BASUKI EFFENDI
Basuki Effendy lahir di Jakarta, 9 Mei 1930 – meninggal 15 Mei 2006 pada umur 76 tahun) adalah seorang aktor dan sutradara film Indonesia terkemuka pada masa sebelum 1965.
Pendidikan : Lulus SLP Tahun 1948. Masih kecil pernah ikut main dalam "Air MAta Iboe" (1940). Tahun 1946, di Jogya, ikut Barisan P. Pimpinan Kotot Sukardi. "Barisan" yang sebagian besar terdiri dari anak terlantar, ada juga kegiatannya di bidang pertunjukan sandiwara, main di pelataran sekolah dan sebagainya. Tahun 1947 bergabung dengan Barisan Pemuda. Clash ke II hijrah ke Jakarta dan ikut Kotot Sukardi serta Pa Kasur menyelenggarakan sandiwara Radio. Terjun ke film mulai sebagai figuran dalam "Djembatan Merah" "(1949). Kemudian mencoba sebagai Pembantu Juru Kamera dalam " Untuk Sang Merah Putih" " lalu sebagai Pembantu Sutradara pada 'Inspektur Rachman", keduanya tahun 1950. Antara 1951 -1952 bekerja di PFN dan sempat membantu pembuatan "Si Pintjang" dan "Djiwa Pemuda", keduanya tahun 1951. Hasil penyutradaraannya yang pertama "Pulang" (1953) berhasil mendapatkan diploma dan medali dari Festival Film Internasional Carlovy Vary. Tapi lewat tengah tahun 1950-an namanya lebih dikenal sebagai aktifis Lekra ketimbang Sutradara Film.
Basuki adalah seorang anggota Sekretariat Pimpinan Pusat (SPP) Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibubarkan oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 menyusul dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret, karena organisasinya yang merupakan "onderbouw" PKI, dituduh terlibat dalam G30S.
Basuki kemudian ditangkap dan meringkuk sebagai tahanan politik di Tefaat Pulau Buru. Seperti para tahanan lainnya di Pulau Buru, Basuki banyak mengalami penderitaan dan siksaan selama masa penahanannya.
Basuki Effendi membuat antara lain “Pulang” (1952), produksi SANG SAKA dan “Ho Lo Pis untul Baris” (1959), produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong.
Basuki Effendy meninggal dunia karena serangan jantung pada 15 Mei 2006. Ia meninggalkan dua orang anak.
BAS, demikian teman-teman memanggil dia. Nama sebenarnya ialah BASUKI EFFENDY. Ia dilahirkan di jakarta, pada tanggal 9 Mei 1930, jadi umurnya baru 22 tahun. Sedari umur 9 tahun sewaktu masih menduduki bangku Sekolah Rendah ia telah tertarik oleh film dan turut bermain dalam film “Air Mata Ibu” Produksi Majestic Film Coy. Karena masih bersekolah dan masih kecil tindakannya itu mendapat teguran dari orangtuanya, tetapi dasarnya Basuki nakal ia tetap bercita-cita ingin menjadi seorang bintang film di kemudian hari.
Pada tahun 1946, bersama Pak Kotot Sukardi, ia turut mendirikan barisan “P” yang sampai sekarang kita dapat melihat hasil usahanya. Untuk kepentingan barisan “P” tersebut, ia pernah mengadakan sandiwara anak-anak untuk pertama kalinya. Dan di sinilah Basuki Effendy memulai kariernya di lapangan kesenian.
Pada tahun 1947, sebelum clash pertama, ia menggabungkan diri dengan barisan pemuda di Jogjakarta dan memimpin seksi penerangan. Karena sibuk dengan perjuangan hampir-hampir sekolahnya terganggu, tetapi syukurlah pada tahun 1948 ia dapat menamatkan sekolah SMP. Yang penting kita ketahui ialah usahanya mengadakan rapat raksasa pada tanggal 1 Mei 1948 di alun-alun Jogjakarta yang dihadiri kurang lebih 350.000 orang untuk menyambut kedatangan M. Cochran dan rombongan diiringi dengan demonstrasi protes terhadap tindakan Belanda menembak pemuda-pemuda Indonesia di Pegangsaan Timur.
Waktu clash kedua, ia menyingkir ke luar kota Jogja bersama teman-temannya untuk menghindarkan diri dari buruan Belanda, dan dari situ dia berjalan kaki melalui Ambarawa ia menuju ke Jakarta, untuk memasuki lapangan perjuangan baru.
Bersama dia turut almarhum I Gde Wajanseken, guru tari Bali ternama. Sesampai di Jakarta beberapa bulan lamanya, ia menjadi musafir kelana. Kemudian setelah Pak Kotot, Pak Kasur Cs datang ke Jakarta, mereka merupakan empat serangkai dalam penyelenggaraan sandiwara anak-anak, sandiwara radio, tari Bali, dan sebagainya.
Dalam film “Djembatan merah” produksi Bintang Surabaya, ia mendapat kesempatan untuk memulai karier film-nya sebagai figuran. Tetapi Basuki mempunyai cita-cita tinggi. Figuran dalam Film “Djembatan Merah” dianggapnya sebagai batu loncatan untuk melompat ke dataran yang lebih tinggi. Demikianlah dalam pembikinan film “Untuk Sang Merah Putih” oleh PFN (Perusahaan Film Negara RIS) ia diberi kesempatan sebagai asisten cameramen dan disamping ia ia memegang rol penting dalam film tersebut. Dalam pembikinan film “Inspektur Rachman” ia diberi kesempatan sebagai asisten sutradara. Dalam tahun 1951 ia turut menyelenggarakan dua produksi dari PFN. “Si Pintjang” dan “Djiwa Pemuda” sebagai asisten sutradara. Disamping itu turut pula bermain.
KETENTRAMAN jiwa dan ketenangan hati adalah syarat yang utama untuk memperoleh hasil pekerjaan yang baik. Apalagi dalam pembikinan film, ‘perasaan’ adalah memegang peranan ‘utama’, demikian kata saudara Basuki Effendy.
“Sewaktu pembikinan film “Djiwa Pemuda” R. Inu Perbatasari sebagai pemimpin produksi menjanjikan kepada saudara Bachtiar Effendi sebagai regisseur dan saya sebagai asisten regisseur, akan diberikan sejumlah honorarium bila produksi telah selesai. Saya sebenarnya tidak terlalu melihat kepada honorarium, tetapi yang saya kehendaki adalah kejujuran terhadap orang bawahannya. Sewaktu produksi telah selesai, dan tiba saatnya untuk menerima honorarium, R. Inu Perbatasari menyerahkan sejumlah Rp. 300 (tiga ratus rupiah) kepada saya. Saya sangat terkejut melihat jumlah yang diberikan kepada saya tidak sesuai dengan rencana semula yang telah disetujui oleh Direktur PFN. Dus sekarang jumlahnya telah berkurang. Tetapi janganlah disangka saya hanya bekerja karena uang. Tidak. Ini hanya memperbincangkan soal kejujuran” demikian keterangan Saudara Basuki Effendy.
Pendidikan : Lulus SLP Tahun 1948. Masih kecil pernah ikut main dalam "Air MAta Iboe" (1940). Tahun 1946, di Jogya, ikut Barisan P. Pimpinan Kotot Sukardi. "Barisan" yang sebagian besar terdiri dari anak terlantar, ada juga kegiatannya di bidang pertunjukan sandiwara, main di pelataran sekolah dan sebagainya. Tahun 1947 bergabung dengan Barisan Pemuda. Clash ke II hijrah ke Jakarta dan ikut Kotot Sukardi serta Pa Kasur menyelenggarakan sandiwara Radio. Terjun ke film mulai sebagai figuran dalam "Djembatan Merah" "(1949). Kemudian mencoba sebagai Pembantu Juru Kamera dalam " Untuk Sang Merah Putih" " lalu sebagai Pembantu Sutradara pada 'Inspektur Rachman", keduanya tahun 1950. Antara 1951 -1952 bekerja di PFN dan sempat membantu pembuatan "Si Pintjang" dan "Djiwa Pemuda", keduanya tahun 1951. Hasil penyutradaraannya yang pertama "Pulang" (1953) berhasil mendapatkan diploma dan medali dari Festival Film Internasional Carlovy Vary. Tapi lewat tengah tahun 1950-an namanya lebih dikenal sebagai aktifis Lekra ketimbang Sutradara Film.
Basuki adalah seorang anggota Sekretariat Pimpinan Pusat (SPP) Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibubarkan oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 menyusul dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret, karena organisasinya yang merupakan "onderbouw" PKI, dituduh terlibat dalam G30S.
Basuki kemudian ditangkap dan meringkuk sebagai tahanan politik di Tefaat Pulau Buru. Seperti para tahanan lainnya di Pulau Buru, Basuki banyak mengalami penderitaan dan siksaan selama masa penahanannya.
Basuki Effendi membuat antara lain “Pulang” (1952), produksi SANG SAKA dan “Ho Lo Pis untul Baris” (1959), produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong.
Basuki Effendy meninggal dunia karena serangan jantung pada 15 Mei 2006. Ia meninggalkan dua orang anak.
BAS, demikian teman-teman memanggil dia. Nama sebenarnya ialah BASUKI EFFENDY. Ia dilahirkan di jakarta, pada tanggal 9 Mei 1930, jadi umurnya baru 22 tahun. Sedari umur 9 tahun sewaktu masih menduduki bangku Sekolah Rendah ia telah tertarik oleh film dan turut bermain dalam film “Air Mata Ibu” Produksi Majestic Film Coy. Karena masih bersekolah dan masih kecil tindakannya itu mendapat teguran dari orangtuanya, tetapi dasarnya Basuki nakal ia tetap bercita-cita ingin menjadi seorang bintang film di kemudian hari.
Pada tahun 1946, bersama Pak Kotot Sukardi, ia turut mendirikan barisan “P” yang sampai sekarang kita dapat melihat hasil usahanya. Untuk kepentingan barisan “P” tersebut, ia pernah mengadakan sandiwara anak-anak untuk pertama kalinya. Dan di sinilah Basuki Effendy memulai kariernya di lapangan kesenian.
Pada tahun 1947, sebelum clash pertama, ia menggabungkan diri dengan barisan pemuda di Jogjakarta dan memimpin seksi penerangan. Karena sibuk dengan perjuangan hampir-hampir sekolahnya terganggu, tetapi syukurlah pada tahun 1948 ia dapat menamatkan sekolah SMP. Yang penting kita ketahui ialah usahanya mengadakan rapat raksasa pada tanggal 1 Mei 1948 di alun-alun Jogjakarta yang dihadiri kurang lebih 350.000 orang untuk menyambut kedatangan M. Cochran dan rombongan diiringi dengan demonstrasi protes terhadap tindakan Belanda menembak pemuda-pemuda Indonesia di Pegangsaan Timur.
Waktu clash kedua, ia menyingkir ke luar kota Jogja bersama teman-temannya untuk menghindarkan diri dari buruan Belanda, dan dari situ dia berjalan kaki melalui Ambarawa ia menuju ke Jakarta, untuk memasuki lapangan perjuangan baru.
Bersama dia turut almarhum I Gde Wajanseken, guru tari Bali ternama. Sesampai di Jakarta beberapa bulan lamanya, ia menjadi musafir kelana. Kemudian setelah Pak Kotot, Pak Kasur Cs datang ke Jakarta, mereka merupakan empat serangkai dalam penyelenggaraan sandiwara anak-anak, sandiwara radio, tari Bali, dan sebagainya.
Dalam film “Djembatan merah” produksi Bintang Surabaya, ia mendapat kesempatan untuk memulai karier film-nya sebagai figuran. Tetapi Basuki mempunyai cita-cita tinggi. Figuran dalam Film “Djembatan Merah” dianggapnya sebagai batu loncatan untuk melompat ke dataran yang lebih tinggi. Demikianlah dalam pembikinan film “Untuk Sang Merah Putih” oleh PFN (Perusahaan Film Negara RIS) ia diberi kesempatan sebagai asisten cameramen dan disamping ia ia memegang rol penting dalam film tersebut. Dalam pembikinan film “Inspektur Rachman” ia diberi kesempatan sebagai asisten sutradara. Dalam tahun 1951 ia turut menyelenggarakan dua produksi dari PFN. “Si Pintjang” dan “Djiwa Pemuda” sebagai asisten sutradara. Disamping itu turut pula bermain.
KETENTRAMAN jiwa dan ketenangan hati adalah syarat yang utama untuk memperoleh hasil pekerjaan yang baik. Apalagi dalam pembikinan film, ‘perasaan’ adalah memegang peranan ‘utama’, demikian kata saudara Basuki Effendy.
“Sewaktu pembikinan film “Djiwa Pemuda” R. Inu Perbatasari sebagai pemimpin produksi menjanjikan kepada saudara Bachtiar Effendi sebagai regisseur dan saya sebagai asisten regisseur, akan diberikan sejumlah honorarium bila produksi telah selesai. Saya sebenarnya tidak terlalu melihat kepada honorarium, tetapi yang saya kehendaki adalah kejujuran terhadap orang bawahannya. Sewaktu produksi telah selesai, dan tiba saatnya untuk menerima honorarium, R. Inu Perbatasari menyerahkan sejumlah Rp. 300 (tiga ratus rupiah) kepada saya. Saya sangat terkejut melihat jumlah yang diberikan kepada saya tidak sesuai dengan rencana semula yang telah disetujui oleh Direktur PFN. Dus sekarang jumlahnya telah berkurang. Tetapi janganlah disangka saya hanya bekerja karena uang. Tidak. Ini hanya memperbincangkan soal kejujuran” demikian keterangan Saudara Basuki Effendy.
Basuki Effendi di Kamp pulau buru, pengasingan kaum komunis.
KAMAR 13 | 1961 | BASUKI EFFENDI | Director | |
SI MELATI | 1954 | BASUKI EFFENDI | Director | |
SI PITJANG | 1951 | KOTOT SUKARDI | Actor | |
PULANG | 1952 | BASUKI EFFENDI | Director | |
SAMPAI BERJUMPA KEMBALI | 1955 | BASUKI EFFENDI | Director | |
KOPRAL DJONO | 1954 | BASUKI EFFENDI | Director | |
SI MIENTJE | 1952 | BASUKI EFFENDI | Director | |
HOLOKUBA | 1959 | BASUKI EFFENDI | Director | |
RENTJONG DAN SURAT | 1953 | BASUKI EFFENDI | Director | |
KM-49 | 1952 | M. ARIEF | Actor | |
NINA | 1960 | BASUKI EFFENDI | Director. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar