Rabu, 31 Agustus 2011

HERMAN SUSILO 1981-1994



Nominasi Best Cinematography FFI'89
    •    Herman Susilo - Pacar Ketinggalan Kereta

Lahir Jumat, 31 Desember 1943 di Tegal. Pendidikan: Fakultas Kedoteran Universitas Pajajaran Bandung, hingga sarjana muda I (1964-1968). Elementer sinematografi (1973), Lulus Pendidikan Asisten Editor (1983). Yang urung jadi dokter ini berminat fotografi. Belakangan berkembang ke arah sinematografi. Bekerja untuk berbagai majalah sebagai tukang potret. Diajak sutradara Wim Umboh (1933-1996) dalam pembikinan Biarlah 'ku Pergi (1971) sebagai still photo. Terus begitu sampai 1976, terkadang merangkap sebagai publicity man. Kemudian jadi asisten bagi juru kamera Lukman Hakim Nain dalam film yang juga disutradarai Wim, Kembang-Kembang Plastik (1977) dan Pengemis & Tukang Becak (1978). Biar telah jadi juru kamera pada tahun sebelumnya, Perempuan Histeris (1976) yang disutradarai Ratno Timur. Dua kali mendapat unggulan. Pertama dalam Pacar Ketinggalan Kereta (1988) pada FFI 1989, kemudian dalam Alang Alang pada Festival Sinetron Indonesia 1994. Keduanya disutradarai Teguh Karya. Juga menggarap film dokumenter dan iklan, disamping film cerita.

DENDAM MANUSIA HARIMAU 1981 RATNO TIMOER Director Of Photography
ANUNYA KAMU 1986 BAY ISBAHI Director Of Photography
REBO & ROBBY 1990 UCIK SUPRA Director Of Photography
SEBENING KACA 1985 IRWINSYAH Director Of Photography
PENGANTIN PANTAI BIRU 1983 WIM UMBOH Director Of Photography
DJAGO 1990 ABDI WIYONO Director Of Photography
MUSANG BERJANGGUT 1983 PITRAJAYA BURNAMA Director Of Photography
DIA BUKAN BAYIKU 1988 HASMANAN Director Of Photography
GOLOK SETAN 1983 RATNO TIMOER Director Of Photography
DORCE KETEMU JODOH 1990 MARDALI SYARIEF Director Of Photography
PERGAULAN 1994 YONKY SOUHOKA Director Of Photography
PERMATA BIRU 1984 WIM UMBOH Director Of Photography
SAUR SEPUH 1988 IMAM TANTOWI Director Of Photography
PACAR KETINGGALAN KERETA 1988 TEGUH KARYA Director Of Photography
SILUMAN SRIGALA PUTIH 1987 IMAM TANTOWI Director Of Photography
BIBIR-BIBIR BERGINCU 1984 MARDALI SYARIEF Director Of Photography
GADIS BERWAJAH SERIBU 1984 RATNO TIMOER Director Of Photography
SORTA 1982 ABRAR SIREGAR Director Of Photography
SUNAN KALIJAGA DAN SYECH SITI JENAR 1985 SOFYAN SHARNA Director Of Photography
GONDORUWO 1981 RATNO TIMOER Director Of Photography
SESAL 1994 SOPHAN SOPHIAAN Director Of Photography
KETIKA SENYUMMU HADIR 1991 SOPHAN SOPHIAAN Director Of Photography
KETIKA CINTA TELAH BERLALU 1989 ADISOERYA ABDY Director Of Photography.

GALERI FOTO
Bersama Teguh Karya dalam "Pacar Ketinggalan Kereta"/ 1988
Bersama Imam Tantowi "Saur Sepuh"/1988 "Saur Sepuh"/ 1988
Film " Dia Bukan Bayiku"/ 1988

Sabtu, 20 Agustus 2011

DJAIR

DJAIR ( Si JAKA SEMBUNG)


Setelah Ulasan Komik Silat Cina, Silat Indonesia. Punya cerita yang khas. Dan juga goresan gambar yang bagus dengan hotam putih dan kontras yang tinggi. Membaca komik dengan gambar sangat membantu berimajinasi. Gambar yang di tampilkan sangat Cinematiq sekali, mirip kita membaca/melihat story board dalam film. ada Long Shot, bahkan Extreme close up, ada panning, dan pergerakan, ada juga efek dalam gambar. Shot atau angle frame juga sangat luar biasa imajinasinya., Fourground kaki, focus, change focus dan lainnya.Persis seperti story board dalam film. Bahkan ada rasa di dalamnya, seolah gambar-story ini bergerak, padahal gambar-gambar tunggal, tetapi otak kita yang membuat itu bergerak selayaknya film juga di mana satu detik ada 24 gambar yang berputar sehingga otak kita yang membuatnya terasa bergerak.


Dia adalah satu dari “The Big Seven”. Dan Djair Warni, komikus itu, menjadi salah satu dari tujuh besar karena karyanya Jaka Sembung, Djaka Gledek, Si Tolol, Kiamat Kandang Haur, Malaikat Bayangan, dan Toan Anak Jin. Seperti rekan-rekannya sesama “The Big Five”, Djair tergolong komikus otodidak.

Pria kelahiran Cirebon 13 Mei 1949 ini, Ia sudah membuat komik sejak masih remaja. Padahal, dulu ayahnya menaruh harapan supaya Djair bercita-cita sebagai insinyur. “Waktu itu saya sering dimarahi Ayah karena lebih senang membuat komik daripada belajar. Akhirnya saya mencuri-curi kesempatan,” tutur Djair. Ia menggemari karya-karya Ganes T.H. (Si Buta dari Goa Hantu), Jan Mintaraga (Rio Purbaya), dan Hans Jaladara (Panji Tengkorak) ini.

Mungkin karena itulah komik-komik Djair juga memiliki pengaruh dari komikus yang dikaguminya; ia cenderung mengisahkan pengembaraan seorang pendekar dalam menegakkan kebenaran. Kisah pengembaraan para pendekar yang dianggap pahlawan itu lengkap dibumbui cerita kehidupan sehari-harinya, sehingga terasa membumi. Lihat saja Jaka Sembung.

Berbeda dengan tokoh hero seperti Si Buta dari Goa Hantu atau Panji Tengkorak yang selalu berkawan dengan sunyi, Jaka Sembung justru digambarkan sebagai tokoh yang sudah berkeluarga. Atribut yang digunakan Jaka juga tidak seperti Si Buta, yang berpakaian kulit ular, melainkan baju biasa berlilit sarung. Begitu populernya hingga kisah Jaka Sembung itu sempat diangkat ke layar lebar dengan bintang Barry Prima.

Pada masa jayanya, penghasilan yang diperolehnya cukup untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Maklum, untuk satu cerita terdiri dari 7 sampai 10 jilid ia memperoleh Rp 100 ribu, yang merupakan angka yang tinggi untuk ukuran tahun 1960-an.

Sayang, zaman keemasannya sulit terulang. Ia bahkan pesimistis, komik Indonesia bakal bangkit kembali. Soalnya, “Sekarang sudah ada televisi, bioskop, mal, dan videogame. Anak-anak sudah terbiasa dicekoki komik terjemahan dari luar negeri,” kata Djair. Ia kini banting setir menekuni profesi di dunia sinetron dan film sebagai penulis skenario. Salah satu karyanya adalah skenario film Fatahillah, yang dibiayai Pemerintah DKI (1997).

Jaka Sembung diceritakan sebagai pendekar saleh. Nama aslinya Parmin Sutawinata dan konon masih keturunan bangsawan Kesultanan Cirebon. Lalu, karena ia belajar kanuragan di sebuah perguruan di Gunung Sembung, maka ia mendapat julukan Jaka Sembung.

Jaka Sembung bukan pendekar petualang macam Si Buta atau Panji Tengkorak. Meskipun pernah dikisahkan dengan latar Maluku dan Papua, Jaka Sembung hidup menetap di desa Kandanghaur. Liku hidupnya pun tak sekelam keduanya. Ia punya istri dan sehari-hari bertani laiknya orang kebanyakan.

Barangkali, karena penggambaran yang membumi itulah Jaka Sembung sering kali disebut sebagai tokoh sejarah faktual. Selain itu, karena kesalehannya, ia juga dianggap punya kekuatan spiritual. Sampai-sampai ada orang yang menjadikannya objek ngalap berkah.

Hal-hal itu bikin gusar komikusnya, Djair Warni Ponakanda. Itu sempat di disinggung Djair di komik terakhir Jaka Sembung, Jaka Sembung vs Si Buta dari Gua Hantu (2010). Ia dapat cerita ada seorang mahasiswa pencinta alam yang ketemu arwah Jaka Sembung di sebuah hutan.

Djair dapat pula cerita bahwa seorang wartawan majalah klenik pernah bertapa di kompleks pemakaman Gunung Sembung, Cirebon. Dalam pertapaannya itu ia didatangi arwah Jaka Sembung dan dihadiahi sebuah keris pusaka.

Jaka Sembung juga dapat kiriman doa dan selawat. Itu terjadi di sebuah kampung yang sedianya akan jadi lokasi syuting sinetron Jaka Sembung. Ritual itu dipimpin oleh seorang imam masjid dan beberapa kru rumah produksi pembuat sinetron Jaka Sembung.

“Banyak orang mengira dia hidup dan nyata. [...] Jaka Sembung itu fiksi, tapi akhirnya menjadi legenda, lalu menjadi mitos," ujar Djair menegaskan, sebagaimana dikutip harian Kompas (12/7/2007).

Itu semua jelas saja bikin gusar Djair. Ia tak pernah mengira tokoh komik rekaannya akan bernasib seperti itu. Namun, fenomena itu adalah juga tengara sahih bahwa Djair, sama seperti tokoh ciptaannya, adalah komikus pilih tanding.




Djair Warni Ponakanda yang lahir di Cirebon, 13 Mei 1945, ini belajar komik secara otodidak. Ia tumbuh sebagai pembaca komik wayang yang dipopulerkan R.A. Kosasih dan Ardisoma. Dari Cirebon ia hijrah ke Jakarta untuk jadi komikus pada 1965.

Saat itu, komik berbau politik yang mekar di awal 1960 tiarap sejenak gara-gara G30S. Gantinya, genre roman remaja merebut pasar. Djair pun memulai debut komiknya di genre ini. Maka terbitlah Wajah Penuh Dosa pada 1965.

Sebagaimana komikus muda lain, mulanya Djair berproses secara “palu gada” ("Apa lu mau, gue ada"). Beberapa genre ia jelajahi. Selain roman remaja, Djair juga menggambar komik horor berjudul Ngepet dan thriller macam Psycho Diagnosa. Seturut catatan Anton Kurnia dalam Buah Terlarang dan Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017, hlm. 101), Djair juga menganggit serial komik detektif M13 dan serial komik anak Trio AIN.

Peruntungannya berbalik saat genre silat merajalela usai meledaknya penjualan Si Buta dari Gua Hantu anggitan Ganes TH pada 1967. Maka Djair ikut pula menggarap komik silat dengan tokohnya Jaka Sembung pada 1968. Akan tetapi, Djair tak ingin mengekor begitu saja. Ia menciptakan latar belakang dan karakter pendekar yang berbeda.

"Nama aslinya sebetulnya Parmin. Karena ia dari keraton alias darah biru, jadi namanya Parmin Sutawinata. Ceritanya si Jaka lahir tahun 1602, sama dengan berdirinya VOC, jadi seolah-olah dia dilahirkan untuk menentang VOC," ujar Djair sebagaimana di kutip Kompas (12/7/2007).

Dari 1968 hingga 1977, Djair membuat 21 serial Jaka Sembung. Setelah sempat vakum sedekade lamanya, pada 1987 dan 1988 serial baru Jaka Sembung muncul lagi. Satu prekuel yang menjelaskan asal-usul si pendekar terbit pada 1994. Lalu, komik terakhir Jaka Sembung terbit pada 2010.

Tak bisa disangkal, nama Djair makin kesohor gara-gara Jaka Sembung. Kepopulerannya lalu menarik minat produsen film untuk mengangkat kisahnya ke layar perak. Empat kali Jaka Sembung masuk bioskop lewat film Jaka Sembung Sang Penakluk (1981), Si Buta Lawan Jaka Sembung (1983), Bajing Ireng dan Jaka Sembung (1983), dan Jaka Sembung dan Dewi Samudra (1990).

Usai Jaka Sembung Djair juga membikin serial Malaikat Bayangan yang karakter-karakternya adalah para murid Jaka Sembung. Lalu masih ada serial silat lain seperti Si Tolol dan Jaka Geledek. Seturut catatan Kompas (26/7/2014), Si Tolol yang terbit pertama pada 1969 adalah komik Djair yang dihargai paling tinggi. Untuk satu manuskrip komik setebal 64 halaman Djair dibayar Rp100.000 sampai Rp150.000.

”Padahal, harga emas saat itu Rp250. Jadi, dari satu naskah saja saya dapat membeli setengah kilogram emas,” kenang Djair.





Dari segi keindahan dan ketepatan, komik-komik Djair masih kalah unggul dibanding bikinan Ganes TH atau Teguh Santosa. Di antara komik-komik genre silat pun semesta yang dibangun Djair tak seberapa luas karena Jaka Sembung bukanlah petualang. Tapi, tentu Jaka Sembung tak akan jadi fenomenal kalau ia tak punya kelebihan.

Menurut Anton Kurnia, ada dua hal yang membedakan Jaka Sembung dengan Si Buta atau Panji Tengkorak. Pertama, musuh utama Jaka Sembung bukan sekadar pendekar-pendekar golongan hitam, tapi kompeni VOC.

“Baru melalui serial Jaka Sembung kesadaran tentang nasionalisme yang tercermin dalam perjuangan Jaka Sembung alias Parmin Sutawinata dan kawan-kawannya melawan kaum penjajah Belanda dengan tujuan meraih kemerdekaan muncul sebagai wacana yang signifikan dalam komik silat kita,” tulis Anton (hlm. 103-104).

Terlebih itu bukan hanya perjuangannya seorang, tapi juga perlawanan kawan-kawannya dari berbagai golongan. Ada pendekar-pendekar dari Maluku, Papua, etnis Cina, dan bahkan Aborigin yang ikut berjuang bersama Jaka Sembung. Lain itu masih ada pendekar tunagrahita di kubunya.

Anton membaca unsur-unsur ini sebagai “semangat nasionalisme yang berpijak pada penghargaan atas pluralitas”.

Pembeda kedua adalah kuatnya keislaman dalam alur kisah pendekar jago golok ini. Keislaman itu muncul dalam banyak aspek, mulai dari motivasi perjuangan para karakternya, dialog, hingga segala atribut yang dikenakan. Dalam serial berjudul Wali Kesepuluh (1977), misalnya, Jaka Sembung yang dalam keadaan koma digambarkan bertemu dengan arwah Walisongo.

Nafas keislaman juga muncul dari ajian pamungkas si pendekar. Djair menamakannya jurus Wahyu Takwa. Ini adalah cara Djair menggambarkan aspek spiritual dari silat Nusantara. Baginya, betapapun kuatnya seseorang, ia akan mentok hanya jadi tukang pukul jika tanpa spiritualitas. Kekuatan spiritual adalah senjata utama Jaka Sembung, bukan golok atau tongkat yang sering ia gunakan.

“Ini jurus yang hanya dimiliki orang yang mempunyai tingkat ketakwaan tinggi. Tetapi, senjata ampuhnya adalah iman dan takwa,” kata Djair.

HANS JALADARA (Si Panji Tengkorak)

KOMIK HANS MEMILIKI CIRI KHAS TERSENDIRI

Certita yang panjang dengan menyiasati alur yang berbelit-belit dan penuh konflik satu dan yang lainnya secara berhubungan adalah agar pembaca terus membaca tidak putus karena penasaran. Tidak heran halaman nya bisa ribuan. Dia mengarang sendiri dan juga menggambarnya. Jadang dia sendiri kebingungan di saat mengarang ceritannya atas kebingungan yang di bangunnya sendiri dalam cerita. Tetapi goresan gambarnya tidak sekontras Djair, masih dianggap halus, masih mengandalkan hitam putih. Kadang untuk adegan berantem saja, dia bisa menggunakan halaman banyak untuk memanjakan pembaca berimajinasi tentang ilmu-ilmu oerkelahian tersebut.




Hans Rianto Sukandi atau yang lebih dikenal dengan nama Hans Jaladara atau Hans (lahir di Kebumen, 4 April 1947) adalah seorang komikus Indonesia terkenal. Nama Jaladara baru dipakai Hans pada awal tahun 1970-an karena ada peniru dengan nama Han, tanpa huruf S. Jaladara diambil dari tokoh komik wayang karya Ardi Soma, yaitu Wiku Paksi Jaladara. 

Hans yang pada awalnya membuat komik jenis drama, kemudian diminta sebuah penerbit untuk membuat komik serupa Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH. yang waktu itu tengah menjadi idola di kalangan penggemar komik. Hans kemudian menciptakan tokoh Pandji Tengkorak pada tahun 1968 dan komik ini sangat sukses dipasaran. Komik Pandji Tengkorak kemudian dibuat film dan dibintangi oleh Deddy Sutomo, Shan Kuan Ling Fung, Rita Zahara, Lenny Marlina dan Maruli Sitompul. 

Kebiasaan membaca (termasuk komik) merangsang Hans untuk berimajinasi dan merangkai cerita. Gerakan silat dalam komik merupakan aktualisasi dari ilmu yang diperolehnya saat belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar dan judo pada Tjoa Kek Tiong. 

Sekitar tahun 1975 sampai 1980-an, komik Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik-komik impor. Hans masih bertahan dan sempat menerbitkan Pandu Wilantara dan Durjana Pemetik Bunga. Semangatnya mulai bangkit kembali ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 1984 dan kemudian versi 3 tahun 1996. 

Pada tahun 1990 Hans menggeluti dunia seni lukis dan beberapa kali mengikuti pameran. Ia mengaku terlambat membuat lukisan, setidaknya jika diukur dari masa kejayaan lukisan. Melukis dan mengajar hingga kini masih ia tekuni agar hobi menggambarnya tetap tersalurkan. Dunia komik memang telah menjadi bagian dari hidupnya bahkan kedua putrinya berhasil Ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan membuat komik. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri. 

Karya Hans Jaladara
    •    Pandji Tengkorak
    •    Walet Merah
    •    Si Rase Terbang
    •    Pandu Wilantara
    •    Durjana Pemetik Bunga
    •    Intan Permata Rimba



Ketika Ganes TH menerbitkan Si Buta dari Gua Hantu pada 1967. Sejak itu genre silat jadi primadona, membawa fenomena “demam silat” ke jagat komik Indonesia.

Maka tengoklah data yang disajikan peneliti komik Marcel Bonneff dalam Komik Indonesia (1998: 51). Pada 1967 hanya ada 18 judul komik silat beredar di pasar. Kalah jauh dari komik roman remaja yang mencapai 53 judul. Tapi jumlah itu berbalik pada 1968—saat Si Buta mencapai seri ketiga. Ada 156 judul komik silat beredar di pasar, melambung jauh meninggalkan komik roman remaja yang hanya 43 judul. Tahun-tahun selanjutnya kuantitas judul komik silat selalu lebih unggul.

Banyak komikus kemudian mengikuti jejak Ganes. Namun, dari sekian banyak komikus, hanya beberapa yang bisa menyamai kepopuleran Ganes dan Si Buta. Di antaranya adalah Djair Warni dan Hans Jaladara. Nama terakhir ini terkenal berkat serial Panji Tengkorak.

Jalan pedang Panji Tengkorak pernah demikian masyhur dan jadi bagian dari budaya pop Indonesia di era akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Komik Panji Tengkorak—berikut sekuel-sekuelnya, seperti Si Walet Merah, Si Rase Terbang, hingga Panji Wilantara—memenuhi rak persewaan buku dan jadi buruan remaja-remaja yang keranjingan komik.

Tak kalah dari Si Buta, Panji Tengkorak pun dilayarperakkan pada 1971. Aktor Deddy Sutomo didapuk sebagai Panji Tengkorak kala itu. Komiknya pun digubah ulang oleh Hans dan terbit kembali pada 1984 dan 1996.

Akan tetapi, masa jaya itu berlalu dengan cepat memasuki 1980-an, ketika komik Jepang mulai membanjiri toko-toko buku Indonesia. Meski bukan musabab tunggal, kejayaan komik silat dipurnakan olehnya.

"Dengan munculnya Kungfu Boy, komik Indonesia mati thek sek [tiba-tiba]," kata Hans sebagaimana dikutip Kompas (7/11/1993).

Seperti Panji Tengkorak yang kelelahan oleh pertarungan tak berkesudahan, Hans pun pelan-pelan tersingkir dari dunia persilatan.

Hans Jaladara lahir di Kebumen pada 4 April 1947 dengan nama asli Liem Tjong Han. Ia kemudian berganti nama jadi Rianto Sukandi ketika keluarganya memutuskan jadi WNI sekira awal 1960-an. Semasa revolusi berkecamuk, keluarganya memutuskan pindah ke Jakarta.

Hans akrab dengan dunia fiksi sejak belia. Maklum ayahnya adalah guru bahasa Inggris. Dari sang ayah itulah ia berkenalan dengan kisah-kisah Shakespeare dan Alexandre Dumas. Tapi Hans tak mewujudkan imajinasinya melalui tulisan, melainkan gambar.

Hans belajar menggambar sejak sekolah dasar. Gambar-gambarnya pun biasa dibeli teman-temannya seharga seringgit. Ia lalu mulai membuat komik kala SMP. Hans sendiri mengenang, di masa itu ia menggambar sampai taraf keranjingan. Ia menggambar di sembarang buku dan kertas kosong.

"Saya sampai kena timpuk guru karena di kelas kerjanya menggambar melulu,” tutur Hans sebagaimana dikutip Kompas (28/4/2002).

Ia terus mengasah kemampuan bercerita dan menggambar hingga SMA. Seno Gumira Ajidarma dalam Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan (2011) mencatat Hans banyak menggali referensi dari karya-karya komikus yang sudah tenar dan biasa terbit di media. Ia rajin mengikuti serial Sie Djin Koei karya Siaw Tik Kwie dan Tarzan anggitan Burn Hoggart yang terbit di majalah mingguan Star Weekly. Tak ketinggalan pula karya R.A. Kosasih dan Taguan Hardjo.

Di masa akhir SMA itulah Hans menyeriusi hobinya. Ia memulai langkah sebagai komikus profesional pada 1966 dengan komik drama Hanya Kemarin yang diilhami film Hollywood Only Yesterday.

“Honor pertamanya diserahkan semua kepada orang tuanya. Selanjutnya, Hans-lah yang menghidupi keluarga yang menghidupi keluarga sampai ia menikah,” tulis Seno (hlm. 254).

Sebagai komikus ia menggunakan nama Hans, alih-alih Rianto Sukandi. Ia lalu menambahkan nama baru “Jaladara” yang dicuplik dari nama seorang tokoh komik anggitan komikus S. Ardisoma.

Selepas SMA, Hans mempertajam kemampuan menggambarnya dengan masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Nasional (STSRN) Jakarta. Tapi karena waktunya lebih banyak habis untuk berasyik-masyuk dengan komik, ia pun memilih hengkang setahun kemudian.

Bolehlah dikata, Hans Jaladara menganggit komik silat karena mengikut musim mekarnya genre itu. Penerbitnya lah yang mengarahkannya alih haluan. Sebagai komikus yang masih hijau, ia tak bisa ambil langkah lain kecuali ikut saja.

"Saya diminta membuat komik seperti Jan, Budianta. Tapi saya tidak mau meniru. Tapi ada yang mengatakan komik saya berwajah Jan," kata Hans.

Sebagai kawitan, Hans membikin Drama di Gunung Sanggabuana dalam satu jilid tamat. Barulah kemudian ia menggubah Panji Tengkorak pada 1968.

Sebagaimana diakuinya, ia tak ingin jadi epigon Ganes TH dengan Si Butanya. Karena itulah desain karakter Panji Tengkorak ia bikin sebagai antitesis Si Buta. Sementara Si Buta berambut panjang awut-awutan, Panji Tengkoraknya berambut pendek; jika Si Buta berpakaian rapi dari kulit ular, maka sang Panji berbaju compang-camping.

Mulanya Hans hanya mempersiapkan Panji Tengkorak untuk satu jilid. Ternyata penerimaan pasar begitu antusias. Jadilah serial ini baru tamat setelah lima jilid.

Pembeda lain karya Hans dengan komik silat lain adalah kuatnya drama dalam plotnya. Komik silat masa itu jamak menggunakan pembalasan dendam sebagai penggerak cerita dan motivasi para tokohnya. Hans mengambil jalan lain dengan memasukkan unsur drama, terutama kemelut cinta, dalam karya-karyanya.

Sebagaimana diamati Arswendo Atmowiloto dalam “Menggambar Kue Menghilangkan Lapar” yang terbit di Kompas (5/12/1981), empasis Hans adalah asmara tak sampai, disatroni lawan jahat, atau terpaksa hidup dengan bukan pilihannya.

Simaklah perjalanan hidup Panji Tengkorak. Mulanya ia dibikin kedanan gara-gara istrinya terbunuh. Sampai-sampai suatu kali dibongkarnya kembali kuburan si istri yang bernama Murni itu. Bukan lagi wajah rupawan yang ia dapati kemudian, tapi tengkorak yang demikian buruknya.

Tapi akhirnya kejadian itu memberinya pencerahan. Wajah tengkorak itulah sebenarnya wajah yang hakiki. Dari itulah kemudian ia memakai topeng tengkorak dan mengembara tak tentu arah. Toh, topeng itu tak mengubah kenyataan bahwa wajahnya memang tampan sejak lahir.

“Masalahnya, sekali para perempuan melihat wajahnya, mereka semua jatuh cinta. Urusan cinta ini membuat kehidupannya betul-betul pahit,” tulis Seno (hlm. 11).

Bagi Seno, ini adalah satu dari sekian paradoks yang melingkupi hidup si Panji Tengkorak. Dalam pengembaraannya, Panji Tengkorak bertemu dengan banyak perempuan dan semuanya jatuh cinta kepadanya. Tapi, di akhir cerita ia justru harus kawin dengan perempuan yang sama sekali tak ia kehendaki. Ia bahkan terikat sumpah wajib membawa jenazah istrinya ke mana pun pergi.

Tak hanya sekali Hans menganggit kisah pendekar getir macam itu. Tengoklah komik Pedang Naga Berlian (1979) sebagai tamsil lain. Alkisah, adalah seorang pendekar bernama Kido yang hendak membalas dendam kepada Indrasakti gara-gara orang tuanya dibunuh. Di tengah-tengah upaya itu, pembaca dibikin geregetan karena Kido lalu jatuh hati kepada Seruni yang tak lain adalah anak Indrasakti. Drama jadi kian runyam manakala terkuak fakta bahwa Seruni ternyata adalah saudara kandung Kido sendiri yang lama terpisah oleh suatu sebab.

Pendekar-pendekar Hans jelas beda dengan Si Buta. Sementara Si Buta mampu menuntut tuntas dendamnya dan move on dari cinta masa lalunya kala berkelana, tokoh-tokoh Hans membawa luka hati itu ke mana pun kaki melangkah.

Atas pencapaian ini Arswendo memuji Hans, “Ditopang dengan ketekunan dan kerapian goresannya tidak menjadi sembrono seperti banyak jenis silat yang lain Hans pantas berada dalam daftar komikus terkemuka seperti Jan Mintaraga, Ganes TH, maupun Teguh Santosa. Ini juga membuktikan bahwa penyamarataan mutu komik secara keseluruhan sering meleset. Ternyata masih mungkin menemukan butiran berharga dari lautan produk yang kira-kira sejenis.”

TEGUH SANTOSA (KOMIK)

EROTISME IMAJINATIF KOMIK 
TEGUH SANTOSA




Agus Santosa (lahir di Malang, Jawa Timur, 1 Februari 1942 – meninggal 25 Oktober 2000 pada umur 58 tahun) adalah seorang komikus Indonesia. Bersama Ganes TH dan Jan Mintaraga, Teguh Santosa sering disebut sebagai 'jawara' komik Indonesia. Dari segi kualitas coretan gambar dan pemahaman sejarah, bahkan Teguh dianggap melebihi 2 tokoh lainnya. Trilogi 'Shandora' merupakan karya Teguh yang sangat terkenal

Bahkan ia sampai diinterogasi polisi gara-gara dianggap keseringan menyisipkan erotisme dalam komiknya. Tentu saja, sebagai seniman, Teguh merasa kebebasannya berekspresi dikekang.

Tak mau tunduk, Teguh merepet balik polisi yang menginterogasinya. Dengan telak ia menunjuk erotisme yang sudah sejak tahun jebot hidup di masyarakat Nusantara. Contoh sahihnya: patung Loro Jonggrang di Candi Prambanan.

“Relief candi di zaman Hindu Buddha yang dirujuk sebagai cikal bakal komik Indonesia juga memuat adegan-adegan yang penuh manusia telanjang dada, termasuk wanita. Lalu mau diapakan candi-candi itu? Wong budaya kita sendiri saja juga penuh erotisme,” ungkap Teguh sebagaimana dicatat putranya Dhany Valiandra dalam bunga rampai Maestro of Darkness Teguh Santosa (2016, hlm. 33).

Tapi jangan salah sangka, meski pernah berurusan dengan polisi gara-gara erotisme, Teguh bukanlah komikus kaleng-kaleng. Namanya masyhur dan dikenang banyak penekun komik lokal bukan karena ia komikus erotis, tetapi karena roman sejarah dan silat-mistiknya. Ia adalah salah satu titan di masa puncak kejayaan komik Indonesia dekade 1970-an.

Teguh Santosa yang lahir di Malang pada 1942 belajar menggambar secara autodidak. Sekolah formalnya tak lebih tinggi dari jenjang SMA, karena setelah lulus ia memutuskan untuk jadi seniman. Untuk menyambung hidup ia berjualan amplop bergambar di depan Kantor Pos Besar Malang dan Jalan Kayu Tangan.

Wawasan dan kemampuan gambar Teguh terasah kala ia bergabung dengan grup ketoprak tobong Siswo Budoyo. Soemarmo Adji, sang ayah, adalah pelukis set di grup ketoprak itu. Dari Malang ia lantas mengembara ke Yogyakarta dan bergabung dengan grup seni Sanggar Bambu.

 
 

Di Sanggar Bambu ia mendapat bimbingan dari beberapa seniman penting. Ada pelukis Sunarto Pr, pendiri sanggar, yang mengajarinya gaya arsir dan tipografi. Lain itu Teguh juga dapat bimbingan dari Kentarjo si ilustrator cerita silat S.H. Mintarja dan komikus Abdulsalam.

“Dari pengakuan Bapak, Pak Nartolah yang mengarahkannya untuk menjadi seorang ilustrator komik, karena di Jogja pada saat itu telah banyak anggota Sanggar Bambu yang menjadi pelukis,” tulis Dhany (hlm. 6).

Memang jalan itulah yang kemudian ditempuh Teguh. Lebih dulu ia jadi ilustrator di majalah berbahasa Jawa Djaja Baja dan kemudian majalah Gelora. Ia banyak menggambar untuk kisah-kisah kepahlawanan. Hingga komik debutnya yang berjudul Suma terbit pada 1963.

Tentang komik pertama ini, Arwendo Atmowiloto dalam artikel “Koran Medan, Serta Cinta Jakarta” yang terbit di Kompas (11/8/1979), memujinya sebagai karya yang dikerjakan dengan, “Tekun, serius, sampai kepada teks yang dituliskan dalam huruf-huruf yang perbandingannya tetap. Sungguh prestasi yang tak diikuti oleh komikus yang lain.”

Selepas Suma Teguh masih menggarap beberapa komik lagi sebagai penggambar. Sebutlah Ki Danureksa dan Pusaka Sunan Giri (1964) berdasar cerita anggitan Basuki Rachmat dan Airlangga (1964) berdasar cerita dari Pitono.

Sekira 1966 Teguh pindah kerja ke majalah Kemuning yang berkantor di Semarang. Sayang sekali, majalah itu bangkrut setahun kemudian. Sejak itu Teguh memutuskan untuk mudik ke Malang dan lebih serius lagi menekuni komik.

Nama Teguh Santosa kian harum sebagai komikus pilih tanding kala ia menganggit drama sejarah Sandhora pada 1969. Terbit dalam sepuluh jilid, komik itu mendapat sambutan sangat bagus dari pembaca. Kisah Sandhora lantas dilanjutkan dengan sekuelnya Mat Romeo (1971) dan berakhir sebagai trilogi dengan Mencari Mayat Mat Pelor (1974).

Kisah ini berhulu dari petualangan Therezia Sandhora van Lawick—putri angkat seorang penyelundup senjata dari Filipina. Suatu kali dalam sebuah upaya penyelundupan senjata ke Surabaya ia bertemu dengan seorang berandal bernama Mat Pelor. Berdua kemudian mereka bertualang hingga ke Malaka, Sumatra, dan Sulawesi.

Yang bikin menarik, petualangan Sandhora dan Mat Pelor itu bersinggungan dengan peristiwa Perang Paderi yang bersejarah. Di serial kedua, giliran anak Sandhora, Mat Romeo, yang bertualang. Kali ini kisahnya terjadi Filipina, di mana Mat Romeo terlibat pemberontakan melawan penjajah Spanyol.

“Trilogi Sandhora ini dianggap salah satu komik epik terbaik Indonesia yang berlatar sejarah. Selain unggul dalam pengisahan, penggarapan visual Teguh juga amat rapi. Teguh melakukan riset, menggubah cerita, melukis dan menggambar sendiri sampul komik ini,” tulis Anton Kurnia dalam Buah Terlarang & Cinta Morina: Catatan dari Dunia Komik (2017, hlm. 81).

Karya lain Teguh yang mengeksplorasi sejarah di antaranya serial Mahesa Rani yang berlatar zaman Singasari dan terbit di majalah Hai. Ada juga serial The Godfather 1800 yang mengadaptasi kisah mafia Mario Puzo ke alam Selat Malaka dan bersinggungan dengan sejarah Perang Diponegoro.

Lain itu, komik silat berbumbu mistik juga jadi trademark Teguh di pertengahan 1970-an. Sebutlah misalnya Hancurnya Istana Sihir (1972), Si Mata Siwa (1973), Kamadhatu (1975) dan Pendekar Pilihan Dewa (1979). Komik terakhir itu sungguh unik karena Teguh memadukan cerita silat dengan unsur-unsur futuristik ala film Star Wars.

Seiring dengan melesunya pasar komik pada 1980an, produktivitas Teguh juga menurun. Tapi setidaknya ia masih bertahan dengan membikin serial wayang dan kontributor komik untuk beberapa media.

“Pada 1980-an hingga 1990-an itu Teguh juga kerap membuat komik lepas untuk majalah anak-anak Ananda berdasarkan cerita rakyat dan kisah pewayangan,” tulis Anton dalam bukunya (hlm. 77).

Seturut Arswendo, komik-komik Teguh dapat dikenali dari satu ciri khasnya: teknik blok tinta. Kontras yang diciptakan blok-blok tinta hitam itu memberikan kedalaman karakter dan suasana. Menjadikan komiknya khas, bahkan dikagumi oleh maestro sekelas R.A. Kosasih.

Tapi siapa sangka, ia menemukan teknik itu mulanya dari sebuah kebetulan. Kisah itu pernah ia ceritakan kepada Syarifuddin, seorang kurator seni asal Malang yang dekat dengannya.

Suatu kali, sebagaimana biasa, ia menyerahkan sebuah manuskrip komik ke percetakan. Setelah komik dicetak, beberapa bagian gambar yang semestinya berupa arsiran ternyata berubah jadi blok-blok tinta hitam. Si operator percetakan yang ia tanya beralasan bahwa itu gara-gara mesinnya kotor saat proses cetak.

“Kok tambah apik! Akhirnya saya ulangi di karya-karya saya yang lain,” kata Teguh sebagaimana dicatat Syarifuddin dalam bunga rampai Maestro of Darkness Teguh Santosa (hlm. 91).

Ia juga dikenal tak sungkan menampilkan erotisme dalam komiknya. Tapi bukan berarti ia lantas menampilkannya sembarang. Menurut Dhany, ada kaidah artistik yang jadi peganganannya dan itu pun dilakukan selama perkembangan cerita memang memerlukan penekanan sensual.

Meski begitu, tetap saja Teguh kena sensor. Bahkan, karena berkukuh membela karyanya ia harus rela “nyantri” beberapa waktu di Polda Metro Jaya.

Kekuatan lain bikin komik Teguh khas adalah caranya bercerita yang filmis. Tak mengherankan, karena Teguh memang sering menjadikan film sebagai inspirasinya berkarya. Sebutlah misalnya Pendekar Pilihan Dewa dan The Godfather 1800 yang telah disebut sebelumnya.

Menurut amatan Seno Gumira Ajidarma dalam "Sastra Film dalam Komik Teguh Santosa” yang tayang di Kompas (15/12/2002), pengaruh film itu terlihat dari caranya menampilkan adegan laiknya kamera statis. Setiap panel komiknya pun disusun dalam sekuen-sekuen yang dinamis.

Seno mencontohkan bagaimana Teguh menggambar adegan pertempuran. Laiknya film, ia selalu memulai dengan suatu gambar long shot yang memotret seluruh medan perang. Dengan begitu pembaca dibuat akrab dulu dengan lingkungan. Setalah itu barulah ia "memindahkan kamera" kepada sudut pandang tokoh-tokoh yang terlibat.

Teguh juga piawai memasukkan adegan yang mungkin tidak penting dalam bangunan keseluruhan cerita, tapi dampak visualnya signifikan. Seno menunjuk satu contoh: close up bahan peledak yang menggelinding sebelum meledak.

Karena kelihaian itu, Seno memuji Teguh sebagai penggambar dengan teknik yang perfek. Tak ada garis atau titik yang salah tempat dalam komik Teguh. Dan karena itu, namanya sendiri adalah jaminan mutu.

“Bagi saya, komik-komik Teguh Santosa sangat berhak mendapat pembacaan yang lebih rinci dan teliti, tepatnya lebih bertanggung jawab, di mana bisa dimainkan berbagai teori budaya visual, untuk sebuah penjelajahan yang lebih sistematis, sebagai suatu tugas untuk masa mendatang,” tulis Seno menutup uraiannya.