaya
apapun untuk mempertahankan asset tersebut.
Seolah-olah gedung tersebut di biarkan begitu saja,
tidak dirawat, yang pada akhirnya menjadi tempat yang kumuh serta
menjadi sebuah pemandangan yang tidak mengenakan di tengah kota Ciamis
ini.
Pemda Ciamis atas nama Seniman Ciamis ingin
menjadikan gedung bekas bioskop Pusaka ini sebagai gedung kesenian,
namun niat tersebut akhirnya hanya sebuah mimpi belaka, karena ternyata
pihak PD Kertawisata menawarkan harga sekitar 3 miliar untuk gedung
tersebut.
Dulu juga pernah diajukan kepada pihak swasta untuk
dibangun sebuah supermarket dari jaringan bisnis supermarket terbesar di
Indonesia.
Tapi akhirnya kembali gagal, karena mungkin salah
satunya adalah harga yang diberikan oleh pihak pemilik terlalu tinggi
dan tidak masuk akal oleh pihak pembelinya.
Saat ini gedung Bioskop Pusaka sudah hancur atapnya,
akibat bangunan yang sudah lapuk serta kayu-kayu penopang tiang yang
sudah lapuk juga.
Walaupun kondisi bangunan yang sudah hancur dan
mungkin sebentar lagi akan rata dengan tanah, tapi pihak PD KertaWisata
tetap tidak bergeming dan membiarkan semuanya ini terjadi.
Saya yakin dengan ambruknya gedung Bioskop Pusaka ini
juga, sepertinya tidak akan membawa dampak pengaruh yang cukup besar
bagi PD Kertawisata, karena rasanya mereka sudah melupakan asset yang
satu ini.
Cuman kalo ada yang membeli dengan harga yang lebih
tinggi dari penawaran yang diberikan, pasti akan langsung disetujui
tanpa harus melalui proses rapat dengan PemProv Jabar terlebih dahulu.
Jadi…sekarang siapa pengusaha atau pebisnis yang mau membeli gedung bioskop pusaka seharga 3 miliar ini?
Belum lagi aset yang ada di kota Banjar berupa gedung
bioskop Kenanga yang sampai hari ini juga terbengkalai dalam
pengelolaanya, namun PBB setiap tahun harus terus di bayar oleh pihak
pengelola.
Tentang Kendala PD Kertawisata;
Paling tidak, ada dua produk aturan terkait
permasalahan gedung kesenian milik pemerintah itu, yakni Perda No.
4/1999 tentang Pendirian Perusahaan Daerah Jasa dan Kepariwisataan
daerah Tingkat I Jawa Barat dan Permendagri No. 13 /2006. Perda No.
4/1999 mengamanatkan bahwa sejumlah gedung milik Pemerintah Provinsi
Jabar merupakan aset PD Jasa dan Kertawisata (PD Jawi), termasuk GKRS,
Gedung AACC, dan YPK. Sedangkan Permendagri No. 13/2006 mengatur ihwal
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Meski Perda No. 4/1999 mengamanatkan gedung kesenian
adalah aset PD Jawi, tidak ada permasalahan ketika gedung itu dikelola
oleh komunitas seniman-budayawan, seperti yang terjadi dengan GKRS,
AACC, dan YPK. Ole karena itulah, misalnya, dalam Surat Keputusan (SK)
Gubernur No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 tentang Pengangkatan Badan
Pengelola Gedung Kesenian Rumentang Siang, Disbudpar Jabar dan PD Jawi
duduk bersama sebagai pembina badan pengelola.
Akan tetapi, peta permasalahan berubah dengan
terbitnya Permendagri No. 13/2006. Dalam permendagri ini, misalnya, pada
pasal 10 huruf j, mengemuka aturan pengelolaan barang/kekayaan milik
daerah yang menjadi tanggung jawab pejabat pengelola keuangan daerah
yang mendasar pada apa yang dipimpinnya.
Dengan kata lain, pasal ini mengingatkan bahwa
pejabat pengelola keuangan daerah tidak bertanggung jawab pada
barang/kekayaan daerah di luar otoritas unit kerjanya. Dalam konteks
GKRS, atas alasan inilah Disbudpar merasa tidak lagi berkewajiban pada
badan pengelola GKRS, termasuk ketika habisnya masa tugas badan
pengelola tahun 2007. Artinya lagi, dalam logika Disbudpar, Permendagri
No. 13/2006 telah menggugurkan SK Gubernur No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003
yang mengamanatkan pengelolaan GKRS ditangani badan pengelola yang
berada di bawah Disbudpar.
Kuat terkesan Disbudpar mencampurbaurkan antara GKRS
yang secara fisik memang aset PD Jawi dan badan pengelola ke dalam satu
paket. "Benar bahwa Permendagri melarang Disbudpar mengeluarkan anggaran
di luar unit kerjanya. Akan tetapi, dalam permasalahan GKRS, tidak bisa
disatupaketkan. Menjadi kewajiban Disbudpar untuk membiayai badan
pengelola, mengingat SK No. 643.2/Kep.246-Sarek/2003 itu sebenarnya
mengacu pada SK. 13/A.1/2/SK/Kesra/75. Dalam hal ini, badan pengelola
bisa melakukan tuntutan karena bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan,"
ujar Yesmil Anwar.
SK.13/A.1/2/SK/Kesra/75 dikeluarkan Gubernur Jabar
Solihin G.P., ihwal pembentukan badan pengelola GKRS. Di situ
disebutkan, biaya bagi penyelenggaraan GKRS didapat dari subsidi
Pemerintah Provinsi Jabar dan Pemerintah Kota Bandung.
Menurut Yesmil, karena SK No.
643.2/Kep.246-Sarek/2003 tidak menyebutkan kedudukannya sebagai SK
pengganti dan mencabut SK.13/A.1/2/Kesra/75, maka SK 13/A.1/2/Kesra/75
itu berlaku, terutama menyangkut kewajiban Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kota Bandung untuk menyubsidi GKRS. "Menggunakan logika
pembacaan ini dalam konteks interpretasi bahwa GKRS dan badan pengelola
adalah dua hal yang terpisah, tidak bisa disatupaketkan," katanya.
**
DALAM pandangan Kadisbudpar Jabar I. Budhyana, tentu
saja interpretasi semua orang bisa berbeda. Akan tetapi, yang jelas, ia
berhadapan dengan kenyataan bahwa setelah turunnya Permendagri No.
13/2006, Badan Pengawas Daerah (Bawasda) melarang Disbudpar mengeluarkan
anggaran bagi kepentingan di luar unit kerjanya.
"Saya sedih sekali, tapi saya tidak bisa berbuat
apa-apa karena memang GKRS tidak berada dalam ruang lingkup aset
Disbudpar," ujar I. Budhyana, seraya menegaskan bahwa permasalahan ini
tak hanya terjadi di Jabar, tetapi juga di provinsi-provinsi lain.
Permendagri No. 13/ 2006 memang telah mengubah aturan
main pengelolaan keuangan daerah yang mau tak mau berdampak pada
pengelolaan gedung kesenian. Sebutlah misalnya kedudukan PD Jawi sebagai
pemilik gedung kesenian. Seandainya kepala daerah memberi subsidi pada
PD Jawi, derajat pemberian subsidi itu sama halnya dengan penyertaan
modal pada perusahaan swasta. Maka, tentu logikanya penyertaan modal itu
harus menghasilkan laba.
Sulit sekali membayangkan gedung kesenian dikelola
dengan cara profit oriented semacam itu, mengingat gedung kesenian lebih
merupakan investasi kultural ketimbang hitung-hitungan rugi-laba.
Logika profit oriented PD Jawi agaknya juga mesti
dilihat dalam pemakluman bahwa sebagai BUMD yang diberi aset sejumlah
gedung milik pemerintah daerah, ia mau tak mau "kejar setoran". Lalu
persoalannya, bagaimanakah mekanisme subsidi dana operasional pemerintah
bagi gedung kesenian tanpa dianggap sebagai penyertaan modal, padahal
gedung kesenian adalah aset PD Jawi?
Tidak ada celah karena gedung kesenian, seperti GKRS,
YPK, dan AACC, kadung diberikan pada PD Jawi sebagai aset mereka
seperti termaktub dalam Perda No. 4/1999. Satu-satunya jalan adalah
"mengamendemen" perda tersebut sehingga ada pemilihan jenis gedung apa
saja yang layak dikelola dan menjadi aset PD Jawi. Dalam hal ini,
pemerintah provinsi harus membaca ulang apakah perda tersebut sesuai
dengan kebutuhan demi pengembangan pembangunan seni dan budaya atau
justru malah menjadikan kendala?
Sumber : Pikiran Rakyat Online
Tindakan yang seolah-oleh tidak bertanggungjawab oleh
PD Kertawisata sudah dimulai sejak jaman dahulu dan sepertinya ini
sudah menjadi trend bagi perusahaan BUMD milik Pemprov Jabar ini.
Sekitar tahun 70-80an di kota Bandung terkenal dengan
berbagai gedung bioskop yang mempunyai ciri serta arsitektur bangunan
khas jaman kolonial.
Tidak hanya itu, gedung bioskop di kota Bandung juga
merupakan sejarah bagi perkembangan film layar lebar di Indonesia yang
sempat menjadi Tuan Di Negeri Sendiri.
Film-film produksi Warner Brothers yang terkenal itu,
bisa langsung dilihat di bioskop ini tidak lama setelah penayangan
perdana di Hongkong.
Bahkan beberapa bintang film ternama artis dari
Hongkong dan China pernah juga hadir di bioskop ini untuk menyaksikan
tayangan perdana film-filmnya.
Sehingga wajarlah kalo pada akhirnya ada beberapa
pihak yang tidak tau dari mana dan mungkin karena kondisi jaman pada
waktu itu, dimana adanya anti Komunisme dan anti orang China ini, maka
berdampak pula terhadap perkembangan bioskop yang satu ini.
Nyatanya sejak ditutup bioskop Capitol oleh pihak
perusahaan, tidak langsung di bangun oleh pihak swasta, namun
pembangunan yang sekarang menjadi pusat pertokoan di jalan Sudirman
Bandung itu, baru di bangun pada sekitar tahun 95-an.
Artinya ada jeda sekitar 15 tahun sejak bioskop tersebut ditutup, sehingga kembali di bangun oleh pihak swasta.
Ini baru dari hanya satu bioskop saja yang ada di kota bandung yang pada akhirnya menjadi beralih fungsi sebagai bangunan baru.
Contohnya bioskop Nusantara, Bioskop Vanda yang
sekarang menjadi gedung BI, serta masih banyak lagi bioskop-bioskop
lainnya yang sekarang sudah tidak bisa lagi kita lihat wujudnya.
Semua ini bisa menjadi gambaran untuk kita, bahwa
pengelolaan aset Pemprov Jabar yang berada di bawah naungan PD
kertawisata (dahulu PD Jawi) sangat tidak terkoordinasi dengan baik
bahkan tidak tertata dengan baik dan apik.
Masih banyak lagi asset Pemprof Jabar yang berada di
bawah naungan PD Kertawisata khususnya gedung bioskop yang tersebar di
daerah-daerah yang saat ini kondisinya tidak terawat dengan baik bahkan
tidak ada yang mengurusnya sama sekali.
Hanya menjadi sebuah gedung tua saksi bisu
perkembangan dunia hiburan di Indonesia yang tidak sebaik nasibnya
seperti dunia hiburan saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar