Sabtu, 26 Februari 2011

Pramoedya Ananta Toer


PAK PRAM, yang telah mengajarkan saya agar mengerti sejarah masa lalu Indonesia, dia juga yang mengajarkan sama saya akan menghargai bangsa dan negara ini. Semua itu berawal dari di lecehkannya saya sama TAPOL luar negeri Indonesia jama Soekarno. Pertemuan saya itu menjadikan saya bertanya padanya, tahun 66 yang mana? Rupannya dia salah tanggap. Maksud saya ada 2 hal yang penting mengenai 66, pertama saatnya golkar berdiri dengan gerakan 66, atau pembasmian PKI saat itu? Tetapi dia salah mengerti, sehingga dia kira saya tidak tahu sejarah, tetap saya akui memang saya hanya dangkal saja mengetahui sejarah negeri ini. Sehingga, kalimat yang dia ucapkan cukup membuat saya sakit hati . "Kamu bagaimana sih, anak muda kok tidak tahu sejarah bangsa dan negaranya sendiri!!!" Saya sakit hati dan..... Selanjutnya saya menemukan buku Pram yang pertama saya baca adalah Nyanyian sunyi di pulau buruh 1 dan 2, saya terus terang tertarik hingga saya baca Bumi Manusia, Anak semua bangsa, Jejak langkah, dan Rumah kaca. Saya tercengang, kok ada sastrawan hebat yang pernah kita ada, tetapi kok tidak terdengar di telinga anak muda? Gilla, karya dia jauh lebih baik. Hebat lah pokoknya. Sehingga saya menjadi fans berat dia, selanjutnya saya berusaha mati-matian untuk mengkoleksi bukunya, dan saya baca semua semua buku yang berhasil saya temukan, karena sayang.....banyak yang hilang. Kalau seandainnya anak muda tahu hal itu, atau baca bukunya...mungkin ada sedikit manfaat, karena saya tidak mau muluk-muluk untuk melakukan hal yang besar atas dampak tersebut.

Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat.

Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht. Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.

Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat - onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.

Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun’. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan – ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun. Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya.

Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis. Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949). Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.

Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik. Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.

Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI. Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno. Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya “mengajar” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya.

Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat. Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965. Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang. Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.

Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.

Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya. Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklipping-nya.

Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia). Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang. Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi. Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. ”Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan,” kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional. Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyi-sunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis. Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia.

Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes"


Lembar-lembar GelapSeorang Pram
SECARIK surat mendarat di meja panitia hadiah Magsaysay di Manila, Filipina, pada Juli 1995. dua puluh lima sastrawan dan budayawan kenamaan Indonesia membubuhkan tanda tangan di lembaran itu. Mochtar Lubis – salah satu peneken surat itu – bahkan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya sebagai tanda “berduka”. Mereka memprotes diberikannya penghargaan sastra itu kepada Pramoedya Ananta Toer karena “peran tidak terpujinya pada masa paling gelap bagi kreativitas zaman Dekmokrasi Terpimpin, ketika dia memimpin penindasan sesama seniman yang tidak sepaham dengan dia.” Apa gerangan “peran tak terpuji” Pramoedya hingga mengalami penolakan sebegitu rupa? Mari kitatilik pernyataan Pram dalam seminar sastra di Universitas Gadjah MAda, Yogyakrta, April 1964 – yang dimuat harian Bintang Timur. Ia menyatakan “jika para sastrawan tak ingin ketinggalan dengan perkembangan politik, maka mereka haruslah aktif dalam perjuangan rakyat dan revolusinya.” Pada saat itu, pramoedya adalah pimpinan lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi onderbouw Partai Komunis Indonesia dan Ketua Redaksi Harian Bintang Timur ( yang didalamnya memuat lembar kebudayaan Lentera). Di harian yang dipimpin Pram itulah, pada 1963, Iramani – alias Letnan Kolonel Njoto, anggota biro politik Komite Sentral PKI yang juga anggota secretariat Lekra – menulis “sudah dating waktunya untuk menghentikan segala perdebatan apakah seni itu berpolitik atau tidak karena barangsiapa berkata bahwa seni itu nonpolitik, sesungguhnya dia itu reaksioner.” Maka terbentanglah berbagai pembungkaman hak asasi para seniman selama partai komunis itu berkuasa. Misalnya, pelarangan dan pembakaran buku yang tidak sehaluan dengan mereka. PKI dan “anak-anaknya” – termasuk Lekra – mengobrak-abrik buku di perpustakaan USIS, bagian Penerangan dan Kebudayaan Keduataan Besar Amerika Serikat, di Jalan Segara (kini Jalan Veteran), Jakarta Pusat. Karya-karya itu kemudian dibakar. Piringan hitam yang dikategorikan musik “ngak-ngik ngok” (termasuk milik Koes Ploes) diperlakukan serupa.

Harian Bintang Timur menyatakan sedikitnya ada dua juta buku kontrarevolusi yang dibakar pada masa itu. Lekra juga melancarkan kampanye menghabisi penerbit-penerbit yang dianggap bersebreangan. Korbannya antara lain penerbit yang mengedarkan terjemahan Dr. Zhivago karya pengarang Rusia, Bris Pasternak, dan sejumlah penerbit buku Islam. Kampanye pemburukan nama juga dilakukan oleh lembaga Kebudayaan ini/ sejumlah seniman dan budayawan yang dianggap bersebrangan diserang karya-karyanya. Misalnya Hamka, H.B. Jassin, Usmar Ismail, Sutan Takdir Alisjahbana, Idrus, dan Asrul Sani. Dari angkatan lebih junior, ada Wiratmo Sukito, Bokor HUtasuhut, W.s. Rendra, dan Goenawan Muhamad. Salah satu yang mencuat adalah tulisan di lembaran kebudayaan Lentera, di surat kabar Bintang Timur pada 1962: “Aku Mendakwa HAmka, Plagiat!” yang dimaksud adalah novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Ulama besar ini tak Cuma dilusuti dalam tulisan, tapi juga dilecehkan lewat karikatur yang sangat vulgar. Serangan kian membabi buta. Hamka kemudian dicokok aparat lantaran difitnah berkomplot mebunuh Presiden dan Menteri Agama. Tanpa diadili dan tanpa secuil pun bukti, Buya – panggilan hormat kepada HAmka – mendekam tiga tahun dipenjara Sukabumi, Jawa Barat.

Mochtar Lubis juga menelan kepahitan serupa. SAstrawan penentang PKI ini sembilan tahun menatap sel penjara, dilokasi yang berbeda-beda. Harian Indonesia Raya yang dipimpinnya pun dibredel dengan semena-mena oleh pemerintah pada masa itu. Paus sastra Indonesia Hans Bague JAssin turut “kebagian jatah”. Salah satu tudingan Pram yang dimuat di korannya adalah “buku-buku JAssin – antara lain Kesusastraan Indonesia di Zaman Jepangdan Gema Tanah Air – diterbitkan oleh Balai Pustaka. Taufiq Ismail, penulis Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI, menyatakan pemaksaan ideologi seni kala itu gencar dilakukan Lekra dan PKI. “Mereka memaksakan pendekatan ideology seni realisme sosialis yang merupakan landasan filsafat Lekra pada kaum seniman di luar kelompok mereka, “ ungkap Taufiq. Beraga tindak “pemerkosaan” hak-hak berekspresi itu menggundahkan para seniman dan budayawan. Dua puluh orang pun berkumpul di kantor redaksi majalah Sastra, Jakarta, dan memproklamasikan MAnifes Kebudayaan pada 19 Oktober 1963. naskah MAnifes yang menekankan bahwa “Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector kebudayaan yang lain” pertama kali dipublikasikan di majalah pimpinan H.B. Jassin itu. Pemerintah kemudian melarang Manifes pada 8 Mei 1964. tidak satu pun karya kelompok Manifes yang diterbitkan pada masa-masa itu, sehingga mereka harus bergerak di bawah tanah. Alih-alih membela para seniman, Pramoedya justru menulis di korannya dengan judul tahun 1965, Tahun Pembabatan Total. Karangan itu , antara lain, menyatakan para pendukung Manifes disebut mepertahankan dan mengembangkan kebudayaan setan.” Sehingga, tulis Pram, “Pengganyangan terhadapnya mau tidak mau pula harus terorganisir.” Pramoedya selaku salah satu pimpinan Lekra juga tidak pernah menentang dan memprotes berbagai bentuk penindasan yang dialami para seniman itu. Seperti dikemukakan W.S. Rendra, Pram dalam seminar di Yogyakarta itu malah memproklamasikan bahwa “pengganyangan terhadap para musuh revolusi harus dilakukan karena masa revolusi harus diajar untuk bisa membedakan mana kawan dan mana musuh revolusi”. Menurut Rendra juga, tulisan-tulisan di harian yang dipimpinnya juga mendukung aksi PKI dan Lekra itu.

Belakangan, pada 1994, Pramoedya mebantah dalam wawancara dengan Hayam Wuruk – majalah mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang – ia mengeluhkan, “sekarang (tuduhan-tuduhan itu) malah dipusatkan ke saya. Katanya saya melarang, menekan dan segala macam. Saya punya kekuasaan apa?” Pram menyatakan semua tindakan tercela yang dituduhkan padanya sebagai fitnah belaka. Namun, seperti diungkapkan W.S. Rendra dalam majalah sastra Horison, Pramoedya adalah pimpnan Lekra yang kala itu pengaruhnya setaraf sdengan Pimpinan Partai Golkar pada masa Orde Baru. JAdi, “Mana mungkin tidak tahu-menahu?” Selepas dari Pulau Buru, Pramoedya juga pernah membela diri dengan menyebutkan pada waktu itu, ada kekuasaan resmi dan kekuasaan bayangan. Yang dimaksud kekuasaan bayangan adalah militer. Jadi, pelarangan dan pemberangusan itu militer yang melakukan, bukan Soekarno. Bukan pula dirinya. “Saya punya kekuasaan apa?” sergahnya. Taufiq Ismail menyayangkan aneka bantahan Pramoedya. “JAngankan meminta maaf atas perbuatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya dulu, mengakui saja tidak.” Rendra juga dengan lantang berucap, saya tidak sedang memfitnah bila saya berkata bahwa Pramoedya selaku pemimpin Lekra tidak menentang dan memprotes pembakaran buku-buku itu.” Seperti juga kontroversi hadiah Magsaysay, segenap peristiwa itu mungkin hanya sekelumit kisah dalam episode hidup seorang Pramoedya. Sastrawan besar itu kini telah terkubur dipemakaan Karet Bivak. Segenap polemic tak ikut mati bersamanya.

Nama:Pramoedya Ananta Toer Lahir:Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 Meninggal:Jakarta, 30 April 2006 Isteri:Maemunah Thamrin Pendidikan: SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943 Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta Pekerjaan: Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944 Instruktur kelas stenografi di Domei Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947 Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952 Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965 Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965 Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965 Prestasi dan Penghargaan 1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive) 1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora) 1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by writer 1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile 1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia 1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden 1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA 1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America 1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland 1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA 1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain 1995: Stichting Wertheim Award, Netherland 1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine 1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.) 1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor 2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France. 2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan. Buku: Fiksi: Krandji-Bekasi Djatuh, 1947 Perburuan, 1950 Keluarga Gerilya, 1950 Subuh, 1950 Pertjikan Revolusi, 1950 Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951 Bukan Pasar Malam, 1951 Di Tepi Kali Bekasi, 1951 Dia Yang Menyerah, 1951 Tjerita Dari Blora, 1952 Gulat di Djakarta, 1953 Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954 Korupsi, 1954 Tjerita Tjalon Arang, 1957 Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958 Tjerita Dari Djakarta, 1957 Bumi Manusia - HM, 1980 Anak Semua Bangsa - HM,1980 Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982 Jejak Langkah - HM, 1985 Gadis Pantai - HM,1987 Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987 Rumah Kaca - HM, 1988 Arus Balik - HM, 1995 Arok Dedes - HM, 1999 Mangir - KPG, 1999 Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000 Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001 Cerita Dari Digul - KPG, 2001 Non-Fiksi: Hoakiau di Indonesia, 1960 Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962 Sang Pemula – HM, 1985, biografi Tirto Adhi Soerjo Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997 Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2: KPG, 1999 - 3: KPG, 2001 Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947 Frits van Raalte, 1946 J.Veth, 1943 John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950 Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951 Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954 Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956 Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958 Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958 Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959 Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man) Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees) Kristoferus Albert Schweitzer Cerita Pendek Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6. Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2. Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7. Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19. Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 17-8, 22. Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9. Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20. Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101. Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6. Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64. Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55. Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9. Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 26-29. Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-12.11, (50): 245-286. Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 81-96. Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30. Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim. Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20. Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8. Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8. Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1. Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1. Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48. Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9. Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30. Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia, 11.5, (51): 20-1, 26. Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29. Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2. Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128. Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26. Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8. Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6. Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71. Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30. Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90. Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245. Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3. Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7. Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9. Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8. Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7. Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 15-6. Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19. Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5. Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5. Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8. Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7. Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8. Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33. Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8. Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6. Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7. Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7. Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4. Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35. Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268. Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11. "Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956. Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10. Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42. Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 5-6. Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7. Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9. Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6. Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27 Puisi Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9. Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20. Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20. Alamat Rumah Keluarga: = Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur = Bojonggede, Bogor.

LIST OF PRAMOEDYA ANANTA TOER COLLECTION WHICH HAVE BEEN MICROFICHED BY THE LIBRARY OF CONGRESS OFFICE, JAKARTA: 1. Bumi manusia, 1972 (5 fiches) LCCN 00-366781 2. Bumi manusia : suatu telaah intrinsik : tesis sastera, 1982 (3 fiches) LCCN 2001- 353906 3. Bung Karno pada dunia, 2000? (3 fiches) LCCN 2001-398869 4. Catatan tentang keluarga Thamrin, 1980 (1 fiche) LCCN 2001-398260 5. Cina, Jawa, Madura dalam konteks hari jadi kota Surabaya, 1991 (2 fiches) LCCN 2001-398064 6. Dunia pada Bung Karno, 2000? (3 fiches) LCCN 2001-398864 7. Katalogus biblio- & biografi Pramoedya Ananta Toer, 1947-1982 : peringatan pada ulang tahun ke-35 sebagai pengarang, 1982 (3 fiches) LCCN 2001-398254 8. Limabelas tahun Digul : kamp konsentrasi di Nieuw Guinea, tempat persemaian kemerdekaan Indonesia, 1977 (7 fiches) LCCN 2001-398256 9. Multatuli, 1820-1887, 1964 (2 fiches) LCCN 2001-398107 10. Musim kawin di Nusakambangan, 1977 (3 fiches) LCCN 2001-398262 11. Pramoedya Ananta Toer dan karja seninja, 1963 (2 fiches) LCCN 2001-398105 12. Realisme-sosialis dan sastra Indonesia : sebuah tindjauan sosial, 1963 (2 fiches) LCCN 2001-398264 13. Sebuah analisa dan pembahasan terhadapBumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer, 1985 (4 fiches) LCCN 2001-353742 14. Sejarah militer pengarang sastra Indonesia, 1998 (2 fiches) LCCN 2001-398266 15. Sumber bahan sejarah kolonial abad XIX, 1994 (10 fiches) LCCN 2001-398889 16. Ulasan dan kajian Keluarga gerilya (Pramoediya Ananta Tur) : teks sastra STP/HSC, 1976 (2 fiches) LCCN 2001-398104 17. Wisata sejarah, 1963- (2 fiches) LCCN 2001-398106 18. Aarde der mensen : radio hoorspel v/d K.R.O. = Bumi manusia : sandiwara radio K.R.O., 1983 (2 fiches) LCCN 2001-398280 19. Buru 1928, 1986? (1 fiche) LCCN 2001-398268 20. Laporan kerja YPKP Jawa Tengah, 1999 (2 fiches) LCCN 2001-398270 21. Membela kemerdekaan , demokrasi, dan keadilan, 1972 (3 fiches) LCCN 2001- 469657 22. Pramoedya Ananta Toer & karyanya : kumpulan berita, ulasan, kritik, iklan, dan surat-surat kepada serta tentangnya,1980, 1996? (4 fiches) LCCN 2001-469656 23. Karya sastra Pramoedya Ananta Toer di dunia internasional tahun 1993, 1993? (5 fiches) LCCN 2001-469874 24. Diary of Pramoedya Ananta Toer, 1990-1991, 1991 (3 fiches) LCCN 2001-469659 25. Yang terserak dan tercecer, 1984 (3 fiches) LCCN 2001-469872 26. Pramoedya and politics, 1998 (2 fiches) LCCN 2002-347529 27. Pembelaan sidang Mahmilti II Jawa bagian Barat , 1978? (3 fiches) LCCN 2001- 469876 28. Analysis of responsibility : defence speech of Sudisman, general secretary of the Indonesian Communist Party at his trial before the Special Military Tribunal, Jakarta, 21 July 1967, 1970? (1 fiche) LCCN 2002-348333 29. Mastoer bapak kita : 5 Januari 1896-25 Mei 1950 : riwayat hidup singkat, 1995 (2 fiches) LCCN 2002-347533 30. Rape of the wayang : a play , 1994 (1 fiche) LCCN 2002-347538 31. Philippine “comfort women” compensation suit : excerpts of the complaint, 1993 (1 fiche) LCCN 2002-347539 32. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, Part 1., 1999. (29 fiches-Io-CLR-35.1) LCCN 2002-348463 33. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga AD/ART PKKI, Partai Kesatuan Kebersamaan Indonesia, 2000? (1 fiche) LCCN 2002-347546 34. Di tengah-tengah ada saling hubung , 1979? (1 fiche) LCCN 2002-350644 35. Dia jang tidak muntjul : kenang-2an dari masa revolusi, 1958 (1 fiche) LCCN 2002- 348905 36. Digul : naskah asli, 1997? (8 fiches) LCCN 2002-350659 37. Kapal gersang , 1953? (1 fiche) LCCN 2002-348909 38. Katalog publikasi oleh & tentang Pramoedya Ananta Toer, 1947-1986, 1992? (4 fiches) LCCN 2002-348468 39. Keris, 1976 (1 fiche) LCCN 2002-350629 40. Perjalanan : sesobekan-lengkap dari buku-catatan, 1954? ( 1 fiche) LCCN 2002- 350361 41. Pertemuan & perpisahan dengan iblis, 1991 (1 fiche) LCCN 2002-350643 42. Suatu podjok disuatu dunia, 1955 (1 fiche) LCCN 2002-348907 43. Sunyi-senyap di siang hidup, 1956? (1 fiche) LCCN 2002-348470 44. Tentang emas, 1981 (1 fiche) LCCN 2002-350368 45. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, Part 2. 1994. ( 17 fiches- Io-CLR-35.2) LCCN 2002-351476 46. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, Part 3. 1998. (13 fiches- Io-CLR-35.3) LCCN 2002-351478 47. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, Part 4. 1997. (17 fiches- Io-CLR-35.4) LCCN 2002-351486 48. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer,1995. Part 5 ( 16 fiches- Io-CLR-35.5) LCCN 2002-351488 49. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer,1996. Part 6 (12 fiches- Io-CLR-35.6) LCCN 2002-351490 50. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, 1993. Part 7 (13 fiches- Io-CLR-35.7) LCCN 2002-351492 51. Katjangpandjang kiting, tjerita pendek ; Berita dari pendjara, 1950 (2 fiches) LCCN 2002-351620 52. Pembebasan pertama, 1978 (1 fiche) LCCN 2002-351622 53. Perburuan, 1949 (2 fiches) LCCN 2002-351624 54. Dongengan orang rantai, 1961 (1 fiche) LCCN 2002-351626 55. Cerpen-cerpen : ketikan , 1949 (2 fiches) LCCN 2002-351628 56. Arus balik : abad kejatuhan Nusantara, 1511-1546, 1981 (10 fiches) LCCN 2002- 351979 57. Cerpen-cerpen : tulisan tangan, 1949 (3 fiches) LCCN 2002-352910 58. Cerpen-cerpen : kliping, 1950 (2 fiches) LCCN 2002-352912 59. Mereka jang dilumpuhkan, 1950 (3 fiches) LCCN 2002-352914 60. Tjerita dari Blora, 1950 (1 fiche) LCCN 2002-352916 61. Pemberontakan nasional pertama di Indonesia, 1926. (2 fiches) LCCN 2002-352918 62. Peroesoehan di Koedoes : soeatoe tjerita jang betoel telah terdjadi di Djawa Tenga pada waktoe jang belon sabrapa lama. (2 fiches) LCCN 2002-352920 63. Appel pour la solidarite avec Pramudya Ananta Tur et pour protester contre les atteintes des droits de l’homme en Indonesie … (1 fiche) LCCN 2002-352922 64. Leo Tolstoi : melalui berbagai pendapat (1 fiches) LCCN 2002-352923 65. Kesusasteraan sebagai alat(1 fiche) LCCN 2002-352925 66. Manifesto (1 fiche) LCCN 2002-365032 67. Pramoedya Ananta Toer & karyanya : sekumpulan artikel, essay, dan surat, 1978- 1992 (1 fiche) LCCN 2002-359659 68. Para perawan remaja dalam cengkeraman fasis-militeris, (3 fiches) LCCN 2002- 353992 69. Para perawan remaja dalam cengkeraman militer, 1979 (3 fiches) LCCN 2002- 353993 70. Pramoedya Ananta Toer & karyanya : kumpulan berita, ulasan, kritik, iklan, dan surat-surat kepada, serta tentangnya, 1990(10 fiches) LCCN 2002-351494 71. Pramoedya Ananta Toer & karyanya : kumpulan berita, ulasan, kritik, iklan, dan surat-surat kepada, serta tentangnya, 1988-1989(12 fiches) LCCN 2002-351496 72. Yang hampir dan yang sudah punah (1 fiche) LCCN 2002-359660 73. Correspondence of Pramoedya Ananta Toer, 1985-1993 (1 Fiche) LCCN 2002- 359662 74. Karangan bunga pada kakinya : untuk Yana (1 fiche) LCCN 2002-359775 75. Memoar Pramoedya Ananta Toer (1 fiche) LCCN 2002-359664 76. Sumber bahan sejarah kolonial abad XIX (vol. II) (10 fiches) LCCN 2002-359666 77. Maaf, atas nama pengalaman ( 1 fiche) LCCN 2002-359790 78. The Ramon Magsaysay award, 1995 … ( 4 fiches) LCCN 2002-359797 79. Speeches, correspondences, and documents of former President Soekarno (4 fiches) LCCN 2002-359803 80. Statements of Pramoedya Ananta Toer, 1988-1998 (1 fiche) LCCN 2002-359805 81. Ballada Pramoedya (1 fiche) LCCN 2002-359807 82. Carita (sejarah) Lasem ( 1 fiche) LCCN 2002-359809 83. Kamus geografi Indonesia (277 fiches) LCCN 2002- 365239 84. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, 2001. Part 8 (16 fiches- Io-CLR-35.8) LCCN 2002-359997 85. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, 1981. Part 9 ( 27 fiches- Io-CLR-35.9) LCCN 2002-359670 86. Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer, 1982. Part 10 (12 fiches- Io-CLR-35.10) LCCN 2002-359668 87. Jalan Raya Pos – Jalan Daendels : essay dan narasi (1 fiche) LCCN 2002-359996 88. Ilalang Savanna : sekranjang catatan & surat Pramoedya Ananta Toer selama 15 tahun, 1965-1980, dalam tahanan Orba (3 fiches) LCCN 2002-364118 89. Pers Indonesia ( 2 fiches) LCCN 2002-364120 90. Pramoedya and the revolution. (1 fiche) LCCN 2002-365242 91. Anak semua bangsa (4 fiches) LCCN 2002-364510 92. Jejak langkah (5 fiches) LCCN 2002-364511 93. Rumah kaca (5 fiches) LCCN 2002-364512 94. Kritik dan esai, 1953 (3 fiches) LCCN 2002-365245 95. My cell mate (1 fiche) LCCN 2002-364271 96. Fakultas Sastra U.I. (2 fiches) LCCN 2002-364269 97. Accompanying text to the videotaping of Pramoedya Ananta Toer reading his short story Jang sudah hilang (All that is gone) (1 fiche) LCCN 2002-364768 98. [Articles and correspondences on and by Pramoedya Ananta Toer and Vincent K. Pollard, 1986-1987]. (2 fiches) LCCN 2006-326520 99. Dokumentasi pribadi, 2002 (17 fiches) LCCN 2007-319973 100. Dokumentasi pribadi, 2003 (18 fiches) LCCN 2007-319974 101. Dokumentasi pribadi, [2004] / [dikumpulkan oleh] Pramoedya Ananta Toer. (14 fiches) LCCN 2007-319975 102. Dokumentasi pribadi Pramoedya Ananta Toer, 2005. LCCN 2009327380

Tidak ada komentar:

Posting Komentar