Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1976 BANDUNG

10 April 1976
FFI 1976
Kaget, kaget, kaget

SUTRADARA Kris Pattikawa melompat dari kursinya sembari berteriak. Saat itu R.M. Sutarto, ketua dewan juri FFI 1976 di Bandung, menyebut nama Rina Hasyim -- isteri Kris -- sebagai aktris terbaik lewat permainannya dalam film Semalam Di Malaysia. Rina sendiri jadi bingung. Yang pertama terjadi pada dirinya adalah air mata mengalir, kemudian perlahan-lahan bergerak ke pentas Gedung Merdeka Bandung Rabu malam pekan silam. Keterkejutan yang melanda Rina ini ternyata juga dialami sejumlah pemenang dalam festival tersebut. "Dua jam sebelumnya masih beredar spekulasi bahwa hasmanan yang akan menang, tapi kemudian ternyata Niko Pelamonia yang berhasil", kata seorang artis. Ketegangan memang menggerayangi acara-acara festival di Bandung itu. Macam-macamlah tingkah laku para artis dan sutradara yang merasa punya harapan meraih Citra. 

Teguh Karya yang selama dua tahun berturut-turut jadi sutradara terbaik dan filmnya menghasilkan bintang terbaik, nampak sekali kegugupannya. Simpang siur spekulasi menyebabkan Teguh gelisah, sehingga pernah terbetik berita ia berniat kembali ke Jakarta sebelum festival usai. 

Wim Umboh yang kemudian menghasilkan film terbaik, Cinta, dalam festival ini juga menjabat ketua panitia. Kemana-mana ia pakai jas, senyum kiri-kanan la mencoba menutupi kegelisahannya dengan mencoba berbaik-baik sembari melucu pada teman-temannya. Tidak jarang ulah kegugupan itu menimbulkan kedongkolan, seperti yang dialami sejumlah wartawan ibu kota. 

Wim suatu ketika mengundang mereka hanya untuk memberitahu bahwa lantaran keuangan panitia terbatas, tidak semua ongkos wartawan ditanggung. Tapi kegusaran itu nampaknya tidak mengurangi konsentrasi Wim terhadap malam terakhir festival. Menjelang saat yang menentukan itu, hampir semua hotel yang menampung peserta terus menerus memutar lagu-lagu tema dari film Cinta. Poster-poster film Citra juga bisa ditemukan di mana-mana. "Kalau kali ini Wim Umboh tidak menang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya", komentar seorang sutradara dari Jakarta. Metraktir Dan Wim ternyata sehat-sehat saja. Tentu saja karena filmnya menjadi film terbaik lantaran memborong piala terbanyak: aktor terbaik (Ratno Timur), fotografi terbaik (Lukman Hakim Nain), editing terbaik (Wim Umboh) pendatang baru wanita terbaik (Marini). 

Seperti biasanya, setelah menang, Wim mentraktir siapa saja teman yang ditemuinya di Hotel Panghegar, tempat ia dan sejumlah artis menginap selama festival. Sementara Teguh Karya dan temancman sekerjanya duduk tenang di pojok. Syuman Djaja malam itu tampil ke pentas sebagai penulis skenario terbaik lewat filmnya Laila Majnun. Tapi ia tidak puas. "Mestinya film saya ini bukan cuma menang skenarionya, tapi secara keseluruhan" katanya. Lewat film itu Farouk Afero juga menang sebagai pemain pembantu lelaki terbaik. Juga Farouk amat terkejut sembari tidak puas. "Dalam film ini saya merasa tidak bermain bagus. Saya lebih senang kala saya menang dalam film Atheis tahun silam", begitu ia menjelaskan. Bukan cuma Syuman dan Farouk yang tidak puas. Sejumlah orang menggerutu terhadap kemenangan Ratno Timur sebagai pemain lelaki terbaik. "Saya kira peranan Hendra Cipta dalam Selalu Di Hatiku ata Slamet Rahardjo dalam Kawiin Lari jauh lebih baik dari permainan Ratno dalam Cinta" kata salh seorang produser. Dan lebih luas lagi adalah pengalaman Hendrik Gozali, produser film Rahasia Perawanan disutradarai oleh Ali Syahab. Meskipun sutradaranya selalu sesumbar tidak akan bikin film untuk festival. Tapi toh lewat film ini Ruth Pelupessy menang sebagai pemain pembantu wanita lerbaik. "Ha masa iya, menang", tanggap Hendra dengan bingung, ketika nama Ruth disebut oleh RM Sutarto. "Saya sama sekali tidak menduga ia akan menang. 

Sehingga untuk ke Bandung ini i tidak saya ajak. Ia datang dengan produser lain", kata produser PT Sugar Film itu. Tapi yang nampaknya memancing banyak kritik adalah kemenangan film Ateng Mata Keranjang sebagai film komedi terbaik. Tapi juri rupanya memilih film itu karena ceritanya tidak konyol, sementera sejumlaj komedi tidak sanggup menghindarkan dirinya darm kekonyolan. Sejalan dengan cara berfikir inilah juga rupanya maka dewan juri juga memilih Tuty Indera Malaon sebagai pemain komedi yang terbaik. Meskipun tentang itu masih ada rasa kaget. Nico Soal kaget akibat putusan juri ini nampaknya merupakan hal yang disepakati oleh semua peserta maupun wartawan yang berkumpul di Bandung pekan silam. Kemenangan Niko Pelamonia sebagai sutradara terbaik lewat film Semalam Di Malaysia itu, sungguh hal yang bahkan Niko sendiri tidak berharap sedikit pun. "Film-filmnya yang terdahulu jauh lebih baik, kok baru yang macam film Malaya ini yang menang", kata seorang peserta seminar dari Jakarta. Bersama Niko muncul pula seorang putera Maluku lainnya: Enteng Tanamal. Pemain gitar dan suami Tanty Yosepha ini menang sebagai pendatang haru lelaki terbaik lewat film Jangan Biarkan Mereka Lapar. "Bukan isteri saya saja yang harus menang toh, saya juga bisa dapat piala", begitu ia berkomentar selepas mendapat ciuman hangat dari Tanty. Sinyo Hilaul -- seorang putera cilik Maluku juga menang pula sebagai pemain cilik lelaki terbaik. Maka berteriaklah lagi Kris Pattikawa: "Ini betul-betul malam Ambon". Disambut oleh Enteng: "Ini musti pesta sagu, Nyong". Belum kedengaran kapan akan ada pesta sagu, tapi pesta besar di Bandung itu telah berakhir dengan sejumlah hutang. Dari biaya sebesar sekitar 75 juta rupiah, nanti bulan Juli mendatang diharapkan semuanya bisa beres. "Lewat pungutan dari bioskop. bukan menagihkan harga harcis", kata seorang panitia. Dan panitia Bandung merasa bangga dengan cara kerja mereka, apa lagi -- menurut beberapa wartawan -- pesta filam di Bandung ini jauh lebih meriah (meskipun kurang rapi) dari pesta yang sama di Medan tahun silam. "Tahun depan FFI di Jakarta, kata Turino Juneidi yang menjabat ketua Yayasan Festival Film. Kabarnya orang-orang Ujung Pandang amat berhasrat, tapi Gubernur Lamo tidak setuju. Sebabnya: "Sibuk menghadapi pemilu".


10 April 1976

Seorang juri menjelaskan

D. Djajakusuma, anggota Akademi Jakarta, anggota Dewan Kesenian, Jakarta yang juga seorang suutradara film, tiga tahun terakhir merupakan anggota dewan juri FFI yang baru 4 kali diadakan itu. Beberapa saat setelah pengumuman hasil FFI 1976 di Bandung, reporter TEMPO, Zulkifli Lubis, menemuinya. 

Berikut ini hasil wawancara itu: 
T: Bagaimana pendapat bapak tenang penjurian yang berlangsung dua tingkat pada FFI ke-IV di Bandung: 
J: Cara tersebut menguntungkan para juri, karena tak perlu menonton semua film. Namun dengan diciutkannya jumlah film yang harus dinilai dewan juri tingkat akhir, bukan tak mungkin ada juga film baik yang tak terikutkan dalam penilaian tersebut. karena gagal pada penjurian awal yang dilakukan anggota PWI seksi Film. 
T: Apakah ada film yang cukup baik tapi tak termasuk dalam penjurian akhir? 
J: Kebetulan saya tak melihat film yang lain. 
T: Apakah pembagian Citra, kini berdasarkan "rasa keadilan"? 
J: Tidak. Ratno Timur misalnya, untuk tahun ini memang dia yang pantas menang, karena ada semacam peningkatan dalam permainannya dibanding dengan yang lain-lain. Begitu juga dengan Rina Hasyim dan lain-lain. 
T: Dengan film Cinta, bagaimana? 
J: Film itu memenuhi syarat dan selesai, baik artistik maupun penyutradaraan. Ini dapat dilihat dari cara peyutradaraan yang baik, filmnya yang mudah diikuti, logis dan pemotretannya pun bagus. 
T: Mengenai hadiah khusus Untuk film komedi, mengapa Ateng Mata Keranjang yang menang. Apa dasarnya? 
J: Di samping film ini sebagai satu-satunya film komedi yang diajukan ke penjurian akhir, film ini juga mampu menunjukkan sesuatu, tapi dengan cara lain.
T: Bagaimana sebenarnya proses penjurian akhir berlangsung? 
J: Setelah menonton film yang masih dalam penjurian akhir, kami mulai menilai bintang-bintangnya lebih dahulu. Bukankah masyarakat juga mengharapkan dari festival ini siapa bintang terbaik dan baru kemudian film apa yang terbaik? Nah, setelah bintang dan para karyawan yang mendukung film terpilih sebagai pemenang baru kami menjuri film yang terbaik. Dan ini berlangsung dengan adu argumentasi, bukan dengan pengumpulan angka. 
T: Apakah benar bahwa dewan juri juga memperhatikan cerita Indonesia, bukan cerita Hongkong dalam penilaian ? 
 J: Benar, memang seharusnyalah film Indonesia berpijak atas keadaan Indonesia. Soal shoot dan sudut pemotretan terpengaruh Hongkong itu bukan soal. 
T: Apakah pengaruh film Hongkong atau penjiplakan film Hongkong banyak terjadi dalam film-film yang diajukan pada penjurian akhir? 
J: Dibanding dengan festival-festival yang lalu, keadaan itu sekarang malah menipis. Tapi mungkin juga karena saya tak pernah nonton fim Hongkong, sehingga kurang begitu-tahu. 
T: Pada festival sebelumnya pemilihan aktris (wanita) cilik ada, mengapa tahun ini tidak ada? 
J: Tahun ini memang tak ada aktris cilik yang menonjol. Memang Shanti Idris diajukan oleh juri awal, tapi menurut pertimbangan dia tak menunjukkan permainan menonjol dan malah menurun dibanding tahun lalu. Dia tak terpilih lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar