TOKOH
Amir Laksamana (Fadly), yang indekos di rumah Dr Surya (WD Mochtar), akhirnya malah mengawini ibu kosnya alias istri Surya, Artisa (Tatiek Tito), bahkan dengan restu Surya yang memberikan duapertiga kekayaannya agar Amir bisa meneruskan sekolah ke Belanda. Amir yang kemudian sukses sebagai pengacara, melupakan istrinya, dan kawin dengan dua perempuan lain, sebelum akhirnya jatuh miskin. Dalam keadaan demikian, ada perempuan pengagumnya, Maria (Paula Rumokoy), yang lalu merawatnya hingga meninggal. Maksud film ini antara lain melukiskan keagungan wanita Artisa, yang sayang malah tak tampak.
Hikayat laksamana & bekas nyonya...
MAKA ini adalah hikayat Laksmana, kelahiran Malang sebelum perang. Otaknya cerdas, tampangnyapun tidak buruk. Mungkin dengan modal pemberian alam itulah Nyonya Tisa Surya memberi perhatian berlebihan padanya. "Kau kuanggap sebagai adik sendiri", begitu Tisa terdengar berkata pada suatu hari. Tapi tinggal bersama dengan perempuan yang tak punya keturunan, isteri dari dokter yang selalu sibuk, bisa menyeret cerita ke sudut yang dengan cepat bisa diduga. Tapi bukan soal sex dan kesepian melulu yang memberanikan Amir Laksmana meminta Dr Surya menceraikan isterinya untuk kemudian mcnggantikan peranan dokter itu sebagai suami. Bekas nyonya dokter ini melihat lebih jauh, dan penglihatan itu memang tidak kabur. Sebab terbukti kemudian bahwa Laksmana sanggup menjadi manusia terpandang setelah - dengan biaya Tisa - berhasil menggondol ijazah ahli hukum dari Universitas Leiden di Negeri Belanda. Hotel Oranye. Tentang perjalanan hidup Amir Laksmana inilah sutradara Wim Umboh kali ini bercerita melalui karya terbarunya yang bernama Tokol. Cukup kronologis cara berceritanya, dan penontonpun boleh senang melihat sidang-sidang Landraad (pengadilan) Surabaya pada zaman sebelum perang di mana Laksmana berpraktek sebagai pembela. Masuknya Jepang juga diperlihatkan, revolusi Surabaya yang terkenal dengan insiden penyobekan bendera di Hotel Oranye juga dikerjakan dengan rapi oleh Wim Umboh bersama juru kamera Lukman lakim Nain. Dan adegan-adegan bersejarah ini muncul di layar lebar tentu saja tidak sekedar embel-embel. Itulah kalau Laksmana juga ikut berjuang. Tapi di tengah-tengah kancah pergolakan, sempat juga ia memadu cinta singkat dengan gadis cantik Juanita, wartawan asing yang bertugas di medan perang. Dengan Juanita tidak yang terakhir kalinya Laksmana mengkhianati Tisa, dan beberapa tahun kemudian, ia malah kawin dengan gadis lincah, remaja dan bebas, lrma (Emilia Contessa).
Nampaknya dengan gadis yang jauh lebih muda dari dirinya ini mengisi sesuatu yang sejak lama kosong dalam hati Laksmana. Maka dengan rambut beruban ia tiba-tiba kembali remaja di samping bini mudanya, yang ia bayar dengan perceraiannya dengan Tisa yang sudah tua. Tapi kebahagiaan tiba-tiba sirna. karena kenakalan Irma sebelum kawin ternyata tidak berubah setelah berumah tangga. Istirnewanya, perceraian bisa berlangsung rapi hanya lantaran bantuan Tisa yang cukup lihai menggunakan tukang potret untuk mendapatkan bukti keserongan Irma. Perempuan berikutnya yang dipersuntingkan Laksmana adalah Deliana (Mike Wijaya). Malangnya, perempuan ini lebih senang menikmati teman sejenisnya dari pada kehangatan suaminya. Tentu saja bercerai, juga setelah Laksmana konsultasi dengan bekas bininya yang bernama Tisa itu. Perceraian yang terakhir ini terjadi pada masa tua Laksmana. Dan keputusan pengadilan atas beberapa perpisahan dengan isteri-isterinya cukup berat memukul pundi-pundi tuan pengacara. Akhirnya memang ia terlantar, terhina terlunta-lunta. Tapi nasibnya yang masih belum beruk mempertemukan orang tua ini dengan gadis Maria nan misterius. Sambil mengagumi Tisa, Maria (Paula Rumokoy) diam-diam mengikuti dan mencintai Laksmana. Bekerja sembari kuliah, Maria sang gadis diam-diam merencanakan kawin dengan pak tua yang dikaguminya. Kalau terjadi perkawinan sekali lagi, memang boleh juga itu Laksmana.
Tapi usianya yang menua dan tubuhnya yang rapuh membawa Wim Umboh pada keputusan mengakhiri hidup bekas pengacara justru pada saat Maria baru saja menyelesaikan studinya. "Ibu", itulah kata terakhir yang terdengar dari mulut Laksmana, dan di Ujung sana, Tisa meneteskan air mata sambil memegang gagang telepon. Berpisah. Cinta mereka memang tidak habis. Tapi hidup telah menyeret keduanya kesana-kemari. Justru tragisnya kisah lahir dan bersatunya cinta dan keterpaksaan berpisah dalam diri dua tokoh utama karya Wim Umboh ini. Tapltragedi itu barangkali akan lebih terasa degupan jantungnya seandainya manusia-manusia yang ditemui Laksmana dalam perjalanan hidupnya cukup diberi kesempatan bergerak. Peran-peran sampingan macam Dr Surya (WD. Mochtar) maupun Deliana, kurang mendapat perhatian penulis skenario, sehingga timbul kesan hitam putih antara peranan utama dan peranan pembantu. Kelemahan Wim Umboh yang demikian ini bagi penggemar karya-karya Aries Film memang terasa tidak baru. Dari karya-karya Wim terdahulu mudah dilihat bahwa pada film yang alurnya sedikit rumit, sang sutradara kelelahan menata tokoh-tokoh sampingan yang juga menentukan jalan cerita, suatu hal yang sebenarnya bisa diakali pada saat skenario mulai disusun. Keadaan seperti itu kadang-kadang memang kurang diperhatikan oleh penonton. Yang mereka rasakan hanya akibatnya: kurang menyentuhnya sang tontonam Dalam film-filmnya yang sederhana, macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, misalnya konsentrasi Wim Umboh pada beberapa tokoh dengan persoalan yang tidak rumit, menghasilkan sesuatu yang sangat mengharukan. Pengacara sainan. Tapi terlepas dengan kekurangan yang sifatnya lebih teknis itu, karya terbaru Wim Umboh ini memang sebuah film yang patut diperhatikan. Di tengah-tengah kelatahan membuat tontonan dengan segala macam resep yang disarankan oleh pemesan (booker) film, Wim tampil dengan sebuah kisah yang lebih dari sekedar serius.
Dia tidak cuma menghibur, tapi melalui media film yang sudah dikuasainya, Wim mengkomunikasikan sebuah ide kepada penontonnya. Tisa yang setia hingga tua, adalah lambang dari cinta agung seorang perempuan. Tapi dia tidak cuma menerima dan mengabdi, suatu saat ia juga bisa berkata: "Suatu kali pintu ini akan tertutup untukmu". Dan masa itu memang akhirnya datang ketika Laksmana tidak lagi tahu ke atap mana ia harus berteduh. Tapi Maria juga lambang cinta agung, demikian pula Laksmana yang tidak pernah lupa Tisa sebagai perempuan yang mulia dan ikhlas, meskipun ia juga menjadi mangsa gejolak kehidupan. Sayangnya bahwa peranan Tisa telah menjadi beban berat untuk pemain baru macam Dra Tatik Tito (d1h Tati Tamzil) sementara juru rias tidak bisa dikatakan berhasil menuakan Drg Fadli maupun Kusno Sujarwadi yang bermain sebagai pengacara saingan Laksmana. Yang barangkali juga masih bisa ditolong adalah pengarah artistik (Art Director) yang bekerja kurang cermat sehingga ilusi tentang masa lalu Laksmana dan Tisa tiba di hati penonton dalam keadaan kurang utuh. Nampaknya ini amat disadari sutradara setelah film selesai, sehingga muncul rencana untuk memperjelas waktu melalui hurup-hurup yang juga tersorot ke layar (lihat: Wim & Idris Sardi Memberi Keterangan) Tapi dengan bantuan juru kamera terbaik di Indonesia, Lukman Hakim Nain, gambar-gambar dalam film. Tokoh ini muncul dengan cemerlang di layar lebar. Barangkali terlalu kemilau bagi sebuah film serius macam karya Wim ini, suatu hal yang bisa ditafsirkan sebagai ukti bahwa film Indonesia belum lagi menggunakan warna sebagai unsur cerita. Tapi Idris Sardi ulempunyai andil besar dengan musik ilustrasi yang dibikinnya untuk film ini. Dan ini hanya makin meyakin kan saya betapa Idris Sardi sanggup membuat ilustrasi yang baik asal filmnya juga bermutu. Salim Said
26 Januari 1974
Wim dan idris memberi keterangan SELEPAS menonton film Tokoh selama dua kali, kepala desk film TEMPO, Salim Said, melakukan percakapan dengan sutradara Wim Umboh dan ilustrator musik terkemuka Idris Sardi. Berikut ini bagian-bagian penting dari percakapan itu. WIM UMBOH. Film Tokoh ini hanya bercerita mengenai seorang laki-laki yang bernama Mr Amir Laksmana, dari ia berumur 17 tahun sampai saat meninggalnya di umur empat puluhan. Ini adalh kisah tentang persoalan yang ia temui dalam perjalanan hidupnya, percintaannya, hubungan langgeng antara ia dengan isteri pertamanya serta pandangan hidupnya. Dalam hidupnya ia berusaha selalu berbuat baik. Dia juga berterus terang meminta Dr Surya menceraikan isterinya dan mengawini sendiri bekas nyonya dokter itu. Karena apa? Yah, ia tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya lantaran kematian bapak angkatnya. Tapi perkawinan dengan perempuan yang tidak mendapatkan kepuasan seksuil dengan suaminya yang sibuk itu, kemudian ternyata mempunyai akar cinta diam-diam antara kedua belah fihak.
Perkawinannya yang kedua -- dengan Irma -- bagi saya merupakan usaha Laksmana untuk menemukan kembali cinta remaja yang tidak pernah didapatkan ketika masa mudanya. Dalam diri Irma yang lincah ini ia sekaligus menemukan hal yang tidak ia dapatkan pada diri isterinya yang beranjak tua. Dalam hidup manusia yang sibuk ini, pertemuaul berlangsung dengan banyak orang. Yang berkesan tentu saja tidak banyak, dan dari yang tidak banyak itu tentu saja tidak semuanya baik. Sebaik-baiknya orang, sesekali langkahnya bisa juga keliru. Itulah yang dialami oleh Laksmana ketika harus kawin dengan wanita lesbian, Deliana, setelah perkawinannya gagal dengan Irma. Tisah. Bahwa ada kesan hitam putih antara tokoh-tokoh utama dengan peran-peran selingan, saya jelaskan begini: cerita ini hanya mau menonjolkan Amir Laksmana. Peran-peran lain hanyalah peran-peran pelengkap yang akan hilang setelah perannya habis. Yang saya utamakan dalam film ini adalah Laksmana, yang lain hanya membantu menghidupkan tokoh tersebut. Tinggallah Laksmana, Tisah dan Maria di akhir cerita. Mereka bertiga itulah tokoh atau pencinta agung yang mencintai dengan penuh kejujuran dan keagungan. Bagi saya ketiga-tiganya adalah tokoh, tidak ada yang istimewa bagi saya, sama semua. Aries Film membuat banyak film. Kalau saya selalu berhasil dengan film-film sederhana macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, dan kurang berhasil dengan film yang peluangnya banyak, saya kira hak anda untu mengatakannya sebagai kritikus. Tapi karena saya tahu film-film yang saya buat itu selalu laku, mengapa saya tidak berusaha mencoba membuat filmfilm yang serius dengan isi dan tema yang lain dan tidak terus-menerus berasyik-asyik dengan kecengengan macam yang diperlihatkan pada film-film sedrhana saya itu? Ya, terus-terang saya menyenangi Pengantin Remaja, tapi saya mengagumi Mama dan Tokoh.
IDRIS SARDI Saya memulai dengan mood (suasana hati). Setelah saya lihat rush copy, kalau senang, ada harapan ilustrasi nusik untuk film itu akan cepat jadi. Yang saya tuntut dari pemilik film dan sutradara adalah kebebasan untuk menentukan bagian mana yang akan saya isi musik dan bagian mana yang akan saya biarkan tanpa musik. Kadang-kadang bagian sepi itu justru merupakan ilustrasi yang baik. Di sini saya sering mengalami perdebatan sengit dengan sutradara atau pemilik film yang suka mengisi semua bagian filmnya dengan musik. Perdebatan macam-ini mengacaukan saya dan berakibat buruk pada karya saya. Saya tak boleh berontak, sih, Mood hilang. Bagi saya skenario itu cuma rangka dasar saja. Saya tidak bisa bekerja seperti illustrator musik di Amerika yang mencipta setelah mendapatkan skenario. Soalnya karena film-film kita kalau sudah jadi kebanyakan akan berbeda dengan skenario aslinya. Karena itu saya tidak mau buang-buang waktu. Yang penting juga saya sebut adalah soal alat dan orang. Di samping manusia dan alatnya terbatas di sini juga soal masaalah waktu cukup merepotkan saya. Dibutuhkan waktu lama untuk mewujudkan aransemen, karena kesempatan berlatih pemusik-pemusik kita sangat terbatas. Dan kalau saya paksakan juga, maksud saya cepat-cepat seperti maunya yang punya film, ya, hasilnya sih jadi, tapi tanpa mood. Tapi tidak benar juga kalau dikatakan bahwa saya kebanyakan membuat illustrasi di Tokyo. Kalau toh ke Jepang, itu kemauan pemilik film. Di Tokyo soal waktu terjamin, sebab disamping kelengkapan alat, juga manusianya yang terlatih cukup tersedia, sehingga dalam waktu singkat pekerjaan bisa beres. Bombo. Karena harus meladeni banyak film itulah maka terfikir oleh saya untuk membentuk suatu Musical Production yang bergiat dalam bidang illustrasi musik. Dengan cara ini, di samping bisa menjamin kehidupan para musisi kita oleh penghasilan yang teratur, juga meringankan beban saya sebagai komponis. Dengan cara ini terbuka kemungkinan sebuah film diisi musik oleh beberapa orang. Pimpinan Musical Production itu, misalnya saya, maka saya bisa tentukan bagian film mana yang sesuai dengan warna musik Bimbo, mana yang sesuai dengan Mus Mualim dan sebagainya. Dan orang-orang itu Inengisi bagian-bagian yang ditentukan. Tanggung jawab terakhir ada pada orang yang menentukan, saya itu, tadi. Sukar menentukan dalam film mana saya paling puas dengan musik saya.
Tapi barangkali film Perkawial. Itu keberuntungan bagi saya, karena film itu sendiri memberi kemungkinan untuk memasukkan musik-musik berbau klasik. Itu karena adegan Paris, Amsterdam dan sebagainya. Tapi pada film Si Mamat punya Syuman Djaya saya menghadapi kesukaran besar lantaran film itu berkisah tentang orang kecil yang bersih. Sulit mendapatkan materi musik untuk cerita demikian di sini. Karena-itu saya bawa ke Tokyo dengan resiko saya rugi uang, sebab kontrak menyebutkan pembuatan di Jakarta. Soal bahwa musik illustrasi saya baik pada film-film yang bermutu, tidak begitu saya perhatikan. Tapi beginilah, saya lihat rush copy, kalau saya mendapat mood dari situ, musiknya cepat jadi dan tentu baik. Kalau tidak, ya acak-acakan. Bahwa film yang baik itu lebih mudah menimbulkan mood saya, itu benar. Tapi kalau jadinya musik saya nanti menutup dialog film, itu bukan salah saya lagi, sebab yang menentukan pada saat miring (pencampuran musik dengan dialog) di studio adalah sutradara. Namun saya toh suka mendampinginya. Tapi jangan lupa, kerusakan suara film juga ditentukan oleh mutu proyektor bioskop dan voltase listrik yang berbeda di tempat merekam dengan tempat memutarnya. Perbedaan alat perekam dalam studio sendiri bisa mengacaukan musik dan suara.
P.T. ARIES RAYA INTERNATIONAL
FAR EASTERN FILM
FAR EASTERN FILM
TATIEK TITO KUSNO SUDJARWADI EMILIA CONTESSA W.D. MOCHTAR MIEKE WIDJAYA PAULA RUMOKOY RUTH PELUPESSY RD MOCHTAR |
Hikayat laksamana & bekas nyonya...
MAKA ini adalah hikayat Laksmana, kelahiran Malang sebelum perang. Otaknya cerdas, tampangnyapun tidak buruk. Mungkin dengan modal pemberian alam itulah Nyonya Tisa Surya memberi perhatian berlebihan padanya. "Kau kuanggap sebagai adik sendiri", begitu Tisa terdengar berkata pada suatu hari. Tapi tinggal bersama dengan perempuan yang tak punya keturunan, isteri dari dokter yang selalu sibuk, bisa menyeret cerita ke sudut yang dengan cepat bisa diduga. Tapi bukan soal sex dan kesepian melulu yang memberanikan Amir Laksmana meminta Dr Surya menceraikan isterinya untuk kemudian mcnggantikan peranan dokter itu sebagai suami. Bekas nyonya dokter ini melihat lebih jauh, dan penglihatan itu memang tidak kabur. Sebab terbukti kemudian bahwa Laksmana sanggup menjadi manusia terpandang setelah - dengan biaya Tisa - berhasil menggondol ijazah ahli hukum dari Universitas Leiden di Negeri Belanda. Hotel Oranye. Tentang perjalanan hidup Amir Laksmana inilah sutradara Wim Umboh kali ini bercerita melalui karya terbarunya yang bernama Tokol. Cukup kronologis cara berceritanya, dan penontonpun boleh senang melihat sidang-sidang Landraad (pengadilan) Surabaya pada zaman sebelum perang di mana Laksmana berpraktek sebagai pembela. Masuknya Jepang juga diperlihatkan, revolusi Surabaya yang terkenal dengan insiden penyobekan bendera di Hotel Oranye juga dikerjakan dengan rapi oleh Wim Umboh bersama juru kamera Lukman lakim Nain. Dan adegan-adegan bersejarah ini muncul di layar lebar tentu saja tidak sekedar embel-embel. Itulah kalau Laksmana juga ikut berjuang. Tapi di tengah-tengah kancah pergolakan, sempat juga ia memadu cinta singkat dengan gadis cantik Juanita, wartawan asing yang bertugas di medan perang. Dengan Juanita tidak yang terakhir kalinya Laksmana mengkhianati Tisa, dan beberapa tahun kemudian, ia malah kawin dengan gadis lincah, remaja dan bebas, lrma (Emilia Contessa).
Nampaknya dengan gadis yang jauh lebih muda dari dirinya ini mengisi sesuatu yang sejak lama kosong dalam hati Laksmana. Maka dengan rambut beruban ia tiba-tiba kembali remaja di samping bini mudanya, yang ia bayar dengan perceraiannya dengan Tisa yang sudah tua. Tapi kebahagiaan tiba-tiba sirna. karena kenakalan Irma sebelum kawin ternyata tidak berubah setelah berumah tangga. Istirnewanya, perceraian bisa berlangsung rapi hanya lantaran bantuan Tisa yang cukup lihai menggunakan tukang potret untuk mendapatkan bukti keserongan Irma. Perempuan berikutnya yang dipersuntingkan Laksmana adalah Deliana (Mike Wijaya). Malangnya, perempuan ini lebih senang menikmati teman sejenisnya dari pada kehangatan suaminya. Tentu saja bercerai, juga setelah Laksmana konsultasi dengan bekas bininya yang bernama Tisa itu. Perceraian yang terakhir ini terjadi pada masa tua Laksmana. Dan keputusan pengadilan atas beberapa perpisahan dengan isteri-isterinya cukup berat memukul pundi-pundi tuan pengacara. Akhirnya memang ia terlantar, terhina terlunta-lunta. Tapi nasibnya yang masih belum beruk mempertemukan orang tua ini dengan gadis Maria nan misterius. Sambil mengagumi Tisa, Maria (Paula Rumokoy) diam-diam mengikuti dan mencintai Laksmana. Bekerja sembari kuliah, Maria sang gadis diam-diam merencanakan kawin dengan pak tua yang dikaguminya. Kalau terjadi perkawinan sekali lagi, memang boleh juga itu Laksmana.
Tapi usianya yang menua dan tubuhnya yang rapuh membawa Wim Umboh pada keputusan mengakhiri hidup bekas pengacara justru pada saat Maria baru saja menyelesaikan studinya. "Ibu", itulah kata terakhir yang terdengar dari mulut Laksmana, dan di Ujung sana, Tisa meneteskan air mata sambil memegang gagang telepon. Berpisah. Cinta mereka memang tidak habis. Tapi hidup telah menyeret keduanya kesana-kemari. Justru tragisnya kisah lahir dan bersatunya cinta dan keterpaksaan berpisah dalam diri dua tokoh utama karya Wim Umboh ini. Tapltragedi itu barangkali akan lebih terasa degupan jantungnya seandainya manusia-manusia yang ditemui Laksmana dalam perjalanan hidupnya cukup diberi kesempatan bergerak. Peran-peran sampingan macam Dr Surya (WD. Mochtar) maupun Deliana, kurang mendapat perhatian penulis skenario, sehingga timbul kesan hitam putih antara peranan utama dan peranan pembantu. Kelemahan Wim Umboh yang demikian ini bagi penggemar karya-karya Aries Film memang terasa tidak baru. Dari karya-karya Wim terdahulu mudah dilihat bahwa pada film yang alurnya sedikit rumit, sang sutradara kelelahan menata tokoh-tokoh sampingan yang juga menentukan jalan cerita, suatu hal yang sebenarnya bisa diakali pada saat skenario mulai disusun. Keadaan seperti itu kadang-kadang memang kurang diperhatikan oleh penonton. Yang mereka rasakan hanya akibatnya: kurang menyentuhnya sang tontonam Dalam film-filmnya yang sederhana, macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, misalnya konsentrasi Wim Umboh pada beberapa tokoh dengan persoalan yang tidak rumit, menghasilkan sesuatu yang sangat mengharukan. Pengacara sainan. Tapi terlepas dengan kekurangan yang sifatnya lebih teknis itu, karya terbaru Wim Umboh ini memang sebuah film yang patut diperhatikan. Di tengah-tengah kelatahan membuat tontonan dengan segala macam resep yang disarankan oleh pemesan (booker) film, Wim tampil dengan sebuah kisah yang lebih dari sekedar serius.
Dia tidak cuma menghibur, tapi melalui media film yang sudah dikuasainya, Wim mengkomunikasikan sebuah ide kepada penontonnya. Tisa yang setia hingga tua, adalah lambang dari cinta agung seorang perempuan. Tapi dia tidak cuma menerima dan mengabdi, suatu saat ia juga bisa berkata: "Suatu kali pintu ini akan tertutup untukmu". Dan masa itu memang akhirnya datang ketika Laksmana tidak lagi tahu ke atap mana ia harus berteduh. Tapi Maria juga lambang cinta agung, demikian pula Laksmana yang tidak pernah lupa Tisa sebagai perempuan yang mulia dan ikhlas, meskipun ia juga menjadi mangsa gejolak kehidupan. Sayangnya bahwa peranan Tisa telah menjadi beban berat untuk pemain baru macam Dra Tatik Tito (d1h Tati Tamzil) sementara juru rias tidak bisa dikatakan berhasil menuakan Drg Fadli maupun Kusno Sujarwadi yang bermain sebagai pengacara saingan Laksmana. Yang barangkali juga masih bisa ditolong adalah pengarah artistik (Art Director) yang bekerja kurang cermat sehingga ilusi tentang masa lalu Laksmana dan Tisa tiba di hati penonton dalam keadaan kurang utuh. Nampaknya ini amat disadari sutradara setelah film selesai, sehingga muncul rencana untuk memperjelas waktu melalui hurup-hurup yang juga tersorot ke layar (lihat: Wim & Idris Sardi Memberi Keterangan) Tapi dengan bantuan juru kamera terbaik di Indonesia, Lukman Hakim Nain, gambar-gambar dalam film. Tokoh ini muncul dengan cemerlang di layar lebar. Barangkali terlalu kemilau bagi sebuah film serius macam karya Wim ini, suatu hal yang bisa ditafsirkan sebagai ukti bahwa film Indonesia belum lagi menggunakan warna sebagai unsur cerita. Tapi Idris Sardi ulempunyai andil besar dengan musik ilustrasi yang dibikinnya untuk film ini. Dan ini hanya makin meyakin kan saya betapa Idris Sardi sanggup membuat ilustrasi yang baik asal filmnya juga bermutu. Salim Said
26 Januari 1974
Wim dan idris memberi keterangan SELEPAS menonton film Tokoh selama dua kali, kepala desk film TEMPO, Salim Said, melakukan percakapan dengan sutradara Wim Umboh dan ilustrator musik terkemuka Idris Sardi. Berikut ini bagian-bagian penting dari percakapan itu. WIM UMBOH. Film Tokoh ini hanya bercerita mengenai seorang laki-laki yang bernama Mr Amir Laksmana, dari ia berumur 17 tahun sampai saat meninggalnya di umur empat puluhan. Ini adalh kisah tentang persoalan yang ia temui dalam perjalanan hidupnya, percintaannya, hubungan langgeng antara ia dengan isteri pertamanya serta pandangan hidupnya. Dalam hidupnya ia berusaha selalu berbuat baik. Dia juga berterus terang meminta Dr Surya menceraikan isterinya dan mengawini sendiri bekas nyonya dokter itu. Karena apa? Yah, ia tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya lantaran kematian bapak angkatnya. Tapi perkawinan dengan perempuan yang tidak mendapatkan kepuasan seksuil dengan suaminya yang sibuk itu, kemudian ternyata mempunyai akar cinta diam-diam antara kedua belah fihak.
Perkawinannya yang kedua -- dengan Irma -- bagi saya merupakan usaha Laksmana untuk menemukan kembali cinta remaja yang tidak pernah didapatkan ketika masa mudanya. Dalam diri Irma yang lincah ini ia sekaligus menemukan hal yang tidak ia dapatkan pada diri isterinya yang beranjak tua. Dalam hidup manusia yang sibuk ini, pertemuaul berlangsung dengan banyak orang. Yang berkesan tentu saja tidak banyak, dan dari yang tidak banyak itu tentu saja tidak semuanya baik. Sebaik-baiknya orang, sesekali langkahnya bisa juga keliru. Itulah yang dialami oleh Laksmana ketika harus kawin dengan wanita lesbian, Deliana, setelah perkawinannya gagal dengan Irma. Tisah. Bahwa ada kesan hitam putih antara tokoh-tokoh utama dengan peran-peran selingan, saya jelaskan begini: cerita ini hanya mau menonjolkan Amir Laksmana. Peran-peran lain hanyalah peran-peran pelengkap yang akan hilang setelah perannya habis. Yang saya utamakan dalam film ini adalah Laksmana, yang lain hanya membantu menghidupkan tokoh tersebut. Tinggallah Laksmana, Tisah dan Maria di akhir cerita. Mereka bertiga itulah tokoh atau pencinta agung yang mencintai dengan penuh kejujuran dan keagungan. Bagi saya ketiga-tiganya adalah tokoh, tidak ada yang istimewa bagi saya, sama semua. Aries Film membuat banyak film. Kalau saya selalu berhasil dengan film-film sederhana macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, dan kurang berhasil dengan film yang peluangnya banyak, saya kira hak anda untu mengatakannya sebagai kritikus. Tapi karena saya tahu film-film yang saya buat itu selalu laku, mengapa saya tidak berusaha mencoba membuat filmfilm yang serius dengan isi dan tema yang lain dan tidak terus-menerus berasyik-asyik dengan kecengengan macam yang diperlihatkan pada film-film sedrhana saya itu? Ya, terus-terang saya menyenangi Pengantin Remaja, tapi saya mengagumi Mama dan Tokoh.
IDRIS SARDI Saya memulai dengan mood (suasana hati). Setelah saya lihat rush copy, kalau senang, ada harapan ilustrasi nusik untuk film itu akan cepat jadi. Yang saya tuntut dari pemilik film dan sutradara adalah kebebasan untuk menentukan bagian mana yang akan saya isi musik dan bagian mana yang akan saya biarkan tanpa musik. Kadang-kadang bagian sepi itu justru merupakan ilustrasi yang baik. Di sini saya sering mengalami perdebatan sengit dengan sutradara atau pemilik film yang suka mengisi semua bagian filmnya dengan musik. Perdebatan macam-ini mengacaukan saya dan berakibat buruk pada karya saya. Saya tak boleh berontak, sih, Mood hilang. Bagi saya skenario itu cuma rangka dasar saja. Saya tidak bisa bekerja seperti illustrator musik di Amerika yang mencipta setelah mendapatkan skenario. Soalnya karena film-film kita kalau sudah jadi kebanyakan akan berbeda dengan skenario aslinya. Karena itu saya tidak mau buang-buang waktu. Yang penting juga saya sebut adalah soal alat dan orang. Di samping manusia dan alatnya terbatas di sini juga soal masaalah waktu cukup merepotkan saya. Dibutuhkan waktu lama untuk mewujudkan aransemen, karena kesempatan berlatih pemusik-pemusik kita sangat terbatas. Dan kalau saya paksakan juga, maksud saya cepat-cepat seperti maunya yang punya film, ya, hasilnya sih jadi, tapi tanpa mood. Tapi tidak benar juga kalau dikatakan bahwa saya kebanyakan membuat illustrasi di Tokyo. Kalau toh ke Jepang, itu kemauan pemilik film. Di Tokyo soal waktu terjamin, sebab disamping kelengkapan alat, juga manusianya yang terlatih cukup tersedia, sehingga dalam waktu singkat pekerjaan bisa beres. Bombo. Karena harus meladeni banyak film itulah maka terfikir oleh saya untuk membentuk suatu Musical Production yang bergiat dalam bidang illustrasi musik. Dengan cara ini, di samping bisa menjamin kehidupan para musisi kita oleh penghasilan yang teratur, juga meringankan beban saya sebagai komponis. Dengan cara ini terbuka kemungkinan sebuah film diisi musik oleh beberapa orang. Pimpinan Musical Production itu, misalnya saya, maka saya bisa tentukan bagian film mana yang sesuai dengan warna musik Bimbo, mana yang sesuai dengan Mus Mualim dan sebagainya. Dan orang-orang itu Inengisi bagian-bagian yang ditentukan. Tanggung jawab terakhir ada pada orang yang menentukan, saya itu, tadi. Sukar menentukan dalam film mana saya paling puas dengan musik saya.
Tapi barangkali film Perkawial. Itu keberuntungan bagi saya, karena film itu sendiri memberi kemungkinan untuk memasukkan musik-musik berbau klasik. Itu karena adegan Paris, Amsterdam dan sebagainya. Tapi pada film Si Mamat punya Syuman Djaya saya menghadapi kesukaran besar lantaran film itu berkisah tentang orang kecil yang bersih. Sulit mendapatkan materi musik untuk cerita demikian di sini. Karena-itu saya bawa ke Tokyo dengan resiko saya rugi uang, sebab kontrak menyebutkan pembuatan di Jakarta. Soal bahwa musik illustrasi saya baik pada film-film yang bermutu, tidak begitu saya perhatikan. Tapi beginilah, saya lihat rush copy, kalau saya mendapat mood dari situ, musiknya cepat jadi dan tentu baik. Kalau tidak, ya acak-acakan. Bahwa film yang baik itu lebih mudah menimbulkan mood saya, itu benar. Tapi kalau jadinya musik saya nanti menutup dialog film, itu bukan salah saya lagi, sebab yang menentukan pada saat miring (pencampuran musik dengan dialog) di studio adalah sutradara. Namun saya toh suka mendampinginya. Tapi jangan lupa, kerusakan suara film juga ditentukan oleh mutu proyektor bioskop dan voltase listrik yang berbeda di tempat merekam dengan tempat memutarnya. Perbedaan alat perekam dalam studio sendiri bisa mengacaukan musik dan suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar