ATHEIS
Hasan (Deddy Sutomo), santri keturunan, masa kanak-kanaknya sangat tradisional, pendidikannya setengah-setengah, dan pegawai Perusahaan Air Minum di Bandung pada tahun 40an. Waktu anak-anak jatuh cinta pada Rukmini (Christine Hakim), tapi waktu dewasa terpesona pada Kartini (Emmy Salim), perempuan bebas dan berpaham modern. Emmy ini bergaul erat dengan Rusli (Kusno Sudjarwadi), partisan yang bergerak di bawah tanah dan sahabat masa kecil Hasan. Tokoh-tokoh ini, ditambah lagi dengan Anwar (Farouk Afero) yang nihilis, menjelaskan tema dan alur konflik tentang kolot-modern, dan soal Tuhan. Hasan yang peragu dan terombang-ambing, suatu saat melihat kenyataan paling pahit dalam hidupnya: istrinya, Kartini, menginap satu losmen dengan si nihilis Anwar. Keputusan diambil: hadir atau tersingkir. Ia berangkat membunuh Anwar. Tokoh lainnya juga berakhir dengan kematian. Rusli ditembak Kempetai. Hasan pun tertembak Jepang saat dendamnya terlunasi, dan bersamanya berakhir pula pengejaran cakrawala yang dilukiskan saat Hasan kecil.
Film ini yang dibanggakan dari Sjuman Djaya adalah mengadaptasi dari novel yang sangat tebal ini karya dari Achdiat Kartamihardja memang patu dihargai. Dibalik biografi Sjuman sendiri yang terkenal dalam menulis cerita-cerita pendek, ia mampu mempersingkat novel tebal tersebut ke durasi film. Dan juga banyak yang heran juga atas terlepasnya Sjuman dari polemik perdebatan atas tema Atheis ini dan tidak sedikitpun menyisakan ruang bagi imajinasi penonton. Selain diskusi mengenai Tuhan dan kebebasan manusia, dalam film ini juga ada diskusi mengenai kapitalisme, kemerdekaan maupun mengenai hubungan sex bebas. Sjuman nampaknya asyik dengn kata-kata hebat dari aktor dan akrisnya. Jadi kalimat yang akan dilontarkan dari Akris dan aktornya itu yang ia perhatikan dari pada mengatur mengalirkan dialog-dialog tersebut.
Dan juga terjadi pada tokoh Hasan yang menjadi sasaran Sjuman. Meski ia berbekal pendidikan agama di kampungnya, Hasan toh ditampilkan sebagai orang yang amat lemah dalam menghadapi hidup, ia bagaikan anak kecil ingusan di depan Rusli yang berapi-api membicarakan Ateisme. Tidak ada usaha Sjuman yang memadai untuk memperhatikan perjuangan jiwa santeri Hasan dalam menghadapi fikiran-fikiran revolusioner kawan-kawannya. Adegan ini sangat di benci bagi orang yang nasionalis dan bekas pejuang yang menjadi TNI, karena adegan ini adalah unsur dari negara Rusia yang Komunis, apalagi Indonesia punya pengalaman tentang isu PKI. Tetapi disukai banyak orang juga yang melihat realita di masyarakat yang ada tentang kiayi atau penganut agama juga yang tidak bisa melakukan apa-apa, yang seharusnya dia menjadi panutan masyarakatnya.
Hasan (Deddy Sutomo), santri keturunan, masa kanak-kanaknya sangat tradisional, pendidikannya setengah-setengah, dan pegawai Perusahaan Air Minum di Bandung pada tahun 40an. Waktu anak-anak jatuh cinta pada Rukmini (Christine Hakim), tapi waktu dewasa terpesona pada Kartini (Emmy Salim), perempuan bebas dan berpaham modern. Emmy ini bergaul erat dengan Rusli (Kusno Sudjarwadi), partisan yang bergerak di bawah tanah dan sahabat masa kecil Hasan. Tokoh-tokoh ini, ditambah lagi dengan Anwar (Farouk Afero) yang nihilis, menjelaskan tema dan alur konflik tentang kolot-modern, dan soal Tuhan. Hasan yang peragu dan terombang-ambing, suatu saat melihat kenyataan paling pahit dalam hidupnya: istrinya, Kartini, menginap satu losmen dengan si nihilis Anwar. Keputusan diambil: hadir atau tersingkir. Ia berangkat membunuh Anwar. Tokoh lainnya juga berakhir dengan kematian. Rusli ditembak Kempetai. Hasan pun tertembak Jepang saat dendamnya terlunasi, dan bersamanya berakhir pula pengejaran cakrawala yang dilukiskan saat Hasan kecil.
Film ini yang dibanggakan dari Sjuman Djaya adalah mengadaptasi dari novel yang sangat tebal ini karya dari Achdiat Kartamihardja memang patu dihargai. Dibalik biografi Sjuman sendiri yang terkenal dalam menulis cerita-cerita pendek, ia mampu mempersingkat novel tebal tersebut ke durasi film. Dan juga banyak yang heran juga atas terlepasnya Sjuman dari polemik perdebatan atas tema Atheis ini dan tidak sedikitpun menyisakan ruang bagi imajinasi penonton. Selain diskusi mengenai Tuhan dan kebebasan manusia, dalam film ini juga ada diskusi mengenai kapitalisme, kemerdekaan maupun mengenai hubungan sex bebas. Sjuman nampaknya asyik dengn kata-kata hebat dari aktor dan akrisnya. Jadi kalimat yang akan dilontarkan dari Akris dan aktornya itu yang ia perhatikan dari pada mengatur mengalirkan dialog-dialog tersebut.
Dan juga terjadi pada tokoh Hasan yang menjadi sasaran Sjuman. Meski ia berbekal pendidikan agama di kampungnya, Hasan toh ditampilkan sebagai orang yang amat lemah dalam menghadapi hidup, ia bagaikan anak kecil ingusan di depan Rusli yang berapi-api membicarakan Ateisme. Tidak ada usaha Sjuman yang memadai untuk memperhatikan perjuangan jiwa santeri Hasan dalam menghadapi fikiran-fikiran revolusioner kawan-kawannya. Adegan ini sangat di benci bagi orang yang nasionalis dan bekas pejuang yang menjadi TNI, karena adegan ini adalah unsur dari negara Rusia yang Komunis, apalagi Indonesia punya pengalaman tentang isu PKI. Tetapi disukai banyak orang juga yang melihat realita di masyarakat yang ada tentang kiayi atau penganut agama juga yang tidak bisa melakukan apa-apa, yang seharusnya dia menjadi panutan masyarakatnya.
Dan selain itu juga munculnya adegan dari film Petemkin karya Eisenstein, yang diambil dari pengarang Rusia P.Chekov -kereta bayi yang meluncur di tangga baru- kedalam film ini. Adegan dalam film Rusia tersebut sangat klasik karena muncul dalam pelajaran editing film tingkat pertama di sekolah film dunia. Barangkali Sjuman menganggap film itu tidak masuk Indonesia. Semua itu menunjukan atas kebanggaan Sjuman yang sekolah dari Rusia tersebut. Saya sebagai lulusan sekolah film juga mendambakan bisa sekolah di Rusia tersebut. Karena dalam teori film yang diajarkan, saya banyak menemukan dari negara Rusia ini.
P.T. BOLA DUNIA FILM
JENNY RACHMAN ROY MARTEN NANI WIDJAJA SOFIA WD MARULI SITOMPUL ROBBY SUGARA JIRO KOINUMA ETTY SUMIATI RACHMAT HIDAYAT DODDY SUKMA |
NEWS
Novelnya Dilarang Difilmkan
11 Mei 1974
Dilarang: "atheis"
Achdiat Kartamiharja merasa film Atheis garapan Sjuman Djaya tidak sepenuhnya menangkap amanat novelnya. PENGARANG Achdiat K. Mihardja (kini di Australia) mungkin akan terkejut: karyanya yang terkenal, Atheis, dilarang difilmkan. Menurut ketentuan, satu produksi film sebelum mulai pengambilan gambar, kudu mengajukan skenarionya mtuk dibaca oleh Direktorat Film Deppen. Dan Matari Film yang mau memproduksi film Atheis, lewat prosedur itu tak diberi izin. Penolakan terhadap suatu skenario memang bukan untuk pertama kali ini terjadi. Seperti dijelaskan Djohardin, "sudah sering, misalnya karena kekerasan yang berlebihan, maupun kalender porno". Tapi adakah penolakan terhadap Atheis merupakan harga mati? Sebagai pembina perfilman nasional, Djohan sendiri mengatakan: "Bila yang bersangkutan bersedia mengindahkan anjuran perubahan-perubahan pada skenarionya, selalu terbuka kesempatan izin". Pun terhadap Syuman Djaya yang menulis skenario dan bakal menyutra-darai Atheis itu kata Djohardin "kita beri kesempatan menulis kembali skenario yang lain untuk diteliti kembali". Singkatnya: Atheis dalam bentuknya yang sekarang, ditolak. Alasannya? "Jangankan isinya, sedang judulnya saja sudah bertentangan dengan sila pertama kita dalam Pancasila. Penolakan ini didasarkan pada alasan keagamaan". Tapi bukunya toh bisa saja beredar? lni wewenang Kejaksaan Agung. Dalam hubungan dengan rencana pembuatan filmnya fihak Deppen mencoba mendapatkan referensi dari Departemen P & K yang sebegitu jauh konon menyerahkan kepu-tusannya kepada Direktorat Film. Dan alasan lebih terperinci dari Djohardin: "Sebagai buku maka kalangan pesnbacanya terbatas, dan umumnya mereka mampu menyaring isi buku tersebut. Lain halnya ketika dituangkan dalam film, mulai anak-anak sampai orang buta huruf pun bisa melihatnya". Ia menyodorkan pokok-pokok ajaran Marx yang menuding "agama sebagai candu" dan porsi faham atheis itu begitu dominan pada percakapan dalam skenario.
Memang tak diingkarinya bahwa pada akhirnya sang atheis itu kalah, tapi kata Djohardin: "Itu bukan alasan untuk membenarkan, sebab film itu bercerita berpanjang-panjang tentang raham atheisme sampai hampir bisa meyakinkan orang beragama untuk memusuhi Tuhan". Hamka. Bagaimana jika ternyata pembuatan film ini beroleh "restu" dari Hamka misalnya? "Itu barangkali masih akan kita pertimbangkan", kata Djohardin. Dan Hamka memang telah menyatakan secara tertulis kepada Syuman Djaya: "Setelah membaca dan meneliti skenario dari cerita Afhes, yang berdasarkan kepada novel Achdiat K. Mihardja dengan beberapa perobahan, saya tidak keberatan bahkan menganjurkan usaha untuk menuangkan nya ke dalam film? tulis ulama profesor itu. Dulu sewaktu novel itu terbit dan dihebohkan, Hamka pun berdiri membelanya. Dan kini mendapatkan kenyataan begitu", kata Djohardin pula. "Tapi Hamka bukan satu-satunya, masih perlu didengar pendapat yang lain. Sementara itu persatuan Karyawan Film & TV atau KET dalam suratnva yang ditandatangani oleh Sumardjonn selaku ketua umum dan MD Aliff sebagai skejen, kepada Direktorat film Deppen mengalihkan semacam jalan keluar terhadap apa yang disebutnya sebagai "kasus-kasus skenario yang ditolak": hendaknya dicapai suatu konsensus tentang ketentuan hak banding bagi mereka/ produser yang skenarionya ditolak oleh Dit. Film. Berbicara secara umum untuk kasu ini, surat KT itu mengusulkan bentuk naik banding tersebt: untuk ditanggulangi oleh Menpen atau Dirjen dengan cara menunjuk sebuah team ahli yang bertugas khusus menanggapi kasus-kasus skenario yang ditolak. Atau diberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mencari dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat yang kiranya dapat mencerminkan Opini dari golongan yang diperkirakan/dikuatirkan akan memberikan reaksi negatif. Usul itu tulis KFT, semata-mata kami sampaikan untuk menghindarkan tuduhan adanya sikap otoritas/sefihak dari yang berwajib dan untuk tetap menjunjung tinggi azas demokrasi dengan tetap melaksanakan usaha preventif terhadap anarkhisme. Sebelum dikunjungi surat KFT itu menurut seorang pejabat Dit Film, "pada Djohardin waktu menerima skenario Syuman itu sudah menunjuk kemungkinan peluang, agar fihak Matari Film bisa mengurus rekomendasi dari Departemen Agama serta Kopkamtib" Sebegitu jauh beluml diperoleh jawaban.
Namun Syuman sudah melakukan shooting filmnya itu. Terhadap hal ini Djohardin hanya berkomentar: "Itu satu pelanggaran, yang tak kami benarkan". Bila tindakan Syuman itu dipandang sebagai melanggar ketentuan Dit. Film yang Syuman sendiri pernah menjabat direkturnya tempo hari dan konon terbilang pembuat aturan perizinan itu, apa sikap Dit. Film? "Toh nanti film itu akan diproses ke luar negeri atau bakal berhadapan dengan" sahut Djohardin sembari tak lupa menunjuk alasan keberatan terhadap utak-utik motif agama itu atau apa yang oleh Kopkamtib sering disingkat SARA. "Masalah ini jelas masuk jalur terlarang". Bagai bicara pada dirinya sendiri dalam nada heran Djohardin bergurau "Kita ini kan bisa membuat film karena ada bangsa Indoncsia, jadi janganlah keutuhan bangsa ini diledak-ledakkan".
Novelnya Dilarang Difilmkan
11 Mei 1974
Dilarang: "atheis"
Achdiat Kartamiharja merasa film Atheis garapan Sjuman Djaya tidak sepenuhnya menangkap amanat novelnya. PENGARANG Achdiat K. Mihardja (kini di Australia) mungkin akan terkejut: karyanya yang terkenal, Atheis, dilarang difilmkan. Menurut ketentuan, satu produksi film sebelum mulai pengambilan gambar, kudu mengajukan skenarionya mtuk dibaca oleh Direktorat Film Deppen. Dan Matari Film yang mau memproduksi film Atheis, lewat prosedur itu tak diberi izin. Penolakan terhadap suatu skenario memang bukan untuk pertama kali ini terjadi. Seperti dijelaskan Djohardin, "sudah sering, misalnya karena kekerasan yang berlebihan, maupun kalender porno". Tapi adakah penolakan terhadap Atheis merupakan harga mati? Sebagai pembina perfilman nasional, Djohan sendiri mengatakan: "Bila yang bersangkutan bersedia mengindahkan anjuran perubahan-perubahan pada skenarionya, selalu terbuka kesempatan izin". Pun terhadap Syuman Djaya yang menulis skenario dan bakal menyutra-darai Atheis itu kata Djohardin "kita beri kesempatan menulis kembali skenario yang lain untuk diteliti kembali". Singkatnya: Atheis dalam bentuknya yang sekarang, ditolak. Alasannya? "Jangankan isinya, sedang judulnya saja sudah bertentangan dengan sila pertama kita dalam Pancasila. Penolakan ini didasarkan pada alasan keagamaan". Tapi bukunya toh bisa saja beredar? lni wewenang Kejaksaan Agung. Dalam hubungan dengan rencana pembuatan filmnya fihak Deppen mencoba mendapatkan referensi dari Departemen P & K yang sebegitu jauh konon menyerahkan kepu-tusannya kepada Direktorat Film. Dan alasan lebih terperinci dari Djohardin: "Sebagai buku maka kalangan pesnbacanya terbatas, dan umumnya mereka mampu menyaring isi buku tersebut. Lain halnya ketika dituangkan dalam film, mulai anak-anak sampai orang buta huruf pun bisa melihatnya". Ia menyodorkan pokok-pokok ajaran Marx yang menuding "agama sebagai candu" dan porsi faham atheis itu begitu dominan pada percakapan dalam skenario.
Memang tak diingkarinya bahwa pada akhirnya sang atheis itu kalah, tapi kata Djohardin: "Itu bukan alasan untuk membenarkan, sebab film itu bercerita berpanjang-panjang tentang raham atheisme sampai hampir bisa meyakinkan orang beragama untuk memusuhi Tuhan". Hamka. Bagaimana jika ternyata pembuatan film ini beroleh "restu" dari Hamka misalnya? "Itu barangkali masih akan kita pertimbangkan", kata Djohardin. Dan Hamka memang telah menyatakan secara tertulis kepada Syuman Djaya: "Setelah membaca dan meneliti skenario dari cerita Afhes, yang berdasarkan kepada novel Achdiat K. Mihardja dengan beberapa perobahan, saya tidak keberatan bahkan menganjurkan usaha untuk menuangkan nya ke dalam film? tulis ulama profesor itu. Dulu sewaktu novel itu terbit dan dihebohkan, Hamka pun berdiri membelanya. Dan kini mendapatkan kenyataan begitu", kata Djohardin pula. "Tapi Hamka bukan satu-satunya, masih perlu didengar pendapat yang lain. Sementara itu persatuan Karyawan Film & TV atau KET dalam suratnva yang ditandatangani oleh Sumardjonn selaku ketua umum dan MD Aliff sebagai skejen, kepada Direktorat film Deppen mengalihkan semacam jalan keluar terhadap apa yang disebutnya sebagai "kasus-kasus skenario yang ditolak": hendaknya dicapai suatu konsensus tentang ketentuan hak banding bagi mereka/ produser yang skenarionya ditolak oleh Dit. Film. Berbicara secara umum untuk kasu ini, surat KT itu mengusulkan bentuk naik banding tersebt: untuk ditanggulangi oleh Menpen atau Dirjen dengan cara menunjuk sebuah team ahli yang bertugas khusus menanggapi kasus-kasus skenario yang ditolak. Atau diberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk mencari dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat yang kiranya dapat mencerminkan Opini dari golongan yang diperkirakan/dikuatirkan akan memberikan reaksi negatif. Usul itu tulis KFT, semata-mata kami sampaikan untuk menghindarkan tuduhan adanya sikap otoritas/sefihak dari yang berwajib dan untuk tetap menjunjung tinggi azas demokrasi dengan tetap melaksanakan usaha preventif terhadap anarkhisme. Sebelum dikunjungi surat KFT itu menurut seorang pejabat Dit Film, "pada Djohardin waktu menerima skenario Syuman itu sudah menunjuk kemungkinan peluang, agar fihak Matari Film bisa mengurus rekomendasi dari Departemen Agama serta Kopkamtib" Sebegitu jauh beluml diperoleh jawaban.
Namun Syuman sudah melakukan shooting filmnya itu. Terhadap hal ini Djohardin hanya berkomentar: "Itu satu pelanggaran, yang tak kami benarkan". Bila tindakan Syuman itu dipandang sebagai melanggar ketentuan Dit. Film yang Syuman sendiri pernah menjabat direkturnya tempo hari dan konon terbilang pembuat aturan perizinan itu, apa sikap Dit. Film? "Toh nanti film itu akan diproses ke luar negeri atau bakal berhadapan dengan" sahut Djohardin sembari tak lupa menunjuk alasan keberatan terhadap utak-utik motif agama itu atau apa yang oleh Kopkamtib sering disingkat SARA. "Masalah ini jelas masuk jalur terlarang". Bagai bicara pada dirinya sendiri dalam nada heran Djohardin bergurau "Kita ini kan bisa membuat film karena ada bangsa Indoncsia, jadi janganlah keutuhan bangsa ini diledak-ledakkan".
Kemarahan Sjuman Djaya
11 Mei 1974 "saya merasa dikerangkeng"
Syuman Djaya, sutradara yang baru saja sukses dengan film Si Mamad, sekarang ini sedang sibuk dengan film barunya, Atheis. "Dua puluh persen film ini sudah selesai dishooting" kata sutradara lulusan Moskow itu kepada Salim Said dari TEMPO. Berikut ini adalah bagian-bagian dari percakapan Syuman Djaya berkenaan dengan larangan memfilmkan novel karya pengarang Achdiat.K Mihardja itu. APA yang kali ini dibuat Djohardin bukan yang pertama memimpin diri saya. Hampir setiap saya bikin film, Direktorat film telah melakukan hal demikian. Sebagai contoh, Si Mamad. Kalau usul dewan peneliti skenario Direktorat Film itu saya turuti, tidak bakalan anda menyaksikan Si Mamad seperti yang ada sekarang. Waktu memberikan izin untuk film tersebut, Djohardin menegaskan kepada saya agar kemiskinan pegawai negeri jangan ditonjolkan lantaran hal itu, katanya, bertentangan dengan usaha pemerintah memperbaiki nasib pegawai negeri di akhir pelita pertama. Kali ini menjadi ramai karena izin produksi tidak mau diberikan mereka, meskipun juga tidak jelas adanya larangan. Buku Atheis sudah saya kirimkan kepada Djohardin enam bulan sebelum mulai shooting, dan satu setengah bulan sebelum mulai bekerja. Skenario juga saya antarkan kepada mereka. Menanti terlalu lama, sementara kontrak dengan artis dan awak teknik telah ditanda-tangani, saya terpaksa mulai bekerja. Apakah saya melanggar turan? Tidak sama sekali. Pengawasan dan pembinaan Direktorat Film yang ketat memang perlu tapi itu terhadap produksi yang mendapat fasilitas pemerintah, seperti dana SK 71 dulu itu.
Saya sama sekali tidak minta apa-apa dari mereka. Lagipula, saya tahu betul berapa banyak film yang mulai shooting sebelum Djohardin menandatangani izin produksinya . Kopkamtib. Kepada Djohardin sebenarnya sudah minta izin sementara saja. kalau ia takut memberikan izin produksi yang biasa. Tapi itupun tidak ia berikan, meskipun saya telah membantu dia mendapatkan dukungan pendapat dari berbagai tokoh masyarakat dan fihak Kopkamtib. Hamka jelas tanggapannya yang positif, sedang Laksamana Soedomo yang telah menyaksikan Si Mamad kemudian juga membaca skenario Atheis, tidak mengemukakan keberatan apa-apa. Saya heran betul mengapa orang-orang Direktorat Film sampai bertindak demikian, sementara buku karangan Achdiat itu masih beredar, malahan menjadi bacaan di sekolah-sekolah. Lagi pula skenario saya dalam beberapa hal jauh lebih positif terhadap hal-hal yang perlu ditakutkan sebagai bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Ya, kalau dibaca secara sepotong-sepotong, tentu saja bisa dibikin macam-macam kesimpulan. Tapi kalau secara keseluruhan, saya yakin tidak apa-apa. Besar dugaan saya bahwa pembantu-pembantu Djohardin meneliti skenario itu secara sepotong-sepotong. Saya betul-betul merasa dikerangkeng sekarang ini. Setelah membikin Si Mamad yang berkisah tentang kesulitan ekonomis seorang anak manusia, saya tentu ingin lebih maju. Dengan memilih Atheis, saya berkehendak mengisahkan kegoncangan jiwa manusia yang setiap saat bisa kita alami. Namun saya tidak akan mundur. Saya akan menghadap Menteri Penerangan, Kabinet, kalau perlu ke Parlemen. Pokoknya kesewenang-wenangan terhadap kreatifitas harus dihentikan.
11 Mei 1974 "saya merasa dikerangkeng"
Syuman Djaya, sutradara yang baru saja sukses dengan film Si Mamad, sekarang ini sedang sibuk dengan film barunya, Atheis. "Dua puluh persen film ini sudah selesai dishooting" kata sutradara lulusan Moskow itu kepada Salim Said dari TEMPO. Berikut ini adalah bagian-bagian dari percakapan Syuman Djaya berkenaan dengan larangan memfilmkan novel karya pengarang Achdiat.K Mihardja itu. APA yang kali ini dibuat Djohardin bukan yang pertama memimpin diri saya. Hampir setiap saya bikin film, Direktorat film telah melakukan hal demikian. Sebagai contoh, Si Mamad. Kalau usul dewan peneliti skenario Direktorat Film itu saya turuti, tidak bakalan anda menyaksikan Si Mamad seperti yang ada sekarang. Waktu memberikan izin untuk film tersebut, Djohardin menegaskan kepada saya agar kemiskinan pegawai negeri jangan ditonjolkan lantaran hal itu, katanya, bertentangan dengan usaha pemerintah memperbaiki nasib pegawai negeri di akhir pelita pertama. Kali ini menjadi ramai karena izin produksi tidak mau diberikan mereka, meskipun juga tidak jelas adanya larangan. Buku Atheis sudah saya kirimkan kepada Djohardin enam bulan sebelum mulai shooting, dan satu setengah bulan sebelum mulai bekerja. Skenario juga saya antarkan kepada mereka. Menanti terlalu lama, sementara kontrak dengan artis dan awak teknik telah ditanda-tangani, saya terpaksa mulai bekerja. Apakah saya melanggar turan? Tidak sama sekali. Pengawasan dan pembinaan Direktorat Film yang ketat memang perlu tapi itu terhadap produksi yang mendapat fasilitas pemerintah, seperti dana SK 71 dulu itu.
Saya sama sekali tidak minta apa-apa dari mereka. Lagipula, saya tahu betul berapa banyak film yang mulai shooting sebelum Djohardin menandatangani izin produksinya . Kopkamtib. Kepada Djohardin sebenarnya sudah minta izin sementara saja. kalau ia takut memberikan izin produksi yang biasa. Tapi itupun tidak ia berikan, meskipun saya telah membantu dia mendapatkan dukungan pendapat dari berbagai tokoh masyarakat dan fihak Kopkamtib. Hamka jelas tanggapannya yang positif, sedang Laksamana Soedomo yang telah menyaksikan Si Mamad kemudian juga membaca skenario Atheis, tidak mengemukakan keberatan apa-apa. Saya heran betul mengapa orang-orang Direktorat Film sampai bertindak demikian, sementara buku karangan Achdiat itu masih beredar, malahan menjadi bacaan di sekolah-sekolah. Lagi pula skenario saya dalam beberapa hal jauh lebih positif terhadap hal-hal yang perlu ditakutkan sebagai bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Ya, kalau dibaca secara sepotong-sepotong, tentu saja bisa dibikin macam-macam kesimpulan. Tapi kalau secara keseluruhan, saya yakin tidak apa-apa. Besar dugaan saya bahwa pembantu-pembantu Djohardin meneliti skenario itu secara sepotong-sepotong. Saya betul-betul merasa dikerangkeng sekarang ini. Setelah membikin Si Mamad yang berkisah tentang kesulitan ekonomis seorang anak manusia, saya tentu ingin lebih maju. Dengan memilih Atheis, saya berkehendak mengisahkan kegoncangan jiwa manusia yang setiap saat bisa kita alami. Namun saya tidak akan mundur. Saya akan menghadap Menteri Penerangan, Kabinet, kalau perlu ke Parlemen. Pokoknya kesewenang-wenangan terhadap kreatifitas harus dihentikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar