27 Februari 1993
Film terbaik yang gagal
Film terbaik yang gagal
INI bukan karya Chaerul Umam yang terbaik. Tapi film ini dinyatakan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, lima Piala Citra diboyongnya: film terbaik, aktris (Lidya Kandou), aktor (Jamal Mirdad), sutradara (Chaerul Umam), dan skenario (Putu Wijaya). Bagi mereka yang pernah menonton film Kejarlah Daku, Kau Kutangkap dan Keluarga Markum karya Chaerul Umam yang lain tentu akan menyangka film ini sebagai akhir dari trilogi kisah Ramadhan dan Ramona, nama pasangan legendaris dalam kedua film tersebut, yang telah berhasil mengocok perut penonton beberapa tahun silam. Tapi Ramadhan dan Ramona versi baru ini tak ada urusannya dengan Ramadhan dan Ramona dalam film Kejarlah. Ramadhan diperankan oleh Jamal Mirdad kali ini adalah seorang pemuda Malaysia kaya raya. Film ini dibuka dengan adegan Ramadhan yang merantau ke Jakarta, menyamar sebagai pemuda miskin yang mencari kerja. Ia segera diterima di sebuah department store. Di tempat kerja inilah sang perantau Malaysia bertemu dengan pramuniaga department store bernama Ramona (Lidya Kandou). Ramona bukan saja gadis yang cantik, tapi ia pun berpendirian tegas dan keras kepala. Justru itulah yang membuat Ramadhan mabuk kepayang dan selalu mengikuti langkah gadis itu. Bahwa kemudian Ramona dengan mudahnya memutuskan untuk berpindah-pindah kerja bak kutu loncat, Ramadhan tak sedikit pun curiga. Setiap kali Ramona berpindah kerja dari pramuniaga, pelayan kafe, kondektur metromini, tukang cuci mobil, dan terakhir menjadi perobek karcis bioskop Ramadhan dengan setia membuntutinya. Secara tak sengaja, kedok Ramadhan terbuka. Ramona, yang selama ini menyangka Ramadhan seorang pemuda miskin, merasa tertipu dan lantas kabur ke Lombok. Ramadhan menyusul. Terkuaklah rahasia Ramona. Ternyata Ramona di Lombok adalah Ramona yang memiliki vila besar, gemar berolah raga kuda, membawa telepon genggam, dan mengendarai helikopter pribadi. Sebenarnya jalan cerita ini cukup menarik, karena Ramadhan dan Ramona adalah wakil sebuah sikap. Mereka anak muda kaya raya yang ingin tahu dunia orang-orang miskin, yakni dunia orang-orang yang entah bagaimana bisa bertahan hidup. Tapi keingin tahuan orang-orang kaya ini hanya dilampiaskan melalui ''tamasya sejenak ke dunia kemiskinan''. Artinya, mereka menyamar sebentar, dan setelah puas mencium bau keringat orang miskin, mereka kembali menggenggam telepon mobil dan bermain golf. Cerita yang ditulis Putu Wijaya ini tidak digali secara optimal seperti halnya ketika Chaerul Umam menggarap Kejarlah. Kali ini Chaerul Umam gagal mengulang sukses. Kejarlah berhasil menyajikan humor yang menggelitik sekaligus kepedihan dalam hidup. Sedangkan humor sosial Ramadhan dan Ramona hanya berhasil mencapai tahap permukaan. Memang betul, film ini berhasil menampilkan beberapa adegan lucu, misalnya ketika Ramona menyambar bosnya dan memintanya mengaku sebagai tunangannya agar Ramadhan bersedia minggir. Film ini juga tidak terjebak dalam film komedi slapstick yang sampai saat ini masih menjadi primadona perfilman komedi Indonesia. Dan syukurlah, Chaerul Umam tidak latah mengeksploitasi banci sebagai objek tertawaan, seperti yang sedang menjadi trend dalam film dan sinetron Indonesia. Untuk seorang Chaerul Umam, sebenarnya itu hal yang biasa saja. Dengan latar belakang teaternya yang kental dan sebagai aktor dan sutradara yang intens, tentu saja ia tak akan membiarkan dirinya terjebak dalam idiom-idiom picisan. Namun, untuk seorang Chaerul Umam, Ramadhan dan Ramona adalah sebuah karya yang tanggung. Mungkin akan menarik jika Chaerul juga memperlihatkan seberapa jauh ''tamasya'' Ramona dan Ramadhan di dunia kemiskinan itu bisa mempengaruhi kehidupannya atau persepsinya. Tujuan ''tamasya'' itu tentunya bukan sekadar untuk mencari jodoh, tapi juga untuk belajar lahir kembali sebagai manusia yang lebih lengkap, yang lebih melebar pengalaman dan wawasannya. Sayangnya, Chaerul tidak mengeksplorasi kemungkinan yang diberikan oleh cerita tersebut dan bertahan pada konvensi komedi yang klise. Itu terlihat pada gaya Chaerul mengakhiri filmnya. Ramadhan dan Ramona bertengkar di lapangan udara karena sama-sama merasa tertipu. Tapi toh cinta menang. Ramadhan, yang semula akan pulang ke Malaysia, segera menyambar kopernya kembali dan memanggil Ramona. Bisa ditebak, kan? Ramadhan dan Ramona saling berlari dengan adegan slow motion dan berpelukan. Tetap saja, lelaki kaya mendapatkan wanita kaya, dan kemiskinan menjadi barang ejekan. Jika film begini menjadi film terbaik FFI, tak bisa dibayangkan bagaimana mutu puluhan film peserta yang lain. Mungkin ada benarnya jika FFI tahun ini tidak usah ada. Leila S. Chudori
Tidak ada komentar:
Posting Komentar