Best Cinematography FFI'85 1985
George Kamarullah - Doea Tanda Mata
Best Cinematography FFI'86 1986 George Kamarullah - Ibunda Best Cinematography
FFI'86 1988 George Kamarullah - Tjoet Nja' Dhien Nominasi Best Cinematography FFI'86
• George Kamarullah - Selamat Tinggal Jeanette
• George Kamarullah - Selamat Tinggal Jeanette
Lahir di Ambon. Termasuk kelompok "Teater Populer" pimpinan Teguh Karya. Mulanya ikut main, antara lain dalam Cinta Pertama (1973). Kemudian jadi orang di "belakang layar", sebagai juru kamera dan penyunting. Dengan prestasi setengah lusin piala Citra! Tiga kali berjaya untuk penyuntingan Usia 18 (FFI 1981), Di Balik Kelambu (FFI 1983) dan Ponirah Terpidana pada FFI 1984. Kemudian 3 kali pula menang buat sinematografi, Doea Tanda Mata (FFI 1985), Ibunda (FFI 1986) dan Tjoet Nja' Dhien pada FFI 1988. Masih diunggulkan dua kali lagi, juga sebagai juru kamera, Selamat Tinggal Jeanette (FFI 1988) dan Taksi pada FFI 1990. Film Teguh Karya Doea Tanda Mata terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia Pasifik 1986 di Seoul (Korea Selatan). George Kamarullah juga menerima piala untuk Sinematografi terbaik pada festival internasional itu. Empat kali berturut George jadi juri sinetron cerita, dari FSI 1994 hingga FSI 1997.
George Kamarullah bekerja sebagai sinematografer sejak awal 1970-an. Selain debutnya sebagai seorang sinematografer, George Kamarullah merupakan salah satu aktor film Indonesia yang layak disebut bentukan dari sineas ternama Teguh Karya. Namanya semakin dikenal oleh Indonesia bahkan dunia ketika filmnya Tjoet Nja’ Dhien yang mengambil gambar panorama hutan di di Aceh yang eksotis di Pulau Sumatera ini mendapat sambutan yang sangat baik yang kemudian mendapatkan Piala Citra 1988 untuk sinematografi terbaik, setelah sebelumnya mendapatkan piala citra dalam kategori yang sama untuk film Ibunda pada tahun 1986 dan Doea Tanda Mata pada tahun 1985. Dalam program kali ini akan ada kesempatan untuk tanya jawab dengan George Kamarullah tentang kerja sinematografinya.
George Kamarullah tak bakal lupa dengan amuk Slamet Rahardjo suatu siang pada 1973. “Cara main inhaler (alat isap untuk melegakan hidung yang mampet) saya saja masih lebih bagus ketimbang kamu,” kata George menirukan amarah Memet--begitu panggilan Slamet Rahardjo.
Waktu itu, Slamet murka lantaran permainan George yang buruk dalam sebuah latihan sandiwara yang disutradarainya. Pria kelahiran Ternate, 57 tahun silam, ini langsung mutung dan bersumpah: tidak akan lagi berkecimpung di belantara seni peran. Dia pun mundur sebagai aktor.
Dari situlah garis nasibnya berbelok, tapi tidak jauh-jauh amat. George menjadi sinematografer. Enam film hasil bidikan kameranya, antara lain Selamat Tinggal Jeanette (1987) dan Taksi (1991). Sebetulnya, dia tidak punya latar belakang pendidikan juru kamera. George muda pernah kuliah di jurusan konstruksi dan administrasi, tapi tak selesai. Dia pernah jadi asisten art and still photography Cinta Pertama (1973). Ini film pertamanya.
“Baru pada 1976 saya mulai menekuni pengambilan dan penyuntingan gambar,” ujar George kepada Tempo. Selama lima tahun, dia menjadi asisten sinematografer dan editor Tantra Suryadi. Ia bertugas memanggul kamera atau mengumpulkan gulungan film yang tidak terpakai lagi.
Pada 1980, George dipercaya menjadi editor dalam film Usia 18. Baru pertama kali menyunting, dia langsung menyabet Piala Citra. Adapun film yang dia gawangi pengambilan gambarnya adalah Seputih Hatinya, Semerah Hatinya (1982), yang dibintangi Christine Hakim. Tapi pada 1986, Karyawan Film dan Televisi melarang pengagum Nestor Almendros, sinematografer asal Kuba, itu menekuni dua profesi sekaligus. George pun memilih juru kamera. Dia punya alasan: bayarannya lebih gede. Alasan lain, “Sinematografer itu menciptakan sesuatu.”
Nama George makin melambung sewaktu menjadi penata kamera pada film Tjoet Njak Dhien (1988). Dia menggondol Piala Citra untuk ketiga kalinya setelah Doea Tanda Mata (1985) dan Ibunda (1986). “Saya juga dapat Golden Crown Award di Seoul lewat Doea Tanda Mata,” ujarnya.
Sebagai seorang juru kamera, George punya prinsip keras: tidak mau terlibat dalam produksi bila skenarionya jelek dan bintang filmnya tidak disiplin. Artis film juga mesti tunduk dan tetap duduk di lokasi syuting sewaktu George sedang mengatur pencahayaan.
George juga dikenal sebagai juru kamera yang edan di zamannya. Dia orang pertama yang memakai teknik pencahayaan bounching dan kertas kalkir misalnya. “Waktu produser tahu, saya langsung dimarahi,” kata penata kamera yang banyak berkiblat pada film-film Prancis itu sambil terkekeh.
Walther van den Ende, sinematografer asal Belgia, pernah memuji karya-karya George. “Dengan peralatan yang sederhana, dia bisa membikin gambar-gambar yang bagus,” ujarnya. Toh, George, yang sekarang bekerja di Metro TV, mengaku belum merasa puas dengan film-film hasil bidikannya. (SS KURNIAWAN)
George Kamarullah bekerja sebagai sinematografer sejak awal 1970-an. Selain debutnya sebagai seorang sinematografer, George Kamarullah merupakan salah satu aktor film Indonesia yang layak disebut bentukan dari sineas ternama Teguh Karya. Namanya semakin dikenal oleh Indonesia bahkan dunia ketika filmnya Tjoet Nja' Dhien yang mengambil gambar panorama hutan di di Aceh yang eksotis di Pulau Sumatera ini mendapat sambutan yang sangat baik yang kemudian mendapatkan Piala Citra 1988 untuk sinematografi terbaik, setelah sebelumnya mendapatkan piala citra dalam kategoriyang sama untuk film Ibunda pada tahun 1986 dan Doea Tanda Mata pada tahun 1985.
SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA | 1980 | SLAMET RAHARDJO | Director Of Photography | |
DOEA TANDA MATA | 1984 | TEGUH KARYA | Director Of Photography | |
TAKSI JUGA | 1991 | ISMAIL SOEBARDJO | Director Of Photography | |
SELAMAT TINGGAL JEANETTE | 1987 | BOBBY SANDY | Director Of Photography | |
IBUNDA | 1986 | TEGUH KARYA | Director Of Photography | |
KAWIN LARI | 1974 | TEGUH KARYA | Actor | |
MELINTAS BADAI | 1985 | SOPHAN SOPHIAAN | Director Of Photography | |
RANJANG PENGANTIN | 1975 | TEGUH KARYA | Actor | |
BADAI PASTI BERLALU | 1977 | TEGUH KARYA | Actor | |
TJOET NJA DHIEN | 1986 | EROS DJAROT | Director Of Photography | |
YANG PERKASA | 1986 | TORRO MARGENS | Director Of Photography | |
CINTA DI BALIK NODA | 1984 | BOBBY SANDY | Director Of Photography | |
AMALIA S.H. | 1981 | BOBBY SANDY | Director Of Photography |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar