Kamis, 03 Februari 2011

ROMI DAN JULI / 1974



Pak Sabar (Soekarno M. Noer) seorang pengusaha dibidang kontraktor mempunyai seorang anak perempuan bernama Juli (Yessy Gusman). Begitu pula dengan Pak Komar seorang Insinyur mempunyai seorang anak laki-laki bernama Romi (Rano Karno).

Persahabatan antara Romi dan Juli terjadi sejak mereka masih kanak-kanak. Pak Sabar yang sudah lama ditinggal oleh istrinya berusaha untuk mendidik Juli agar menjadi anak yang berguna dan harus melanjutkan sekolah di Jakarta seperti yang dipesankan almarhum istrinya kepada Pak Sabar. Tetapi Juli menolak keinginan ayahnya untuk sekolah di Jakarta, nampaknya Juli tidak ingin jauh dari Romi.

Suatu hari Pak Komar yang bekerja sebagai Tim Pemeriksa menolak suatu rancangan yang diajukan oleh ayahnya Juli, Pak Sabar. Mendengar laporan dari karyawannya Pak Sabar sangat marah sekali dan menaruh perasaan dendam terhadap Pak Komar yang hanya menjalankan tugas sebagai seorang karyawan tempat ia bekerja, sehingga Pak Sabar melarang anaknya Juli untuk bergaul dengan Romi lagi.

Juli pergi meninggalkan rumah. Pak Sabar orang tua Juli mendatangi rumah Pak Komar dan menuduh anaknya, Romi, telah melarikan putrinya. Romi pun ternyata demikian, pergi meninggalkan rumah dan memilih untuk pergi bersama Juli.

Orang tua Romi dan Juli pergi mencari anak-anak mereka yang entah kemana. Setelah mereka sibuk mencari kesana-kemari akhirnya Romi dan Juli dapat diketemukan. Tapi sayang, Romi menyangka Juli telah mengkhianati dirinya dan pergi meninggalkannya. Romi menjadi kesal. Akhirnya setelah diberi penjelasan oleh Juli, dia mengerti juga. Tapi malang, mereka berdua lebih memilih untuk terjun dari sebuah tebing yang cukup tinggi. Untunglah Romi dan Juli hanya mengalami luka-luka yang tidak begitu berarti.

Akhirnya Pak Sabar dan Pak Komar sama-sama menyadari atas kekeliruan dan kekerasan mereka berdua yang bisa berakibat fatal terhadap anak-anak mereka yang tidak tahu apa-apa. Sebagai orang tua, mereka pun tidak bisa memisahkan hubungan antara Romi dan Juli yang sudah begitu lama dan abadi.
 
 


News 03 Agustus 1974
Cinta monyet
SUKSES dengan film Rio Anakku, sutradara Hasmanan muncul kembali dengan Romi dam Juli. Mendengar namanya, film terbaru produksi PT Rapi Film ini segera menyeret ingatan kita kepada film Pengantin Remaja karya Wim Umboh. Tidak salah. Nama kedua tokoh utama dalam karya terlaris Wim Umboh itulah yang kini diangkat jadi judul karya terbaru Hasmanan. Bahkan tidak sampai di situ. Kisahnyapun juga tentang cinta meskipun cuma cinta monyet dari sepasang murid SMP. Sedikit lancang untuk dengan cepat mendakwa Hasmanan sebagai baru saja merampungkan sebuah film cinta monyet, Romi dam Juli, juga berkisah tentang hal lain yang menyangkut hubungan orang tua mereka. Kisah film ini justeru mendapatkan bentuknya dalam konflik antara ayah Romi, Ir Komar (Dicky Zulkarnaen) dengan ayah Juli, Sabar (Soekarno M.Noor). Yang pertama orang berpendidikan, anak bungsu dari keturunan priyai, sementara yang terakhir adalah orang kaya yang tidak sempat menikmati bangku sekolah. Konflik yang terungkap melalui dialog Sabar itu muncul ke layar ketika Komar -- sebagai pejabat -- menolak rencana bangunan yang ditawarkan oleh pemborong Sabar. Mungkin penolakan itu karena penawaran memang tidak memenuhi syarat, tapi kecurigaan Sabar -- sebagai orang kurang terdidik yang punya kompleks -- juga bisa benar.

Tapi dari semula Hasmanan sudah mempersiapkan Komar sebagai seorang yang pendiam dam kurang acuh. Penampilan yang demikian tentulah tidak selalu harus mempunyai hubungan dengan latar belakang keluarga dan tinggi-rendah pendidikan. Bisa saja sikap demikian merupakan manifestasi perbedaan nilai yang dianut oleh kedua tokoh. Di satu fihak Sabar -- sebagai lazimnya pemborong zaman sekarang -- terbiasa dengan macam-macam cara untuk memenangkan tender, di fihak lain, Komar menghindari "jalan belakang": Bukan Paku Analisa kejiwaan seperti ini tentu saja akan memperkaya karya terbaru Hasmanan itu dengan sebuah dimensi lain, hal yang jelas akan dihindarinya mengingat niatnya memang hanya akan membuat sebuah film cinta monyet. Untuk maksud utamanya, konflik yang terjadi antara Komar dam Sabar akhirnya hanya mendapatkan tempat sebagai cantelan bagi jalan cerita tentang Romi dan Juli. Sayangnya bahwa manusia mempunyai dinamikanya tersendiri, berbeda jauh dengan sebuah paku yang juga bisa berfungsi baik sebagai cantelan kemeja. Tafsiran Hasmanan terhadap konflik Komar versus Sabar yang dibuat sederhana itu -- sesuai dengan yang tampil dari dialog Sabar -- akhirnya juga hanyut ke dalam alur kisah cinta dua pelajar SMP yang duduk sekelas. Kalau ada penonton yang bakal merasakan kurangnya kedalaman konflik yang dihadapi oleh Romi dam Juli (mereka bersepakat menjatuhkan diri dari puncak bukit), maka soalnya harus dipulangkan pada tafsiran Hasmanan yang sederhana tadi. Meskipun tidak seluruhnya, sebanding, tapi sebagai contoh boleh memetik kisah cinta Romeo dam Juliet.

Ketegangan percintaan kedua remaja dalam kisah karya Shakespeare itu akan selalu terpantul ke publik, lantaran cantelan bagi kisah cinta itu -- konflik keluarga Capuleth dam Montague -- diciptakan dengan sempurna oleh pengarangnya. Kalau soalnya sudah kembali kepada cerita dan skenario, Hasmanan memang tidak seluruhnya bertanggung jawab. Sebagai sotradara, is menerima skenario tadi dari Arifin C.Noer. Perubahan teknis konon dilakukan di sana-sini menjelang shooting, tapi waktu yang terbatas terang tidak bisa membawa perbaikan yang memadai. Kendatipun demikian, Hasmanan, sebagai sutradara, masih tetap menghasilkan tontonan yang menyenangkan untuk dinikmati walaupun Romi dam Juli tidak seutuh Rio Anakku. Bukan Panglima Hasmanan tidak perlu berkecil hati kalau tidak setiap filmnya melebihi karyanya yang terdahulu. Sutradara memang panglima dalam suatu kegiatan pembuatan film, tapi bukan pula rahasia umum bahwa sutradara film Indonesia masih harus menanti untuk menduduki jabatan panglima itu. Dalam lingkup kondisi inilah orang harus melihat kemajuan-kemajuan yang dialami Hasmanan. Berbeda dengan film-film terdahulunya, sutradara dam bekas wartawan ini makin memperlihatkan ketrampilannya dalam bercerita dengan gambar. Kebolehan yang tadinya cuma dimonopoli Wim Umboh, kini telah pula dipunyai Hasmanan.

Hal demikian ini menarik untuk dicatat dalam hubungan keterlibatan orang-orang beride -- macam Hasmanan, Sihombing, Asrul Sani dan sebagainya -- ke dalam dunia film. Biasanya kelemahan orang-orang kelas ini biasanya justeru pada ketrampilan berkisah dengan gambar, kendatipun soal yang ingin mereka kemukakan cukup "bermutu". Karena itulah akan sangat menarik untuk menanti sebuah karya Hasmanan dengan sebuah skenario asli yang utuh, artinya: bukan sebuah kisah buah kompromi, dengan para produser yang dikerjakan secara tergesa-gesa. Meskipun kecil, dalam film Romi dam Juli, kebebasan demikian bukan tidak dimanfaatkan dengan baik oleh sutradara. Tokoh Herman (Muara Surawijaya), saudara sepupu Juli, digarap dengan sangat hidup oleh Hasmanan. Salah satu sebab dari keberhasilan itu -- di samping permainan Muara yang memang baik -- adalah terbebasnya tokoh itu dari beban cantelan sebagai yang menyeret Romi dam Juli.


Di sini Hasmanan leluasa dengan imajinasi serta penafsirannya, dan sebuah bumbu yang amat sedap telah dicampurkan ke dalam kuali yang menggodok dua tokoh utama film ini. Tidak lengkap kiranya kalau Rano Karno sebagai Romi tidak mendapat tanggapan di sini. Anak Soekarno M. Noor ini telah bermain bagus sekali. Meskipun Yessi Gusman sebagai Juli bukan pasangan yang sepadan untuk Rano, tapi toh dengan segala daya upaya, bintang menanjak remaja itu tidak menyia-nyiakan peluang yang didapatnya. Kalau saja suara Yessi tidak ditukardengan suara Titik Qadarsih, entah bagaimana cemplangnya film ini,Keputusan Hasmanan untuk itu, plus kerjasamanya dengan juru kamera Syamsudin dam musikus Idris Sardi, akhirnya berakhir pada sebuah-tontonan yang bisa deh dinikmati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar