Kamis, 03 Februari 2011

SOERABAIA 45 / 1990




Kisah perang yang kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 10 November di Surabaya. Antara lain: tokoh pembakar semangat Bung Tomo, perobekan bendera Belanda, tertembaknya jendral Inggris dll. Film ini seolah sebuah pemvisualan ulang kisah heroik itu dari kacamata rakyat biasa.

SOETANTO Soepiadhy (Dokter Moestopo, duduk), Imam Tantowi (Sutradara, baju biru), dan para tentara Jepang.


“SOERABAIA 45” DIKEBUT,
PERFILMAN JAWA TIMUR BANGKIT

SURABAYA : Sebuah kota yang tiga kali berturut-turut meraih Adipura, supremasi keberhasilan untuk kategori kota raya berpenduduk 1 juta jiwa ke atas, melahirkan tiga buah film dengan waktu yang berurutan, barangkali catatan untuk prestasi khusus. Selama ini industri film selalu digeber orang-orang Jakarta. Kini Surabaya bangkit, apalagi bagi film “Soerabaia 45” yang konon dibiayai dengan dana sebesar Rp. 2 miliar, setidaknya ancaman buat ajang FFI (Festival Film Indonesia) tahun ini. Oleh sebab itu, film yang didalangi oleh Imam Tantowi ini, terus dikebut shooting-nya, yang konon kata Soetanto Soepiadhy, SH., pemeran tokoh Dokter Moestopo pada film ini, tinggal 90% pembuatannya.

Agaknya orang-orang Jakarta harus waspada akan ancaman dari timur, “Soerabaia 45” bukan film main-main. Ada orang-orang serius Surabaya yang terlibat di dalamnya. Catat saja nama Leo Kristi yang memerankan tokoh Bung Tomo. Lihat akting dan mainnya Soetanto Soepiadhy yang dedengkot teater di Surabaya itu. Atau amati sepak terjang Gatut Kusumo, mantan Ketua Dewan Kesenian Surabaya yang pernah menyutradarai beberapa sinetron, sutradara film “Penyeberangan” (dibintangi Rima Melati dan Wahab Abdi – 1966). Catat, tokoh yang disebut terakhir ini pernah sekolah film di Amerika, dan terlibat pertempuran langsung 10 Nopember 1945.

Agaknya tak mengherankan jika ada pendapat: Imam Tantowi dan Gatut Kusumo adalah pasangan yang pas. Imam Tantowi pakar film kolosal, sementara Gatut Kusumo banyak memberikan jiwa pada film tersebut. Jadi, menolehlah ke timur, wahai orang-orang Jakarta.



News
Film Remaja Tempo Doeloe

Cerita dibangun sejak Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 melalui telegrap yang diterima Kantor Domei Soerabaia pada dini hari hingga Soerabaia dibumihanguskan, yang terkenal dengan Peristiwa 10 November 1945.

208 Scene (Adekan) yang ditulis oleh Gatut Kusumo tidak semuanya dapat diangkat ke layar perak. Gunting Janis Badar harus memilah dan memilih untuk memenuhi rentang waktu 115 menit. Itu pun sebetulnya masih terlalu panjang. Biasanya film lain hanya membutuhkan waktu 90 sampai dengan 100 menit. Bisa juga dipaksakan lebih, namun mempunyai resiko tinggi pada peredaran. Kalau ada gedung bioskop yang menyunting sendiri akan lebih fatal akibatnya.

Mengingat film ini mempunyai kandungan sejarah, maka garis merah tokoh fiktif yang dihadirkan guna menjalin cerita harus rela menyisih dan memberi jalan pada informasi sejarah itu sendiri. Kendati adekan Pertiwi (Nyoman Swandayani) melahirkan, boleh berarti simbolik dari kelahiran Republik Indonesia.

Kelebihan film ini mempunyai warna lokal yang jelas, tidak terseret arus berkiblat pada Jakarta sebagaimana film nasional lain. Warna lokal dibangun tidak hanya dalam dialog yang Suroboyoan saja, tapi perangkat lain juga dapat dimunculkan, misalnya Bekupon (rumah burung dara) yang khas Suroboyo, Dam Jagir, dan kidungan Jula-juli, yang dimanfaatkan sangat manis untuk mengiringi sub-title maupun dalam adekan.

Film Soerabaia 45 memang banyak mengambil materi dari buku Peristiwa 10 November 1945 yang diterbitkan Pemda Tingkat I Propinsi Jawa Timur yang diprakarsai oleh almarhum Bapak Blegoh Soemarto, mantan Ketua DPRD Tingkat I Jawa Timur.

Tokoh-tokoh sejarah yang berperan dalam peristiwa itu ditampilkan lengkap. Dari mulai Bung Tomo (Leo Kristi); Drg. Moestopo (Soetanto Soepiadhy, SH.); Soengkono (Jill P. Kalaran); M. Yasin (Djoko P.); Roeslan Abdoelgani (Saiku Arifin); Doel Arnowo (M. Yuwono). Sementara tokoh putri Lukitaningsih (Dita Agustina); dan Bu Dar Mortir (Tuti Koesnan). Pemeran tokoh di atas dibawakan arek-arek Suroboyo sendiri, kecuali peran Bung Karno dan Bung Hatta yang diperankan oleh Nurhuda dan H. Djamaludin dari Bandung dan Jakarta.

Dari deretan tokoh fiktif, Amirin (Masadji Paramatma) yang mempunyai jati diri. Sementara itu kelompok remaja lain, misalnya Kamdi (Jacok H.) yang badung; Sofyan (Halim Faus) sedikit emosional. Dan tiga sekawan lain, Bambang (Ipam Nugroho); Aryono (Tatok); dan Kunto (Iskandar Z.) mewakili remaja yang lugu.

Tokoh benang merah lain, keluarga Darno (S. Bono), mempunyai dua orang anak, Rahadi (Teguh Harianto) dan Sutini (Anneke Putri). Di lain pihak ada si petualang Bramantyo (Indra G.).

Produser film Soerabaia 45, Jeffry Hassan, usai preview di Sinepleks Mitra mengatakan, bahwa film ini akan dipasarkan juga ke luar negeri. Sampai saat ini, baru dua negara yang sudah mengirim jawaban positif, yaitu Inggris dan Belanda. Itulah sebabnya jauh-jauh sebelumnya, ia mengharapkan kepada penulis skenario untuk membuat film ini memakai beragam bahasa sesuai asal-muasalnya. Dai Nippon harus berbahasa Jepang. Yang Eropa memakai bahasanya, dan yang Surabaya juga pakai bahasa kampungnya. Konsep itu tidak lantas berjalan mulus, lantaran bahasa itu berkembang. Tatkala shooting akan diawali, bahasa Jepang yang dipakai harus bahasa Jepang yang sekarang. Kasus film Budak Nafsu adalah pelajaran berharga bagi kita. Bahasa Jepang yang dipakai dalam film itu sudah tidak dipahami oleh orang Jepang pada abad XXI ini. Akhirnya, diambil jalan tengah, bahasa Jepang yang dipakai memang bahasa Jepang yang sekarang, tapi aksentuasi yang dipakai tetap aksentuasi bahasa Jepang tempo doeloe. (Semar Soewito).





Yang punya cerita
Pemuda Sosialis di Balik Film Legendaris
Sepakterjang Gatut Kusumo Hadi. Pelajar pejuang, pemuda sosialis dan sineas film legendaris.
SENYUM tersungging di bibir Thea Susetia Kusumo ketika menerima Historia di kediaman sederhananya, Perumahan Dosen Universitas Negeri Surabaya. Meski keriput telah menghiasi wajahnya, stamina Thea tak pernah kendur ketika menceritakan suaminya, Gatut Kusumo Hadi.

“Ibu Thea ini bekas dosen bahasa Inggris di Unesa. Dulu beliau dosen bahasa Inggris pertama di Surabaya ini. Makanya masih bisa tinggal di perumdos sini,” ujar Dhahana Adi Pungkas, penulis buku Surabaya Punya Cerita, yang mengantar Historia.

Maka, dengan senang hati perempuan sepuh nan ramah itu membuka kembali laci ingatannya perihal sang suami dan menceritakannya. Memang, Gatut sang suami hampir mustahil dikenal generasi milenial. Namun, jika menyebut film legendaris Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!, anak-anak muda generasi 1990-an pasti banyak yang tahu. Saban 17 Agustusan dan 10 November (HUT RI dan Hari Pahlawan), film itu kerap diputar TVRI.

Pelajar-Laskar Menggelar Layar
Gatut Kusumo lahir di Purwokerto pada 13 Februari 1928. Dia sempat kesulitan melangsungkan pendidikannya di Surabaya. Semasa sekolah menengah, dia mesti “menukar” pena dan bukunya dengan senjata untuk ikut mempertahankan kemerdekaan. Gatut bergabung ke Badan Keamanan Rakyat (BKR) Pelajar Darmo 49 kala Pertempuran Surabaya meletus.

Setelah Surabaya dikuasai Sekutu, Gatut ikut menyingkir dan bergerilya di Malang dan Blitar sebagai serdadu TRIP. Pasca-revolusi, Gatut Kusumo berdinas di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), tapi hanya bertahan empat tahun. “Enggak kuat (betah) dia. Lalu kemudian metu (keluar). Katanya, ‘Ya jadi tentara aku nyaluti (hormat) terus ke perwira yang lebih tinggi, lebih baik keluar’,” ujar Thea mengikuti perkataan mendiang suaminya.

Gatut yang pensiun dengan pangkat terakhir letnan satu memilih kembali ke Malang untuk melanjutkan sekolah. Waktu luangnya yang banyak setelah lulus Sekolah Menengah Tinggi (SMT) dan keluar dari Universitas Indonesia dimanfaatkannya untuk membaca banyak buku.

“Sempat juga disekolahkan ke Universitas Indonesia, tapi ya enggak betah juga, enggak sampai selesai. Dia enggak suka kerja. Dia enggak kerja apa-apa setelah lulus. Hidup dari pensiun tentara ya enggak akeh (banyak). Cuma cukup buat dia sendiri. Makanya dia mau ketika diajak bikin film (Penyeberangan) itu. Ya untuk cari uang. Dia anak paling tua di keluarganya. Ibunya hanya tinggal sendiri dengan dua adiknya yang masih harus dibantu sekolahnya,” imbuh Thea.

Gatut belajar perfilman secara otodidak. Selain membaca buku, dia rajin berdiskusi dengan Nyak Abbas Akup, tokoh perfilman nasional yang malang melintang sejak 1952 bersama Perfini. “(Gatut, red.) Juga belajar dari Nyak Abbas yang senang dengan karakternya Pak Gatut. Makanya mereka bisa dekat,” lanjut Thea, yang diperistri Gatut pada Oktober 1969 meski telah kenal sejak di Malang.

Pada 1964, Gatut memulai debutnya di perfilman. Debut itu berangkat dari keinginan rekan-rekan Gatut di TRIP yang ingin mendokumentasikan perjuangan mereka dengan sebuah film. Lantaran Gatut yang paling rajin menulis, dia dipercaya menulis script dan menyutradarai film itu.

Film itu akhirnya rampung dan dirilis tahun 1966. “Judulnya Penyeberangan. Itu lho, kisah pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) dengan Meriam Blorok-nya. Toh dia kan juga pelakunya sendiri,” tutur Thea.

Gatut, yang juga menjadi pendiri Akademi Seni Rupa (Aksera), kemudian dipercaya menjadi penulis naskah serial Aku Cinta Indonesia (1985) sebanyak 15 episode. Pada 1990, Pemda Jawa Timur mempercayakan Gatut menggarap film Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati!. Dia berperan sebagai penulis naskah sekaligus sutradara meski di credit filmnya nama Gatut dituliskan sebagai asisten sutradara –sutradara resminya disandang Imam Tantowi.

Soerabaia 45: Merdeka ataoe Mati! menjadi prestasi tertinggi Gatut dalam dunia perfilman. Hingga kini, film tersebut masih jadi satu-satunya film yang menggambarkan Pertempuran Surabaya, akhir Oktober-10 November 1945.

Sosialis Sejati Sampai Mati
Selain menggandrungi film dan seni, dalam politik Gatut mengagumi ideologi sosialisme. Benih kekagumannya pada pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Sjahrir, kata Thea, sudah mulai tumbuh sejak masih bergerilya di Jawa Timur.

“Orang-orang terdekatnya bilang Pak Gatut seorang sosialis sejati. Dia fanatik sekali sama Sjahrir. Pikirannya selaras, bahwa musuhnya sosialisme kan feodalisme. Tapi bagaimanapun orang Jawa ada feodalnya. Itu yang ingin dia kikis, bahwa semua orang itu derajatnya sama. Feodalisme membiarkan orang-orang yang di atas berbuat semaunya. Itu yang enggak bisa ditolelir Pak Gatut,” kata Thea.

Pasca-keluar dari UI, Gatut bergabung menjadi kader seksi pemuda PSI. Di konferensi 27 November 1954, dia terpilih jadi Ketua Gerakan Pemuda Sosialis (GPS). “Konferensi (seksi pemuda PSI) berkeputusan bulat meleburkan seluruh organisasi pemuda sosialis di Indonesia dalam satu wadah bernama GPS dengan dipimpin Gatut Kusumohadi dan Suwandi Citut,” tulis Suratkabar Pedoman, 30 November 1954.

“Dia menjadi ketua umum (GPS) sedari awal sampai dia meninggal (1996). Walau kemudian PSI dilarang (sejak 17 Agustus 1960), tapi kan pertemuan-pertemuan sayap-sayap partainya masih ada. Karena PSI dilibas Bung Karno dan kemudian Pak Harto enggak pernah ada pemilihan (Ketum GPS) lagi, maka jabatannya tak pernah digantikan orang lain,” sambung Thea.

Di era Orde Baru (Orba), Gatut lebih sering memberi ceramah politik ke kampus-kampus. Pada 15 Januari 1974, Gatut berada di Jakarta. Dia lalu pulang ke Surabaya menggunakan kereta malam, tiba di Surabaya pada 16 Januari pagi. Setelah menemui istrinya di rumahnya, Jalan Pucang Anom Timur I Nomor 19, Gatut langsung menjenguk ibunya di Jalan WR Supratman. Saat itulah beberapa tentara menjemputnya dan menahannya di rumah tahanan Kodam VIII/Brawijaya (kini Kodam V/Brawijaya).

Pemerintah Orba gerah dengan oposisi para eks-PSI yang kerap mengkiritik korupsi para pejabat. Asisten pribadi presiden, Ali Murtopo, menunjuk hidung para bekas PSI sebagai dalang Malari.

Kisah tentang penahanan Gatut diabadikan Thea dalam memoarnya, “Jalan yang Kulalui”. Thea antara lain melukiskan bagaimana kesulitan menemui suaminya di dalam penjara di Surabaya.
“Aku hanya boleh menjenguknya sekali seminggu, setiap Kamis. Oleh karenanya aku selalu minta izin IKIP (kini Unesa) untuk tidak masuk setiap Kamis. Dia ditahan bersama 40 orang lainnya, baik orang-orang Marhaenis maupun para bekas PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Thea dalam memoarnya.

Gatut dibebaskan pada medio September karena militer ternyata tak menemukan indikasi keterlibatan Gatut dalam provokasi Peristiwa Malari. Satu faktor lain yang ikut membuat Gatut bebas adalah, campurtangan Dar Mortir, perempuan-veteran yang dihormati para perwira tinggi TNI di Jawa Timur.

“Bu Dar Mortir pejuang wanita yang paling dikenal di Surabaya. Pak Gatut sendiri masih keponakannya Bu Dar Mortir, tapi sudah dianggap seperti adik kandungnya. Makanya sama perwira-perwira yang menahannya, Bu Dar Mortir bilang: ‘Kapan adikku dibebaskan!’,” tutur Thea.

Setelah bebas, Gatut menyibukkan diri dengan aktif berkesenian di Dewan Kesenian Surabaya dan sesekali masih aktif di perfilman. Pada 19 Juni 1996, Gatut menghembuskan nafas terakhir setelah jatuh sakit komplikasi stroke dan pendarahan otak. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sepuluh November Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar