Kamis, 03 Februari 2011

BULAN TERTUSUK ILALANG / 1994



Bulan Tertusuk Ilalang adalah film mengenai perbenturan budaya Jawa dengan budaya Barat Modern. Dilatar belakangi oleh sebuah kisah tentang seorang anak yang mempunyai pengalaman buruk dimasa kecilnya karena sering dilecehkan oleh ayahnya. Suatu saat dia bertemu bertemu dengan seorang wanita yang telah lama tinggal di Amerika Serikat. Keduanya jatuh cinta dan disinilah perbenturan ini muncul.

Sukar diuraikan bahwa ada cerita dalam film yang lebih ingin memberikan kesan-kesan tertentu saja. Namun demikian, toh ada yang ingin dikatakan lewat sebuah kisah yang dituturkan secara tak teratur dan linier. Kisah yang bisa ditangkap dari serpihan-serpihan dialog yang sangat sedikit jumlahnya, maupun dari rentetan gambarnya. Yang ingin lebih ditonjolkan agaknya "perjalanan kejiwaan" tokohnya. Juga ingin dikesankan masalah kuno-modern dalam budaya Jawa, khususnya di Solo. Ilalang (Norman Wibowo) punya trauma masa kecil: mencintai ibunya dan kekerasan ayahnya yang sering menusuk jarinya dengan jarum atau kawat. Trauma ini terbawa hingga dewasa saat dia belajar pada seorang musikus tua kraton, Waluyo (Ki Soetarman). Partitur naskah ciptaannya sering disepelekan begitu saja dan ia juga jatuh cinta pada istri gurunya, Bulan (Ratna Paquita), gadis yang "mencari". Hubungan-hubungan ini tak ada yang menghasilkan kebahagiaan.

Proyek Dewan Film Nasional dengan maksud mengangkat film nasional di tengah kelesuan produksi, dan untuk diikutkan dalam FFAP 1995, Jakarta. Masa tayang yang tercantum sebelum lolos sensor.


FACULTY OF FILM & TV
NATIONAL FILM COUNCIL
JAKARTA INSTITUTE OF THE ARTS
DEPT. OF INFORMATION


News

‘Kejam’ nya Garin dalam membuat film, kadang terealisasi dalam beberapa film. Pada film Bulan Tertusuk Ilalang (1996), ada adegan bercinta yang berdarah. "Kejam"nya itu, ia tidak mau memakai trick. "Harus ada darah yang mengalir, dan pemain merasakan kepedihannya," kata ayah tiga anak itu dalam sebuah acara diskusi di Yogyakarta, Maret 2001.

Film ini diproduksi mengidahkan sistem KFT, yang dimana karyawan film dan TV yang membuat film harus terdaftar sebagai anggota KFT. Tetapi Garin tidak memakai yang menaung dianggota KFT. Ia banyak memakai kru film mahasiswa dan alumni baru dari IKJ, sehingga ia mendapat teguran dari KFT. Dan setelah itu lambat laut KFT melemah dan kini semua orang bebas membuat film, siapa saja boleh, biasa atau tidak bisa membuat film boleh membuat film, yang penting dananya ada. Walhasil....sejauh ini lebih banyak film sampah yang dibuat dari pada film yang bermutu.....sehingga orang kembali lagi mengenang KFT.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar