Minggu, 27 Februari 2011

RENCANA MISBACH

 
15 April 1978

TUAN Bokir yang semula produser film PT Setia Warga, tiba-tiba bertindak seagai sutradara sekaligus kameraman dari film X. Ia kemudian memerintahkan bintang film Nazir melakukan adegan jotosan dengan teman bermainnya. Nazir yang merasa memperoleh perlakuan 'kurang' wajar, memprotes. "Masih pengen kerja atau mau berhenti?" ancam sutradara Bokir. "Tapi tuan kan .... " "Iya, emang saya produsernya juga," tukas Bokir. 
 
Dialog di atas bukan sekwen sebuah film. Tapi petikan dari sebuah lakon lenong yang dimainkan kelompok Setia Warga menutup Kongres III Karyawan Film dan Televisi (KFT), 4 April malam lalu di Kuningan, Jakarta. Mungkin seniman lenong ini ingin menyindir kerapuhan orang-orang KFT, yang tampak selalu menyerah pada kemauan produser. Sutradara kadang hanya dipakai namanya, dan yang mereka kerjakan adalah kehendak mutlak dari sang produser. Seniman Senen Lebih tertib dibanding Kongres Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) tahun lalu, setelah melewati sidang maraton sejak 2 April, Kongres III KFT akhirnya menelurkan kepengurusan baru periode 1978 - 1981. 

Haji Misbach Yusa Biran, lewat pemilihan demokratis, dipilih menjadi Ketua Umum KFT. Ia didampingi oleh sutradara Ami Priyono dan Amura, masing-masing sebagai Ketua I dan II. Jabatan Sekjen dipegang Bustal Nawawi. Banyak yang lega dan menaruh harapan pada pengurus baru ini. Haji Misbach, 45 tahun, yang pernah dikenal sebagai penulis dan "seniman Senen", dalam pidato perkenalannya mengakui "tidak bisa menjanjikan apa-apa." Tapi ia bukannya tak tahu beberapa keruwetan dalam KFT. Didirikan 22 Maret malam tahun 1964 di Gedung Pola Jakarta, KFT semula hanya beranggtakan 18 orang saja. Kini setelah berusia 14 tahun, anggotanya tercatat 894 orang. Agak menggembirakan jumlahnya, meski masih memprihatinkan mutunya. Kata Misbach Yusa Biran: "Baru seperlimanya saja yang telah memperoleh pendidikan formil sinematografi." Lalu apa rencana kerja Haji Misbach? "Pendidikan bersertifikat menjadi program utama," kata ketua baru itu. Tambahnya pula: "Menjadi cita-cita saya bahwa kelak setiap anggota KFT setidaknya pernah mengenyam pendidikan sinematografi pada bidangnya masing-masing, meski hanya lewat kursus 3 bulan." Menjadi orang film sejak awal tahun lima puluhan, Misbach yang merupakan sutradara anak didik Usmar Ismail almarhum itu, memang tidak banyak muncul di balik kamera pada tahun-tahun terakhir ini. 

Tapi ia tetap aktif menulis skenario, dan kini mencurahkan sebagian besar waktunya untuk pendidikan para karyawan mau pun calon karyawan film. Sembari berkantor di Sinematek Indonesia, Misbach secara teratur mengajar di Akademi Sinematografi LPKJ serta pada sejumlah kursus penataran anggota KFT. Pengalamannya menjadi penguji para calon sutradara membawa Misbach pada suatu kesadaran bahwa pengetahuan dasar para karyawan film kita "memang masih amat minim sekali." Karena itu maka pendidikan merupakan pilihan bagi rencana kerja kepemimpinannya. Pekerja Borongan Tapi sebelum rencana-rencana itu sempat dilaksanakan oleh Misbach, sebuah pasang naik kebutuhan karyawan kini sedang melanda dunia perfilman Indonesia. Jumlah produksi bertambah secara menyolok sebagai akibat kebijaksanaan yang mewajibkan para importir membuat film untuk imbalan bagi film-film yang mereka impor. Banyaknya jumlah produksi jelas tidak bisa diimbangi oleh jumlah karyawan. Akibatnya: banyak karyawan --sutradara, juru kamera atau penata artistik--yang sebenarnya kurang memenuhi persyaratan terpaksa juga dipekerjakan. Ini jelas ikut berperanan dalam memerosotkan film nasional. Dan ternyata para karyawan yang berkwalitas rendah itu tidak pula sanggup menghadapi tekanan-tekanan para pemilik modal lazim disebut sebagai produser -- yang selalu mendesakkan keinginan mereka dalam film-film yang mereka produksi. "Para karyawan itu betul-betul cuma pekerja borongan para pemilik modal tanpa kreasi pribadi sedikitpun," komentar seorang sutradara semor. 
 
Apakah sebenarnya para karyawan bisa memainkan peranan penting dalam memperbaiki mutu film nasional? "Lho yang membuat film itu kan para karyawan bukan mereka yang punya duit. Nah kalau karyawan punya harga diri dan selera yang baik, sudah tentu ia akan menolak membuat film-film dengan cerita yang dangkal dan dengan pengerjaan yang asal jadi." Ini konon komentar Teguh Karya di sela-sela sidan kongres yang lalu. Teguh Karya sendiri memang membuat film cuma satu dalam setahun, tapi hasilnya lumayan. Apa Haji Misbach bisa meyakinkan anggotanya untuk punya harga diri-sembari memperpandai diri -- supaya tidak tunduk pada tekanan pemilik modal?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar