TEGUH Karya dan Slamet Raharjo tampaknya sulit dipisahkan. Keduanya selalu bersama-sama sejak Teater Populer masih rajin mementaskan sandiwara di awal tahun 1970-an. Sampai ketika awak Teater Populer terjun ke layar putih. Pada umumnya masing-masing sebagai sutradara dan pemeran utama. Bersama-sama pula keduanya mendapat Piala Citra dalam FFI 1983 dari film yang sama, Di Balik Kelambu. Juga sebagai sutradara dan pemain terbaik. Penghargaan itu, bagi mereka rupanya tak begitu mengejutkan. "Bagi saya, film itu baik atau buruk, tetap karya film anak negeri ini -- dan karenanya adalah milikku juga," ucap Teguh, 49 tahun, yang pernah mendapat piala serupa untuk filmnya Nopember 1828 dalam FFI 1979. Ketika menerima piala itu di Stadion Teladan, Sabtu lalu, wajah laki-laki yang tetap membujang itu juga tak terlalu gembira. "Terus terang karya seni tak punya titik final," tambah sutradara berambut warna perak yang tetap dikenal sederhana itu. Slamet Raharjo yang pernah menyutradarai film Rembulan dan Matahari, juga selalu muncul dalam pakaian sederhana bahkan hampir serampangan. Kota Medan ternyata membawa keberuntungan bagi pemuda berkumis tebal tak teratur ini. Sebab dua kali dia meraih Citra, dan keduanya di Medan -- pada FFI 1975 dan tahun ini. Baik Slamet maupun Teguh rupanya sudah sepakat tak akan mengadakan pesta atas penghargaan yang mereka peroleh dari festival tahun ini. "Kami hanya akan mengadakan selamatan kecil untuk mengundang para tetangga Teater Populer," ucap Teguh sambil mengepulkan asap rokok. Menurut Slamet, tetangga sanggar mereka di Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta Pusat, banyak membantu kelancaran pembuatan Di Balik Kelambu. "Siskamling yang baik di sana, membuat shooting film itu sukses," tutur Slamet. Hubungan awak sanggar dengan para tetangganya memang akrab. Bahkan sudah sejak lama Slamet dan kawan-kawannya memberi les bahasa Inggris gratis kepada pemuda-pemuda sekitar situ.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar