Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1990 Kritik sosial lewat anak-anak

 24 November 1990


FFI 1990, JAKARTA
Tak menang di ffi '90




 
LIDYA ... Lidya ... Li-dya! Begitu orang berteriak ketika akan dibacakan pemenang pemeran utama wanita FFI, Ahad pekan lalu, di Balai Sidang, Jakarta. "Padahal, saya sudah punya feeling nggak bakal menang," kata Lidya Kandouw, 27 tahun. Ibu tiga anak itu sudah menyangka pasti Meriam Bellina yang menang. Soalnya, kata Lidya, perannya di Cas Cis Cus kalah kuat dibandingkan dengan Meriam di Taksi, dilihat dari problematika dan tantangannya. Atau Lidya kurang menjiwai perannya sebagai menantu di Cas Cis Cus? "Tapi, di keluarga Mas Jamal, saya sudah bisa jadi menantu yang baik, lho...," kata istri penyanyi Jamal Mirdad ini, terbahak-bahak. Karena feeling tadi, Lidya sempat pindah tempat duduk di acara FFI itu. "Soalnya, saya nggak mau kamera TV menyorot tampang saya," kata bintang film yang belakangan sering main film komedi ini. Bukan apa-apa, Lidya ingat ada seorang artis yang pingsan ketika diumumkan bukan dia yang memenangkan Citra, beberapa tahun lalu. Meski belum pernah memenangkan Citra sekali juga, yang lebih dirindukan Lidya bukan piala itu, tapi, "Saya kangen main di film drama."



24 November 1990
Kritik sosial lewat anak-anak
LANGITKU, RUMAHKU Pemain: Banyu Biru, Sunaryo, Pitradjaja Burnama Skenario dan Sutradara: Slamet Rahardjo Djarot Produksi: Ekapraya Film, 1990 DI bawah bayangan patung Diponegoro, kedua sahabat itu berbincang dengan asyik. Andri, anak kelas IV SD, mendongak melihat patung. Sedangkan Gempol, pemulung kecil yang dekil, mengecap nikmat hotdog pemberian Andri. "Kamu tahu di atas kita patung siapa?" "Pangeran Mataram yang marah karena tanah moyangnya diganggu Belanda," jawab Gempol, yang sempat mengecap bangku sekolah hingga kelas V SD. "Memangnya, tanah nenek moyang diapain?" "Ya, gitu, Belanda mentang-mentang kuasa, seenaknya saja dia gusur tanah orang." Adegan ini terasa sebagai sebuah sindiran. Dan kita tahu bahwa sindiran itu adalah khas Slamet Rahardjo, sang sutradara dan penulis skenario Langitku, Rumahku ini. Kali ini, tokoh Slamet adalah anak-anak yang pintar dan lugu, Andri (dimainkan Banyu Biru dan memperoleh Piala Kartini sebagai pemeran anak-anak terbaik FFI 1990) dan Gempol (diperankan dengan baik juga oleh Sunaryo). Kedua anak ini bertemu ketika, suatu hari, Gempol disangka akan mencuri di sekolah Andri. Nyatanya, Gempol hanyalah seorang pemulung. Andri membantu Gempol dengan cara meraup semua koran bekas di rumahnya, termasuk majalah mode kakaknya, untuk dihibahkan kepada Gempol. Persahabatan berkembang terutama karena Andri adalah anak yang kurang perhatian di rumahnya. Ibunya sudah lama meninggal, bapaknya sibuk dengan perusahaannya, dan kakaknya pusing dengan urusan sekolahnya. Justru pak sopir (dimainkan Pitradjaya Burnama) yang setia mengantar Andri ke mana-mana. 

Karena itu, kehadiran Gempol -- seorang kawan bermain yang jujur, polos tapi cerdas -- membuat kehidupan Andri lebih menyenangkan. Persahabatan mereka begitu erat, hingga ketika terjadi pembersihan rumah kumuh dan orangtua Gempol digusur, hati Andri ikut terganggu. Adegan-adegan selanjutnya seperti sengaja dibikin full-action, biar seru untuk anak-anak. Kedua anak ini kabur ke Jawa Timur untuk mencari nenek si Gempol. Mereka mengalami banyak hal: dari kegarongan uang, bekerja sebagai pencuci piring, hingga menjadi tukang parkir. Akhirnya mereka harus kembali ke Jakarta meski tak berhasil menemui nenek Gempol -- karena foto Andri "si anak hilang" terpampang di koran-koran. Diakhiri dengan adegan perpisahan kedua sahabat, Slamet berhasil membuat film ini sebagai karya yang menyentuh, tapi tak cengeng. Ingat, di tahun 1970-an, anak-anak Indonesia sempat dijejali film yang penuh dengan ratapan dan tangisan dengan mengeksploitasi kekejaman ibu tiri. Meski serial film ini sempat mencuatkan bintang cilik macam Dewi Rosaria Indah dan Faradilla Sandy, film-film itu tidak menyajikan apa pun selain duit dan kebodohan. Setelah itu, produser keranjingan film remaja dan disambung film banyolan. Dan film anak-anak menjadi "anak tiri". Dilihat dari sudut ini, bersama film Tragedi Bintaro, Si Badung, serta Nyoman dan Presiden, Langitku patut dipandang sebagai ikhtiar yang baik. Apalagi Slamet juga bertujuan agar anak-anak Indonesia memasuki alam pemahaman, bukannya sekadar hafal-menghafal. "Melalui persahabatan, seorang anak seperti Andri bisa memahami latar belakang sahabatnya, Gempol, dan sebaliknya. Sedangkan kisah ibu tiri yang jahat adalah sebuah tradisi yang tak jelas juntrungannya. Dan, malangnya, tradisi ini dipaksa untuk dihafalkan pada anak-anak," kata Slamet, ayah dua anak. 

Bahwa tokoh Andri dan Gempol kelihatan pinter banget -- dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis -- hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil. Mereka adalah anak-anak yang cerdas dan kritis. Jadi, wajar saja jika di suatu malam Andri menggeletak bersama Gempol seraya berkata, "Aku nggak ngira aku musti tidur pakai alas koran, rupanya koran bukan cuma buat dibaca, ya?" Dan masih wajar pula jika Gempol mempertanyakan kenapa setiap Jakarta didandani untuk perayaan, wong cilik selalu jadi korban. Yang kelihatan berlebihan adalah gembel Mbah Unyeng, yang selalu tangkas menjawab pertanyaan Gempol. "Kita ini masyarakat bekicot, nempel di mana-mana mengganggu pemandangan, pantas kalau digusur," katanya menghibur Gempol di bawah tetesan hujan. Dari mulut Mbah Unyeng pula, kita mendengar kalimat: "Selama masih ada langit ... kita masih punya rumah...." Karya-karya Slamet memang sudah telanjur identik dengan kritik sosial. Seperti dalam Ponirah Terpidana dan Kembang Kertas, karya terbaru Slamet ini menunjukkan kekuatan visualisasi. Ada adegan Andri dari balik jendela memandangi burung-burung yang terbang bebas. Kita kemudian melihat keinginan Andri yang tak terucap itu diwujudkan dengan petualangannya bersama Gempol ke Jawa Timur. Tentu saja kekuatan bahasa visual Slamet didukung dengan kecanggihan Satari S.K. (mendapat Piala Citra untuk penata artistik) dan kemampuan Soetomo Gandasubrata (yang juga mendapat Citra untuk fotografi). Kekuatan lain dari film ini tentu saja adalah akting Banyu Biru dan Sunaryo, yang tidak seperti anak SD yang sedang belajar membaca di kelas. Sangat alamiah. Produksi pertama PT Ekapraya Film ini, yang biayanya Rp 400 juta -- terutama karena direct-sound system -- berhasil untuk ikut kompetisi Festival des 3 Continents (Festival Tiga Benua) di Nantes, Prancis, akhir bulan ini dan Festival Film Anak-Anak Internasional di Toulouse, Prancis, tahun depan. Leila S. Chudori


01 Desember 1990
Langitku, di manakah rumahnya ?
INI tragedi, memang. Langitku Rumahku, film yang menggondol dua Piala Citra dan Piala Kartini pada FFI 1990, tak punya "rumah" di Jakarta. Sementara orang berkaok-kaok tentang kurangnya film nasional yang mendidik, film ini hanya diberi hak putar sehari di bioskop kelas utama di Jakarta. Eros Djarot, Direktur Produksi Ekapraya Film yang juga produser film ini, menerima pemberitahuan lewat telepon pukul 10 malam, Jumat dua pekan lalu. "Pak, ini filmnya mau ditaruh di mana? Mau diturunin, nih," kata si penelepon seperti ditirukan Eros. Ketika Eros bertanya siapa yang menyuruh film itu diturunkan, si penelepon menjawab, "Disuruh Perfin." Eros tak habis pikir, bagaimana Perfin sampai mengambil keputusan pada malam seperti itu, padahal kantor Perfin sudah tutup sore harinya. Jadi, "Buat saya, kok, seperti sudah direncanakan," ujar Eros kemudian. Langitku akhirnya cuma main Jumat itu saja di sebelas gedung bioskop kelompok 21. Sabtu esoknya sebagian cineplex itu memutar film Taksi -- film terbaik FFI 1990 -- sebagian lagi film asing. Esoknya lagi dan seterusnya, sepenuhnya film asing yang diputar menggantikan Langitku. Alasan Perfin (Peredaran Film Indonesia) menurunkan Langitku adalah jumlah penontonnya di bawah batas angka minimal (take over figure -- TOF). 


Menurut siaran pers Perfin, film ini hanya ditonton 881 orang di 11 bioskop dengan masing-masing empat kali pertunjukan. Jadi, rata-rata setiap gedung dihadiri 20 orang setiap pertunjukan. Menurut Direktur Utama PT Perfin Yusack Susanto, TOF disesuaikan dengan kapasitas bioskop itu. Sebelas gedung yang memutar Langitku masuk kategori 251 s/d 500 kursi, dan batas TOF-nya adalah 125 penonton untuk tiga kali pertunjukan pada hari pertama. Eros memang tak bisa berkutik dengan angka TOF, apalagi ia tak menaruh orang-orangnya di gedung yang memutar Langitku -- sebagaimana yang dulu ia lakukan ketika memasarkan Tjoet Nya' Dhien. "Pengambilan keputusan sepihak ini melulu didasari pertimbangan ekonomis semata, yang diberlakukan hanya terhadap film nasional di negerinya sendiri. Ini menghina film Indonesia dan menghina hak anak-anak untuk menonton film kultural edukatif," kata Eros berapi-api. Apalagi hari Jumat bukanlah "hari baik" untuk membawa anak-anak ke gedung bioskop. Sebagai bukti, banyak orangtua yang membawa anak-anaknya kecewa di Studio 21 dan Kartika Chandra, pada hari Sabtu dan Minggu. Langitku sudah tak ada, sementara iklan (Acara Bioskop) yang dimuat Kompas 17 November masih menyebutkan film itu main di sana. Dan yang penting, menurut Eros, penurunan filmnya itu bertentangan dengan surat keputusan bersama tiga menteri (Penerangan, P & K, dan Dalam Negeri) tentang "Wajib Edar dan Wajib Putar Film Nasional Serta Penertiban Reklame Film". 

Dalam SKB itu disebutkan, gedung bioskop berkewajiban memutar film nasional dengan hari pertunjukan minimal dua hari. "Mereka lupa kita hidup di negara hukum," ujar Eros. "Tidak mungkin kita tidak mempertanyakan pelanggaran ini, soalnya ini menyangkut kewibawaan peraturan itu sendiri," kata Slamet Rahardjo, sutradara film ini, lewat telepon internasional. Slamet tengah berada di Prancis membawa Langitku ke Festival Tiga Benua di Nantes. Slamet bersama Eros berniat memperkarakan masalah ini ke meja hijau. Apa kata pemilik bioskop? Jimmy Harianto, General Manager 21 Group -- yang punya 100 layar di 23 cineplex di Jakarta atau 310 layar di 70 gedung di Indonesia -- mengaku tahu isi SKB tiga menteri itu. "Tapi bagaimana lagi, kita harus bayar listrik, bayar pegawai," ujar Jimmy. "Jadi, kalau hari pertama katakanlah nol penonton, ya, bioskop teriak, dong," katanya. Johan Tjasmadi, Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, menambahkan, "Kalau ada film yang di hari pertamanya tidak ada kekuatan, ya tak ada gunanya dong diteruskan," kata Johan, yang juga Ketua Panitia Tetap FFI ini. Namun, baik Jimmy maupun Johan menyebutkan, hak menurunkan film nasional yang tengah diputar adalah wewenang Perfin. Dan Yusack tetap bertahan bahwa film itu layak diturunkan. "Kalau diteruskan akan memberikan publikasi jelek bagi pemutaran di daerah," katanya. Ia mengaku tak akan lari bila pihak Ekapraya Film memperkarakan kasus ini ke pengadilan. Masalahnya sekarang, bagaimana dengan niat pemerintah yang kabarnya membantu memasarkan film-film nasional yang bermutu. Niat seperti ini juga diucapkan Johan Tjasmadi selaku Ketua Umum Pantap FFI. "Memang kami tetap utamakan film pemenang Citra," kata Johan. 

Cuma saja, memberi prioritas itu artinya kalau dia pemenang FFI, lalu tanggal peredarannya sudah telanjur diisi film lain, ya, kita prioritaskan pemenang FFI itu. "Tapi tak berarti prioritas itu adalah tak ada penonton lalu kita teruskan," kata Johan lagi. Pada akhirnya memang kepentingan bisnis yang bicara. Film-film asing sama sekali tak diatur peredarannya -- tak ada jadwal maupun batas minimal penonton -- karena pemiliknya menguasai gedung. Maka, pendapat artis Christine Hakim, yang dilontarkan dalam sebuah diskusi di Surabaya, layak disimak. Ia merasa, turunnya Langitku membuktikan kepentingan bisnis di atas kepentingan apresiasi masyarakat pada film-film bagus. "Saya heran, film ini menurut saya paling Pancasilais dibanding film yang lain, kok hanya berusia sehari," ujarnya dengan semangat Tjoet Nya Dhien. Ini tragedi, pada saat film Indonesia jenis kacangan, entah itu komedi atau legenda, meracuni masyarakat, dan posternya bertebaran di berbagai cineplex. Bunga S., Leila S. Chudori, dan Sri Indrayati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar