Senin, 24 Januari 2011

SALAH ASUHAN / 1972

SALAH ASUHAN


Ketika Abdoel Moeis menulis Asal Asuhan pada Novel, Indonesia masih Hindia Belanda, di mana si Belanda lebih diutamakan dari pada si Hindia. Hidup sosial ditentukan oleh warna kulit. Puluhan tahun berikut walaupun belum banyak berubah secvara fundamentail, ambisi pahit untuk menjadi oerang Belanda seperti digambarkan Abdoel Moeis dalam novel Salah Asuhan ini tidak berarti buku terbitan Balai Pustaka terus dibaca orang sampai saat kini.

Asrul Sani mengalihkan zaman berlangsungnya kisah novel aslinya di tahun 30an ke tahun 70an, meski dengan anakronisme perwatakan. Hanafi (Dicky Zulkarnaen), yang gagal studinya di Eropa, pulang ke kampungnya di Sumatra Barat. Mulailah pertentangan antara kebiasaannya di Eropa dengan adat setempat. Hanafi menaruh hati pada Corrie du Bussee (Ruth Pelupessy), wanita peranakan Perancis. Hubungan ini ditentang orangtua masing-masing. Hanafi sudah disediakan jodoh, Rapiah (Rima Melati), sedang ayah Corrie tak ingin anaknya kawin dengan oorang Melayu. Maka kawinlah Hanafi dengan Rapiah, meski sudah diduga tak akan lancar. Hanafi menyusul Corrie yang pergi ke Jakarta. Pasangan terakhir ini kemudian kawin. Ternyata rumahtangga Hanafi-Corrie juga tak seperti diharapkan, hingga bercerai. Corrie kemudian meninggal, dan Hanafi pulang kampung lagi dengan perasaan kalah.
Sejak dulu novel itu sangat menarik, sehingga Asrul Sani ingin sekali memfilmkannya. Semua orang yang pernah membaca novel itu akan bertanya tentang set dan lokasi Jakarta jaman itu. jelas Salah Asuhan bukan Hamlet, yang bisa dimainkan dengan set dan pakaian apa saja. Dan ternyata Asrul melakukan apa yang tidak diduga orang. Asrul memindahkan waktu.


Dicky Zulkarnaen sebagai Hanfi mengulang dialog Hanfi tahun 1920'an pada sebuah lapangan tenis sebuah kota di Sumatra Barat, di depan gadis indo-Prancis, Corry Debussy. Hanafi merasa kesal dengan adat bangsanya sendiri. Pulang belajar dari Eropha, diaharus kawin dengan wanita yang seharusnya bukan selevelnya, yaitu Rafiah (Rima Melati), istri yang dipilhkan oleh ibunya anak bumi putera di didik sekolah desa. Corry sungguh cinta pada Hanafi, tetapi perbedaan kulit itulah persoalannya. Untuk menghindari hal yang bukan-bukan ia menyingkir ke Jakarta, bukan Batavia. Seperti yang dilukiskan Moeis dalam novelnya Hanafi yang ditinggal pergi itu kemudian jatuh sakit. Memang romatis, walupun sedikit cengeng.

Film ini ceritanya tidak jauh beda dengan Novelnya. Walaupun apa pun alasan Asrul Sani menulis skenario dan sutradaranya dalam mengadaptasi cerita ini, yang pasti film ini kekuatan interpretasinya sama sekali tidak tampak. Walaupun niatnya mau bikin film masa kini, Asrul akhirnya hanya bisa membuat masa lalu dengan pakaian, perabotan, dan pemahaman masa sekarang. Mudah diduga bahwa karya yang anakronis macam ini hanya suatu kekosongan yang mencapekan. Kemungkinannya adalah tertutupnya Asrul untuk mempsikologiskan novel sosial ini. Tetapi bila Asrul sadar akan konflik psikologis tidak hanya lahir dari gangguan pada sistem kelenjar ataupun metabolisme dalam tubuh. Rangsangan luar, tidak kurang memainkan peran. 

P.T. TATY & SONS JAYA FILM

DICKY ZULKARNAEN
RIMA MELATI
FIFI YOUNG
RUTH PELUPESSY
FARIDA ARIANY
E. DRACULIC
MOH MOCHTAR
DEWI RAIS
JASSO WINARTO
FAKHRI AMRULLAH
 

 
Dalam hal ini konflik batin yang terlihat pada Hanfi dalam film ini tidak lebih dari bekas konflik dari Moeis untuk tokoh utamanya itu. Rasa rendah diri bangsa bumiputera dan keinginan mendapatkan status kulit putih melalui perkawinan dengan Corry. Karena latar belakang sosialnya tidak dihadirkan, konflik jiwannya tidak meyakinkan. Tetapi karya Asrul ini tidak terseret dalam Anakronisme. Entah karena Anakronisme itu sendiri, atau karena teruber waktu. Tetapi banyak adegan yang terasa konyol, bukan hanya besifat Klise. Contohnya Percakapan kedua wanita yang mengomentari kedatangan Tante Lin ke rumah Corry, tidak perlu ada. Sebab keterangan tentang profersi perempuan yang datang itu juga dari Hanafi yang marah kemudian. Tetapi yang amat tidak masuk akal adalah adegan saat Corry mulai bekerja pada sebnuah kantor setelah difitnah main serong dengan Hanafi. dan diperlakukan dengan kasar oleh wanita yang pernah berkomentar tentang kunjungan tante Lin tadi. Verbalisme seperti ini sesungguhnya sudah harus bisa dihindari ketika skenario ditulis.
Secara bersamaan anakronisme, Verbalisme, Klise lama (Fifi Young mengeluh tidak ada surat datang dari Hanafi di Jakarta, tiba-tiba tukang pos berteriak"Poss") dan kelemahan teknis, semuanya bertanggung jawab atas kegagalan Asrul yang ini. Asrul dinilai merosot dari karya yang sebelumnya, pada film Apa Yang Kau Cari Palupi. Tetapi yang nampak khas dari Asrul adalah pemilihan lokasinya Sumatra Barat yaitu tempat kelahirannya, alam pedesaan dan hutannya .

NEWS
19 Mei 2008

Moeis Menyalahkan Pengasuhan Hanafi
NOVEL Salah Asuhan sungguh lebih dari sekadar roman. Ia juga merupakan pandangan kritis pengarangnya, Abdoel Moeis, terhadap dampak politik etis (Etische Politiek) yang dilancarkan pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-20. Moeis menyiratkan pesan, pendidikan Barat yang dinikmati sebagian kaum bumiputra seharusnya tak membuat mereka tercabut dari akar budayanya. Orang Timur jangan sekali-kali menjadi sepuhan Barat," ujar Mariam, ibu dari tokoh utama novel ini, Hanafi.

Sebagian sejarawan menganggap politik etis merupakan awal munculnya kesadaran berbangsa bagi bumiputra. Memang, salah satu rukun" dalam trias politika kebijakan ini adalah memperbanyak sekolah. Maka sejak 1903 Kerajaan Belanda giat membangun sekolah sejak tingkat Volk School (sekolah desa) hingga Algemeene Middelbare School (AMS). Dari bangku-bangku pendidikan inilah meletup bara semangat kebangsaan itu.

Tetapi, dalam pandangan Moeis, interaksi bumiputra dengan pendidikan dan kebudayaan ala Barat itu memercikkan ancaman lain: seseorang bakal tercabut dari akarnya. Seseorang akhirnya akan menjadi piatu" dari adat-istiadat leluhurnya. Moeis mewujudkan kegelisahannya itu dalam relasi rindu dendam antartokoh utama Salah Asuhan: Hanafi Corrie du Bussee Rapiah, serta Ibunda Hanafi.

Hanafi adalah tokoh yang paling terempas dalam gelombang krisis identitas itu. Tamat dari HBS di Betawi, serta lama bergaul dengan orang-orang Eropa, pemuda Melayu totok ini menjadi gandrung ingin menjadi warga kebudayaan Eropa.

Untuk mewujudkan impian itu, dia rela melepaskan cara berpikir dan adat Timur. Hal itu dilakukan bukan saja agar dapat mengawini Corrie perempuan blasteran Prancis-Minang tetapi karena pada akhirnya ia memang begitu membenci kebudayaan Timur itu.

Maka ringan saja ia lalu meletakkan gelar sutan pamenan yang disandangnya. Di dalam segala hitungan di kampung', anakanda tak usah dibawa-bawanya lagi, karena dengan rela hati ananda sudah keluar dari adat dan keluar dari bangsa," tulis Hanafi dalam suratnya kepada ibunda.

Dengan surat itu pula Hanafi memutuskan hubungannya dengan istri pilihan ibunda, Rapiah. ... jika ananda sudah tentu menjadi orang Belanda, istri ananda itu haruslah yang berpatutan benar dengan keadaan dan pergaulan ananda."

Demikianlah. Rapiah memang personifikasi dari masa lalu" yang hendak dibelakangi Hanafi. Rapiah adalah istri yang sudah memenuhi segala tuntutan adat. Sesungguhnya perceraian sepihak ini ibarat manifesto Hanafi yang memutuskan hubungan dirinya dengan bumi pertiwi.

Tetapi Moeis melihat bahwa perpindahan budaya semacam itu tak hanya ditentang kaum asal Hanafi. Pada masa itu, kaum Eropa pun memandang hina pasangan Hanafi-Corrie (setelah mereka kelak menikah). Bahwa dengan besluit pemerintah, Hanafi sudah dinyatakan memiliki hak sama dengan hak bangsa Eropa (dengan nama baru Christiaan Han), orang Barat tetaplah memandangnya sebagai bumiputra belaka.

Menurut Haji A. Hamid, pengajar Universiti Sains Malaysia, novel Salah Asuhan ini menunjukkan hebatnya persoalan krisis identitas dalam wacana pascakolonial. Ia melihat Hanafi sedikit banyak sama dengan tokoh Husin dalam cerita pendek Cerita Sepanjang Jalan IX karya penulis Malaysia, Keris Mas. Keduanya mengalami kegamangan terhadap budaya leluhur," kata Hamid dalam sebuah seminar kesusastraan internasional di Jakarta beberapa waktu lalu.

Sejak terbit pertama pada 1928, Balai Pustaka telah 30 kali mencetak ulang karya Moeis ini (cetakan terakhir pada 2004). Ini menunjukkan problem yang menjadi tema pokok Salah Asuhan ternyata tetap tersimpan melintasi zaman demi zaman. Hingga sekarang, persoalan krisis identitas dengan berbagai variannya masih saja diidap oleh bangsa yang telah merdeka hampir 63 tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar